|
Kolam pemandian dan menara raja |
Main ke Yogya (bukan Jogja ya, karena asal katanya ‘Ngayogyakarta’)
tentu kurang afdhol rasanya kalau belum ke Keraton atau Malioboro. Mumpung
sedang di pusat kota, kenapa nggak sekalian habisin semua tempat wisata di
dekat sana? Toh jaraknya cukup dekat ditempuh jalan kaki. Dari banyak tempat,
ada satu lokasi yang bisa jadi jujugan selanjutnya: Tamansari.
Bintang utama Tamansari adalah bekas kolam pemandian
keluarga Kesultanan Yogya di zaman lalu, yang nama sebenarnya adalah Pasiraman Umbul Binangun (pasiraman=pemandian;
umbul=sumber air; binangun=dari kata ‘bangun’, b. Jawa). Nama ‘Tamansari’
adalah kompleks peristirahatan yang meliputi kolam, danau-pulau buatan, dan
bangunan-bangunan untuk kegiatan sehari-hari. Jadi, berbagai obyek wisata
beserta perkampungannya saat ini, dulu merupakan satu kesatuan. Tak hanya itu,
kompleks seluas 10 ha ini juga tidak kering seperti sekarang. Ada danau buatan
yang mengelilingi beberapa bangunan di atas pulau buatan. Tak heran bila
sekarang ditemukan banyak lorong bawah tanah.
Lorong bawah tanah di lingkungan ini bukan cuma
berfungsi sebagai saluran air, tapi juga terowongan dari satu gedung ke gedung
lain (sekarang sudah banyak yang runtuh). Terowongan ini pun bisa dipakai
sebagai jalan pengungsian bila sewaktu-waktu ada serangan. Oleh karena itu
selain sebagai tempat rekreasi, kompleks yang dibangun oleh Sultan Hamengku
Buwono I ini juga bisa sebagai tempat perlindungan, seperti seyogyanya
bangunan-bangunan penting zaman dulu.
Dari Keraton, tempat ini bisa ditempuh berjalan kaki
kurang lebih 20 menit. Itu kalau jalan santai. Kalau jalan cepat dan kakinya
panjang, bisalah 15 menit. Mau naik becak? Bisa juga. Biasanya harga yang
dipatok sekitar Rp15.000,00. Kemarin sih teman saya nawar bisa dapat
Rp10.000,00.
Dari jalan biasa ke Tamansari memasuki gang. Biasanya
bahkan sebelum di mulut gang pun, kendaraan sudah mengular. Apalagi weekend dan hari libur. Beuh… Mau nggak
padat? Monggo datang pagi sekalian
dan di hari kerja.
Untungnya antrean loket nggak begitu panjang. Setelah
beli tiket lima ribu perak per orang (atau enam ribu?), kami pun masuk ke kompleks
kolam pemandian.
TAMANSARI,
BUKAN SEKEDAR KOLAM BIASA
Sebelum memasuki pemandian, pengunjung akan disambut
oleh gerbang yang sarat ukiran motif flora-fauna dengan beberapa sayap di
sisinya. Gerbang ini merupakan pintu timur pemandian, Gedhong Gapura Panggung. Meskipun sekarang merupakan pintu masuk
obyek wisata, sebenarnya gerbang ini adalah pintu belakang di masa lalu. Lalu,
di mana pintu depannya? Nanti, akan kita temukan setelah keluar dari pasiraman.
|
Gedhong Gapura Panggung, pintu masuk pemandian Tamansari kini |
Begitu melewati gerbang, rasanya jadi sejuk melihat
dua kolam yang terhampar di depan mata. Gimana nggak segar ngelihat air di
mana-mana?
Ada dua kolam di area ini, yaitu Umbul Kawitan yang
disediakan untuk putra-putri raja dan Umbul Pamuncar bagi para selir. Ada lagi
kolam privat bagi raja yaitu Umbul Binangun, yang letaknya di sisi paling kiri
(selatan), tapi nggak langsung terlihat karena tertutupi ruangan pribadi dan
menara (namanya juga pribadi kan?)
Umbul Kawitan dan Umbul Pamuncar dipisahkan oleh
jalan setapak dengan beberapa pot besar berisi tanaman hijau. Di sisi-sisi
kolam tersedia terundak pendek yang terendam air. Terbersit bahwa di masa itu,
para perempuan berjalan pelan-pelan dengan anggun meniti tangga pendek tersebut
sebelum kemudian berenang ke tengah kolam. Macam di film-film lah. Namun, tentunya
pengunjung dilarang bermain air di sini.
Bukan cuma kolam yang ada di bagian ini, tapi juga
ruangan di sisi kanan (utara) dan sisi kiri (selatan) di bawah menara. Bagian
utara digunakan untuk ruang ganti dan bersiap bagi para wanita, sedangkan
ruangan di bawah menara diperuntukkan bagi sultan.
|
Kolam pemandian Tamansari: Umbul Kawitan & Pamuncar |
Menurut penuturan bapak tour guide waktu itu, raja biasa duduk di dalam menara sembari
melihat para wanita bermain air. Saat itu, raja akan menyiapkan sebuah kembang.
Kembang itu kemudian ia lempar ke arah Umbul Pamuncar dan segera diperebutkan
para selir. Selir yang berhasil mendapatkan bunga itu akan mendapat kesempatan
menemani raja di kolam pribadi.
Bila diperhatikan, desain menara raja tidak hanya
bercorak Jawa melainkan gabungan beberapa gaya yaitu Jawa, Eropa, dan Tiongkok.
Arsitek pesanggrahan ini memang orang Portugis yang didatangkan dari Sulawesi,
Demang Tegis (apa ini nama asli? Saya nggak tahu persis, tapi dulu ‘demang’
adalah gelar buat pemangku tertentu dan mungkin ‘Tegis’ dari kata ‘Portugis’?).
Sementara, desainer lainnya yaitu Tumenggung Mangundipuro dikabarkan belajar
arsitektur Eropa hingga ke Batavia. Corak ini bukan cuma dari menara saja, tapi
dari keseluruhan bangunan kompleks ini.
Selepas menikmati birunya kolam, pengunjung diarahkan
ke pintu keluar berupa gapura. Inilah pintu masuk Pasiraman Umbul Binangun di
zaman dulu, Gedhong Gapura Hageng (hageng=ageng=besar, utama, bahasa Jawa).
Ini karena pesanggrahan Tamansari dibangun menghadap barat, sedangkan pintu
masuk loket wisata saat ini adalah pintu timur. Dulu, terdapat bangunan di depan
gapura yang berfungsi sebagai tempat perjamuan.
SUMUR GUMILING
DAN ATURAN TIGA DETIK
Keluar dari area Pasiraman dan belok ke arah kanan
merupakan jalan ke Sumur Gumuling. Yang mana itu, apa bentuknya memang sumur?
Bukan, struktur ini bukan sumur melainkan bangunan melingkar dengan panggung
kotak yang menonjol di tengah-tengah. Panggung inilah yang biasanya jadi tempat
swafoto.
Sebelum ke arah lokasi, sebenarnya ada sisa struktur
lain di sebelah kanan, masuk gang. Kami ke sana karena mengira itu jalan ke
lokasi sumur, ternyata bukan. Reruntuhan tersebut jelas merupakan sisa gedung. Maklum,
Pesanggrahan Tamansari usianya sudah lebih dari dua setengah abad, plus Jogja
beberapa kali diguncang gempa hebat.
Ada dinding tinggi di sebelah kanan dan posisinya
lebih tinggi dari sekitar. Mungkin, inilah sisa puri Pulo Kenanga.
Puri yang paling tinggi dibanding bangunan lain ini
dulu dipakai untuk tempat beristirahat plus berkegiatan seni, misalnya menari
atau membatik. Dari sini juga bisa mellihat ke seantero pesanggrahan Tamansari.
Maka nggak heran kalau tempat ini juga dipakai untuk tempat pengawasan bila
musuh datang. Kenapa namanya ‘Kenanga’? Ya karena dulu banyak pohon bunga
kenanga di sini.
Bangunan ini dulu berdiri di atas pulau buatan. Jadi,
Pulo Kenanga dan Sumur Gumuling dulunya adalah gedung di tengah danau dan
dikelilingi air. Demikian juga beberapa struktur lainnya. Jadi zaman dulu,
bangsawan kesultanan harus naik perahu bila ke kompleks Tamansari.
Balik ke Sumur Gumuling. Letak bangunan bundar ini
memang agak nyempil. Saat itu pun saya dan teman-teman sempat nyasar karena tak
ada penandanya. Ada sih, peta Kampung Taman. Namun, peta itu nggak menunjukkan
lokasi sumur secara detail, bahkan nggak ada posisi struktur-struktur kuno
lainnya. Alih-alih, peta tersebut menunjukkan rumah-rumah penduduk secara rinci
berikut nama kepala keluarganya. Mungkin peta itu dibuat supaya tamu penduduk
nggak kebingungan nyari rumah yang akan dikunjungi. Setelah mbludhus ngawur, bertanya penduduk, dan nginthili (mengikuti) tour guide orang, sampailah kami di
lokasi.
|
Pemusik bermain gitar dalam lorong yang ada di Tamansari (2017). Pada 2019, yang tampil sudah satu grup lengkap. |
Siapkan karcis sebelum masuk karena petugas akan
meminta tiket masuk kolam tadi. Jadi, tiket untuk pemandian dan sumur jadi
satu. Untuk memasuki struktur, kita harus melewati terowongan bawah tanah.
Dulunya terowongan bawah ini tergenang sampai ke bagian terundak untuk naik ke
panggung kotak. Orang bisa berwudu di situ sebelum shalat. Sumur Gumuling
memang difungsikan sebagai masjid dulu. Ceruk yang ada di lantai kedua
difungsikan sebagai mimbar bagi imam shalat. Jadi, kalau ada yang nanya, “Mana
masjidnya?”, ya ini. Bentuknya memang beda dari masjid kebanyakan. Tapi jadi
unik, kan?
Kalau pengin berswafoto di platform kotak itu, pastikan datang awal atau siapkan hati buat
antre. Antrenya luar biasa lama karena tempatnya kecil, sempit, tapi banyak
orang. Sebuah keistimewaan kalau
berombongan banyak dan nyewa tour guide
karena ia akan memastikan tamunya bisa berfoto di situ. Kami yang saat itu
jalan-jalan sendiri serta pengunjung lain sampai diminta sembunyi di ceruk demi
foto mereka.
|
Lorong lantai dua di Sumur Gumuling, selalu penuh orang |
Tapi jangan kuatir, lorong-lorong masjid ini juga
menarik kok buat difoto. Lagi, itu pun kudu sabar nunggu orang lewat dan pintar
cari timing dan angle buat nyembunyiin pengunjung lain. Seringkali gagal dapat
hasil bagus karena tiba-tiba ada orang berseliwer. Sudah aba-aba satu… dua…
tiga… yah ada orang, nggak jadi deh. Pengen foto bagus di sini? Bersiaplah
hanya dalam waktu dua detik.
TEMPAT TIDUR ROYAL FAMILY
Selain pemandian dan Sumur Gumiling, sebenarnya masih
banyak struktur kuno lain di Kampung Taman. Namun, bangunan-bangunan tersebut
sudah tertutupi oleh padatnya perumahan. Priviledge
lagi kalau sewa tour guide karena
mereka bakal ngantar kita blusukan. Saya sampai kagum, kok bisa mereka hafal
gang-gang yang njelimet ini. Kalau
saya, mungkin bakal butuh waktu lebih lama kalau blusukan nyari
bangunan-bangunan lawas itu sendiri. Atau malah nggak ketemu dan nyasar
sekalian!
|
Bangunan lama kompleks Tamansari tersembunyi di antara rumah-rumah perkampungan |
2015 dan 2017 lalu saya dan kawan-kawan memutuskan
pakai jasa tour guide. Berapa?
Seikhlasnya, beliau bilang. Tapi meski begitu, tetap kira-kira lah. Ya kali
cuma ngasih dua puluh ribu!
Waktu itu kami diantar ke beberapa bangunan. Saking
banyaknya ruangan dan namanya beda semua, saya sampai lupa ke mana saja. Yang
jelas, salah satu ruangan yang kami sambangi adalah dapur dan kamar tidur raja
beserta para istri. Para selir tidur di bangunan yang sama, sedangkan raja di bangunan
lainnya.
|
Gedung kuno dalam kompleks Tamansari |
Bagaimana kondisi kamar tidur zaman dulu? Sebenarnya
bentuk bangunan untuk istirahat di kompleks ini rata-rata sama, yaitu ruangan
berjendela dengan beberapa struktur setinggi pinggang. Di situlah kasur dan
karpet digelar. Selain itu juga bisa buat tempat penyimpanan barang atau
meletakkan perkakas.
Di dalam bangunan yang sama, juga ada ruangan lain yang
letaknya paling pojok. Ruangan ini paling beda karena ada terundak pendek yang
di atasnya terdapat lubang. Inilah kakus zaman dulu! Di bawah lubang tersebut
ada saluran air yang akan langsung membawa kotoran menuju sungai terdekat.
Saluran yang dulu selalu mengalir itu sekarang sudah kering. Dari mana airnya?
Ah, bapak pemandu tur menyebutkan nama sebuah sungai, tapi saya lupa namanya.
Ruang itu juga ruang untuk bebersih yang dilengkapi wewangian. Jadi, toilet
lawas pun aman dari bau dan tetap bersih. Bagaimana dengan kamar mandi kita di
rumah?
-------------------------------
Selain wisata sejarah, Tamansari juga menyuguhkan
wisata seni berupa batik lukis. Ada beberapa galeri yang bisa dikunjungi bila
tertarik. Bahkan, tak jarang ketika mengelilingi kampung, akan kita temukan
para seniman yang sedang bekerja di tepian gang.
Tamansari dan Kampung Taman merupakan saksi kemegahan
di masa lalu. Meskipun beberapa bagian yang sudah runtuh dan tak lagi utuh,
keanggunan dan kecantikannya tak lekang dimakan waktu, sama seperti namanya
yang berarti taman yang ayu.
-------------------------------
Sumber:
-Bapak tour guide
-Pamflet dari loket karcis
-Wikipedia!