Hijaubiru

Jumat, 17 November 2023

Kita yang Sedang Mengulang (dan Menjadi) Sejarah
November 17, 20230 Comments

 

[Trigger warning: death, pandemic, war]

 

Sebuah akun foto-foto masa lalu, diprotes oleh sebagian followers-nya karena akhir-akhir ini menayangkan foto-foto dan berita masa kini. Protesnya kurang lebih, “Ini kan akun sejarah, stick aja ngepos foto-foto dan cerita jadul. Ngapain ngepos foto dan berita sekarang?”

 

Pemilik akun menjawab. Beberapa followers lain turut jawab pula. Respons mereka kurang lebih,

“Ya karena foto dan berita yang dipos sekarang itu akan jadi sejarah di masa depan. Sekarang aja udah jadi sejarah. It is history in the making.”

On point.

 

Bahkan kejadian beberapa saat lalu aja, sudah bisa jadi sejarah. Toh definisi ‘sejarah’ sendiri salah satunya adalah ‘kejadian yang benar-benar terjadi di masa lalu’. Berita tadi pagi aja udah masuk kategori sejarah. Apalagi berita pekan lalu, bulan lalu. Ya meski secara sense kurang dianggap sejarah oleh umum karena pandangan khalayak tentang sejarah adalah sesuatu yang udah lamaaa… banget, bertahun-tahun atau berpuluh tahun lalu.

 

Yang 'menakjubkan', kita dan banyak orang kadang nggak sadar sedang menjadi sejarah. Atau, mengulangi sejarah.

 

Ada yang bilang, sejarah dunia sebetulnya sejak dulu sama aja. Konflik dan intriknya ya itu-itu aja. Cuma beda orang dan beda detailnya.

 

Saat baca atau lihat kisah sejarah, sempat terlintas di benak, “Hidup mereka zaman itu gimana, ya? Kok bisa jadi seperti itu ya, kan sebenarnya simpel banget tapi kok jadi masalah gede?” dst dst. Beberapa tahun ke belakang, benang merah sebagai jawaban mulai bisa ditarik.

 

Jawabannya: hidupnya ya begitu.

Betul, banyak kejadian besar yang berlangsung. Namun mayoritas yang dilakukan orang memang satu: tetap hidup. Sesederhana keep on living.

 

Ingat pandemi Covid-19 kemarin? Tentu, banyak berita dan kejadian penting yang wow dan besar sekali. Mulai dari jumlah korban yang amat tinggi, akselerasi teknologi dan IPTEK demi mendapat obat dan mendukung work from home, kegiatan yang segalanya berubah online, jalanan yang sepi tanpa apa pun, kesehatan mental yang mulai meningkat concern-nya di antara orang-orang, dsb. Never in my life I’d imagine that a vaccine would be invented during my life. Kalau dikilas balik, seperti film sci-fi. Berkejar dengan waktu dan sumber daya. Namun bila di film sci-fi rasanya seru, yang ini rasanya tentu aja nggak ingin diulang lagi. Adrenaline rush karena asyik nonton film dan karena emang kepepet itu rasanya beda; dan yang kedua rasanya jauh lebih nggak enak.

 

Those are major global events. Perubahan dan kejadian global yang semua orang di dunia, tahu dan mengalami. Masuk sejarah? Oh tentu. Kejadian bombastisnya akan terekam. Lalu apa yang kita, orang-orang biasa, lakukan waktu itu? Kita bertahan hidup. We ‘just’ keep on living, trying to live. Nggak peduli apakah ini akan jadi kejadian sejarah, nggak peduli apa ini akan tercatat sejarah, yang penting (berjuang untuk tetap) hidup.

 

Sama halnya dengan sejarah yang “kok bisa kejadian ya?”. Ya… bisa.

Saat belajar sejarah Perang Dunia di bangku sekolah, atau pembantaian, atau pembunuhan, atau penjajahan, apalagi yang melibatkan hak hidup orang banyak banget, sempat terpikir, “Kok bisa, ya? Bunuhin orang segitu banyak, lho. Kok tega, ya? Kok nggak ada yang menyetop,” dan kok-kok yang lainnya. Akhir-akhir ini, jawaban itu mulai terlihat benang merahnya. Sesimpel: ya, bisa; ya, ada yang percaya itu untuk kebaikan; ya, nggak ada yang tegas menyetop karena politik.

 

Sama seperti mati dan tersiksanya banyak orang saat perang zaman duluuu, sekarang juga sama. Hanya saja pelaku dan lakonnya beda-beda. Sangat disayangkan. Teknologi udah maju, zaman udah berubah, sifat manusianya tetap sama.

 

Apa kata orang bijak? Those who don’t learn history are doomed to repeat it. Orang-orang yang tidak mempelajari sejarah akan mengulangi kejadian-kejadian buruk itu. Tapi, rasa-rasanya, orang-orang ini banyak yang belajar sejarah, bahkan mungkin sampai amat mendalam dan langsung dari sumbernya, tapi sejarah itu tetap berulang.

Reading Time:

Jumat, 10 November 2023

Kustbatterij Kedung Cowek, Bekas Benteng Belanda di Surabaya
November 10, 20230 Comments



 

Mendengar ada bekas benteng di Surabaya, telinga saya mencuat. Sekian lama tinggal di Kota Pahlawan, saya nggak pernah melihat langsung wujud benteng. Saya baru lihat yang namanya benteng justru saat berada di Yogyakarta, di Benteng Vredeburg. Padahal sebagai salah satu kota penting sejak zaman Belanda (bahkan sebelum Majapahit), harusnya Surabaya punya benteng, nggak sih?

 

Mungkin udah hancur nggak berbekas atau gimana, pikir saya waktu itu. Jadi saat baca sebuah laman berita bahwa ditemukan reruntuhan benteng bekas Belanda di pesisir utara Surabaya beberapa tahun lalu, saya tertarik. Pengin lihat, tapi (kalau nggak salah) aksesnya masih tertutup untuk umum saat itu. Sekarang, aset milik TNI itu sudah dibuka untuk umum.

 

[Disclaimer: tulisan ini memang dibuat dengan pengamatan lokasi dan merujuk referensi sejarah. Namun saya bukan ahli sejarah, sekadar penggemar, sehingga mungkin sekali kalau ada kesalahan/ketidakakuratan di tulisan ini karena saya keliru cari sumber atau salah interpretasi. Jadi soal sejarahnya silakan dicek kembali dan mohon maaf serta mohon masukan bila ada kekeliruan.]

 

Benteng Kedung Cowek (atau kustbatterij Kedoeng-Tjowek) dibangun Belanda di daerah Kedung Cowek pada awal abad 20. Tujuannya tentu buat pertahanan kota dari serangan arah laut. Yup, depan benteng ini langsung laut. Tepatnya Selat Madura. Pertahanan dari siapa? Dari musuh Belanda, tentunya.

 

Saat pecah Perang Dunia II dan Jepang merangsek ke Jawa, benteng ini jadi salah satu lini pertahanan pasukan Kerajaan Belanda meladeni armada Kekaisaran Jepang. Waktu PD II selesai dan Indonesia baru aja merdeka, benteng ini juga dipakai pejuang kita untuk menghalau tentara Sekutu yang balik ke Indonesia.

 


Benteng Kedung Cowek berbeda dengan umumnya benteng. Selama ini di bayangan saya, benteng itu semacam sistem tertutup. Dinding-dinding mengelilingi dan melindungi sebuah area di tengah. Ternyata enggak. Kalau dilihat-lihat, Benteng Kedung Cowek ini bentuknya seperti garis di sepanjang bibir pantai.

 

Bentuk ini nggak lepas dari fungsinya. Dalam bahasa Belanda, tempat ini namanya kustbatterij atau coast battery. Kantung pertahanan tepi laut. Jadi bentuknya memang bukan benteng melingkar, tapi kantung-kantung pertahanan di sepanjang lini.

 

Cuaca panas saat saya ‘main’ ke lokasi. Cuaca Surabaya memang terkenal sumuk, apalagi ini di tepi pantainya. Baru jam delapan, tapi keringat sudah siap menetes dari pelipis. Untungnya, makin mendekati lokasi benteng, ada banyak pohon-pohon tinggi. Pohon yang dirambati tumbuhan berbunga merah muda ini mengungkung dinding benteng. Bunga dan daun-daun hijaunya merambat ke dinding-dinding bercat putih/kuning yang usianya sudah seabad. Sekilas seperti enchanted castle di negeri dongeng.

 

Karena ia kustbatterij, maka dinding-dinding ini dibangun terpisah-pisah. Jadi total ada beberapa bangunan yang tak terhubung dan lokasinya terpisah-pisah. Ada dinding pertahanan, gudang amunisi, gudang diesel, dan beberapa bastion. Di bastion bundar, ada jejak semacam geretan. Seorang kenalan berkata kalau itu mungkin bekas jalur untuk meriam.

 

Benteng Kedung Cowek memang bukan tempat wisata. Mungkin, belum. Atau memang nggak difungsikan untuk itu. Dan mungkin karena baru ‘ditemukan’, kondisinya pun tampak seperti sesuatu yang baru disibak. Semak dan pohon di mana-mana. Namun, beberapa ruangan jelas telah dibersihkan dan dikosongkan sehingga kita bisa masuk.


 

Gimana di dalamnya?

Cukup luas, mungkin karena kosong melompong. Jendelanya tanpa pintu, mengantarkan cahaya dari matahari yang rasanya sedang bersinar tepat di atas kepala. Namun sisanya agak gelap. Dan seperti umumnya tempat yang nggak digunakan, pengap. Nggak kebayang dulu gimana para tentara berdiam di sini, sempit-sempitan, bau mesiu terbakar, dan memantapkan hati menghadapi pasukan musuh yang dar-der-dor dari arah laut.

 

[to be continued]

Next story: benteng Kedung Cowek dan perlawanan menghadapi pasukan Sekutu setelah kemerdekaan, Kedung Cowek masa kini



 Update! 

Versi lengkap cerita ini udah diunggah ulang di postingan berikut:

🔗

 

Kustbatterij Kedung Cowek, Bekas Benteng Belanda yang Tersisa di Surabaya - Hijaubiru 






Ref:
Giffari, R.A. dan K. Y. Soekardi. (2021). “Component analysis at Fort Kedung Cowek buildings in Surabaya, East Java: observation on panopticon concept.” International Review of Humanities Studies 6: 428-452.
Nuffida, N. I. (2018). Fragmented continuum concept Museum of Kedung Cowek fortification. [Final project, Institut Teknologi Sepuluh Nopember].






Reading Time:

Jumat, 03 November 2023

Panas dan Air
November 03, 20230 Comments


Mungkin karena belakangan ini cuaca panas nggak berhenti-berhenti meskipun harusnya udah masuk musim penghujan, saya jadi sering ngeluh soal panas-panasan ini. Seumur hidup kayaknya baru kali ini November belum hujan. Dan kayaknya baru kali ini ngerasain sumuk yang sepanas ini. Suhu lebih dari tiga puluh derajat setiap hari, lebih dari sebulan. 


Beberapa kali chatting dengan teman yang tinggal di lain daerah, kotanya juga belum hujan. Air PDAM sudah lama nggak ngalir.


Di tengah obrolan, dia melontarkan celetukan, "Semoga aja segera hujan, ya. Ini udah masuk musim tanam." Maksudnya adalah musim tanam padi. 


Saya mengiyakan. Saya kurang tahu soal musim tanam, hanya aja kalau dilogika, musim tanam padi emang di musim hujan karena petani butuh banyak air buat menggenangi sawah. Saya cuma iya-iya aja karena antara nggak paham dan ngerasa kalau hal itu nggak ngefek ke saya karena saya nggak nanam padi. Sampai dia mengatakan kalimat selanjutnya.


"Katanya cadangan beras kita cuma cukup buat beberapa bulan ke depan. Kalau nggak tanam sekarang, musim depan makannya gimana," teman saya melanjutkan.


Baru ketika itulah saya merasa, 'Oh iya, ya.'

Hal yang tadinya saya kira nggak ngefek, ternyata secara nggak langsung berefek juga ke saya.

Kadang manusia emang gitu. Baru ngerasa kalau hidupnya berpotensi terganggu. Saya salah satunya.


Tentang kebenaran cadangan makanan ini pun saya kurang tahu valid/enggak. Poinnya adalah: ternyata kemarau berkelanjutan ini nggak cuma soal sumuk setiap hari atau kulit terpanggang matahari. Ada hal-hal besar lain yang ikut terpengaruh. Ketersediaan air salah satunya.


Bahkan dalam kondisi 'baik-baik aja', ketersediaan air di negara kita masih meresahkan. Nggak semua pemukiman punya akses yang mudah ke air bersih. Ini hanya ngomongin air bersih non-konsumsi. Kalau air bersih untuk konsumsi, bahkan di kota-kota metropolitan aja belum tersedia. Perusahaan pemerintah yang seyogyanya menyediakan air minum baru mampu mengolah air menjadi air bersih saja sehingga banyak orang beralih mengonsumsi air galon. 


Dengan cuaca yang makin panas dan nggak beraturan, akibat dari pemanasan global, ketersediaan air jadi suatu masalah karena air bersih makin sulit didapatkan. Di desa, mata airnya bisa aja kering. Di kota, dengan sungai yang kebersihannya nggak bisa diharapkan, air bersih untuk minum didatangkan dari desa-desa. Kalau sumbernya aja nggak ngalir atau debitnya sedikit, terus gimana? Masyarakat desa jadi bersaing dengan perusahaan penyedia air, sedangkan masyarakat kota bisa aja kekurangan suplai air.


Ini baru ngomongin air minum dan air konsumsi rumah tangga. Belum lagi dalam skala yang lebih besar, misalnya tadi: air untuk pengairan tumbuhan pangan. Tanpa air, bisa jadi hasil panen jelek atau gagal panen. Kalau udah kayak gitu, manusia sendiri yang susah dapat makan.


Selain pertanian, bidang industri juga kena efek. Mesin industri kan pasti butuh air. Pun kalau seandainya mesinnya nggak pakai air, perusahaan tetap butuh air entah untuk sanitasi atau untuk kebutuhan karyawan. Kalau industri tersendat, produknya juga tersendat. Akhirnya sampai ke konsumen juga tersendat dan terbatas. 


Itu baru dari segi kebutuhan manusia. Belum lagi soal keseimbangan alam. Satu-dua bulan lalu, saya lihat berita bahwa terjadi badai pasir di salah satu pegunungan tinggi di Jawa Timur. Di gunung! Badai pasir? Ternyata memang iya. Mungkin karena hawa panas tabrakan dengan hawa dingin, kemudian tanahnya kering banget, makanya debunya beterbangan. Sebulan sebelum kejadian, waktu saya lewat daerah itu, tanahnya memang kering. Jalan dipenuhi debu kuning. Masker yang menutupi muka saya sampai bersaput kuning karena pasir. Kalau tanahnya nggak kering, mungkin nggak terjadi badai pasir tapi angin ribut 'saja'. Meski angin ribut ini mungkin juga nggak akan terjadi kalau cuaca nggak seekstrem ini.


Dengar-dengar, kita udah bukan di zaman global warming lagi, tapi udah hampir masuk di global boiling. Saya nggak kebayang aja kalau cuacanya lebih panas atau lebih ekstrem dari ini. Lha wong kemarin-kemarin aja di negara empat musim udah sering heatwave dan badai salju. Kalau masuk global boiling apa nggak lebih ekstrem?


Alamnya, saya rasa, pasti akan bisa beradaptasi apa pun kondisi yang terjadi. Sebab alam akan selalu bergeser ke kondisi seimbang secara otomatis (meski tentu pergeseran ini akan mengorbankan makhluk-makhluk hidup yang tidak bisa bertahan, tapi hasil akhirnya adalah alam selalu 'seimbang', seperti yang sudah-sudah). Hewan dan tumbuhan akan mengikuti pergeseran ini. Tinggal kita, manusia, yang bisa bertahan atau enggak. 


Yah... apa pun itu, pemanasan global yang dulu 'cuma' kita pelajari teorinya di sekolah, kini semakin terasa dampaknya. Dan semoga ke depannya bisa berkurang atau, paling nggak, melambat signifikan. Kebutuhan dasar aja sekarang makin sulit terkejar. Tanah tempat tinggal, harganya sudah nggak masuk akal. Air bersih, aksesnya belum semua dapat kemudahan. Pangan, bisa jadi rebutan. Apalagi kalau perubahan iklim jadi makin-makin, nggak tahu seberapa banyak lagi yang harus ketat kita perjuangkan?



==========

Disclaimer: Photo by Leo Rivas on Unsplash


Reading Time:

Jumat, 20 Oktober 2023

Mematikan Lilin
Oktober 20, 20231 Comments


Di lingkungan sekitar rumah, ada banyak kucing liar. Kucing-kucing ini emang biasa keluar-masuk halaman rumah orang, termasuk numpang tiduran atau main sebentar. Para warga pun nggak masalah. Kadang mereka malah dikasih makan atau diajak main. Masalahnya baru kalau pada ribut berantem atau BAB/BAK sembarangan. Kalau itu, barulah hewan-hewan berbulu ini dibubarkan supaya nggak mengganggu ketenteraman publik.

 

Dari sekian banyak kucing yang seliweran dan main ke tempat tinggal saya, ada satu yang rutin ‘bertamu’. Sebut aja namanya si Putih. Selain paling sering bertamu, dia juga yang paling sering ngendon di depan rumah. Kalau yang lain leyeh-leyeh beberapa jam aja, dia bisa ngendon sejak pagi sampai sore, kadang sampai malam. Dan, di antara yang lainnya, si Putih ini yang paling manja. Baruuu aja kami buka pintu, dia udah ngeong-ngeong. Minta dipuk-puk lah, minta dikasih makan lah, terus gelendotan di sekitar kaki lah.

 

Sebenarnya mau bermanja-manja juga nggak apa-apa. Toh, semua kucing kami perlakukan sama dan setara (ceilah!): sama-sama dielus-elus, sama-sama diajak main, saat kasih jajan dan adanya sedikit ya semua dikasih sedikit/ada banyak ya semua dikasih banyak, kalo reseh ya semuanya kena marah.

 

Masalah muncul kira-kira dua minggu belakangan.

Saat itu, ada beberapa anak kucing/kitten yang muncul di kampung. Nggak kecil-kecil banget, sih, udah agak gede dan kelihatannya udah bisa eksplor sekitar/cari makan sendiri. Entahlah ini ada induk yang baru nyapih anaknya atau (seperti desas-desus tetangga) ada orang yang buang kucing.

 

Nah, salah satu kitten ini ada yang main ke rumah. Awalnya kayaknya nyasar karena masih takut-takut; timid sekali. Setelah diajak main, dia mulai berani dekat-dekat. Ini anak lucu banget! Mari kita sebut si Belang. Si Belang memang nggak terlalu gembul kayak anak kucing di video-video viral, tapi raut mukanya… polos.

 

Adik imut ini anteng dan penurut. Maksudnya nggak reseh dan clingy gitu. Mana ada satu kejadian yang bikin terharu: ketika dia main di jalan depan, kemudian saya yang nggak sengaja ngelihat keluar ngelihat dia, lalu saya panggil, kemudian dia yang sebelumnya nampak jalan sambil plonga-plongo ngelihatin sekitar langsung lari-lari kecil menghampiri saya sambil ngeong pelan lalu merem-melek saat saya puk-puk. Duh, melting saya…. Ini anak imut sekali! Mana suaranya kalau ngeong tuh pelaaan banget. Siapa yang nggak gemes, coba! Tampak plonga-plongo belum tahu kejamnya dunia dan tanpa dosa.

 

Sedihnya, dia akan segera tahu kejamnya dunia. Hiks.

Dan ‘kekejaman’ itu berasal dari si Putih.

 

Awalnya saya kira semua fine aja. Dengar-dengar kucing itu hewan teritorial alias punya daerah kekuasaan sendiri-sendiri. Tapi ngelihat kucing-kucing yang selama ini mampir rumah dan oke-oke wae, saya kira hubungan mereka pun baik-baik aja. Toh biasanya nampak si Putih dan 1-2 kucing lain goleran bareng di teras dalam jarak dekat. Dan nggak berantem. Jadi saya pikir si Putih cukup welcome.

 

Nope.

 

Kali kedua si Belang bertandang, si Putih emang tampak penasaran. Mereka saling mengendus (kenalan kali, ya?). Lalu si Belang lari menjauh. Pikir saya, ‘Oh mungkin karena anak baru, masih takut-takut’. Pertemuan selanjutnya agak dramatis. Setelah si Putih mengendus si Belang, dia nabok si kecil! Ya ampun. Kami refleks berseru, “Heh, nggak boleh!” Namun si Belang udah keburu lari. Waktu itu kami masih berprasangka baik: kali aja si Putih cuma gemes. Nah, kali ketigalah yang bikin patah hati dan pengin ngamuk.

 

Saat itu kurang lebih semingguan sejak kemunculan si Belang. Sore itu, saya lagi duduk di depan rumah. Seperti biasa, si Putih sudah nyamperin dari tadi dan kini sedang tiduran santai setelah dikasih jajan. Nah, waktu saya berbalik, eh ada si Belang muncul! Dia ngeong pelan.

 

Saya berjongkok, mengelusnya sebentar. “Sebentar ya, kuambilin makan,” ujar saya sambil berbalik mau masuk rumah.

 

Eh lho, kok si Putih yang tadinya dua meteran dari kami, kini sudah di sebelah kaki saya.

Perasaan saya mulai nggak enak.

 

Si Putih mendekati si Belang, berusaha mengendus. Si adik kecil mundur beberapa langkah, tampak ragu.

“Adik nggak apa-apa, sini aja,” kata saya pada si Belang sambil menghalangi si Putih.

 

Si Putih mendekat lagi, yang langsung saya dorong menjauh dengan kaki (takut kecakar euy kalau pakai tangan/langsung gendong). Entah imajinasi atau bukan, rasanya dengar suara mendesis pelan. Hissing? Saya yang tadi berdiri di samping si Putih kini berpindah ke depannya, supaya ini kucing gede nggak nabok si adik kecil kayak kemarin. Nggak lupa tetap ngedorong si Putih menjauh. Saya juga minta bantuan ibu buat menarik perhatian si Belang supaya dia menjauh sebentar.

 

Kejadian selanjutnya berlangsung dalam hitungan detik. Wussh! Si Putih tiba-tiba melompati kaki saya dan mendarat di tempat si Belang tadi duduk. Sepersekian detik sebelumnya, si Belang mundur menjauh. Kaki kecilnya cukup lincah menghindari serangan rupanya. Pada titik ini, si Putih udah nggak hissing lagi tapi udah ngeong-ngeong marah, macam orang ngomel.

 

“Heh, nggak boleh!!! Itu masih anak kecil!” seru saya tertahan.

 

Si Putih malah mengejar. Kali ini si Belang sudah lari dan sembunyi di kolong. Tetap sambil ngomel, si Putih merangsek ke kolong, mengikuti terus si adik kecil yang sudah merelakan tidak makan malam hari itu.

 

Saya nggak ngelihat gimana pertengkaran mereka di dalam kolong. Cuma sebentar saya dengar si Putih marah-marah kenceng banget dan terus mengejar si Belang. Seakan nggak rela. Mungkin dia ngomel, “Ini daerahku! Tempatku makan dan tiduran. Kamu anak baru nggak usah ke sini, cari tempat lain!”

 

Waktu saya nunduk lihat kolong, sekilas saya lihat si Belang merapatkan badan. Gesturnya seperti meringkuk di pojokan dengan berkata, “Aku cuma pengin main dan jajan, Kak. Aku nggak akan ngerebut apa-apa….”

 

Sepersekian detik kemudian, si Putih lari macam ngejar prajurit musuh. Badan putihnya cepat melintasi kolong, keluar pagar, menuju jalanan. Sekelebat saya lihat warna abu-abu kecil juga tunggang-langgang ke jalanan depan rumah karena dikejar. Si Putih teriak-teriak kencang. Dia kejar si Belang sampai ke 2-3 rumah sebelah dan masih ngeong kenceng banget sampai tetangga yang lagi nongkrong juga kaget. Sesaat terdengar suara grubak-grubuk. Mungkin itu suara si Belang grubak-grubuk cari persembunyian supaya nggak terjangkau.

 

Suara cempreng si Putih baru berhenti setelah beberapa detik. Kemudian, semua tenang. Seakan nggak terjadi apa-apa. Tinggal saya, keluarga, dan para tetangga yang masih tercengang akan kejadian barusan. Belum mampu mencerna.

“Lapo iku mau? Tukaran?” Terdengar suara tetangga yang depan rumahnya dilewati saat ‘peristiwa pengejaran’. Ya gimana, peristiwa pengusiran di atas terjadi hanya dalam hitungan detik!

 

Eh, ketika saya masih berdiri terpaku dan mau buka pagar buat nyari si Belang, si Putih dengan santainya melenggang kembali rumah kami. Dia berusaha mendekat.

 

“Nggak mau! Kamu jahat! Nggak usah dekat-dekat!” kata saya yang udah sadar dari syok. Perlahan saya jauhi pagar, urung mencari si Belang karena diadang si Putih. “Kamu jahat sama anak kecil!”

 

Mengingat kucing yang teritorial, kami paham mungkin si Putih merasa keberadaan si Belang mengancam dirinya. Tapi, kenapa sama si Belang aja, sama kucing lain enggak? Ada kucing lain di depan rumah pun dia santuy aja. Apa karena Belang anak baru? Atau karena Belang anak kecil, jadi mudah diintimidasi?

 

Yah, apa pun itu, jelasnya si Putih mungkin cemburu. Atau iri. Takut jatah perhatian dan jajannya berkurang.

 

Ya ampun, kenapa dah. Sama anak kecil, juga. Masa nggak ada kasihannya? Dia, kan, juga kucing jalanan yang susah cari makan. Masa nggak ada empatinya pada sesama (ke anak kecil, lagi!) yang juga cari rezeki? Toh, meski ada si Belang, si Putih tetap diberi makan dengan porsi seperti biasanya. Malah porsi makan si Belang jauh lebih sedikit (mungkin karena masih bocil, porsi makannya juga kecil).

 


Mematikan Lilin

Sejak kejadian itu, saya dan orang rumah jadi jaga jarak dengan si Putih. Jarang elus-elus, jarang kasih jajan, jarang ajak main. Ya masih, tapi nggak sesering dulu; nggak seramah dulu. Selain karena sebal dia ngusir Belang, kami juga ngebiasaain si Putih supaya nggak terlalu tergantung atau merasa “the only one”. Supaya nggak merasa, “Pokoknya di sini yang boleh diperlakukan baik cuma aku! Yang lain minggir!”

 

Mana rasanya si Putih jadi lebih clingy. Ngeongnya lebih kenceng, ndusel-nya jadi lebih ndusel. Kalau kata ibu, “Gara-gara kejadian kemarin, dia jadi minta diperhatikan, pengin diyakinkan kalau dia masih disayang.”

 

Meski ada si Belang juga kemarin dia tetap disayang. Coba nggak gaplokin Belang, mungkin sekarang akan tetap disayang.

 

Drama perkucingan itu keingat sampai hari ini. Masih nggak tega aja kalau keingat si kecil yang harus berjuang sendiri, terus ditabok dan dikejar kayak kriminal sampai harus lari tunggang-langgang. Padahal yang ‘kriminal’ kan kucing dewasa yang ‘ngehajar’ kucing kecil, kan, ya? Tahu, sih, dunia hewan memang pakai hukum rimba, tapi tetap aja nggak tega. Apalagi sama anak kecil kayak gitu.

 

Saya jadi teringat sebuah kutipan:

Nggak perlu mematikan lilin orang lain untuk membuat lilin kita menyala lebih terang.

Nggak perlu mematikan kebahagiaan orang lain untuk membuat kita jadi lebih bahagia. Pun soal rezeki. Fine, lilin itu akan tampak seolah-olah jadi lebih terang karena nggak ada lilin lain. Namun, kalau dihitung intensitas cahayanya, sebenarnya nggak ada perubahan.

 

Itu kan kebahagiaan, gimana kalau rezeki? Konsepnya mirip. Okelah kalau harta dan semacamnya mungkin akan jadi lebih banyak. Tapi, kan, ini ngomongin rezeki yang artinya nggak hanya harta, tapi juga kesehatan, berkah, ketenangan, dsb.

 

Kalau dari kejadian si Putih vs Belang ini, berasa si Putih matiin ‘lilinnya’ sendiri. Dengan ngusir si Belang, mungkin dia merasa ancamannya nggak ada. ‘Cahaya lilinnya’ seakan lebih terang karena nggak ada ‘lilin’ lain; milik si Belang. Namun efeknya adalah perhatian dan porsi jajan dia justru berkurang karena kami—salah satu pemberi jajan dan teman mainnya—telanjur kesal.

 

Mungkin, sama aja dengan ‘lilin’ kebahagiaan manusia. Memadamkan kebahagiaan orang lain nggak akan menambah kebahagiaan diri sendiri. (Plus, berbuat nggak baik akan selalu punya konsekuensi, sooner or later). Kebahagiaan/rezeki yang ‘mati’ tadi nggak otomatis berubah haluan menjadi milik kita, tapi bisa aja malah jadi milik orang lain lagi, kan?

 

Tentu aja kutipan di atas nggak berlaku dalam beberapa kasus; (pasti) ada beberapa pengecualian. Namun, poinnya adalah keegoisan dan rasa iri berlebihan yang sampai ngerusak atau ganggu hidup orang lain akan ‘balik’ ngerusak diri sendiri. Ya kayak cerita si Putih tadi.


Sejak saat itu, si Belang nggak pernah kelihatan. Sesaat setelah kejadian, sempat lihat dia digendong anak kecil yang tinggal di blok tetangga. Entah kemudian dia dipiara anak itu atau diajak main ke bloknya sehingga nggak pernah lewat depan rumah kami lagi. 

 

Duh, Belang, semoga nasibmu lebih baik sekarang. Sampai kita ketemu lagi, ya  :’)

 


=====


 

Anyway jadi ingat salah satu adegan di sebuah komik. Ada pasangan, sebut aja A dan B. Namun ada sosok C‍👧 yang suka B👨. Udahlah si C ngefitnah A dan sebagainya sehingga reputasi A jelek banget dan hubungannya dengan B jadi renggang. 

‍👧: “A jelek dan jahat banget, kan. Udahlah kamu nggak usah sama dia.”

👨: (menatap tajam) “Meski udah nggak sama A, kamu pikir aku jadi mau sama kamu?”

 


Reading Time:

Minggu, 15 Oktober 2023

Panas dan Aroma
Oktober 15, 20231 Comments


Berulang kali, pengharum ruangan dengan aroma pinus segar itu saya raba. Kening saya berkerut, berusaha mengingat-ingat kapan pengharum yang terpasang di kipas angin itu diganti. Perasaan belum ada tiga minggu, deh. Kenapa udah kecil banget gini?

 

Namun, saya segera ingat: dua minggu belakangan, kipas itu memang hampir selalu berputar. Lebih dari dua belas jam per hari, tujuh hari per minggu. Ya gimana pengharumnya nggak cepat habis, lha ketiup angin kipas terus. Padahal biasanya itu kipas nggak pernah nyala selama itu, yang artinya pengharumnya juga nggak secepat itu habisnya.

 

Yah… gimana lagi. Rasanya udah lebih dari sebulan terakhir, penggunaan mesin berpendingin macam kipas, AC, dan kawan-kawannya meningkat. Di mana-mana. Di banyak kota, hawa panas bagai tak terbendung. Di luar ruangan, panasnya terik membakar. Di dalam ruangan, panasnya pengap memenuhi seluruh penjuru. Di luar bak digoreng, di dalam bak diungkep.

 

Kabarnya panas yang nggak umum ini adalah efek perubahan iklim, yang merupakan akibat  pemanasan global yang makin nggak terbendung. Kabarnya lagi, ini belum seberapa. Efeknya bisa aja lebih parah dari ini beberapa tahun ke depan, kalau nggak keburu dicegah.

 

Cuaca yang nggak menentu dan suhu yang makin fluktuatif—termasuk cuaca panas banget macam sekarang ini—adalah dua dari deretan efek climate change. Hal ini udah banyak memantik perhatian orang, termasuk saya. Namun, ada satu lagi efeknya yang turut memantik penasaran saya: tentang aroma/bau.

 

Saya lupa dari website mana, dulu sempat ada artikel yang menyatakan bahwa seiring dengan makin panasnya bumi, maka aroma (khususnya yang wangi) akan semakin sulit tercium. Waktu kejadian pengharum ruangan habis tadi, saya langsung teringat pernyataan ini. Memang kurang berhubungan sebab kemungkinan besar pengharum ruangan saya cepat habis karena angin, bukan karena panas. Hanya membuka ingatan tentang pembahasan aroma ini aja.

 

Kok bisa aroma jadi kurang tercium saat suhu meningkat?

Aroma, termasuk wewangian, tersusun dari beragam molekul. Yang namanya molekul, susunan atomnya dipengaruhi banyak hal, termasuk suhu. Ketika suhu udara naik, ia bisa ngerusak susunan molekul ini. Akibatnya? Molekul pun jadi rusak. Molekul yang rusak menjadi nggak/kurang wangi. Itulah sebabnya beberapa minyak aromaterapi atau parfum yang penyimpanannya harus dihindarkan dari sinar matahari langsung: supaya manfaat/wanginya terjaga. Makanya sampai ada baju yang ‘beraroma matahari’, karena dijemur saat cuaca panas banget atau kena sinar matahari langsung. Beda aroma dengan baju yang dijemur dalam ruangan atau saat cuaca mendung, misalnya.

 

Sekilas, perkara wewangian ini seperti nggak terlalu penting dibandingkan dengan efek negatif climate change lainnya. Kalau parfum kurang wangi, sintesislah yang lebih wangi; kalau baju yang dijemur jadi kurang wangi, sintesislah pewangi pakaian yang lebih kuat; bila pengharum ruangan aromanya kurang mantap, sintesislah yang wanginya lebih mantap. Chemically, possible. Namun, efeknya lebih dari itu. Gimana dengan proses alamiah yang memanfaatkan aroma?

 

Salah satu contohnya adalah penyerbukan bunga. Ada penyerbukan yang memanfaatkan aroma harum bunga untuk menarik penyerbuknya. Jika aromanya jadi kurang wangi sehingga kurang tercium oleh hewan penyerbuk, maka penyerbukan nggak bisa terjadi. Bila ini terjadi di tanaman pangan, maka tanaman tersebut nggak bisa berbuah sehingga nggak bisa dipanen sehingga makanan untuk manusia berkurang. Pun bila ini terjadi di tumbuhan hutan yang buahnya dikonsumsi hewan hutan. Untuk tumbuhannya sendiri, bisa jadi alamat buruk jika ia berkembang biak dengan biji. Nggak diserbuki = nggak ada buah dan biji = nggak bisa tumbuh baru lagi.

 

Selain aroma wangi yang enak, kenaikan suhu juga mempengaruhi bau yang nggak enak. Apa kemudian bau nggak enak juga berkurang karena molekulnya rusak? Bisa jadi. Namun, ada pula bau nggak enak yang aromanya justru menguat karena (1) semakin diproduksi oleh mikroba yang ‘suka’ suhu yang menghangat, atau (2) aroma wangi tadi rusak oleh suhu dan menghasilkan molekul baru yang aromanya nggak enak.

 

Persoalan aroma dan wewangian ini nggak sekadar terjadi pada benda yang fungsinya mengharumkan—seperti parfum/pewangi ruangan dan baju—aja. Bisa juga berefek ke bau sampah misalnya, atau bau ruangan, dan segalanya yang memiliki aroma. Ini baru soal aroma, belum poin-poin lainnya.

 

Ya… intinya, perubahan iklim secara ekstrem selain bikin nggak bisa hidup, juga bikin hidup nggak nyaman dalam prosesnya. Semoga aja di tahun-tahun ke depan bisa benar-benar dikurangi, kita semua—seluruh manusia bumi dan pihak-pihak yang terlibat—kurangi.






Edited on Oct 21

==========

Picture by Trarete on Pexels

Reading Time:

Kamis, 28 September 2023

Hari Pariwisata
September 28, 20230 Comments



Kemarin, 27 September, adalah Hari Pariwisata Sedunia. World Tourism Day.

Saya nggak akan tahu bahwa ada hari pariwisata yang diperingati secara global kalau bukan dari majalah. Tahun lalu, ada satu tajuk di majalah National Geographic yang bikin saya tertarik sampai pengin beli edisi itu. Topiknya jauh dari bidang pariwisata.

 

Kala itu saya masih maju-mundur mau beli. Namun begitu tahu kalau edisi itu berbonus satu eksemplar majalah NatGeo lainnya, rasa ragu itu terhapus habis! Hehe. Eksemplar bonusan inilah yang mengangkat topik pariwisata. Lebih tepatnya, mengangkat destinasi-destinasi wisata terbaik di Indonesia bertepatan dengan Hari Pariwisata Sedunia sekaligus usaha membangkitkan sektor wisata yang sempat terpuruk akibat Covid-19.

 

Emang pada dasarnya suka jalan-jalan. Dapat majalah bonusan soal travelling, ya langsung hijaulah ini mata, hahaha. Edisi bonusan itu pun berakhir saya baca duluan daripada edisi ‘aslinya’.

 

Balik ke soal pariwisata. Sebagai orang yang gemar pelesiran, tempat-tempat cantik atau unik memang jadi salah dua faktor yang bikin saya pengin berkunjung ke sana. Atau, nggak perlu cantik atau unik, tapi punya cerita tersendiri. Kadang, nggak ada faktor apa-apa. Sekadar pengin menuntaskan rasa ingin tahu aja. Tempat yang dituju pun nggak selalu tourism spots, bisa jadi lahan pinggir jalan atau waduk dekat rumah. Intinya, yang bisa bikin refreshed dan senang.

 

Dalam beberapa perjalanan, tentu nggak hanya rasa senang yang didapat. Kadang ada juga nggak enaknya, ada missed-nya, ada kelirunya, ada berantemnya, dan pengalaman-pengalaman nggak enak lainnya. Namun, menurut saya itulah yang bikin perjalanan jadi lebih berwarna. Asal nggak sampai fatal atau membahayakan sekali bagi diri maupun orang lain.

 

Pemahaman tentang ‘warna-warni’ perjalanan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh teman dan senior Pecinta Alam. Merekalah yang ngajarin (dan ngajakin) bahwa berkegiatan di alam bebas seperti naik gunung, naik tebing, dsb, nggak cuma senang-senang. Tentu ada senangnya. Namun ada juga persiapan keberangkatan yang cukup serius. Ada pula manajemen risiko dan manajemen konflik.  Selain di alam, berkunjung ke tempat-tempat bersejarah juga mengajari hal itu. Gedung, jalan, atau barang yang sekilas kelihatan sederhana tanpa makna ternyata menyimpan kisah panjang yang kadang lebih panjang dari sejarah kota tempat dia berdiri.

 

Saya kira yang namanya ‘cerita di balik perjalanan’ sudah cukup dalam sampai di situ.

Saya salah.

‘Ceritanya’ ternyata jauh lebih dalam dan luas.

 

‘Cerita’ ini baru saya sadari saat menghadiri seminar oleh Jurusan Pariwisata. Sebelumnya saya mengira bahwa sektor pariwisata, setidaknya dari kacamata wisatawan, berkutat dengan hal-hal yang disebut di atas. Mungkin ditambah dengan hal-hal seperti kelestarian/kebersihan tempat wisata, pengelolaan yang baik, penentuan harga tiket, pelayanan untuk wisatawan dan penghargaan untuk pengelola dan warga lokal. Nah ternyata… hal-hal ini masih bisa dikulik lebih rinci lagi. Dan semakin dikulik, maka kelihatan makin kompleks melibatkan banyak faktor dan banyak sektor: baik dari segi sosial humaniora maupun dari segi sains dan teknologi.

 

Misalnya, hubungan pengelola dan warga lokal. Seminar di Jurusan Pariwisata tadi bikin saya melek bahwa nggak semua warga lokal diuntungkan dengan adanya tempat wisata. Bisa aja yang untung hanya pengelola, yang nggak jarang bukan warga lokal tapi warga kota yang jauh lokasinya. Warga lokal bisa jadi tidak dilibatkan atau dilibatkan sekadarnya saja, itu pun di level terendah. Nggak semua, tapi ada. Katanya, yang bagus ya yang warga lokalnya berpartisipasi aktif sekaligus dapat manfaat positif dan tempat wisatanya bisa bertahan lama dengan baik.

 

Itu baru satu. Contoh lainnya adalah fenomena banyaknya pungli yang muncul karena banyak faktor: tingkat ekonomi yang kurang makmur, peraturan yang tidak jelas, ketiadaan ketegasan pemerintah setempat, dsb. Belum lagi soal keramahan/ketidakramahan yang berakar dari budaya setempat, perilaku wisatawan baik yang positif/negatif dan memicu respons/fenomena/masalah baru, dsb.

 

Bahkan tentang wisata yang viral kemudian dipasangi tanda atau bangunan warna-warni yang mencolok aja bisa ada bahasannya sendiri. Dan bahasannya multidimensi.

 

Fenomena-fenomena ini pula yang pernah dibahas di postingan ini  dan bikin bergumam pelan, “Oh… ternyata gitu. Susah, ya.”

 

(Kalau pengin tahu tentang hal ini tapi dikemas dengan cukup ringan, mungkin bisa baca buku/blog travel writing-nya Agustinus Wibowo. Ada beberapa bagian yang ngebahas soal itu.)

 

Dari mereka-mereka inilah kemudian pandangan saya tentang pariwisata jadi bergeser. Kalau dulu mikirnya jalan-jalan asal hati senang, dapat foto bagus, dan nggak ngerusak lingkungan, kini mungkin jadi ‘rada mikir’. Dari sikap saya akui memang nggak banyak perubahan, meski sedikit mengetahui latar belakang lokasi dan hidup warlok jadi sesuatu yang cukup membantu untuk ‘mengalami lebih dekat’ dan memaklumi hal-hal asing atau nggak mengenakkan yang terjadi selama perjalanan.

 

Yang agak berubah mungkin dari segi tulisan. Kalau dulu hanya ngomongin rute atau itinerary dan banyak keindahan lokasi, sekarang sebisa mungkin disisipi kisah lain. Entah sejarah, cerita orang, dsb. Kenapa? Supaya nggak hanya fokus di keindahan aja. Kalau cuma spot-spot cantik atau viral, then what? Hanya foto, ‘mengambil’ keindahan, lalu apa? Ini adalah saran dari beberapa travel writer saat webinar. Kisah selain keindahan dan rute mampu memberi lebih banyak arti untuk sebuah lokasi. Jadi titik beratnya nggak hanya di keindahan lokasi. Pengunjung jadi nggak terpaku di kecantikan tempat/bangunan semata. Mereka pun jadi tahu bahwa ada cerita yang lebih dalam sehingga diharapkan tumbuh empati untuk turut peduli pada keberlanjutan tempat wisata itu.

Sesimpel, mungkin,

“Eh ini bangunan/barang dari ratusan tahun lalu, lho. Jangan sembarangan utak-atik/megang, sayang kalau udah lama terus rusak.”

“Eh ini tempatnya dilindungi kelestariannya, lho. Nggak boleh seenaknya metik-metik tumbuhan. Jangan buang sampah sembarangan.”

“Eh nggak boleh kasar sama pengelola/warlok. Meski kita udah bayar, tapi merekalah yang sebenarnya punya tempat ini. Kita ini tamu.”

 

Sehingga, ke depannya diharapkan kepedulian yang timbul makin besar. Kepedulian yang berdampak baik bagi tempat wisata, warga lokal, pengelolanya, lingkungan/alamnya, dan wisatawannya. Untuk semuanya.





=====

Picture by Freepik

Reading Time:

Jumat, 22 September 2023

Buah Berry
September 22, 20230 Comments

 

Di antara jenis-jenis beri di bawah ini, familiar sama yang mana:

strawberry, blueberry, blackberry, raspberry, arbei?

Gimana dengan mulberry, cloudberry, juneberry, dewberry, gooseberry (yang nggak ada hubungannya dengan angsa), atau wineberry (yang juga nggak ada hubungannya dengan wine), pernah dengar juga?

 

Kalau jawabannya enggak; wajar. Sebab nama dan jenis beri ternyata macam-macam. Dan, beri-beri ini nggak tumbuh di Indonesia sehingga nggak aneh kalau  nggak pernah dengar. Bahkan orang yang dengar/tahu pun, mungkin cuma ngelihat dari dunia maya atau ngelihat buah impor yang dijual di swalayan, bukan sepohonnya. Ada yang nggak impor sih, seperti stroberi, tapi sepertinya yang lebih gampang ditemukan di swalayan cuma stroberi dan blueberry, ya? Kadang ada mulberry (murbei/arbei).

 

Beri-beri itu memang nggak tumbuh di sini. Yang tumbuh dan marak dibudidayakan di sini pun baru stroberi. Mulberry, meski sejak dulu sudah banyak, kayaknya kurang diminati. Akhirnya kalau kita mau makan beri ‘non-lokal’, ya harus impor. Lha gimana, di sini nggak bisa tumbuh. Bisa pun, susah berbunga-berbuah. Kalau ‘dipaksa’ mungkin bisa, entah diintensifkan perawatannya atau gimana. Namun tentu butuh tenaga dan biaya yang nggak sedikit. Kadang, nggak sebanding cost sama hasilnya.

 

(Jadi menurut saya kurang tepat kalau ada yang bilang “semua bisa tumbuh baik di Indonesia”. Ya bisa, tapi sekadar tumbuh/hidup aja, nggak makmur sampai bunga/berbuah)

 

Itulah sebabnya kenapa kadang beri-beri impor di swalayan harganya lumayan. Ngirim dari luar negeri aja udah kena biaya lebih, apalagi kalau barang fresh macam buah-sayur yang gampang busuk. Handling-nya tentu lebih ribet.

 

Dengan harga nggak murah pun kadang berinya kecil-kecil. Saya pernah nemu blueberry seukuran kelingking, padahal di negara empat musim versi murahannya di pasar bisa seukuran jempol. Ya… itu tadi, balik ke harga-handling-dsb.

 

Balik ke jenis-jenis beri. Saya baru tahu kalau beri ini jenisnya buanyaaak baru beberapa tahun belakangan. Itu pun karena cari-cari soal foraging atau survival botani di Indonesia. Singkat cerita, saya dan teman-teman sering nemu beri liar di hutan, saat hiking. Bentuknya ya itu-itu aja. Yang ini sering disebut arbei hutan. Penasaran, saya browsing buah-buahan hutan lainnya yang aman dimakan. Pikir saya, dengan Indonesia yang kaya biodiversitas gini, pasti banyak dong tumbuhan liar yang bisa dimakan manusia.

 

Sayang, handbook yang dicari nggak kunjung ketemu. Ada field guide, tapi semuanya untuk negara empat musim. Padahal tumbuhan di Indonesia, kan, beda banget. Ya sudah, saya tetap lihat-lihat karena bukunya menarik. Dari situlah kemudian saya tahu bahwa ada banyaaak sekali jenis beri. Bahkan arbei hutan yang biasa kami temukan pun ternyata jenisnya beda-beda. Sekilas memang nggak kelihatan. Baru ketahuan kalau dilihat secara jeli.

 

Dari situlah saya ‘kenalan’ dengan beri-beri asing yang belum pernah saya lihat dan makan sebelumnya: wineberry, gooseberry, cloudberry, dsb. Beri-beri ini nggak cuma tumbuh liar, tapi banyak di antaranya yang umum ditanam, dimakan, dan diperjualbelikan di negara subtropis sana.

 

Gara-gara jenis yang beraneka macam ini pula saya jadi bertanya-tanya kalau nemu arbei liar. “Apa ini betul jenis arbei? Hm… kayak raspberry. Tapi kalau dilihat lagi, mirip cloudberry. Jadi… ini apa?” Seperti waktu nemu beri di bawah ini.


Buah beri di pinggir jalur pendakian G. Lawu. Daun-daunnya menggulung kering, tapi buahnya merah kelihatan segar. Ini beri jenis apa, ya?
 

Mungkin kadang cukup disebut “beri” atau “beri liar” aja, hehe. Apalagi yang bentuknya mirip-mirip arbei hutan. Secara umum yang bentuknya (dan bentuk tumbuhannya) seperti itu aman dikonsumsi manusia (*CMIIW!). Kalau beri liar lain yang kurang umum, perlu dicek lagi edible atau inedible for human. Sebab kadang, dimakan hewan lain aman-aman aja, tapi bahaya buat kita.


Saya pernah berandai-andai, “Kalau aja di sini banyak buah beri kayak di negara empat musim atau di film/kartun petualangan.”

Tapi ya gimana lagi, iklimnya nggak cocok. Lagipula di sini jenis buah-buahan, meski bukan beri, juga banyak. Di sini mungkin nggak ada gooseberry, wineberry, dsb, tapi ada mangga, kelengkeng, sirsat, dan banyak lainnya. Dan karena lumrah, maka buah-buah ini harganya murah. Dua puluh ribu bisa dapat sekresek, seperti orang asing yang juga dapat beri sekresek dengan harga murah di negaranya. Padahal di sana, buah-buahan tropis harganya selangit.

 

Jadi keingat teman yang di luar negeri pengin makan mangga dan semangka tapi nggak mau beli karena mahal, sedangkan di sini saya bisa makan mangga berpotong-potong.

Di sana dia juga bisa makan beri dan buah-buah lain dengan murah, sedangkan buah-buah itu di sini harganya nggak murah.

 

Soal buah-buahan ini juga bikin saya sering bergumam, “Oalaaah gini aja” tiap ngelihat tayangan di Youtube yang membahas “exotic fruits”. Sebab, eksotis di situ adalah dari sudut pandang orang Barat/pembuat videonya. Jadi yang ditampilin ya buah yang umum buat orang tropis: salak, buah naga, nanas, dll. Buat kita kebalikannya, buah eksotis itu ya yang tumbuh di negara mereka.


Sawang-sinawang, kalau kata orang Jawa. Masing-masing ada enaknya, ada juga nggak enaknya. Ada yang dimiliki, ada juga yang nggak dipunyai.

 

Reading Time: