‘Memangnya Surabaya punya keraton? Di mana?’
batin saya saat membaca tulisan seorang kakak kelas,
bertahun-tahun lalu. Tulisan singkat itu membuat kening saya berkerut, lalu
tertarik mengulik lebih dalam. Sekian lama tinggal di Surabaya, kayaknya nggak
ada yang nyebut-nyebut keratonnya atau bekas/sisanya. Paling pol soal
gedung-gedung superlawas yang dibangun era Belanda, yang sekarang wujudnya
masih ada dan beberapa masih difungsikan.
Entah di mana kini link tulisan
tersebut. Yang saya ingat, di situ disebut kalau jejaknya ada di sekitar
Surabaya Pusat. Beberapa nama jalan bernuansa kerajaan seperti Jl. Kraton dan
Jl. Praban ditengarai dinamakan begitu karena dulu di situlah aktivitas
kerajaan berpusat.
[NB: foto pintu di atas hanya pemanis; bagian dari sebuah bangunan tua di sekitar Kampung Kraton, bukan bagian dari keratonnya sendiri]
[NB: klik foto/gambar untuk tampilan yang lebih jelas dan detail. Nggak tahu kenapa gambarnya blur banget kalau cuma di-scroll]
[ASAL MULA]
[Disclaimer: postingan ini bukan tulisan sejarah yang faktual sekali. Saya bukan sejarawan, hanya hobi ngulik sejarah. Tulisan ini dibuat berdasarkan apa yang saya tahu aja: dari cerita orang, dari obrolan, artikel/berita yang pernah dibaca (yang lupa apa aja dan detailnya gimana, cuma ingat intinya), sehingga sangat mungkin terdapat kesalahan isi atau interpretasi dalam tulisan/post ini. Oleh karena itu, sebaiknya pembaca check and re-check dari sumber lain yang lebih terpercaya.]
Terbesit pikiran, “Kenapa Surabaya sampai punya
keraton? Kan, sejak dulu dia nggak pernah berbentuk kerajaan?”
Karena nggak pernah jadi kerajaan inilah,
mungkin pikiran bahwa pernah ada istana di Kota Pahlawan nggak pernah lewat di
pikiran saya; beda dengan kota-kota yang menjadi/pernah jadi pusat kerajaan/kesultanan
seperti Yogya, Cirebon, atau Mojokerto.
Usut punya usut, ‘keraton Surabaya’ memang bukan istana raja melainkan keraton kadipaten. Kadipaten adalah suatu wilayah pemerintahan di bawah kerajaan tertentu. Tingkatnya setara duchy yang dipimpin seorang duke. Namun untuk wilayah setingkat itu, apalagi yang menjadi salah satu pusat Jawa Timur sejak dulu, maka nggak heran kalau ‘rumah’ pemimpinnya (alias adipati) sampai bisa disebut keraton dan punya kompleks
Jadi, siapa yang jadi atasan adipate/duke
ini? Kerajaan mana?
Kita mundur ke belakang sebentar.
Sejak dulu, yang saya tahu adalah Surabaya
jadi wilayah milik Mataram di era kesultanan. Sebelum itu, milik Majapahit.
Sebelum itu, milik kerajaan di Jawa Timur. Sebelum itu, adalah kota pelabuhan. Sebelumnya
lagi, kampung tepi pantai dan muara yang ramai (cikal-bakal pelabuhan).
Surabaya dipercaya sempat bernama
Ujunggaluh (ada yang nulis Ujung Galuh/Hujung Galuh). Namun ada pendapat bahwa
Ujunggaluh ini bukan cuma Surabaya, tapi juga meliputi kota-kota pelabuhan di
sekitarnya seperti Gresik, Lamongan, dsb.
Back to Surabaya.
Kalau dari cerita rakyat yang sering
diceritakan ke anak-anak kecil, nama ‘Surabaya’ berasal dari kata (ikan/iwak)
suro dan boyo (buaya). Mitosnya, dulu pernah ada perkelahian hebat antara ikan
suro—yang dipercaya adalah ikan hiu—dan buaya di muara Sungai Kalimas. Berantemnya
hebat banget sampai bikin masyarakat yang lihat ketenggengen. Gara-gara kejadian ini, masyarakat menamai
tempat itu ‘Surabaya’ (Suroboyo, kalau pakai logat Jatim).
Sungai Kalimas kini |
Di versi lain, diceritakan bahwa pemimpin Surabaya saat itu berkelahi dengan utusan dari Majapahit. Konon berkelahinya karena pemimpin Surabaya makin kuat dan dianggap mengancam keutuhan Majapahit. Perkelahian (dan adu kesaktian, kayaknya) ini berlangsung berhari-hari di Kalimas. Ikan suro dan buaya di cerita sebelumnya diduga adalah simbol dari dua sosok ini.
Namun, sejarah punya pendapat lain.
Nama ‘Surabaya’ berasal dari gabungan dua
kata dalam bahasa Sansekerta: ‘chura’/‘sura’ dan ‘bhaya’ yang berarti ‘selamat
dari marabahaya’. Menurut sejarawan, penamaan versi ini lebih otentik daripada
versi mitos tadi.
[DI MANA SISA KERATON SURABAYA?]
Berangkat dari postingan kakak kelas yang mengangkat keraton Surabaya tadi, saya pun mulai browsing. Saya buka peta Surabaya, terutama wilayah pusat. Benar aja, di sekitar situ memang nama jalannya pakai nama-nama bernuansa keraton, antara lain:
- Jl. Kraton : diduga dulu pusat keratonnya di sini
- Jl. Praban : kompleks untuk raja/penguasa keraton (praban = prabu = raja)
- Jl. Maspati & Jl. Kepatian: kompleks untuk patih
- Kebon Rojo : kebun milik raja
- dan jalan yang letaknya agak jauh dari pusat tadi, antara lain Jl. Keputren (tempat tinggal putra/putri), dsb. Jalan/kampung lain ada yang dinamakan sesuai fungsinya, contoh Kampung Temenggungan, Carikan, Jl. Jagalan (jagal hewan), Jl. Pandean (tempat pandai besi), dsb. Area yang sekarang jadi Tugu Pahlawan, dulunya adalah alun-alun Surabaya.
Kabarnya letak-letak kompleks/kampung
berdasarkan fungsi ini juga ditentukan dengan khusus. Penempatannya disesuaikan
dengan arah mata angin: utara, barat, timur, selatan. Tiap arah mata angin
mengandung filosofi tersendiri, misalnya arah tertentu untuk fungsi kerohanian,
arah yang lain untuk nilai keduniawian. Tapi saya nggak hafal arah dan
perwujudan nilainya.
Sudah lama saya ingin blusukan ke gang-gang
di jalan ini. Kalau lewat jalan besarnya, memang sering saat motoran. Nggak
nyangka aja ternyata jalan yang saya lewati ratusan kali ternyata udah ada bahkan
sebelum mbah saya lahir, yang di dalamnya punya kampung yang usianya juga sudah
ratusan tahun meski bangunannya tampak baru. Mau blusukan sendiri rasanya kok
ya sungkan karena ini kampung orang dan bukan tujuan wisata. Bukan seperti,
misalnya, kampung di sekitar Tamansari Yogya yang rame. Kebayang kalau ditanya,
“Nyari apa?”
“Nggak cari apa-apa, Bu/Pak. Mau
lihat-lihat aja.”
“Lha kampung gini aja, apa yang mau dilihat?”
Worst case scenario, malah
dicurigai mengintai rumah untuk dimaling.
Kesempatan menelusuri gang-gang itu datang waktu saya nemu info walking
tour. Nggak pikir panjang, saya langsung join. Seenggaknya kalau jalan
berbanyak orang, mungkin dikira mahasiswa lagi cari data, hehehe.
Dari walking tour inilah saya tahu
bahwa mulut gang yang udah bolak-balik saya lewati ternyata adalah satu-satunya
sisa bangunan Keraton Surabaya yang masih ada, yaitu di salah satu mulut gang di Jl. Kramat Gantung. Bentuknya seperti gapura,
warnanya putih. Modelnya sekilas mengingatkan saya pada model tembok Jokteng
Yogya dan Vredeberg. Imajinasi saya berkelana, membayangkan dulu gapura ini
dijaga para prajurit yang siaga dan menanyai setiap orang yang keluar-masuk;
seperti gerbang kota di film-film medieval.
Anyway, tentang
sisa tembok keraton ini juga ada perbedaan pendapat. Ada yang berpandangan
bahwa belum ada cukup bukti untuk tembok ini diklaim sebagai sisa bangunan
keraton. Ada yang punya persepsi bahwa ini tembok bangunan baru, yang nggak ada
hubungannya dengan keraton, dan baru dibuat di era 1900-an.
Entah mana yang benar, saya juga nggak
tahu. Namun, yang nyata diyakini adalah keraton Surabaya memang habis tak
bersisa. Luluh lantak. Kok bisa?
Tembok/gerbang gang yang diduga bagian dari keraton, diapit pertokoan |
Masih ingat nggak, kalau dulu Surabaya masuk jadi kadipaten di wilayah Majapahit? Setelah Majapahit runtuh, Surabaya jadi daerah independen. Setelah Kesultanan Demak berdiri, Surabaya masuk jadi wilayah Demak (apa ini karena ada Sunan Ampel di Ampel yang dekat dengan sultan Demak?). Setelah Demak runtuh, Surabaya independen lagi.
Saat independen ini, Surabaya sempat jadi salah satu pusat pemerintahan di Jawa Timur. Karena posisinya di pinggir laut dan jadi kota pelabuhan, maka meski dia nggak di bawah pemerintahan siapa-siapa, dia punya hubungan diplomatis dengan kota/kerajaan di luar Pulau Jawa via laut.
Setelah sempat independen, Surabaya masuk
jadi wilayah Kesultanan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung. Saat itu,
Keraton Surabaya diperkirakan masih berdiri.
Hubungan antara Surabaya dan Mataram ini
punya cerita tersendiri. Rada panjang dan penuh intrik. Nanti deh diceritain di
bagian akhir. Di sini ngebahas sisa bangunannya dulu.
Oke. Setelah jadi kadipaten di bawah
Mataram, terus gimana?
Keraton masih berdiri; masih ada. Seenggaknya
sampai Sultan Agung Hanyokrokusumo tutup usia. Masalah dimulai saat putranya,
Amangkurat I, naik tahta.
Amangkurat I berkonflik dengan salah satu putranya. Putranya ini bersekutu dengan Trunojoyo, bangsawan dari Madura. Konon salah satu alasan Trunojoyo bergabung dengan putra Amangkurat I ialah karena nggak suka dengan VOC, sedangkan Amangkurat I malah dekat dengan VOC (nggak kayak bapaknya). Trunojoyo menganggap VOC menjajah Madura.
Anak Amangkurat I ini kemudian berhasil
jadi raja. Namun setelah itu dia bertengkar dengan Trunojoyo. Alasan pertengkaran ini
sendiri punya banyak versi, salah duanya adalah sudah nggak sepaham atau menganggap
Trunojoyo terlalu berkuasa di (Jawa) timur dan mengancam Mataram. Anak Amangkurat I ini kemudian balik bersekutu dengan VOC untuk memburu Trunojoyo.
Singkat cerita, Trunojoyo tewas. Pesisir
Jawa, termasuk Surabaya, kemudian diserahkan pada VOC oleh Mataram. Konon saat
perang VOC-Mataram vs Trunojoyo inilah Keraton Surabaya dihancurkan VOC,
luluh-lantak tak bersisa sampai sekarang.
Dalam versi lain, Keraton Surabaya dihancurkan VOC saat VOC berperang dengan Mataram. Di sini ceritanya Mataram masih belum friend sama VOC. Tapi ending-nya sama: setelah perang, keraton hancur, dan Surabaya dikuasai VOC.
[SURABAYA-MATARAM, KALIMAS, dan PANGERAN PEKIK]
Kita mundur sedikit ke belakang; saat Kesultanan Demak runtuh dan Surabaya jadi daerah independen, sebelum jadi bawahan Mataram.
Mataram ini sebenarnya siapa? Mataram ini
kesultanan yang ada di tengah Jawa; sekarang jadi Yogya. Kalau saat sekolah dulu di
pelajaran Sejarah disebut “... lalu Sultan Agung menyatukan wilayah Jawa di
bawah panji Mataram...” ya inilah Mataram itu. Kalau yang pernah main ke Yogya,
khususnya ke daerah Kotagede, pusat Mataram dulu ya di sana. Ada masjidnya juga.
Area ini jaraknya cuma beberapa km dari Terminal Giwangan dan dekat dengan gerai Cokelat
Monggo (eh kok jadi ke mana-mana).
Sebagai catatan, Mataram ada dua: Mataram
Hindu yang membangun candi-candi besar di DIY-Jateng (termasuk Borobudur, Prambanan,
dsb) dan Mataram Islam yang menjadi cikal bakal Kesultanan Yogya dan Kasunanan
Surakarta. Yang dibahas di sini adalah Mataram yang kedua.
Sultan Agung termasuk raja besar dalam
sejarah Indonesia. Perjuangannya menaklukkan daerah-daerah di Jatim-Jateng
nggak sebentar. Perebutan Surabaya pun nggak ujug-ujug; ditaklukkan
daerah sekitarnya dulu.
Setelah Demak runtuh dan Surabaya
independen, saat Sultan Agung mulai ekspansi, banyak bangsawan pemimpin lokal a.k.a
bupati kota lain di Jatim yang lari ke Surabaya dan berlindung di sana. Wilayah Surabaya
dianggap kuat.
Saat menaklukkan Surabaya, pasukan Sultan Agung pun kesulitan. Gara-garanya karena (selain kuat):
- Surabaya dikelilingi benteng yang kokoh,
- dikelilingi sawah, hutan, dan rawa yang rapat dan susah ditembus. Jangan bayangin Surabaya seluas sekarang. Waktu itu, wilayahnya masih seluas Surabaya pusat dan utara aja. Kalau dilihat di peta lawas, sekeliling daerah itu kelihatan kayak wilayah kosong dan berair,
- punya akses laut. Akibatnya, meskipun sudah dikepung via daratan, Surabaya masih bisa minta bantuan dari daerah lain via pelabuhannya.
Karena susah, pasukan Mataram akhirnya
memutar otak. Mereka tahu ada satu sungai vital di Surabaya, mengalir dari luar
batas kota hingga ke pelabuhannya. Sungai bernama Kalimas ini mereka
cemari; dibuangi tahi dan bangkai sampai warnanya buthek kekuningan.
Atas: peta sekarang | Bawah: nama kampung di Surabaya tahun 1825, nama-namanya masih dipakai sampai sekarang. |
Kejadian ini kemudian jadi (salah satu versi) penamaan Sungai Kalimas. Kali = sungai, mas = kekuningan.
Taktik bioweapon ini berhasil. Kota Surabaya airnya tercemar, penduduknya jadi sakit-sakitan dan kesulitan suplai air bersih. Adipati Jayalengkoro akhirnya menyerah ke tangan Mataram sekitar era 1600-an.
Apa udah selesai? Oh, belum.
Seperti yang jamak dilakukan saat itu, saat
ada wilayah yang baru direbut, maka harus ada bukti persatuan selain
perjanjian. Salah satunya dengan pernikahan. Pangeran Surabaya saat itu, Pangeran
Pekik, setelah menggantikan ayahnya (Adipati Jayalengkoro), dinikahkan dengan adik Sultan Agung.
Hubungan pemimpin Surabaya dan Mataram, selain antara adipati dan raja, juga menjadi hubungan kekeluargaan antara adik dan kakak ipar.
Masalah muncul ketika Sultan Agung
meninggal dan digantikan putranya, Amangkurat I. Amangkurat I tercatat sebagai
raja bermasalah: dari segi pemerintahan, juga dari segi kepribadian. Singkat cerita, Pangeran Pekik berkonflik dengan Amangkurat I ini.
Pertengkaran dua orang ini juga—seperti lazimnya
sejarah—punya banyak versi.
Dan seperti umumnya tokoh sejarah, pertengkarannya pun 'berdarah'.
Versi satu, Pangeran Pekik dianggap
bersalah karena menikahkan wanita yang disukai Amangkurat dengan putra sang raja (iya, Amangkurat I dan putranya suka satu perempuan
yang sama; rebutan). Perempuan ini, Rara Oyi, ceritanya tragis dan sedih banget di
akhir hidupnya ☹ Versi kedua, Pangeran
Pekik dianggap merencanakan pembunuhan raja. Ini versi lain, sebab ada yang bilang
bahwa Pangeran Pekik udah meninggal saat kejadian bapak-anak tadi berebut Rara Oyi.
Ending-nya
sama: Pangeran Pekik dianggap bersalah, kemudian dieksekusi. Beserta keluarga
dan pengikutnya. Kisah pangeran Surabaya itu pun berakhir.
Sampai akhir hidupnya, pangeran dari
Surabaya itu nggak kembali ke Surabaya. Pangeran Pekik dimakamkan di Pesarean
Banyusumurup, yang sekarang letaknya di Imogiri, Kab. Bantul, masih di D.I. Yogyakarta.
Di mana itu?
Pernah jalan-jalan ke Kebun Buah Mangunan atau
hutan pinusnya? Kalau ingat rutenya, mungkin ingat kalau sebelum jalanan mulai
nanjak, ada belokan ke kanan. Di situlah Pangeran Pekik dan keluarganya
dimakamkan. Makam ini nggak jauh dari Pemakaman Raja-Raja Imogiri. Kalau makam
Imogiri ada di bukit, Banyusumurup berada di lembah. Konon, pesarean ini
adalah kompleks pemakaman bagi mereka yang dianggap berkhianat pada raja.
Pemandangan di Kebun Buah Mangunan |
Dan begitulah cerita tentang Keraton
Surabaya dan pemimpinnya. Selanjutnya seperti kota-kota lain di Indonesia, Surabaya ada dalam genggaman pemerintahan kolonial Belanda, kemudian jadi salah satu kota yang paling bergejolak
selama perang kemerdekaan.
=================
Catatan: peta utuh dari inset tahun 1825.
Kaart van Soerabaia 1825. Dipublikasikan/dicetak oleh G. Kolff & Co, 1931. Diakses via Digital Collections Leiden University Libraries.