Hijaubiru

Rabu, 20 November 2024

Kustbatterij Kedung Cowek, Bekas Benteng Belanda yang Tersisa di Surabaya
November 20, 2024 8 Comments


Mumpung masih November dan vibes-nya masih Hari Pahlawan, jadi keingat kalau tahun lalu pengin posting tentang Benteng Kedung Cowek. Benteng di pucuk Surabaya ini jadi saksi bisu berbagai pertempuran: mulai dari Belanda vs Jepang hingga Indonesia vs Belanda-Sekutu. Kejadian yang disebut kedua inilah yang termasuk dalam rangkaian peristiwa 10 November; yang diperingati sebagai Hari Pahlawan dan bikin Surabaya punya julukan “Kota Pahlawan”.

 

Benteng Kedung Cowek berlokasi di ujung utara Kota Surabaya, berhadapan dengan Pulau Madura. Pas banget di pinggir. Dari sini kita bisa nyentuh langsung air lautnya Selat Madura. Bahkan daratan Madura di seberang samar-samar bisa terlihat. Jembatan Suramadu? Kelihatan jelas banget!

 

Benteng Kedung Cowek memang sengaja dibangun di pinggir laut oleh Belanda sebagai mekanisme pertahanan untuk menghadapi musuh dari laut.

 

Nama Benteng Kedung Cowek, kayaknya, baru ramai di khalayak umum sepuluhan tahun belakangan. Saya sendiri pertama dengar soal benteng ini beberapa tahun lalu dari surat kabar. Pertama tahu, saya langsung tertarik. Soalnya baru kali itu saya dengar ada benteng di Surabaya. Sebelum itu, saya ngira udah nggak ada sisa.

 

Bicara soal benteng, yang terlewat di pikiran adalah bangunan ‘melingkar’ macam Fort Vredeberg di Yogya atau Fort Rotterdam di Makassar. Bangunan segede itu di Surabaya, di mana? Sekian lama tinggal di sini kayaknya saya nggak pernah lihat atau tahu kalau ada benteng. Pernah sih, ada benteng: Fort Prins Hendrik. Namun bangunan itu udah nggak ada sejak dulu banget.

 

Fort/citadel Prins Hendrik, Surabaya.
Inset dari peta tahun 1866 (Leiden University Library)


So, saat dengar ada benteng di sini, tertariklah saya untuk datang melihat. Namun waktu itu Benteng Kedung Cowek belum dibuka untuk umum karena baru diungkap. Bangunan ini pun terletak di tanah milik TNI yang akses keluar-masuknya jelas dibatasi. Pengin ngelihat dari jauh atau luar, rasanya sungkan dan nggak nyaman. Jadi ketika saya tahu kalau tempat ini udah dibuka untuk umum dan lumayan ramai orang, berangkatlah saya ke sana.

 

[ Disclaimer:

Meski tulisan ini dibuat berdasarkan referensi, bisa jadi ada kelirunya terutama mengenai sejarahnya. Antara saya yang salah nangkap isi referensi atau keliru ambil sumber, saya juga bukan akademisi bidang Sejarah. Pembaca disarankan untuk check and recheck lagi atau cari sumber lain yang lebih pasti. ]


 

 DAFTAR ISI 

 (klik poin untuk menuju bagian tertentu di halaman ini)

(Nggak tahu kenapa hyperlink-nya nggak bisa diubah biru, hfft)



RUTE KE BENTENG KEDUNG COWEK 

Benteng Kedung Cowek terletak di ujung utara Kota Surabaya; bersebelahan dengan pintu masuk Jembatan Suramadu. Benteng ini bukan tempat wisata. Maksudnya, saat ini memang nggak difungsikan sebagai tempat wisata, tapi oleh TNI (selaku pemilik lahan di mana benteng ini berdiri) dibuka untuk umum/boleh dikunjungi oleh masyarakat umum. Jadi jangan heran bila penampilannya apa adanya. 


Untuk mencapai lokasi dengan kendaraan pribadi, lurus aja menyusuri Jl. Kedung Cowek. Jalan terus ke arah utara/Suramadu. Rute ini sudah terpampang jelas di Google Maps sehingga relatif mudah diikuti.

 

Namun hati-hati, beberapa puluh meter sebelum mencapai gerbang Suramadu, kita harus ambil lajur kiri ke arah Tambak Wedi. Lurus dikit sampai ketemu putar balik (di bawah jalan Suramadu). Setelah putar balik, jalan lurus sambil ambil kiri karena jalan masuk ke benteng terletak cuma 200-300 meteran kemudian. Biasanya di situ banyak orang jualan. Belok kiri sesuai Google Maps, lalu lurus terus sampai ketemu jalan kecil dan tempat parkir motor seadanya.

 

Soal putar balikan tadi, saya sering deg-degan kalau lewat sana, hehe. Soalnya, lupa ambil kiri sedikit, bisa masuk gerbang Suramadu. Mana bisa putar balik kalau udah masuk situ.... Akhirnya kalau udah hampir dekat ujung, saya nyetir motornya pelaaan banget dan kiri banget sampai ketemu pedagang kaki lima. Kalau udah ketemu mereka, berarti saya udah di jalan yang benar sebelum putar balikan, haha. Bila jalannya terlihat bersih dan steril, itu berarti mau masuk gerbang Suramadu.

 

Balik ke tempat parkir. Sebenarnya saya terakhir pergi ke sini udah hampir dua tahunan lalu jadi mungkin ada info yang kurang update.

 

Kalau nggak salah ingat, masuk ke area bentengnya sendiri nggak bayar. Cuma bayar parkir kendaraan aja. Rp2.000 atau Rp5.000 per motor, kalau nggak salah.

 

Dari parkiran, benteng nggak terlihat sama sekali karena tertutup pepohonan. Di dekat gerbang parkir, ada jalan setapak di sebelah kiri (arah utara). Itulah salah satu jalan masuk menuju benteng.

 

Kalau naik kendaraan umum gimana?

Dulu ada teman yang rumahnya daerah sana, dia pulang-pergi sekolah naik bemo (mikrolet). Sekarang kurang tahu. Mungkin dilewatin bus atau feeder Wira-Wiri?

 

 

BENTENG KEDUNG COWEK, WAJAHNYA KINI 

Benteng Kedung Cowek, sering juga disebut 'gudang peluru'

Musim masih kemarau ketika saya berkunjung ke sini. Meski ada banyak pohon, hawa panas khas pantai (dan khas Surabaya banget, hahaha) tetap menerpa kepala. Suasana itu makin terasa saat mata ini tertumbuk pada rerumputan kuning nan kering-kerontang di pinggir jalan setapak.

 

Betul-betul setapak karena hanya cukup dilewati satu-dua orang aja. Jalan tanah ini membentang membelah rawa-rawa (atau tambak?). Tampak beberapa pemuda setempat duduk di tepian sambil memegang joran pancing.

 

Jalan setapak ini nggak panjang. Nggak sampai tiga menit dan kami sudah berdiri di hadapan/belakang kustbatterij.

 

Seperti yang disebut di awal, benteng ini bentuknya nggak melingkar seperti puri, tapi mendatar seperti tembok lurus. Dindingnya berwarna putih-kekuningan. Gurat-gurat hitam melapisi tepian tembok; entah itu cendawan atau bagian yang lapuk kena hujan.

 

Sekali lihat, dalam pandangan saya vibes-nya ‘dapet banget’.

Rasanya kayak berada dalam film fiksi sejarah di mana kita menemukan puing-puing kuno.

 

Perasaan itu mungkin muncul karena melihat tumbuhan liar yang merambati dinding luar benteng, menutupi hampir seluruh ujung bangunan. Bahkan ada pohon tinggi besar yang tampak seperti tumbuh di atasnya. Saya mendekat, melihat daun air-mata-pengantin (Antigonon leptopus) menjalari permukaan tembok dan menyembulkan bunga-bunga merah muda.


Pohon dan semak menutupi bagian luar benteng

Daun dan bunga air-mata-pengantin (Antigonon leptopus) di sisi luar bangunan


It felt whimsical. Kayak ngelihat puri cantik yang dipenuhi bunga-bunga.

Namun kisah di sini nggak seindah cerita dalam dongeng kerajaan.

 

Vibes whimsical itu menguap seketika saat kami masuk ke ruangan dalam benteng. Gelap, sempit, berlangit-langit rendah. Langsung terasa pengap. Nggak kebayang kalau harus berada dalam ruangan ini di masa itu: entah lagi jaga atau nyalurin amunisi atau sekadar duduk rehat sebentar. Belum lagi was-was mendengar rentetan suara senapan atau dentum meriam.

 

Kami berjalan memutar ke ‘depan’, yaitu arah benteng ini dihadapkan (arah laut). Gundukan tanah setinggi dua lantai ‘membentengi’ bangunan. Mungkin supaya benteng lebih terlindungi dari hantaman artileri musuh. Terdapat sebuah celah horisontal supersempit di dinding.

 

“Kalau kamu di dalam (ruangan benteng) dan aku ngintip dari sini, yang kelihatan cuma matamu,” gurau seorang partner jalan kali ini.

 

“Ini kayak yang di film-film itu nggak, sih?” sahut rekan lain. “Tempat naruh moncong flamethrower. Jadi kalau musuh udah dekat, lebih gampang ‘ngehabisin’-nya.”

 

Wah, seram juga percakapan ini.

 

Kami balik ke sisi satunya tadi, sisi dari mana kami datang. Di sini terlihat bahwa Benteng Kedung Cowek terdiri dari dua lantai. Lantai bawah berupa ruangan-ruangan tadi, sedangkan lantai atas berupa sisi terbuka. Di sinilah para tentara menembaki musuh dari laut dengan berbagai senjata, termasuk meriam.

 

Di bagian luar terdapat terundak untuk naik ke lantai dua. Di sisi terundak terdapat lubang kotak yang terhubung dengan ruangan lantai satu. Diduga dari lubang inilah amunisi dari gudang bawah diserahkan pada mereka yang bertugas di lantai atas.


Tampak luar bangunan dan tangga serta ceruk

(Kemungkinan) lubang-lubang bekas tembakan dan perbandingan ukurannya dengan badan manusia
 

Kami bergerak menuju sisi atas, melalui tangga sempit dan (rada) curam. Dinding di sisi tangga tampak bocel di banyak tempat. Mungkin inilah jejak tembakan peluru dari zaman itu. Tangan saya meraba dinding, memperhatikan lubang-lubang tak beraturan. Ada yang ukurannya sebesar jempol hingga segede kepala orang dewasa. Waw...

 

Kami pun sampai di atas, di struktur bundar dengan dinding rendah yang menghadap lautan. Tak lama lalu kami turun dan melanjutkan perjalanan ke Benteng Kedung Cowek yang lain lagi.

 

Lah, bentengnya ada berapa?

 

 

BANGUNAN-BANGUNAN KOMPLEKS BENTENG KEDUNG COWEK 

Kompleksnya memang satu, tapi bangunannya ada banyak dan menyebar di beberapa titik. Correct me if I’m wrong, mungkin ini alasan mengapa Belanda nyebut bangunan ini ‘batterij’ dan bukan ‘fort’?

 

Asal-Muasal Nama

Belanda menyebut tempat ini sebagai batterij atau kustbatterij Kedoeng-Tjowek, bukan ‘fort’ yang berarti ‘benteng’. Mengapa?

 

Itu salah satu pertanyaan yang muncul di benak saya sebelum sampai ke lokasi. Begitu sampai dan ngelihat sendiri, pikiran yang tebersit, “Oh mungkin karena bentuk bangunannya.”

 

Beda dengan benteng (at least yang saya tahu) yang bentuknya seperti bangunan-bangunan yang berpusat di satu tempat dan dikelilingi tembok, Benteng Kedung Cowek bentuknya menyebar. Di sepanjang garis pantai, di sepanjang itulah bangunannya dibangun. Alih-alih ‘melingkar’ seperti benteng—misalnya Vredeberg—, ia berbentuk ‘garis’.

 

Letak benteng dilihat dari Google Maps, berada di sepanjang tepi pantai
(NB: garis kuning nggak menandakan letak dan ukuran benteng secara pasti, hanya penanda kalau bangunannya berada di sekitaran situ)

Benteng dan kemampuan arah serangannya untuk mempertahankan daratan (oleh TNI AD, diakses dari Giffari & Soekardi, 2021)

 

Bangunan-bangunan tadi berbentuk bak garis yang memagari batas pantai dan daratan. Usut punya usut, tujuan pembangunannya memang sebagai ‘pagar’. Bangunan ini berfungsi untuk melindungi daratan dari serangan dari arah laut. Supaya perlindungannya bisa mengkover area yang luas, maka bangunannya pun panjang.

 

Yup, fungsi utama bangunan ini memang untuk coastal defense alias pertahanan tepi pantai. Itulah asal namanya.

kust = coast = tepi pantai

batterij = battery = baterai

NL – ENG – IDN

 

Secara istilah, batterij/battery bermakna kumpulan unit artileri (senjata), seringnya dijajar dalam baris-baris, untuk pertahanan. Beberapa lainnya menyebut bahwa bisa juga berarti bangunan-bangunan ‘kecil’ untuk pertahanan yang tidak saling terhubung layaknya fortress. Istilah ternyata juga udah masuk KBBI dengan entri ‘baterai’, juga punya arti yang sama.

 

Bangunan Lain

Bangunan-bangunan lain di area benteng, berdiri sendiri
 

Semakin jauh berjalan ke area pesisir alias ke arah kanan dari jalan masuk, kita akan menemukan beberapa bangunan. Semak-semak makin rimbun, tapi aroma khas air laut yang asin dan udaranya yang panas dan lengket tetap terasa. Di sini, nggak cuma bertemu dengan ‘tembok’ memanjang lagi, ada juga bangunan-bangunan tunggal yang berdiri sendiri bak pion catur dalam petak-petak berbeda.

 

Bentuk bangunan ini macam-macam. Fungsinya pun macam-macam. Di masa lalu, reruntuhan yang dirambati tumbuhan liar dan ‘dihiasi’ grafiti warna-warni ini ada yang berfungsi sebagai gudang diesel, gudang amunisi, dsb. Maka nggak heran bila warga lokal juga menjuluki tempat ini gudang peluru.

 

Kami melihat di atas sebuah bangunan terdapat semacam alur rel.

“Mungkin ini bekas jalur buat meriam,” ujar seorang rekan.

Saya kurang tahu wujud sesungguhnya. Yang kebayang adalah semacam jalur untuk geret-geret meriam untuk mengarahkannya ke arah tertentu. Karena kalau nggak pakai roda/tuas, meski berbanyak orang, pasti berat banget! Berapa ton itu?

 

Dari atas bangunan, tampak sekeliling yang didominasi semak-semak (yang saat itu berbunga cantik banget!) dan pohon-pohon setinggi bangunan tiga lantai. Dari sini terlihat beberapa bangunan tunggal lainnya. Di antara bangunan tampak genangan air yang mungkin adalah sisa rawa payau yang mengering.

 

Tepi pantai Surabaya, tampak perahu nelayan dan Jembatan Suramadu

Jalan setapak di jalan masuk menuju benteng

 Jadi kalau dirangkum, sejak pintu masuk tadi ada dua bangunan memanjang. Yang satu (saat itu) terlihat lebih terawat karena kayaknya dicat, warna kuning krem. Bangunan memanjang lainnya terlihat lebih lawas karena lebih bebercak hitam. Dua-duanya juga bebercak, sih. Keduanya juga dirambati tumbuhan liar dan pohon, juga dicoreti grafiti. Bangunan-bangunan lainnya, yang berdiri tunggal, juga bernasib sama.

 

Benteng Kedung Cowek sepertinya memang nggak difungsikan sebagai tempat wisata. Hanya dibuka untuk umum aja, baik untuk jalan-jalan atau untuk orang yang penasaran sama bangunan di masa lalu. Spot untuk prewedding juga. Beberapa bagian juga tampaknya dimanfaatkan oleh warga sekitar.

 

Dulu pernah dengar ada rencana bakal direvitalisasi, tapi sepertinya belum jadi. Terlaksana pun, prosesnya pasti lama karena nggak kayak membuka wahana wisata, preservasi sejarahnya juga nggak kalah penting.

 

Oh iya, selain Kustbatterij Kedoeng Tjowek, di Indonesia juga terdapat kustbatterij lainnya, antara lain Kustbatterij op de Landtong te Cilacap alias Benteng Pendem Cilacap.

 

 

KUSTBATTERIJ KEDUNG COWEK DI MASA LALU DAN 10 NOVEMBER 

Artikel  surat kabar tentang peristiwa 10 November 

 

Jadi, apa hubungan benteng ini dengan pertempuran 10 November? Sebentar. Mari mundur dulu ke masa ketika benteng ini dibangun.

 

Benteng ini dibangun di atas lahan seluas 7 hektar dan dibuat sekitar era 1900-an oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk coastal defense. Konon benteng untuk defense ini nggak hanya di Kedung Cowek, tapi juga di beberapa titik lain di Surabaya dan Pulau Madura. Beberapa sumber menyebut daerah Semambung (Gresik), Kali Dawir (Surabaya), Tanjung Perak (Surabaya), dan Ujung Piring (Madura). Kalau dilihat di peta, benteng-benteng ini berada di daratan sekitar Selat Madura.

 

Mengapa Selat Madura?

Karena Surabaya merupakan kota pelabuhan dan kota penting. Selain penting dalam logistik dan pemerintahan, militernya juga berpusat di sini. Pintu masuk dari pulau lain pun di sini, lewat Pelabuhan Tanjung Perak (yang ada di Selat Madura). Sejak zaman sebelum Majapahit sampai sekarang masih begitu.

 

Dari ‘pintu’ inilah Jepang merangsek masuk ketika PD II.

Dari ‘pintu’ ini jugalah Belanda dan Inggris yang tergabung dalam Blok Sekutu (Allied Powers) masuk di era '45.

 

Kalau dibuat kronologi, jadi seperti ini: 

  • 1900-an kustbatterij Kedung Cowek dibangun
  • 1942 Jepang masuk. Perang Belanda vs Jepang. Belanda kalah
  • 1945 Agustus Jepang kalah Perang Dunia II > Belanda + Sekutu masuk > perang Belanda+Sekutu vs Indonesia.

Peristiwa era 1945 inilah yang memicu peristiwa 10 November.

 

Setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika Serikat pada bulan Agustus 1945, Jepang memutuskan menyerah dari kancah Perang Dunia. Ngelihat situasi seperti itu, Indonesia pun memproklamasikan kemerdekaan. Senjata dan logistik Jepang diambil alih oleh pemuda Indonesia.

 

Sementara itu, Jepang setuju untuk menyerahkan tawanan perang pada Sekutu. Alasan itulah yang bikin Sekutu datang lagi ke Indonesia: ngurusin orang-orangnya. Namun dalam praktiknya ternyata motifnya nambah-nambah, yaitu ngambil kekuasaan lagi.

 

Pasca Sekutu balik ke Indonesia di bulan September, ada banyak pembicaraan dan perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda+Sekutu yang makin panas. Situasi ‘panas’ ini sebenarnya terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Beberapa di antaranya sering kita temui di buku Sejarah zaman sekolah, contohnya peristiwa Medan Area dan Pertempuran Ambarawa.

 

Jalan Tunjungan dan gedung Tunjungan Plaza alias TP. Hotel Majapahit terletak di jalan ini, tinggal lurus dikit. Tunjungan sering ramai apalagi pas malam mingguan.

 

Di Surabaya sendiri, salah satu puncaknya kejadian di 19 September, waktu Belanda mengibarkan bendera merah-putih-biru di Hotel Yamato/Oranje/Majapahit di Jl. Tunjungan (yang sekarang makin hits itu). Warga yang ngamuk pun manjat itu tiang dan nyobek warna birunya. Kejadian ini disebut Insiden Bendera atau Het Vlag Incident.

 

Nah, makin panas tuh keadaan. Namun masih diredam-redam.

 

Akhir Oktober, panasnya sudah nggak terbendung. Sekutu menyebar selebaran dari atas pesawat yang berisi ultimatum: pemuda/pejuang Indonesia menyerah atau kota dihancurleburkan. Orang kita menolak. Pertempuran pun meletus.

 

Hm... jadi ingat berita beberapa bulan/setahun lalu saat ada negara yang juga nyebarin selebaran lewat pesawat. Isinya juga ultimatum ke warga lokal: pergi dari sini karena mau dibom. Mirip-mirip kelakuan.

 

History always does repeat itself.

Action-nya mirip, motifnya mirip, pemainnya aja yang ganti-ganti.

 

Oke, balik. Konon peristiwa di balik layar sebelum perang meletus ini tarik-ulur. Ada perundingan, pembicaraan, you name it. Petinggi Indonesia—mulai dari petinggi pasukan sampai gubernur—juga minta pemuda menahan diri dan nggak open fire duluan. Namun Sekutu nembak duluan sehingga pecahlah pertikaian hingga Jenderal Mallaby tewas.

 

Saya pernah dengar kalau larangan bagi orang Indonesia supaya nggak nembak/berantem duluan meski dipancing-pancing ini sangat ditekankan oleh beberapa petinggi/tokoh perjuangan Indonesia waktu itu. Kenapa? Karena saat itu, di media/kalangan orang Barat disebarkan kesan bahwa orang Indonesia itu barbar dan sadis sehingga harus ‘diatur’ supaya ‘beradab’. Cap negatif macam teroris dan ekstremis pun disematkan, termasuk pada tokoh-tokoh perjuangan Indonesia.

 

Kayaknya ada yang pernah upload potongan koran lawas itu di medsos dan rame banget tanggapannya. Jadi pelarangan tadi itu untuk nunjukin bahwa orang Indonesia itu nggak barbar atau menyerang tanpa alasan, tapi sebab menginginkan kemerdekaan.

 

Dalam orasinya, Bung Tomo juga menyerukan hal serupa:

... Saudara-Saudara, rakyat Surabaya, siaplah!

Keadaan genting!

Tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak.

Baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka itu.

Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka ... 

  Potongan pidato Bung Tomo, 1945

 

(By the way, perjuangan orang Indonesia pun ada noktah gelapnya. Maksudnya, ada oknum pejuang yang kelakuannya emang buruk, seperti terlalu temperamental sampai menyasar orang asing sipil atau sengaja cari keuntungan dalam kesempitan. Mungkin tipe mereka inilah yang di-highlight media luar era tsb.)  

 

Pasca tewasnya Mallaby, Sekutu ngasih ultimatum lagi supaya rakyat Surabaya menyerah. Para warga dan pemuda nggak mau. Pada 10 November, Sekutu membombardir Surabaya dari darat, laut, dan udara.

 

Pada saat kejadian, Benteng Kedung Cowek masih menyimpan banyak artileri milik Jepang (yang sudah diambil alih Indonesia). Meriam, senapan, peluru, you name it. Pejuang Indonesia memanfaatkan amunisi beserta benteng ini untuk mempertahankan kota ketika kapal-kapal perang Inggris/Sekutu menembaki Surabaya dari arah laut. Kelompok pejuang yang bertempur di sini adalah Batalion Sriwijaya, orang Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam Heiho (tentara) era Jepang dan banyak berasal dari daerah-daerah luar Jawa.

 

Saat ikut pertemuan yang ngebahas Pertempuran 10 November, ada salah satu kalimat yang membekas tentang Batalion Sriwijaya ini, yang intinya:

“Mereka yang lahir dan besar di luar Surabaya, bahkan luar Jawa, nggak segan langsung pasang badan begitu ngehadapi musuh dari luar. Indonesia baru seumur jagung, tapi bhinneka tunggal ika-nya langsung dipraktikkan tanpa ragu.”

 

Ratusan orang—lebih dari sepertiga Batalion Sriwijaya—gugur di Benteng Kedung Cowek selama Pertempuran 10 November. Mereka gugur tanpa nisan untuk mempertahankan kemerdekaan, hingga Sekutu mundur dari Surabaya dan kota-kota lainnya.

 

Tapi pantai Surabaya tampak damai kini.  Dulu, dari arah inilah kapal-kapal perang Sekutu menembaki para pejuang.

 

Pertempuran 10 November juga menjadi salah satu pertempuran besar Indonesia. Meski yang diperingati hanya satu tanggal, durasi perangnya berpekan-pekan. Korbannya pun besar. Pengorbanan yang besar untuk kemenangan sebuah kedaulatan.

 

Kini, Benteng Kedung Cowek berdiri dalam diam; tertutup semak dan pepohonan di tepi pantai. Dengan Jembatan Suramadu di hadapan, ia seperti mengamati kemajuan negara tempatnya berdiri hampir seabad lalu, meski ia sendiri terperangkap waktu.


 

💡 TIPS JALAN-JALAN 

Apa tips mengunjungi Benteng/gudang peluru Kedung Cowek?

Biasa aja sebetulnya, ini cuma saran aja karena ngelakuin ini bikin saya enjoy saat berkunjung ke sana. 

👉 Waktu: lebih baik berkunjung saat musim kemarau. Karena jalannya tanah, kebayang kalau hujan pasti becek. Meski saat hujan pemandangannya beda dengan saat kemarau kering.

👉 Jam: lebih baik berkunjung saat pagi, lalu pulang menjelang siang. Panasnya Surabaya luar biasa, nggak cuma gosong tapi juga kliyengan kalau berkunjung di siang bolong. Kalau sore gimana? Saya belum pernah coba, sih. Tapi kepikir kalau sore nggak bisa lama, karena kayaknya penerangannya masih terbatas. Dan kalau keburu malam, rawan nyamuk juga.

👉 Bawa topi dan air putih, apalagi kalau berencana menyusuri agak lama, supaya nggak kehausan dan kekeringan. Bawa lotion anti-nyamuk kalau butuh. Pakai tabir surya alias sunblock. Pakai celana panjang kalau bisa, karena kalau mau lihat beberapa bangunan lebih dekat harus jalan rada mbrasak ke semak-semak.


Laut. Dilihat dari atas salah satu bangunan benteng. Mungkin mirip inilah pemandangan yang dilihat para tentara zaman dulu, tapi dengan riuhnya suasana pertempuran.



===============






Referensi:

Giffari, R.A. dan K.Y. Soekardi. 2021. Component analysis at Fort Kedung Cowek buildings in Surabaya, East Java: observation on panopticon concept. Internasional Review of Humanities Studies (6): 428-452.

Hapsari, N. 2018. Fragmented continuum concept museum of Kedung cowek Fortification. Tugas akhir, ITS.

Ministry of Colonial Affairs(?). 1909. Koloniaal Verslag van 1909.

Priyambodo, U. 2021. Granat di Benteng Kedungcowek dan Robohnya Cagar Budaya Kota Pahlawan. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/132983266/granat-di-benteng-kedungcowek-dan-robohnya-cagar-budaya-kota-pahlawan?page=all

Setyawan, A. 2019. Benteng Kedungcowek, Tantangan Pemerintah Kota dan Tim Ahli Cagar Budaya Menemukan Kembali Jiwa Kota Pahlawan Pada Hari Jadi ke 726. https://roodebrugsoerabaia.com/2019/05/benteng-kedungcowek-tantangan-pemerintah-kota-dan-tim-ahli-cagar-budaya-menemukan-kembali-jiwa-kota-pahlawan-pada-hari-jadi-ke-726/

Setyawan, A. 2022. Literasi Sejarah: Arek Jawa Timur Menapak Jejak Jasa dan Cita Para Pahlawan. Webinar Disperpusip Jatim.

SRM. 2020. Kisah 200 Pasukan Sriwijaya, Bertempur Sampai Mati Melawan Sekutu di Surabaya. https://www.infokomando.id/2018/05/kisah-200-pasukan-sriwijaya-bertempur.html

Tim Salute. 2016. Coastal Batteries Then and Now. https://salute.co.in/coastal-batteries-then-and-now/

Waid, A. 2019. Bung Tomo. Penerbit Laksana, Yogyakarta.

Widyaningrum, G.L. 2020. Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/132147941/awal-perjalanan-benteng-kedungcowek-menjadi-pusaka-kota-surabaya?page=all


Reading Time:

Minggu, 27 Oktober 2024

Foto Perjalanan: Bagaimana Membuat Foto Lebih Menarik
Oktober 27, 20240 Comments

 

Saat ngelihat foto-foto perjalanan atau lanskap jepretan orang, saya sering ngebatin, “Kok orang-orang ini bisa aja dapat foto yang cantik banget? Gimana caranya?” Nggak cuma cantik, foto-fotonya juga lain daripada yang lain. Biar satu lokasi, tapi fotonya macam-macam.

 

Setelah beberapa saat ngulik fotografi, akhirnya ketemulah beberapa cara supaya dapat foto yang lebih mendingan dan nggak kayak asal jepret aja. Tips-tips ini saya dapat dari berbagai sumber (orang/buku/web/dsb) dan buat saya jadi hal paling bisa dipraktikkan bahkan buat yang nggak terlalu ngulik dunia fotografi. Awal ngulik fotografi dulu, inilah hal-hal yang saya lakukan. Jadi, disclaimer dulu, tips yang di sini emang basic banget dan kurang cocok buat yang sudah expert. And I’m no expert myself.

 

Jadi, langsung aja ke langkah pertama.


 

1. Tentukan objek fotonya

Saat di tempat wisata, kita sering terpesona dengan tempat itu sampai-sampai pengin rasanya mendokumentasikannya ke dalam satu foto. Saya juga sering gitu, haha. Sayangnya, nggak bisa (atau susah) ngerangkum semua keindahan objek dalam satu foto aja. Kalau dipaksa, fotonya jadi nggak fokus.


Pernah nggak, ada di suatu lokasi yang cantik banget, terus pengin motret tempat itu semuanya, tapi waktu fotonya dilihat lagi ternyata jadi nggak sebagus aslinya atau malah jelek?


Saya sering gini waktu motret, haha. Di mata kelihatan cakep, tapi waktu difoto kok enggak?


Ini faktornya bisa macam-macam, tapi kali ini fokus ke satu dulu: karena objeknya kebanyakan. Dalam bukunya, Rob Sheppard (fotografer) berkata yang intinya:

Mata kita bisa otomatis fokus pada objek yang kita inginkan, tapi lensa kamera tidak bisa. Lensa kamera hanya bisa melihat cahaya.


Jadi, pertama-tama, meski pemandangan itu terlihat cantik di segala penjuru, tentukan dulu objeknya: danaukah, pohonkah, komidi putarkah, orangnya, atau apa? Supaya saat orang (atau kita) ngelihat foto yang dihasilkan, arah pandangannya jelas ke mana.


Mana yang lebih bagus, foto kiri atau kanan?
Foto kiri ingin menangkap semua objek (terundak tinggi, pohon, lampion) tapi malah nggak fokus. Foto kanan fokus ke lampion, pepohonan sebagai background


2. Atur komposisi foto

Supaya pandangan bisa langsung fokus ke foto, maka komposisinya harus diatur supaya semua nggak bercampur-baur. Dalam fotografi, ada banyak ‘resep’ komposisi. Yang paling umum didengar mungkin rule-of-third. Ada juga leading lines, golden ratio, dsb. Paling gampang dipraktikkan pertama kali, rule-of-third ini.


Rule-of-third membagi bidang foto jadi tiga. Tiap bagian berbatasan dengan garis imajiner ini sehingga porsinya pas.


Namun bukan berarti semua foto harus nurut aturan ini. Kalau misal ngerasa nggak cocok, suka-suka aja mau dipakai atau enggak.


Kalau pengin ngulik komposisi lebih jauh, coba cari pakai kata kunci: (tipe) komposisi fotografi.

Contoh rule-of-third: garis-garis membagi 3 bidang horisontal dan vertikal. Sepertiga batuan, sepertiga laut, dan sepertiga untuk langit.
.


3. Cari angle lain

... alias cari sudut pengambilan foto yang lain. Kita sering banget ambil foto dari angle setara mata kita (eye-level shot). Kalau ingin hasil yang beda, coba sekali-kali ambil foto dari sudut yang lebih tinggi atau lebih rendah. Lalu bandingkan dengan foto yang diambil setara mata. Kira-kira lebih cocok yang mana?


Angkat kamera/HP lebih tinggi dari posisi mata, mungkin foto yang dihasilkan jadi bisa mencakup lebih banyak area. Coba taruh kamera/HP lebih rendah dari posisi mata, siapa tahu gedung antik di depan kita bisa kelihatan lebih megah.


Coba dua ini dulu (high angle dan low angle). Kalau penasaran, bisa coba cek sudut pengambilan lainnya. Kata kunci: macam angle dalam fotografi atau types of angles in photography.


Kadang, hasil foto bisa lebih keren pakai low angle, kadang high angle, kadang eye-level juga udah bagus. Jadi menyesuaikan aja mana yang lebih cocok.


Dua foto di lokasi yang sama, objek yang sama, tapi sudut pengambilannya berbeda. 
Atas, foto diambil dari posisi setara mata. Hasilnya menunjukkan kesan hamparan penuh bunga.
Bawah, foto diambil dari posisi lebih bawah (low angle). Hasil menunjukkan kesan bunga yang menjulang ke langit. 


 

4. Geser ke lokasi lain

Ke lokasi X, ambil foto di spot foto X, maka foto yang didapat biasanya akan sama dengan bejibun foto lainnya. Coba geser sedikit, beberapa langkah aja. Mungkin foto yang didapat jadi beda. Jadi ini bukan ganti destinasi. Lokasinya masih sama, cuma tempat ambil fotonya aja yang agak beda.


Dengan catatan, gesernya hati-hati dan lihat situasi/kondisi. Misal geser dikit udah jurang, ya nggak usah geser daripada nggak selamat; geser dikit tapi ngerusak alam atau sarana/prasarana, ya nggak usah geser juga.


Hanya geser dan jalan beberapa langkah, potret yang dihasilkan berbeda. Foto kiri, pemandangan tertutup pepohonan rapat. Geser beberapa meter dan bukit terlihat jelas.


5. Sesuaikan timing

Kadang, foto bagus memang tergantung faktor yang tidak diduga-duga. Misalnya: cuaca, pengunjung yang nggak padat, dsb. Namun bukan berarti faktor-faktor ini nggak bisa diantisipasi. Antisipasilah sesuai ‘tantangan’ yang menurutmu ada.


Kalau ingin dapat foto matahari terbit, maka harus siap di tempat atau berangkat tengah malam. Bila ingin potret sendiri di pantai yang dikenal padat wisatawan, mungkin bisa cari alternatif untuk berkunjung di hari-hari biasa. Kalau ingin dapat foto gunung yang cerah, maka jangan berlibur ke sana waktu musim hujan. Beda kasus kalau memang ingin dapat foto dataran tinggi nan berkabut, maka justru berkunjunglah di musim hujan.


Khusus untuk contoh kedua alias area padat orang, sebenarnya ada alternatif yang bisa dicoba: foto pakai mode long exposure. Pernah lihat foto jalan yang ramai tapi yang terlihat hanya lampu-lampu kendaraan yang terlihat seperti garis? Long exposure macam itulah. Namun alih-alih ‘merekam’ lampu kendaraan, kita akan mengatur lamanya waktu supaya gerakan orang-orang menjadi halus sampai tak terlihat. Sementara itu, objek foto (orang/landmark yang kita foto) harus dalam posisi diam tak bergerak.


Di beberapa ponsel, mode long exposure seperti ini sudah ada. Tinggal atur durasi aja. Kalau nggak nemu, bisa cek mode manual terus atur shutter-nya.


Memang hasil dan prosesnya nggak selalu smooth, seperti orang yang diam terlalu lama sehingga tetap ikut terfoto, atau gerakan yang tetap terekam sehingga hasil foto jadi nggak jelas, atau ponsel/kamera yang guncang sehingga gambar yang dihasilkan nggak fokus (bisa diakalin dengan tripod atau disandarin ke sesuatu). Namun lumayan supaya foto jadi nggak ramai-ramai amat. Kalau mau clear beneran, antara datang saat sepi atau diedit.

 

 

6. Sesuaikan tujuan travelling

Apa tujuan jalan-jalannya? Sebab kalau saya, jangan sampai karena terobsesi pengin dapat foto bagus, lalu momen travelling-nya sendiri jadi kelewat. Jadi nggak bisa ngobrol dengan teman/partner travelling, lupa menikmati sajian di depan mata, dsb. Beda cerita kalau memang jalan-jalan untuk hunting foto.


Tujuan travelling masih nyambung dengan timing sebenarnya. Tergantung apa yang ingin didapat dari perjalanan, kita bisa atur timing berkunjungnya.



 

7. Diam dan rasakan

Ini bukan tips foto, sebenarnya, tapi lebih ke saran aja. Kita kan jalan-jalan untuk refreshing, maka lakukanlah hal yang bisa membuat pikiran jadi segar. Foto-foto boleh aja, tapi sediakan waktu untuk menikmati apa yang ada di sekitar. Jangan sampai kita melewatkan sensasi ada-di-sana dan baru sadar saat sudah pulang.


Ini juga pengingat buat saya untuk tetap ‘mengalami’ alih-alih hanya ‘melihat’ dari balik kamera. Tiap berburu foto sambil bepergian, saya selalu sisakan waktu untuk mematikan ponsel atau kamera, lalu benar-benar melihat sekeliling. Merasakan sensasinya. Apalagi kalau tujuan utamanya untuk bepergian dan bukan hunting foto, maka saya akan ambil beberapa foto, kemudian menyimpan ponsel/kamera, lalu menikmati ‘proses’ jalan-jalannya.


Ada sebuah kutipan yang amat sesuai dan selalu jadi pengingat saya untuk ‘diam sejenak’ ini:

Anda selalu menulis, menulis dalam buku catatan Anda. Anda perlu mengalami. Benar-benar mengalami. – dari buku Geography of Bliss


Meski, dalam kasus ini, ‘menulis’ bisa diganti dengan ‘memotret’. Kutipan ini (dan kalimat lanjutannya) jadi inspirasi dan refleksi yang pernah saya tulis di sini.

Reading Time:

Minggu, 18 Agustus 2024

Tentang Buku Save The Cat: Novel dan Skenario
Agustus 18, 20240 Comments

 

Ketika sudah ‘lumayan akrab’ dengan perpustakaan online, saya punya hobi baru: ngecek buku yang pengin dibeli. Bukan apa, tapi akhir-akhir ini saya tergolong sering nemu buku yang review-nya menarik atau selangit, tapi begitu udah beli dan baca, eh, ternyata nggak sebagus itu atau nggak sesuai selera saya.


Jadi untuk jaga-jaga, biasanya selain tanya pendapat teman yang udah baca, saya coba baca preview-nya di perpustakaan online macam iPusnas (btw ini gratis, akses gampang, perpus milik perpus nasional). Kalau belum tersedia di sana, saya baca lewat Google Books. Kalau intronya atau bab-bab awal terasa menarik, gaslah ke toko buku.


___________________________

Anw sebelum terlalu panjang karena postingan ini campur curhatan pribadi, 

yang cari review bisa lompat ke bagian ini (klik):

👉 Review Save The Cat - Blake Snyder

👉 Review "Save The Cat: Writes A Novel" - Jessica Brody

👉 Kesan tentang Save The Cat

___________________________


Sama kayak buku “Save The Cat” ini. Buku tulisan Jessica Brody ini menulis tentang teknik menulis sebuah novel yang menarik, memikat, mengikat, yang diberi nama teknik ‘Save The Cat’. Buku ini udah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 2021 lalu. Dan karena di-endorse (dan udah dipraktikkan) oleh salah satu penulis favorit saya, maka saya jadi tertarik beli, ahahah.

 

Tapi...

... sebenarnya saya kurang suka ngulik metode nulis begini. Saya lebih suka nulis tanpa bikin struktur rinci, rancangannya cukup di kepala atau garis besar aja (kecuali waktu nulis non-fiksi atau tulisan yang agak panjang). Namun karena Dewi Lestari bilang bahwa ngertiin struktur bisa banget dipakai untuk ngatasi writer’s block dan cerita yang mbulet atau malah stuck (yang mana adalah masalah saya selama bertahun-tahun, huhu), jadi tertarik, deh.

 

Karena ‘khawatir’ kurang cocok inilah, saya pun cek dulu isinya lewat perpus online. (Apalagi belakangan ini banyak banget kan buku metode menulis fiksi yang membanjir tapi isinya mirip atau gitu-gitu aja. Nggak mau rugi, dong. Sayang kalau isinya sama kayak pelajaran di sekolah dulu atau bisa didapat semudah browsing internet.)

 

Tujuan pertama adalah Google Books. Seperti udah diduga, di sana memang ada tapi hanya beberapa bab (namanya juga preview). Terus terpikir, coba cari di iPusnas, ah. Siapa tahu malah ada versi full-nya? Dan...

 

Jeng-jeng! Memang ada. Nggak butuh waktu lama, saya langsung klik tombol pinjam.

 

Menelusuri daftar isi, ucapan terima kasih, kata pengantar... oke.

Tapi, eh, kok kayaknya beda dengan preview yang pernah saya baca di Google Books? Nggak apa-apalah, lanjut aja. Baru ketika bab 1 udah kelar, saya bandingin sama yang di G-Books. Eh lho, ternyata emang beda! Yang lagi saya baca adalah Save The Cat untuk skenario film besutan Blake Snyder, sedangkan versi novel yang (rencananya) pengin saya beli adalah tulisan Jessica Brody. Pantesan aja rasanya ada yang beda, karena seingat saya pengantarnya ditulis Dee Lestari, sedangkan yang sedang saya baca, ditulis Gina S. Noer (pembuat film).

 


Mengapa buku Save The Cat ada dua?

Bukan ada dua, sebenarnya. Tekniknya cuma satu. Hanya aja buku yang satu soal penyusunan skenario, satunya spesifik tentang menulis novel. Seenggaknya itu yang versi (terjemahan) Indonesia.

 

Mana yang ‘betulan’?

Dua-duanya betulan. Save The Cat-novel merupakan pemekaran dari Save The Cat-skenario.

 

Jadi ceritanya, metode Save The Cat (disingkat jadi STC aja yak) pertama digagas oleh Blake Snyder untuk penulisan skenario. Lalu murid Snyder, Jessica Brody, mempraktikkan ini dalam prosesnya nulis novel. And it worked! Jadilah Brody nyusun buku tentang STC untuk penulisan novel.

 

Dan karena saya memang sukanya nulis buku dan bukan skenario, maka sebenarnya yang pengin saya baca aslinya adalah buku susunan Brody.

 

Tapi... STC-novel ini nggak tersedia di iPusnas. Yang ada ya STC-skenario sehingga ini yang bisa dibaca lengkap. Nggak papalah, saya pikir. Kan STC-novel ‘akarnya’ dari STC-skenario ini. Pasti ada hal yang bisa diambil buat penulisan novel meski mungkin butuh penyesuaian. Let’s go!

 


Review Save The Cat – Blake Snyder

Sebelum baca bukunya, saya udah pernah cari info soal metode STC ini. Sekilas intinya kayak nempel poin-poin penting sebuah cerita dan diurutkan. Kalau lihat papan tempelannya, kelihatan penuh post-it. Memang, poin-poin di STC ini ada sampai 40. ‘Banyak banget,’ batin saya yang waktu itu lalu ‘meninggalkan’ STC karena ngerasa ribet.

 

Intinya, metode STC membagi kejadian dalam beberapa babak/poin tadi. Total ada 15 babak. Banyak? Iya. Namun kalau ditelusuri lebih dekat, 15 babak ini sebenarnya perincian dari 3-4 babak utama aja. Pernah dengar struktur 3 babak? Ini struktur umum yang isinya intro – tengah/konflik – penutup/resolusi/ending. Nah, STC merinci 3 babak ini lebih detail. Kenapa? Karena, kalau saya, nulis panjang ‘cuma’ pakai 3 babak ini masih bikin bingung ‘mau dibawa ke mana’ karena terlalu umum.


Papan Save The Cat dari studiobinder.com


Jadi STC ini merupakan rincian dari 3 babak itu. 

Btw grafik STC ini macam-macam. Makanya kalau browsing, kita akan ketemu beberapa versi. Tapi nggak usah bingung, intinya tetap sama di 15 beats itu. Bedanya cuma di peletakan di grafik aja.


 

STC-skenario menjelaskan 15 babak ini diisi apa aja. Sebuah pencerahan buat saya, karena grafik naik-turun konflik dan emosi dijelaskan rinci di sini: apa yang terjadi, gimana pergolakannya, dsb. Nah, dalam masing-masing babak ini diisi 2-4 kartu yang isinya peristiwa-peristiwa yang ingin kita masukkan dalam cerita. Kebanyakan sampai totalnya lebih dari 40? Nggak apa-apa, nanti bisa diseleksi. 40 poin/kartu ini kemudian disusun dan dirajut sedemikian rupa, detailnya di buku.

 

Adegan/peristiwa paling ujung dalam sebuah babak harus merupakan penyambung atau lontaran untuk masuk ke babak selanjutnya. Waktu baca ini, sekilas saya jadi ingat metode nulis yang dibilang Pak Gol A Gong dan A.S. Laksana. Keduanya juga menyatakan hal yang sama. Jadi ingat pula soal kohesi-koherensi kalimat.

 

Selain tentang rincian babak (atau yang di STC sering disebut beat sheet), buku ini juga punya penggolongan cerita. Pengkategorian di sini nggak sekadar genre romance, thriller, dsb, tapi lebih spesifik. Sebuah cerita cinta-cintaan dan sebuah film pencarian jati diri bisa aja termasuk ‘genre’ yang sama karena punya plot yang mirip. Oleh karena itu, banyak yang nyebut penggolongan ini sebagai ‘plotting genre’.

 

Kalau pernah dengar tipe plot macam Cinderella’s story, rags-to-riches, dsb, rasa-rasanya plotting genre yang dibahas di STC mirip dengan itu. Bedanya di STC ada 10 genre: mulai dari Golden Fleece sampai Monster In The House. Genre ini bisa ngebantu kita nentuin mana ‘perjalanan cerita’ yang cocok sama cerita kita.

 

Selain ngebahas teknik, buku ini juga ngomongin soal kesalahan yang umum dilakukan. Beberapa mungkin pernah kita dengar, antara lain:

  •  dialog bertele-tele,
  • Double Mumbo Jumbo, yang berarti kejadian fantastis yang jumlahnya kebanyakan (kayak yang sering terjadi di sinetron kita. Ujian ini ditambah peristiwa itu terus ditambah lagi sampai yang nonton overwhelmed)
  • Pope In The Pool, yang rasanya mirip tips nulis yang menggabungkan setting atau latar dengan aksi tokoh supaya nggak ngebosenin dan terlalu eksposisi (cara ini sering saya pakai kalau nulis travel-writing atau cerpen yang temanya travelling)

dsb.


Pada intinya, STC ini metode supaya kita sebagai pembaca/penonton memihak ‘Hero’ alias tokoh utama dalam cerita. Teknik ini dirinci jadi 15 babak – 40 kartu – pemilihan plotting genre tadi. Buku ini juga banyak ngebahas soal penokohan, karena poinnya adalah keberpihakan ke Hero.

 

Jadi, apa STC-skenario ini bisa dibaca untuk panduan bikin novel?

Bisa banget. Meski bukunya ngomongin skenario, tapi tekniknya applicable banget untuk novel.

 

Gimana dengan media lain, misalnya cerpen atau artikel?

Ada poin-poin yang tetap bisa banget dipakai, seperti hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan atau kesalahan yang umum dilakukan tadi. Namun karena babak/beats-nya banyak, mungkin soal beats ini aja yang nggak applicable. Bikin cerpen/artikel dengan 15 beats kayaknya terlalu penuh; pakai struktur 3 babak aja cukup. Kalau novelet, masih bisalah pakai STC karena rada panjangan.

 

Setelah tamat dengan STC skenario, sekarang kita beralih ke...

 


Tentang “Save The Cat: Writes A Novel” oleh Jessica Brody

Karena buku ini belum tersedia di iPusnas dan di G-Books hanya ada preview-nya, maka ini bahasan sesuai halaman yang bisa saya ‘intip’ di sana.

 

Dilihat dari daftar isi, STC-novel ini babnya banyak dipenuhi bahasan tentang plotting genre (itu lho, yang kayak Golden Fleece atau Rags to Riches tadi). Bedanya dengan STC-skenario, di sini isinya lebih dirinci dengan elemen-elemen yang harus ada di tiap plotting genre. Contohnya genre Golden Fleece yang punya elemen cerita berupa jalan (perjalanan tokoh), tim/teman, dan hadiah.

 

Kalau browsing di tempat lain, masing-masing plotting genre punya 3 elemen. Elemen ini ngebantu banget kalau pengin mempertajam cerita. Misal, kita nulis cerita soal petualangan. Nah, supaya petualangannya lebih greget dan nggak lempeng, apa aja yang harus ada dalam cerita? Inilah yang dibahas per elemen.

 

Selain ada elemennya, STC-novel juga ngasih contoh rinci banget tentang novel/film di masing-masing genre. Benar-benar dibedah. Kayaknya ini nih yang bikin bukunya jadi tebal, karena satu novel bisa dibedah elemen dan beats-nya sampai berlembar-lembar. Di satu sisi, ini ngebantu banget buat yang nyari contoh supaya bisa lebih paham materi di bab itu. Di sisi lain, mungkin ada yang ngerasa too much, terlalu detail; termasuk saya. Bagian ini saya baca sekilas aja karena saya cuma pengin tahu tentang genre-genre ini secara umum dan pengin langsung aja ke bahasan selanjutnya.

 

Perbedaan lain antara buku STC-skenario dan STC-novel adalah buku STC untuk penulisan novel  lebih ramah pemula. Di sini diterangin dari awal tentang tetek-bengek pembabakan dan penulisan. Di STC-skenario, bahasannya langsung to the point ke perumusan babak; langsung ke teknis beat sheet. Pembahasan seperti penokohan, nama babak, dsb, tetap ada tapi rasanya nggak serinci di STC-novel. Orang yang baru pertama nyemplung di dunia tulis-menulis mungkin akan bingung begitu di lembar-lembar pertama langsung ketemu dengan berbagai istilah seperti midpoint, B-story, dsb. Kalau orang yang udah agak lama nyemplungnya, ini bukan masalah karena udah kenal istilah itu. So, STC-skenario bukunya lebih to the point.

 

Jadi untuk yang baru mulai nulis, buku Save The Cat versi novel (Jessica Brody) lebih recommended. Untuk yang udah beberapa saat nyemplung di dunia kepenulisan, versi skenario (Blake Snyder) bisa langsung dilahap. Buku STC versi skenario bisa dibaca gratis secara daring di aplikasi iPusnas.

 


Kesan tentang Save The Cat

Sebagai orang yang lebih suka nulis ngalir aja alias strukturnya ngawang di kepala, awalnya maju-mundur mau baca STC. ‘Toh udah pernah baca/ikut kelas penulisan lainnya’, pikir saya waktu itu. Namun, sebuah petuah dari (lagi-lagi) Dee membuat saya tercenung, “Kalau buntu saat nulis, itu artinya ada yang salah dengan struktur cerita.”

 

Saya melirik bab-bab tulisan yang terbengkalai lama sekali. Ya, persis, itu ‘penyakit’ saya: buntu, ngerasa tulisan kurang greget. Padahal saya udah coba beberapa teknik lain. Cuma, setelah baca STC, rasanya teknik yang pernah saya pakai itu terlalu umum; kurang detail, jadilah tulisan jadi lempeng-lempeng aja.


Jadi, apakah STC ini cocok untuk penulis model pantser?

(alias yang suka nulis ngalir tanpa bikin kerangka)

Berkaca dari saya sendiri, rasanya cocok-cocok aja. STC bisa ngebantu saat kita buntu ini cerita mau dibawa ke mana atau saat kehabisan ide dengan ngelihat 40 kartu beat sheet yang berisi momen penting. Toh bikin struktur bukan berarti itu kerangka nggak bisa diubah kalau ada yang dirasa kurang cocok. Ngelihatin list ide juga bisa bikin inspirasi terpantik. Dan, kalau buntu, kita bisa lebih mudah menelusuri bagian yang bikin cerita buntu atau nggak asyik.


Mengutip kata-kata Jessica Brody, yang kurang lebih, 

Bagi penulis tipe plotter, STC ibarat peta yang memandu mereka selama perjalanan. Bagi pantser, STC lebih seperti montir yang membantu mereka memperbaiki kendaraan bila dalam perjalanan timbul masalah.


Sejenak setelah menekuri poin-poin STC, reaksi saya, “Wah, padat banget!”

Plotnya padat seperti berkejaran. Setelah kejadian menegangkan A, masuk poin menegangkan B, dst. Sekilas kayak nggak ada jeda untuk bernapas. Namun kalau dipikir-pikir, ya emang ‘feel’ tulisannya jadi lebih dapat; lebih seru. Beberapa novel yang saya tahu dibuat dengan teknik STC pun terasa lebih asyik, page-turner banget, surprise-nya nggak habis-habis (meski kadang berasa ‘ini nggak ada istirahatnya ya?’ tapi tetap seru!).


Mungkin metode ini cocok untuk novel yang isinya padat dan butuh tempo yang cepat (untuk ‘mengikat’ pembaca). Kalau pengin nulis novel yang temponya lebih slow, mungkin bisa dikondisikan dengan utak-atik beat sheet STC atau pakai metode lain.

 

Apa teknik STC bisa digunakan untuk jenis tulisan lain?

Hmm, tergantung jenis tulisannya. Untuk tulisan pendek macam cerpen kayaknya kurang cocok karena beats-nya banyak, sedangkan ruang untuk cerpen terbatas. STC cocok untuk konflik yang kompleks berlapis, sedangkan konflik cerpen butuh selapis aja. Kalau untuk novelet, mungkin masih bisa.

 

Meski begitu, beberapa poin pembahasan di buku STC bisa banget dipakai untuk jenis tulisan lain. Contohnya tentang penokohan (bisa dipakai di cerpen), Pope In The Pool (bisa dipakai di artikel/cerpen/travel-writing), pentingnya subteks, dsb.

 

Teknik STC ini udah banyak yang bahas di internet. Grafiknya bejibun. Ada website-website yang ngebahas rinci bahkan nyediain tools gratis untuk identifikasi plotting genre tulisan kita (apalagi website berbahasa Inggris). Cuma kadang infonya terpotong-potong, jadi (kalau saya) lebih enak baca bukunya karena langsung ada di satu tempat.

 

Buku STC-novel dan STC-skenario dua-duanya sama-sama worth the time. Mungkin, inilah solusi yang saya cari selama ini, hahaha. Setelah ini mau coba ah, semoga cocok dan bisa memecahkan kebuntuan menahun ini ðŸ˜„


=    =    =    =    =


Selain buku Save The Cat, ada beberapa buku lain tentang metode menulis yang menurut saya gampang dipahami. Gampang banget bahkan untuk yang baru mulai nulis. Buku-buku inilah yang ngebantu saya nulis lebih baik di saat panduan menulis (waktu itu) hanya ada buku panduan formal sedangkan saya nulis teenlit. 

Penasaran, nggak? Semoga bisa ditulis di postingan selanjutnya, hehe. 

Reading Time: