[ Sebetulnya, ini adalah secuplik tips tentang bikin detail catatan perjalanan
(catper/travel notes) dengan cepat. Versi saya. Disclaimer:
beberapa cara adalah ajaran dari orang/penulis lain atau pelatihan yang kemudian diatur gimana enaknya supaya saya nyaman mencatat dan menulis dengan metode
itu. Dan ini konteksnya buat tulisan perjalanan, bukan vlog dan semacamnya.]
Banyak hal terjadi selama kita melakukan perjalanan. Untuk sebagian
orang, travelling ya untuk dijalani dan dinikmati, plus didokumentasi
dalam foto sebagai bukti. Bagi sebagian orang lainnya, jalan-jalan bisa menjadi
bahan tulisan atau memoar tersendiri. Atau, simply pencatatan itinerary
untuk diingat atau dibagi ke orang lain yang mungkin ingin menempuh
perjalanan yang sama. Terutama untuk pejalan tipe kedua, jalan-jalan nggak hanya
dinikmati aja, tapi juga dicermati.
Tapi, kan, banyak hal terjadi selama kita jalan-jalan. Gimana caranya
kita mencatat/menulis itu semua?
Memang, nggak harus semuanya.
Kesalahan saya (dan juga kesalahan umum banyak penulis catper pemula,
seperti yang dibilang penulis catper kawakan, Agustinus Wibowo) adalah menuliskan
semua dengan detail. Mulai dari bangun pagi, mandi, sikat gigi, sarapan, dst.
Padahal maksud detail itu adalah: rinci boleh, tapi hal yang
penting-penting aja. Kalau nggak penting, buat apa ditulis? Apa pembaca
mau ngabisin waktu buat baca hal yang berlarat-larat kayak ...
Pemandangan itu sangat indah. Lautan luas terhampar di hadapan mata. Warnanya biru sejauh mata memandang. Pasir putih yang halus aku rasakan di bawah kaki. Rasanya nyaman sekali. Rasanya seperti sedang di-massage sembari menikmati belaian sutra superlembut yang tak kasat mata. Air pantainya pun jernih dan segar sekali. Rasanya seperti air murni yang dibawa langsung dari surga. Apalagi pemandangan di pucuk horizon sana ... dst.
... gitu? Karena kalau
berkaca dari diri sendiri, saat nyari review atau catper orang
untuk survei lokasi pun saya biasanya scanning aja kalau nemu yang begini (meski kadang juga masih kepeleset nulis hal kayak gini, wkwk).
Apa deskripsi keindahan dan lokasi itu nggak penting atau nggak perlu ditulis? Penting! Asal nggak terlalu banyak. Kalau satu pemandangan digambarkan sampai tiga paragraf dengan isi yang mirip, kan bosan juga bacanya.
(Ini mirip dengan nulis fiksi, sih. Saat editing, bagian yang bertele-tele atau nggak berhubungan
dengan plot ya dibuang karena menuh-menuhin dan nggak ngefek ke cerita. Apalagi kalau di cerpen
yang jumlah halamannya lebih terbatas.)
Masalah kedua yang berkaitan dengan rincian: kekurangan bahan.
Ini juga sering terjadi sama saya. Rasanya, pengalaman di lokasi itu
banyak, penuh, tumpah-tumpah. Namun begitu ditulis, lha, kok "isinya" cuma 1-2 paragraf
aja. Sisanya entah deskripsi perasaan atau lokasi yang panjang sekali dan semacamnya. Kalau sudah gini, mau nggak mau memang harus riset untuk
nambah bahan dan perspektif. Namun, lebih mudah lagi sebetulnya kalau kita
kembangkan pengalaman di lokasi plus riset. Biasanya yang seperti ini
menghasilkan tulisan yang lebih ‘nyambung’; lebih relate. Mungkin karena
asal bahan tulisannya real time.
Lalu muncul masalah baru: ketika kita nggak mampu mengingat detail yang
terjadi di perjalanan. Maklum, daya ingat manusia memang terbatas. Untuk itulah
kertas diciptakan; untuk ditulisi hal-hal yang bisa dilupakan atau tak muat
ditampung otak. Jadi, solusinya adalah ditulis? Iya dan enggak, karena ada
beragam metode. Ini cara yang saya pakai di trip baru-baru ini:
1. tulis di buku/notes kecil, atau
2. ketik di catatan HP
3. catat dengan rinci, atau
4. catat garis besar atau kata kuncinya aja
5. rekam suara
6. foto/video.
Mari kita bahas satu-satu.
Cara pertama, kedua, dan ketiga sudah jamak dilakukan. Pertama
dapat ilmu ini waktu bergabung di ekskul Pecinta Alam. Ketika diklat,
kami disuruh menulis catatan tentang hal-hal penting hari itu: apa aja yang dilakukan, ngapain dan ke mana aja, ada
peristiwa tertentu atau enggak, dsb. Ketika naik gunung juga sama. Kami diminta
mencatat jam-jam secara rinci, jarak tempuh pos X ke pos Y, kondisi medan, dsb.
Di zaman itu memang catatan begini sangat berarti karena bisa jadi panduan untuk pendakian selanjutnya. Gampangnya, kalau ada teman/adik kelas/klub pecinta
alam lain yang mau naik gunung tsb, mereka bisa survei waktu dan medan ke orang yang
pernah naik duluan. Selain tanya-tanya, cara lain, ya, lihat catatan perjalanan orang yang sudah pernah naik. Kalau sekarang, kayaknya info begini udah bejibun. Apalagi di jagad internet dan medsos.
Penulisan jam, medan, dll, ini masih saya pakai sampai sekarang. Cuma,
kalau dulu nyatat di buku, sekarang saya lebih suka nyatat di ponsel. Lebih cepat
aja ngetiknya daripada nulis. Karena lebih cepat itu, jadi bisa ‘mengejar’ otak
yang kadang baru mikir kejadian A, eh, udah lompat ke kejadian B.
Seringkali mikir lompat-lompat ini yang bikin malas nyatat karena
kayaknya banyak banget yang perlu dicatat dan diingat kembali. Saya biasanya baru nulis lengkap kalau malam. Saat kegiatan sudah selesai semua, ketika sudah
makan-ganti baju-siap tidur. Padahal itu jam capek-capeknya, kan. Kadang malah
nggak jadi nulis karena langsung bablas ke alam mimpi.
Oleh karena itu, saya pakai cara keempat, yaitu catat garis
besarnya. Cara ini saya pakai kalau sudah capek/malas ngetik panjang.
Sejujurnya, ini cara baru saya pakai semingguan lalu. Mikirnya, “Daripada nggak
ditulis, mending tetap nyatat tapi pendek-pendek.” Saya ketikkan kata kunci-kata
kunci yang ketika dibaca ulang (harapannya) bisa membangkitkan ingatan detail
tentang perjalanan. Kalaupun lupa lagi ngebahas apa, kata-kata tsb juga bisa
bantu buat browsing sehingga voila, muncullah cerita yang nyambung.
Misalnya, waktu berkunjung ke desa adat Batak. Pemandu tur menjelaskan banyak
hal soal perkakas adat. Maka ditulis: tongkat raja, anak kembar, relief jiwa,
pohon. Dengan baca kata-kata ini, saya jadi ingat kalau raja Batak punya
tongkat berelief ukiran wajah orang-orang. Raja Batak ini punya anak kembar
yang kisah hidupnya miris hingga lengket di pohon.
Namun, sejujurnya cara ini termasuk last resort. Soalnya, kadang
nggak semua hal yang kita temui di lokasi bisa ditemui di internet. Jadi browsing-nya
rada ribet atau, bad news, nggak nemu. Apalagi kalau kata kuncinya keliru.
Tapi, kan, udah capek seharian jalan-jalan. Masa harus nulis detail,
sih?
Untuk itulah ada cara kelima: rekam suara.
Cara ini juga baru kemarin saya pakai dengan total. Sebelum itu pernah, sih, ngerekam suara, tapi durasinya nggak lama. Soalnya, saya malu dan sungkan kalau ngerekam suara tapi ada orang lain yang
satu ruangan, hahaha. Pernah saya ‘rekaman’ waktu teman sekamar lagi di kamar mandi. Atau
kalau seruangan, ngerekamnya pelan banget kayak bisik-bisik.
Ngerekam suara lebih enak karena kita nggak capek nulis dan mikir.
Ngomongnya kayak ngobrol sama teman biasa; ngalir aja kayak lagi curhat. Hanya
saja ini ngomong sendiri. Alhamdulillah kalau teman dengar dan mau benerin/nambahin info. Tapi, sisi nggak enaknya adalah kita
harus dengerin rekaman itu ketika pulang, kemudian mencatat ulang. Buat
orang yang nggak telaten dengar dan lebih cepat baca, ini jadi salah satu
cobaan tersendiri. Berasa kerja dua kali. Namun, saat hari-H dan di lokasi, memang
jadi hemat energi.
Rekaman suara adalah cara paling final dan paling mudah buat nyatat
catper. Cuma, ya, hati-hati aja supaya file-nya nggak keburu dihapus karena
dianggap rekaman nggak penting. Untuk mempermudah, di awal rekaman bisa diomongin tuh
tanggal dan lokasinya. Misal, “Halo, hari ini 20 Februari 2023, hari pertama trip
ke Bandung.” Nge-record-nya sama kayak tulisan, yaitu bisa dibikin per hari atau per
malam.
Nah, kalau lagi di jalan dan nggak mungkin nyatat atau ngerekam, gimana?
Misalnya, lagi naik gunung. Ngerekam, kan, butuh waktu. Padahal waktu rest saat hiking toh terbatas buat betul-betul rehat dan tarik napas. Nyatat pun jadi out of
question dan kadang jamnya jadi diingat-ingat aja. Sebetulnya bisa aja diketik
cepat di ponsel. Tulis aja jam, lokasi, dan medan kalau perlu. Tapi untuk itu
pun kadang juga udah malas. Pun ketika malam, bisa jadi lupa detailnya karena kecapekan.
Untuk itulah ada cara keenam: foto/video. Foto tempat, spot
yang penting, atau plang penanda. Kalau mau detail medan, fotolah kondisi
jalan dan sekitarnya. Kalau mau lebih ringkas, videokan aja. Nggak perlu bagus,
yang penting jelas, karena tujuannya untuk pencatatan. Beda cerita kalau mau bikin
footage video, memang harus lebih dipikirkan.
Dulu, cara ini saya pakai kalau naik gunung dan capek. Banget. Apalagi kondisi
hujan. Males banget ngetik. Ngeluarin HP aja risiko kebasahan. Maka jalan
cepatnya adalah potret! Sampai pos 3 misalnya. Potret shelter atau plang
posnya. Sampai pos/camp berikutnya juga sama, gitu terus. Saat sudah
pulang atau lagi nge-camp dan mau nyusun catper, baru, deh, dilihat properties fotonya:
diambil jam berapa, dilihat kondisi cuaca dari gambar kayak gimana, dsb. Baru ditulis ulang.
Nggak cuma buat naik gunung, cara ini juga lumayan berguna di liburan
non-hiking. Liburan kemarin, inilah cara yang saya pakai buat ngitung
durasi perjalanan dari spot ke spot. Apalagi kalau bareng
rombongan, kan, harus gerak cepat. Manalah mungkin nyatet-nyatet. Jadi begitu sampai
tujuan selanjutnya, langsung potret aja apa yang ada di depan mata. Meski nggak
ada ‘objek bagus’ sekalipun. Kan, memang buat penanda aja. Motret 'objek
beneran'-nya nanti kalau udah di dalam.
Selain mengingat detail durasi dll, cara ini juga bisa dipakai saat lihat sesuatu di tengah perjalanan. Foto-foto yang dikumpulkan bisa dilihat lagi sebagai pengingat saat kita mulai menulis. "Oh, waktu itu di lokasi X ternyata aku lihat ada kejadian Y." Cara ini bisa memperbanyak isi tulisan, sebab yang ditulis nggak cuma deskripsi pemandangan dkk tapi juga peristiwa dan rasa yang terjadi ketika sedang di lokasi.
Ini cara mengumpulkan detail tulisan. Sebenarnya metode-metode di atas
juga sudah umum banget. Katakanlah lewat story Instagram/Facebook, vlog, dsb. Hanya saja kalau saya, story dsb itu cuma sekelebat
sehingga detailnya masih kurang tercatat. Dan mungkin karena saya mau ‘alihkan’
bahan itu dalam bentuk tulisan kemudian. Namun kalau memang nyaman pakai video dsb dan
nggak suka nulis atau mau liburan aja tanpa perlu nyatat macam-macam, ya, mangga
aja karena toh hobi dan preferensi orang beda-beda. Kita nggak harus mengambil
jalan yang sama. Sebab, apa yang enjoy kita nikmati emang beda-beda.
=====
Ngomong-ngomong,
kalau diperhatikan, di sini pakai kata "travelling" (dobel L). Ejaan yang betul "travelling" atau "traveling", sih? Dua-duanya benar. Bedanya, dobel L untuk ejaan ala British English dan satu L untuk American English.
Photo credit: wallpaperflare.com