Siapa yang suka baca ulang buku-buku yang pernah dibaca? Cung!
Buat sebagian orang, ngebaca ulang buku yang pernah dibaca mungkin ngebosenin. "Ngapain? Kan udah tahu isinya?" begitu respon beberapa orang yang pernah saya temui. Orang rumah tepatnya; yang kerap nemu saya mojok sambil baca novel, komik, atau jenis buku lain yang udah kami miliki bertahun-tahun lalu tapi tetap saya baca ulang.
Iya, ngapain? Kan, udah tahu 'dalamnya'. Udah hapal pula: setelah bagian ini kemudian bagian itu. Kenapa dibaca ulang?
Karena suka aja, hehe. Makanya diulang-ulang. Novel-novel atau buku-buku bergambar terutama. Kalau novel, karena bisa mengulang sensasi emosi yang ikut terbawa arus. Kalau buku non-fiksi, karena bagian itu unik. Kalau buku atau majalah warna-warni, jelas lah karena visualnya menarik banget, hahaha. Kadang juga baca buku yang bukan favorit karena ngerasa, "Eh ini kayaknya udah lama nggak kubaca jadi lupa isinya. Diulang, ah."
Namun, secara personal, ada manfaat lain yang bisa saya petik dari hobi re-read ini, yaitu kita bisa jadi lebih lancar berbahasa. Dengan sering membaca teks yang sama, maka kosakata yang ada dalam teks tersebut secara nggak sadar ikut terhapalkan. Bahkan, kata-kata yang awalnya kita nggak tahu artinya kemudian bisa jadi paham maksudnya tanpa perlu buka kamus. Kok bisa? Karena kita mengasosiasikan maknanya sesuai kalimatnya.
Gini deh. Misalnya: kita tahu makna 'sakit' itu apa. Tapi kalau disuruh menjabarkan dengan jelas kata-per-kata apa arti sakit, belum tentu kita bisa. Cuma, kita paham sakit itu seperti apa, rasanya gimana, dsb. Jadi kita nggak sekadar tahu arti harfiahnya, tapi lebih pada paham maknanya. Mirip-mirip dengan gimana cara kita belajar dan nyerap bahasa ibu ketika kita masih bayi. (Ini ada istilahnya, cuma saya lupa apa)
Bagi seseorang yang pengin belajar nulis, re-read juga bisa jadi salah satu cara belajar. Sejujurnya, inilah cara saya belajar nulis, dulu banget. Waktu itu belum ada seminar kepenulisan atau buku-buku petunjuk menulis, apalagi menulis fiksi. Panduan yang tersedia ya cuma EYD (waktu itu belum jadi PUEBI) dan buku penulisan karya ilmiah. Hal yang terakhir ini kan kaku banget, yah. Nggak cocok kalau dipraktikkan di genre fiksi. Jadi cara belajarnya ya dengan memperhatikan penulisan penulis lain lewat bukunya. Dan, karena terbiasa baca buku dengan ejaan, tanda baca, dan huruf kapital yang benar, makakebiasaan itu pun tanpa disengaja jadi ikut kebawa waktu nulis.
Oh ya, selain hal-hal teknis macam PUEBI, gaya penulisan buku yang kita baca juga sangat mempengaruhi style nulis kita ke depannya. Ketika masih SD, saya suka baca novel Enid Blyton dan seri Sherlock Holmes sehingga kalau tulisan cekeremes saya saat itu dibaca lagi, style-nya kelihatan banget meniru mereka berdua. Beranjak remaja, saya mulai suka baca teenlit, metropop, dsb. Gaya tulisan saya pun berubah jadi nge-pop banget. Sekarang gimana? Ya campur-campur, hahahah.
Bila 'diolah', kejadian di atas bisa dimanfaatkan sebagai trik. Gimana itu?
Sebelum bikin tulisan tertentu, saya baca buku dari penulis yang gaya penulisannya saya suka. Karena 'dikondisikan' dengan gaya itu, maka setelah itu tulisan saya gayanya juga jadi mirip-mirip begitu.
Karena saya belum punya gaya nulis sendiri, yang khas, maka kadang saya ganti-ganti pakai gayanya siapa. 'Siapa' ini adalah penulis-penulis yang karyanya saya suka dan gaya tulisannya berasa klop di hati saya. Kalau mau nulis fiksi pop tapi puitis dan to-the-point, saya baca bukunya Asma Nadia dan Dee. Kalau pengin nulis fiksi yang puitis bermetafora atau agak serius, baca Tere Liye, Andrea Hirata, atau kumpulan cerpen koran. Saat berencana bikin travel notes yang asik dan ngalir, bacaannya Trinity, Agustinus Wibowo, atau majalah National Geographic. Tentunya kemudian diselaraskan dengan style kita juga, ya. Baca buku ini biar kebawa suasana aja. Dengan begitu kita bisa eksplor kira-kira style kita sendiri bakal kayak gimana. (Ya meski beberapa orang bisa juga kaget dan bilang, "Hah, ini tulisan kamu? Kok gayanya beda? Kayak bukan kamu?" Well... namanya juga masih nyari pendirian, haha).
Begitulah. Kadang ngerasa sayang juga sama buku, terutama ebook yang saya pinjam dari perpus online, yang nggak dibaca ulang. Ngerasa lewat aja gitu infonya. Baru setelah lihat kaver atau dibuka-buka lagi baru keinget, "Oh ada info begini, ya. Ternyata aku pernah baca."
Cuma ya emang selera nggak bisa dipaksa. Jadi wajar-wajar rasanya kalau emang nggak suka re-read buku tertentu atau nggak re-read sama sekali (tapi kayaknya nggak mungkin ya. Paling nggak pasti pernah dong re-read buku pelajaran, hehe).
==========
Picture is courtesy of https://bookriot.com/wp-content/uploads/2014/03/ReRead.