Hijaubiru

Kamis, 28 September 2023

Hari Pariwisata
September 28, 20230 Comments



Kemarin, 27 September, adalah Hari Pariwisata Sedunia. World Tourism Day.

Saya nggak akan tahu bahwa ada hari pariwisata yang diperingati secara global kalau bukan dari majalah. Tahun lalu, ada satu tajuk di majalah National Geographic yang bikin saya tertarik sampai pengin beli edisi itu. Topiknya jauh dari bidang pariwisata.

 

Kala itu saya masih maju-mundur mau beli. Namun begitu tahu kalau edisi itu berbonus satu eksemplar majalah NatGeo lainnya, rasa ragu itu terhapus habis! Hehe. Eksemplar bonusan inilah yang mengangkat topik pariwisata. Lebih tepatnya, mengangkat destinasi-destinasi wisata terbaik di Indonesia bertepatan dengan Hari Pariwisata Sedunia sekaligus usaha membangkitkan sektor wisata yang sempat terpuruk akibat Covid-19.

 

Emang pada dasarnya suka jalan-jalan. Dapat majalah bonusan soal travelling, ya langsung hijaulah ini mata, hahaha. Edisi bonusan itu pun berakhir saya baca duluan daripada edisi ‘aslinya’.

 

Balik ke soal pariwisata. Sebagai orang yang gemar pelesiran, tempat-tempat cantik atau unik memang jadi salah dua faktor yang bikin saya pengin berkunjung ke sana. Atau, nggak perlu cantik atau unik, tapi punya cerita tersendiri. Kadang, nggak ada faktor apa-apa. Sekadar pengin menuntaskan rasa ingin tahu aja. Tempat yang dituju pun nggak selalu tourism spots, bisa jadi lahan pinggir jalan atau waduk dekat rumah. Intinya, yang bisa bikin refreshed dan senang.

 

Dalam beberapa perjalanan, tentu nggak hanya rasa senang yang didapat. Kadang ada juga nggak enaknya, ada missed-nya, ada kelirunya, ada berantemnya, dan pengalaman-pengalaman nggak enak lainnya. Namun, menurut saya itulah yang bikin perjalanan jadi lebih berwarna. Asal nggak sampai fatal atau membahayakan sekali bagi diri maupun orang lain.

 

Pemahaman tentang ‘warna-warni’ perjalanan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh teman dan senior Pecinta Alam. Merekalah yang ngajarin (dan ngajakin) bahwa berkegiatan di alam bebas seperti naik gunung, naik tebing, dsb, nggak cuma senang-senang. Tentu ada senangnya. Namun ada juga persiapan keberangkatan yang cukup serius. Ada pula manajemen risiko dan manajemen konflik.  Selain di alam, berkunjung ke tempat-tempat bersejarah juga mengajari hal itu. Gedung, jalan, atau barang yang sekilas kelihatan sederhana tanpa makna ternyata menyimpan kisah panjang yang kadang lebih panjang dari sejarah kota tempat dia berdiri.

 

Saya kira yang namanya ‘cerita di balik perjalanan’ sudah cukup dalam sampai di situ.

Saya salah.

‘Ceritanya’ ternyata jauh lebih dalam dan luas.

 

‘Cerita’ ini baru saya sadari saat menghadiri seminar oleh Jurusan Pariwisata. Sebelumnya saya mengira bahwa sektor pariwisata, setidaknya dari kacamata wisatawan, berkutat dengan hal-hal yang disebut di atas. Mungkin ditambah dengan hal-hal seperti kelestarian/kebersihan tempat wisata, pengelolaan yang baik, penentuan harga tiket, pelayanan untuk wisatawan dan penghargaan untuk pengelola dan warga lokal. Nah ternyata… hal-hal ini masih bisa dikulik lebih rinci lagi. Dan semakin dikulik, maka kelihatan makin kompleks melibatkan banyak faktor dan banyak sektor: baik dari segi sosial humaniora maupun dari segi sains dan teknologi.

 

Misalnya, hubungan pengelola dan warga lokal. Seminar di Jurusan Pariwisata tadi bikin saya melek bahwa nggak semua warga lokal diuntungkan dengan adanya tempat wisata. Bisa aja yang untung hanya pengelola, yang nggak jarang bukan warga lokal tapi warga kota yang jauh lokasinya. Warga lokal bisa jadi tidak dilibatkan atau dilibatkan sekadarnya saja, itu pun di level terendah. Nggak semua, tapi ada. Katanya, yang bagus ya yang warga lokalnya berpartisipasi aktif sekaligus dapat manfaat positif dan tempat wisatanya bisa bertahan lama dengan baik.

 

Itu baru satu. Contoh lainnya adalah fenomena banyaknya pungli yang muncul karena banyak faktor: tingkat ekonomi yang kurang makmur, peraturan yang tidak jelas, ketiadaan ketegasan pemerintah setempat, dsb. Belum lagi soal keramahan/ketidakramahan yang berakar dari budaya setempat, perilaku wisatawan baik yang positif/negatif dan memicu respons/fenomena/masalah baru, dsb.

 

Bahkan tentang wisata yang viral kemudian dipasangi tanda atau bangunan warna-warni yang mencolok aja bisa ada bahasannya sendiri. Dan bahasannya multidimensi.

 

Fenomena-fenomena ini pula yang pernah dibahas di postingan ini  dan bikin bergumam pelan, “Oh… ternyata gitu. Susah, ya.”

 

(Kalau pengin tahu tentang hal ini tapi dikemas dengan cukup ringan, mungkin bisa baca buku/blog travel writing-nya Agustinus Wibowo. Ada beberapa bagian yang ngebahas soal itu.)

 

Dari mereka-mereka inilah kemudian pandangan saya tentang pariwisata jadi bergeser. Kalau dulu mikirnya jalan-jalan asal hati senang, dapat foto bagus, dan nggak ngerusak lingkungan, kini mungkin jadi ‘rada mikir’. Dari sikap saya akui memang nggak banyak perubahan, meski sedikit mengetahui latar belakang lokasi dan hidup warlok jadi sesuatu yang cukup membantu untuk ‘mengalami lebih dekat’ dan memaklumi hal-hal asing atau nggak mengenakkan yang terjadi selama perjalanan.

 

Yang agak berubah mungkin dari segi tulisan. Kalau dulu hanya ngomongin rute atau itinerary dan banyak keindahan lokasi, sekarang sebisa mungkin disisipi kisah lain. Entah sejarah, cerita orang, dsb. Kenapa? Supaya nggak hanya fokus di keindahan aja. Kalau cuma spot-spot cantik atau viral, then what? Hanya foto, ‘mengambil’ keindahan, lalu apa? Ini adalah saran dari beberapa travel writer saat webinar. Kisah selain keindahan dan rute mampu memberi lebih banyak arti untuk sebuah lokasi. Jadi titik beratnya nggak hanya di keindahan lokasi. Pengunjung jadi nggak terpaku di kecantikan tempat/bangunan semata. Mereka pun jadi tahu bahwa ada cerita yang lebih dalam sehingga diharapkan tumbuh empati untuk turut peduli pada keberlanjutan tempat wisata itu.

Sesimpel, mungkin,

“Eh ini bangunan/barang dari ratusan tahun lalu, lho. Jangan sembarangan utak-atik/megang, sayang kalau udah lama terus rusak.”

“Eh ini tempatnya dilindungi kelestariannya, lho. Nggak boleh seenaknya metik-metik tumbuhan. Jangan buang sampah sembarangan.”

“Eh nggak boleh kasar sama pengelola/warlok. Meski kita udah bayar, tapi merekalah yang sebenarnya punya tempat ini. Kita ini tamu.”

 

Sehingga, ke depannya diharapkan kepedulian yang timbul makin besar. Kepedulian yang berdampak baik bagi tempat wisata, warga lokal, pengelolanya, lingkungan/alamnya, dan wisatawannya. Untuk semuanya.





=====

Picture by Freepik

Reading Time:

Jumat, 22 September 2023

Buah Berry
September 22, 20230 Comments

 

Di antara jenis-jenis beri di bawah ini, familiar sama yang mana:

strawberry, blueberry, blackberry, raspberry, arbei?

Gimana dengan mulberry, cloudberry, juneberry, dewberry, gooseberry (yang nggak ada hubungannya dengan angsa), atau wineberry (yang juga nggak ada hubungannya dengan wine), pernah dengar juga?

 

Kalau jawabannya enggak; wajar. Sebab nama dan jenis beri ternyata macam-macam. Dan, beri-beri ini nggak tumbuh di Indonesia sehingga nggak aneh kalau  nggak pernah dengar. Bahkan orang yang dengar/tahu pun, mungkin cuma ngelihat dari dunia maya atau ngelihat buah impor yang dijual di swalayan, bukan sepohonnya. Ada yang nggak impor sih, seperti stroberi, tapi sepertinya yang lebih gampang ditemukan di swalayan cuma stroberi dan blueberry, ya? Kadang ada mulberry (murbei/arbei).

 

Beri-beri itu memang nggak tumbuh di sini. Yang tumbuh dan marak dibudidayakan di sini pun baru stroberi. Mulberry, meski sejak dulu sudah banyak, kayaknya kurang diminati. Akhirnya kalau kita mau makan beri ‘non-lokal’, ya harus impor. Lha gimana, di sini nggak bisa tumbuh. Bisa pun, susah berbunga-berbuah. Kalau ‘dipaksa’ mungkin bisa, entah diintensifkan perawatannya atau gimana. Namun tentu butuh tenaga dan biaya yang nggak sedikit. Kadang, nggak sebanding cost sama hasilnya.

 

(Jadi menurut saya kurang tepat kalau ada yang bilang “semua bisa tumbuh baik di Indonesia”. Ya bisa, tapi sekadar tumbuh/hidup aja, nggak makmur sampai bunga/berbuah)

 

Itulah sebabnya kenapa kadang beri-beri impor di swalayan harganya lumayan. Ngirim dari luar negeri aja udah kena biaya lebih, apalagi kalau barang fresh macam buah-sayur yang gampang busuk. Handling-nya tentu lebih ribet.

 

Dengan harga nggak murah pun kadang berinya kecil-kecil. Saya pernah nemu blueberry seukuran kelingking, padahal di negara empat musim versi murahannya di pasar bisa seukuran jempol. Ya… itu tadi, balik ke harga-handling-dsb.

 

Balik ke jenis-jenis beri. Saya baru tahu kalau beri ini jenisnya buanyaaak baru beberapa tahun belakangan. Itu pun karena cari-cari soal foraging atau survival botani di Indonesia. Singkat cerita, saya dan teman-teman sering nemu beri liar di hutan, saat hiking. Bentuknya ya itu-itu aja. Yang ini sering disebut arbei hutan. Penasaran, saya browsing buah-buahan hutan lainnya yang aman dimakan. Pikir saya, dengan Indonesia yang kaya biodiversitas gini, pasti banyak dong tumbuhan liar yang bisa dimakan manusia.

 

Sayang, handbook yang dicari nggak kunjung ketemu. Ada field guide, tapi semuanya untuk negara empat musim. Padahal tumbuhan di Indonesia, kan, beda banget. Ya sudah, saya tetap lihat-lihat karena bukunya menarik. Dari situlah kemudian saya tahu bahwa ada banyaaak sekali jenis beri. Bahkan arbei hutan yang biasa kami temukan pun ternyata jenisnya beda-beda. Sekilas memang nggak kelihatan. Baru ketahuan kalau dilihat secara jeli.

 

Dari situlah saya ‘kenalan’ dengan beri-beri asing yang belum pernah saya lihat dan makan sebelumnya: wineberry, gooseberry, cloudberry, dsb. Beri-beri ini nggak cuma tumbuh liar, tapi banyak di antaranya yang umum ditanam, dimakan, dan diperjualbelikan di negara subtropis sana.

 

Gara-gara jenis yang beraneka macam ini pula saya jadi bertanya-tanya kalau nemu arbei liar. “Apa ini betul jenis arbei? Hm… kayak raspberry. Tapi kalau dilihat lagi, mirip cloudberry. Jadi… ini apa?” Seperti waktu nemu beri di bawah ini.


Buah beri di pinggir jalur pendakian G. Lawu. Daun-daunnya menggulung kering, tapi buahnya merah kelihatan segar. Ini beri jenis apa, ya?
 

Mungkin kadang cukup disebut “beri” atau “beri liar” aja, hehe. Apalagi yang bentuknya mirip-mirip arbei hutan. Secara umum yang bentuknya (dan bentuk tumbuhannya) seperti itu aman dikonsumsi manusia (*CMIIW!). Kalau beri liar lain yang kurang umum, perlu dicek lagi edible atau inedible for human. Sebab kadang, dimakan hewan lain aman-aman aja, tapi bahaya buat kita.


Saya pernah berandai-andai, “Kalau aja di sini banyak buah beri kayak di negara empat musim atau di film/kartun petualangan.”

Tapi ya gimana lagi, iklimnya nggak cocok. Lagipula di sini jenis buah-buahan, meski bukan beri, juga banyak. Di sini mungkin nggak ada gooseberry, wineberry, dsb, tapi ada mangga, kelengkeng, sirsat, dan banyak lainnya. Dan karena lumrah, maka buah-buah ini harganya murah. Dua puluh ribu bisa dapat sekresek, seperti orang asing yang juga dapat beri sekresek dengan harga murah di negaranya. Padahal di sana, buah-buahan tropis harganya selangit.

 

Jadi keingat teman yang di luar negeri pengin makan mangga dan semangka tapi nggak mau beli karena mahal, sedangkan di sini saya bisa makan mangga berpotong-potong.

Di sana dia juga bisa makan beri dan buah-buah lain dengan murah, sedangkan buah-buah itu di sini harganya nggak murah.

 

Soal buah-buahan ini juga bikin saya sering bergumam, “Oalaaah gini aja” tiap ngelihat tayangan di Youtube yang membahas “exotic fruits”. Sebab, eksotis di situ adalah dari sudut pandang orang Barat/pembuat videonya. Jadi yang ditampilin ya buah yang umum buat orang tropis: salak, buah naga, nanas, dll. Buat kita kebalikannya, buah eksotis itu ya yang tumbuh di negara mereka.


Sawang-sinawang, kalau kata orang Jawa. Masing-masing ada enaknya, ada juga nggak enaknya. Ada yang dimiliki, ada juga yang nggak dipunyai.

 

Reading Time:

Jumat, 01 September 2023

Jalan ke Kebun Raya Mangrove Gunung Anyar
September 01, 2023 2 Comments

 


(Di-update 2025) Bicara soal wisata, Surabaya bukan termasuk pilihan pertama untuk wisata alam. Kota-kota sekitarnya macam Malang atau Mojokerto alamnya jauh lebih bagus. Maka ketika dengar ada kebun raya di Surabaya, saya sempat mengernyitkan kening. ‘Surabaya sebelah mana yang tanahnya cukup luas buat dijadikan kebun raya?’

 

Usut punya usut, ternyata ini bukan kebun raya biasa tapi kebun raya mangrove. Artinya lahan hijau ini berlokasi di tepian pantai yang banyak ditumbuhi pohon mangrove. Oh, masuk akal kalau gitu, sebab Kota Pahlawan ini memang sudah lama punya hutan mangrove seperti Mangrove Wonorejo atau Mangrove Gunung Anyar. Tempat terakhirlah yang kemudian dijadikan Kebun Raya Mangrove Surabaya. Jadi memang bukan tempat yang 100% baru, tapi dinaikkan statusnya (dari hutan biasa jadi kebun raya) dan ditambah fasilitasnya.

 

Kebun Raya Mangrove Surabaya baru dibuka akhir Juli 2023 ini. Mungkin lebih tepatnya re-opening kali, ya, sebab sebelumnya tempat ini sudah ada dan dibuka untuk umum ketika masih jadi hutan/wisata mangrove biasa.

 

Rute & Transport

Mangrove Gunung Anyar letaknya di ujung timur Surabaya. Rute ke sini gampang banget. Kalau dari Raya A. Yani, tinggal lurus terus ke timur aja tanpa belok-belok. Cuma kalau pakai transportasi umum mungkin agak effort karena jalannya agak masuk. Kalau naik bemo/mikrolet kayaknya harus jalan lagi agak jauh. Soalnya waktu ke sana kemarin hanya ketemu bemo di jalan yang masih ramai. Dan itu jaraknya satu kiloan dari pintu masuk kebun raya. Kayaknya pilihan paling fleksibel ya bawa kendaraan sendiri atau pesan ojek online.

 

(Update 2025) Transpor umum:

Saat pergi ke sana lagi, sempat ngelihat feeder Wira-Wiri (semacam angkot) sampai lokasi. Jadi sekarang udah bisa pergi ke Mangrove Gununganyar pakai transpor umum.

 

 

Jangan lupa pakai masker dan semacamnya. Hutan mangrove memang adem dan penuh pohon, tapi jalan ke sananya agak berdebu. Mungkin karena kemarin saya main ke sana saat kemarau, plus saat siang ketika matahari terik banget, plus pembangunan fasumnya masih baru thus masih ada material sisa, sehingga banyak debu dan pasir beterbangan sepanjang jalan mendekati lokasi.

 

Debu, panas, pasir-pasir kuning lembut beterbangan di antara roda motor. Vibes musim kemarau banget, deh.

 

 

💡 Tips: Waktu Terbaik Mengunjungi Kebun Raya Mangrove Gunung Anyar

Berdasarkan ulasan di GMaps, pagi adalah waktu terbaik. Suasana masih adem, nggak terik, dan perjalanan ke lokasi pun nggak kepasanan. Dipakai jogging pun enak. Pilihan kedua adalah sore hari, tapi berisiko kurang santai dan berkejaran dengan waktu tutup.

Kalau buat selain jogging alias santai-santai aja, hari terbaik—seperti biasa—adalah hari kerja karena lebih sepi. Lebih mudah dapat foto tanpa banyak orang lain dan santai milih duduk di gazebo mana pun.

 

 

Kenapa kami milih ke sini siang-siang, padahal tempat ini pagi pun sudah buka?

Kami berangkat jam 9-10-an di hari kerja, sampai lokasi sekitar 45 menit kemudian. Alasannya karena waktu itu ada keperluan dulu aja, sih. Dan kalau berangkat pagi, pertimbangannya adalah jalanan bakal penuh orang yang berangkat sekolah atau kerja. Jadi milih agak siangan meski kepanasan di jalan.

 

 

Tiket dan Parkir

Untungnya, di lokasi nggak kepanasan. Dari jalan umum ke titik parkir, ada banyak pohon Casuarina (cemara laut) yang hijau dan rimbun di kanan-kiri. Aroma khas air laut yang asin sudah tercium dari sini. Setelah beberapa ratus meter dan melewati rusun Gunung Anyar, sampailah kami di tempat parkir yang nampak baru dan kering. Di selatan tempat parkir tampak gundukan yang awalnya saya kira sedang ada pembangunan. Setelah ngelihat lebih teliti, ternyata itu adalah TPA/Tempat Pembuangan Akhir.

 

Jarak tempat parkir mobil/motor ke gerbang masuk dekat banget. Sekitar 30 meter. Setelah diberi karcis parkir (Rp5.000,00/motor, mobil Rp10.000,00 kalau nggak salah), kami pun berjalan ke arah kanan dan masuk ke gerbang.

 

Berapa harga karcis masuk Kebun Raya Mangrove? Kurang tahu. Waktu itu kami langsung disuruh masuk tanpa bayar karena masih dalam rangka reopening.

 

Harga karcis (update 2025): Rp5.000,00/orang

Di loket masuk juga bisa milih wahana apa aja yang ingin dinaiki (karena bayarnya sekalian di sini, bukan di titik wahana). Ada ATV, sepeda air, perahu, dan (semacam) golf cart. 


Seperti layaknya hutan dan kebun raya, Mangrove Gunung Anyar ini juga sejuk meski letaknya nggak jauh dari bibir pantai. Kesejukan itu sudah dirasakan sejak sebelum gerbang. Pohon-pohon cemara laut dan mangrove yang rimbun membuat suasana siang Surabaya yang terkenal sumuk pol (baca: panas sekaliii) menjadi lumayan adem.

 

 

Di Dalam Kebun Raya

Dari gerbang masuk, rute jalan-jalan bisa dimulai dengan belok kanan ke arah hutan/jogging track kayu. Sebelum itu, di kanan track ada toko merchandise. Pengelola juga memajang peta lokasi lengkap dengan track dan spot-spot seperti gazebo, mushalla, toilet, dan menara pandang. Peta ini dibentangkan di dekat pintu masuk ke hutan.

 


 

Mushalla dan toilet terletak dekat pintu masuk. Ada satu lagi toilet yang letaknya dekat hutan cemara. Sementara itu, gazebo tersebar di sekitar jogging track dan hutan cemara laut.

 

Selain peta, pengelola membentangkan banner dengan jenis-jenis tumbuhan yang bisa dilihat pengunjung di area mangrove. Uniknya adalah yang ditampilkan nggak cuma nama dan foto bentuk tumbuhannya, tapi juga manfaatnya.

 

Takjub aja gitu. Dari banyak pohon dan semak pinggir jalan yang kayaknya “gitu aja”, ternyata manfaatnya banyak: untuk obat, pengusir nyamuk, makanan atau snack. Amazed juga karena nama lokal beberapa tumbuhan ini unik banget, bahkan ada yang jadi nama daerah. Contohnya:

  • bogem (=pukul), nama lokal pohon Sonneratia caseolaris
  • bintaro (nama daerah di Jakarta), nama lain pohon Cerbera manghas
  • gedangan (nama daerah di Sidoarjo, kota sebelah Surabaya), nama lokal Aegiceras corniculatum

 

Jadi ingat waktu pergi ke Mangrove Wonorejo. Di sana ada warung yang jual berbotol-botol sirup dari buah pidada (salah satu jenis mangrove). Rasanya kayak gimana? Sayang saya belum coba. Waktu ke Gunung Anyar ini pun alpa mengunjungi galeri oleh-olehnya karena udah kecapekan keliling.

 

Buah pidada (Sonneratia caseolaris) alias buah bogem/mangrove apple
 

Kami masuk ke kawasan hutan, yang ada jogging track kayunya. Gapura kayunya memberi kesan alami meski jelas divernis mengilap. Marka arah jalan, baik yang sekadar dicat di track maupun yang jadi plang, berwarna cerah mencolok.

 

Kami pun berjalan di antara pohon-pohon mangrove. Rimbun. Hijau. Panasnya Surabaya jadi terasa berkurang. Benarlah kalau pengin suasana adem, tanam pohon relatif lebih efektif daripada bikin naungan dari material. 

 

Awal-awal, semua masih hijau. Kita bisa menjangkau daun yang tumbuh dekat ke pagar pembatas. Namun kalau diperhatikan, ada sela/gap di pohon-pohon. Gap itu menunjukkan tanah berlumpur di bawah jembatan kayu berwarna abu-abu dan basah, khas tanah rawa pinggir pantai yang sering tergenang.

 



Di jalur awal, jogging track ini masih ada pagarnya. Namun pengunjung harus hati-hati melangkah ketika sudah agak masuk, terutama yang bawa anak kecil, karena udah nggak ada pagar pembatas. Makin masuk juga makin banyak nyamuknya. Tips: pakai pakaian panjang atau pakai lotion anti-nyamuk.

 

Pada kunjungan kedua yang bertepatan dengan di musim hujan, tanah rawa itu tergenang agak tinggi. Sempat ngelihat ada ular kecil menggelesar di perairan. Namanya juga hutan, wajar kalau banyak hewan liarnya.

 

Makin dalam, jalur jogging track ini bercabang-cabang. Untung tadi udah sempat foto peta yang di depan, jadi bisa buat pertimbangan mau ngarah ke yang mana.

 

Update 2025: udah ada beberapa gazebo kayu di area jogging track. Lumayan bisa buat istirahat pas capek meski kata beberapa teman harus hati-hati karena kadang ada ulatnya.

 

Yang menarik, beberapa pohon di sini digantungi semacam kartu nama. Kartu nama ini berisi nama latin pohon. Ini salah satu poin yang saya suka karena pengunjung jadi tahu jenis pohonnya dan ngeh bahwa meski semua pohon kelihatan sama, mereka sesungguhnya beda jenis. Mungkin mereka diberi kartu karena fungsi kebun raya juga sebagai sarana pendidikan, bukan hanya tempat rekreasi atau healing aja.

 

 

💡 Funfact!

Ternyata mangrove ≠ bakau.

Mangrove = kawasan hutan tepi laut. Jadi tumbuhannya macam-macam, mulai dari pohon sampai semak.

Bakau = salah satu jenis pohon mangrove, biasanya dari jenis (genus) Rhizospora.

Pendeknya, bakau termasuk mangrove; tapi mangrove nggak cuma terdiri atas bakau aja.

 

 

Galeri Pembibitan

Karena kebun raya juga punya fungsi edukasi, nggak heran kalau di sini ada beberapa fasilitas itu. Di dekat gerbang tadi di dekat mushala, ada sebuah galeri pembibitan. Bangunan serupa ruangan terbuka itu seukuran kamar. Di tengahnya ada instalasi dengan pipa-pipa dan pucuk-pucuk tunas pohon yang mencuat.

 

 

Saya nangkepnya ini mungkin buat nunjukin tahap pertumbuhan bibit pohon? Karena makin ke kanan batangnya makin tinggi/makin banyak daunnya. Mungkin kalau sudah cukup umur/tinggi, barulah dipindah ditanam ke tanah. Sayang waktu itu sedang nggak ada petugas buat ditanya-tanya.

 

Selain galeri pembibitan, di sebelahnya juga ada bangunan terbuka yang dijadikan semacam pojok baca. Bangunan yang cukup luas ini memiliki tempat duduk dan beberapa rak buku. Penasaran, saya lihat bukunya. Saya kira isinya bakal tentang mangrove/bakau/pantai dan semacamnya. Ternyata enggak; bukunya macam-macam. Nggak bertema, malah.

 

Dari majalah sampai buku panduan, ada. Dari buku lawas banget sampai yang terbit lima tahunan lalu, ada. Saya pengin nyari buku tentang mangrove atau tentang kebun raya mangrove itu sendiri. Biasanya kebun raya dan semacamnya kan bikin/nerbitin buku macam begitu. Tapi nggak nemu. Entah memang nggak ada atau saya yang kurang teliti nyarinya.

 

Oh ya, di sini juga ditempel poster hewan-hewan yang bisa ditemukan di kebun raya mengrove ini. Salah satu yang paling nggak terlupakan adalah kepiting pemanjat pohon alias tree-climbing crab. Dinamakan begitu karena mereka emang suka nangkring di pohon. Nggak tinggi-tinggi, sih. Manjatnya juga nggak sampai sedengkul orang dewasa. Tapi jumlahnya itu lho, banyak banget!

 


Hewan di Hutan Mangrove

Selain pohon-pohonan, namanya hutan tentu ada hewannya. Nah, di sini hewan yang paling sering saya lihat salah satunya adalah kepiting panjat tadi.

 

Kepiting panjat

Sejak di dekat pintu masuk, itu kepiting udah kelihatan bertengger di akar-akar napas yang mencuat ke permukaan air. Ada kali dua puluhan ekor, mungkin lebih? Gerombolan ini bakal buru-buru sembunyi ke dalam air kalau ada orang lewat.

 

Makhluk satu ini rupanya sensitif sama suara. Bahkan waktu kami ngedekatin diam-diam, pelan-pelaaan banget, mereka bisa langsung lari begitu ini sandal nggak sengaja nginjak ranting kecil. Ngerasa beruntung kemarin ke sana waktu sepi. Kalau waktu ramai, apa mungkin kami bisa ngelihat kepiting sebanyak ini? Saya sendiri bisa ngelihat kepiting sebanyak itu kalau di pasar aja, hahaha.

 

Selain kepiting, yang bikin berkesan adalah burung-burung di sana. Nggak kelihatan, sih, burungnya apa. Saya nggak tahu jenisnya apa aja. Yang saya tahu, suara burungnya beda-beda. Ngedenger suara banyak burung di dalam hutan yang semilir, berasa adem, damai, dan… nggak percaya. Ini masih di Surabaya yang rame dan sumpek banget itu, ya?

 

 

Aviary! (updated 2025)

Di tengah hutan/jogging track ada aviary atau kandang burung sekarang. Bentuknya seperti kubah atau dome. Dari agak jauh udah kelihatan.

Aviary Mangrove Gununganyar

Bentuknya yang seperti setengah bola dari jaring. Sekilas mengingatkan saya pada dome serupa di film dinosaurus Jurassic Park.

“Untung nggak ada dinosaurusnya.”

“Lha kan burung itu masih keturunan dinosaurus.”

“Oh, iya juga, ya.”

— sepenggal percakapan kami di lokasi

 

Seorang teman yang tahu kami main ke mangrove, sempat berkomentar, “Nggak kena ulat di area serimbun itu?”

Alhamdulillah enggak, sih. Dia cerita kalau dulu di lokasi yang sama pernah nemu ulat banyak. Kali ini, entah: saya yang kurang memperhatikan, atau bukan musim ulat, atau kontrol hamanya bagus, jadi saya nggak menemukan ulat yang katanya gatal itu. Syukurlah.

 

 

Hutan Cemara

Lanjut ke jalan-jalan. Apa pemandangannya cuma bakau/mangrove? Enggak, dong. Ada juga tempat yang khas pantai banget: hutan cemara. Hutan cemara ini terletak setelah jogging track.

 

Jangan bayangin cemara di sini seperti cemara-cemara beraroma pinus segar seperti di pegunungan. Enggak, cemaranya beda. Cemara di tepi laut biasanya adalah cemara laut/cemara udang (Casuarina equisetifolia).

 

Pernah dengar Pantai Gua Cemara yang ada di selatan Yogya? Di sini area cemaranya memang nggak seluas Pantai Gua Cemara, tapi kita tetap bisa menemukan pemandangan yang mirip: dahan-dahan cemara yang bertautan membentuk kanopi alami yang melengkung menaungi kita dari panas pesisir.

 



Di area inilah terdapat beberapa gazebo dan tempat duduk di sepanjang jalan. Nggak banyak, tapi cukup. Ada toilet juga. Lumayan membantu karena jarak dengan toilet pertama cukup jauh (toilet ada di dekat gerbang).

 

Di ujung jalan ‘gua cemara’ ini terdapat menara pandang. Menara berkapasitas maksimal 10 orang ini bisa dinaiki untuk melihat ekosistem mangrove dari atas. Memang nggak tinggi banget, pun nggak sampai kelihatan laut, tapi cukuplah. Bila cerah, pegunungan nun jauh di Kab. Malang bisa kelihatan mengintip dari balik rimbun hutan mangrove.

 

“Harusnya kita bawa makanan, ya, biar bisa piknik,” ujar partner jalan saat itu.

 

“Atau bawa buku. Cozy banget kayaknya duduk-duduk bawah gazebo sambil baca,” saya menanggapi.

 

Maka di kesempatan selanjutnya, kami pun bawa sedikit jajan dan air minum. Namun saat itu kami nggak piknik karena aroma guano (kotoran burung) yang menyengat.


Keluar dari hutan cemaran dan kembali ke arah gerbang masuk, di sebelah kanan ada sungai dengan perahu yang siap mengantarkan wisatawan menyusuri perairan. Waktu itu di sebelah kanan ada bagian yang sedang dalam pembangunan, entah apa. Sementara di sebelah kiri ada Science Centre dan kantin. Penasaran sama kuliner Surabaya? Bisa sekalian coba menu rujak cingur di sini.

 


Reading Time:

Jumat, 18 Agustus 2023

Berkunjung ke Gua Selarong: Markas Perang Jawa dan Diponegoro
Agustus 18, 20230 Comments

 



Sebenarnya kunjungan ke sini udah lama, beberapa tahun lalu. Namun karena kayaknya momennya pas: saat Agustusan, well, here we go. Mari berkunjung ke jejak salah satu pahlawan nasional yang terletak di Yogyakarta dan nggak ramai serbuan turis.

 

Saat dengar kata “Selarong”, yang saya ingat adalah Pangeran Diponegoro. Nggak tahu kenapa, nama ini melekat di memori bersama dengan dua wilayah lain yang pernah jadi tempat persembunyian Diponegoro saat Perang Jawa dua abad lalu.

 

Saya masih ingat bunyi teks di buku paket, 

... Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu bersembunyi di Selarong, Pleret, Dekso ...


Mungkin, karena nama mereka menjadi soal yang diujikan dalam ulangan. Mungkin juga karena nama-nama itu terasa tak biasa dan baru di telinga saya yang kala itu masih SD. Jadi, nggak sengaja malah tersimpan di memori.

 

Selarong, Pleret, dan Dekso adalah beberapa wilayah yang terletak di Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Ketiganya pernah jadi tempat persembunyian Pangeran Diponegoro dan pasukannya saat Perang Jawa (1825-1830). Pangeran dari Yogya yang juga pernah menjadi santri ini berpindah-pindah agar pasukannya tak terendus pasukan Belanda.

 

Kalau sekarang, Gua Selarong terletak di selatan ringroad Yogya. Nggak selatan juga, sih, tapi agak ke barat. Waktu itu saya dari ringroad timur, begitu belok ke ruas ringroad selatan, nggak jauh kemudian putar balik untuk masuk kampung di selatannya. Dari situ tinggal ikuti Google Maps.

 

Jalannya menuju destinasi lewat jalur Google Maps relatif bagus. Seingat saya, masuk jalan kampung/desa yang di sisinya rumah-rumah dan sawah, baru kemudian masuk ke ruas jalan lintas desa yang mulai jarang rumah dan banyak hutan (jati/sengon? Lupa). Jalannya aspal halus. Di beberapa ruas jalan memang agak naik, tapi bukan yang nanjak tajam. Ada beberapa tikungan tajam, tapi nggak yang ‘tajam banget’ macam kalau ke Mangunan.

 

Setelah lihat peta, baru nyadar kalau letaknya nggak terlalu jauh dari sentra gerabah Kasongan. Tapi rasanya udah jauh. Apa karena lokasinya yang dikelilingi banyak pohon dan nggak terletak di jalan raya besar?

 

Dari jalan aspal, Gua Selarong ada di sisi kanan. Kalau nggak salah ingat, masuk dulu baru kemudian terlihat tanda selamat datang. Bayar masuknya sekitar Rp5.000,00/orang plus biaya parkir per kendaraan (lupa berapa, tapi standar, bukan yang mahal banget).

 

Dari parkiran, tampak tulisan besar-besar “GOA SELARONG” dengan cat oranye menyala.

(Jadi yang benar ‘goa’ atau ‘gua’? Di KBBI pakai ‘gua’, tapi di masyarakat lebih biasa pakai ‘goa’ kayaknya)

 

Plang dan infografis  Gua Selarong, oleh dinas setempat dan program KKN mahasiswa
(klik untuk baca dalam ukuran lebih besar)

Seperti umumnya daerah di selatan Yogya agak ke barat, area ini sekilas seperti kering. Khas area pegunungan kapur. Banyak tumbuhan, tapi suasananya kayak kering. Singkapan tebing yang terbuka berwarna putih kecoklatan. Tanahnya pun berwarna coklat muda sekali, mengingatkan pada pasir pantai putih.

 

Dan, karena saya berkunjung ke sini saat musim kemarau, maka hawanya beneran kering. Sepanjang jalan tadi, pohon-pohon jati mulai meranggas. Seresah kekuningan di mana-mana, yang kalau diinjak bunyinya renyah sekali kayak suara kerupuk.

 

Menurut sumber online, ada air terjun kecil di area ini. Kalau dilihat dari foto, letaknya di sebelah kanan, setelah parkiran atau sebelum gua/tangga naik. Alirannya nggak terlalu deras, jatuh dari pinggir tebing kemudian langsung ke aliran sungai kecil di bawahnya. Sayang banget kami nggak bisa ngelihat air terjun itu di kunjungan kali ini. Sebabnya, sumber airnya hanya ada di musim hujan dan kering saat musim kemarau. Jadilah kami cuma bisa melihat jejak-jejak alirannya yang memahat bebatuan.

 

Satu hal yang menjadi surprise: ternyata guanya banyak.

Hal kedua yang jadi surprise: tangganya juga lumayan banyak.

 

Pengunjung harus menaiki terundak demi terundak untuk mencapai gua. Pertama dilihat, wah, tinggi juga. Apalagi jalurnya lurus ke atas, mengingatkan pada tangga menuju langit di film-film kartun.

 

Nggak lebih dari 15 menit meniti tangga (dengan sedikit menggeh-menggeh, haha), akhirnya kami sampai di kompleks gua. Saya sebut kompleks karena itu tadi: guanya ternyata banyak. Yang disebut gua adalah ceruk-ceruk yang masuk ke bawah tebing-tebing batu keras. Pintu masuknya pendek, tak sampai setinggi pinggang orang dewasa. Bayangan saya tentang gua persembunyian pun buyar.

 

Awalnya, saya kira Gua Selarong hanya terdiri dari satu gua yang masuk panjang ke dalam. Bahkan mungkin sampai bisa ada sekat-sekatnya seperti di komik Swiss Family Robinson yang pernah saya baca dulu sekali. Sampai sini barulah saya tahu bahwa gua itu bentuknya macam-macam. Berbeda dengan bentukan dalam komik (dan imajinasi saya), di sini guanya lebih seperti ceruk, ada banyak, dan sekilas terlihat tak terlalu dalam. Ada yang pojok-pojoknya bisa terlihat dari luar. Jadi bentuknya lebih kayak sebuah ruangan. Apa ada yang masuk sampai dalam banget? Kurang tahu, karena saya nggak masuk ke gua, cuma ngelihat dari luar aja. Lagipula, ada beberapa gua yang diberi gapura dan tampak ada beberapa barang di mulut guanya, jadi saya kira itu adalah area off-limit untuk pengunjung.

 

Ide berkunjung ke Gua Selarong sebenarnya bukan keinginan yang baru. Beberapa tahun sebelumnya sudah pengin ke sana, tapi perlahan lupa. Siang itu, waktu pengin jalan-jalan dan bingung ke mana, langsung kepikir ke Selarong aja. Lagipula saat itu saya lagi di tengah kota Yogya. Meski masih jauh, tapi nggak terlalu jauh kalau dibandingkan saya jalan dari Kaliurang, misalnya. Dan karena siang itu waktu kami terbatas dan emang niat untuk lihat-lihat aja (bukan yang menikmati banget atau ndelumuk ngamatin banget), jadi ya gas aja. Paling enggak, satu tempat tujuan sudah tercoret dari wishlist.

 

Kenapa ingin lihat jejak Pangeran Diponegoro? Selain alasan ‘terpatri di ingatan karena soal ulangan’ di atas, saya penasaran aja. Mungkin karena beliau salah satu pahlawan nasional yang terkenal. Mungkin karena tertarik dengan background beliau yang priyayi tinggi sekaligus santri, bangsawan yang nampak agamis hingga digambarkan selalu mengenakan surban, sebuah kombinasi yang termasuk jarang ditemui. Mungkin juga karena saya merasa aji mumpung: mumpung di Yogya, bisa sepuasnya menggali kisah budaya dan cerita serta tempat bersejarah yang sebelumnya cuma bisa saya dengar dan lihat dari buku pelajaran aja.

 

Menyaksikan sebuah tempat dengan mata kepala sendiri, setelah selama ini hanya tahu cerita atau fotonya aja, serasa … menakjubkan. It was magical. Semacam ada perasaan, “Wah … dulu dia berdiri di sini, lho” atau “Oh ini toh yang selama ini diceritain”.

 

Rasanya kayak bayanganmu terwujud, berbentuk nyata di depanmu.

 

Sebelum Selarong, sebetulnya ada keinginan ngelihat keraton Tegalrejo. Konon di sinilah Pangeran Diponegoro dibesarkan. Beliau baru meninggalkan Tegalrejo ketika Belanda menyerang keraton itu. Di peta, nama “Tegalrejo” masih ada, menjadi nama sebuah kecamatan di Kota Yogya. Di mana istana atau bekasnya? Menurut seorang petugas Keraton Yogya yang sempat saya tanya saat berkunjung ke keraton, istana Tegalrejo menjadi bangunan milik TNI sekarang. (Setelah ngecek lagi, ada yang bilang bahwa sudah jadi museum sekarang—Museum Sasana Wiratama—, bahkan bekas tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro waktu nyelamatin keluarganya saat dikepung Belanda, masih ada.)

 

Gua Selarong termasuk markas utama pasukan Pangeran Diponegoro. Keluarganya pun turut tinggal di sini. Ada dua gua paling utama di area ini: Gua Kakung dan Gua Putri. Konon, Gua Putri adalah tempat tinggal untuk istri sang pangeran. Mungkin, karena sebagai tempat persembunyian, maka ‘pintu’ masuk guanya rendah-rendah. Supaya nggak mudah ditemukan meski di ketinggian, mungkin? Meski tentu hutan zaman itu yang lebih lebat daripada sekarang cukup bisa menyembunyikan. Dari ketinggian gua ini, terlihat dataran di selatan Yogya yang menghijau.

 

Pemandangan di Yogya bagian selatan


Perang antara Belanda vs Pangeran Diponegoro, yang dikenal sebagai Perang Jawa/The Java War/Java Oorlog dikenal sebagai salah satu perang yang membuat Belanda kalang kabut. Kerugian banyak, habis dana banyak. Kabarnya, Belanda sampai menarik pasukannya di Sumatra (yang sedang memerangi pasukan Tuanku Imam Bonjol *cmiiw) untuk bala bantuan.

 

Area Yogya sekitarnya menjadi arena pertempuran. Termasuk daerah Menoreh, yang sempat dibahas di postingan sebelumnya waktu main ke Punthuk Setumbu—dekat Candi Borobudur. Area utara Menoreh, yang termasuk daerah Kedu (sekarang Magelang), menjadi saksi penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda sebelum beliau ditawan di Batavia (penjaranya di Kota Tua Jakarta) kemudian dibuang ke Makassar.

 

Seperti cerita-cerita sejarah lainnya, selalu ada sisi abu-abu dalam setiap kisah. Pun tentang perjuangan Diponegoro dan pasukannya. Mungkin sebagian kita tahunya adalah Diponegoro berperang dengan Belanda untuk kemerdekaan. Sebagian lain berpendapat bahwa perang ini dimulai dan berlangsung karena konflik kepentingan. Tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya pun, baik dari pihak Indonesia dan Belanda, tak lepas dari kemelut putih-hitam sosok manusia: ada saat menjadi heroine, ada saat menjadi villain. Seperti apa kisahnya? Wah, banyak. Apalagi, sumber dan metode penelusuran sejarahnya macam-macam. Jadi ada beragam versi.

 

Yah, hidup kayaknya memang gitu: selalu abu-abu.

 

Kenapa beragam versi dan kisah itu nggak diajarkan di buku sejarah sekolah?

Ya, karena itu tadi: banyak, panjang. Dan versinya macam-macam. Nggak cukup itu buku paket. Dan mungkin yang diberikan adalah versi ringkasnya aja supaya para siswa nggak bingung karena kebanyakan versi. Dan kalau dimasukin pun, ada beberapa jenjang yang pikirannya belum sanggup mencerna kisah yang kompleks dan pelik. Lah kita aja, orang dewasa, masih suka bingung kok kalau nemu cerita yang versinya banyak, apalagi anak kecil. 

 

Begitulah. Apa di daerahmu juga ada jejak/lokasi bersejarah yang kadang luput dari tujuan wisatawan? Sini bisikin, siapa tahu kapan-kapan kita bisa explore bareng :D


Para simbah dan dagangan mereka di dalam area
Gua Selarong: ada minuman, jajan, dan buah-buahan
seperti jambu dan ciplukan yang sudah dikupas

Reading Time: