Hijaubiru

Sabtu, 01 Juni 2024

Jejak Keraton Surabaya
Juni 01, 20240 Comments

 


‘Memangnya Surabaya punya keraton? Di mana?’ 

batin saya saat membaca tulisan seorang kakak kelas, bertahun-tahun lalu. Tulisan singkat itu membuat kening saya berkerut, lalu tertarik mengulik lebih dalam. Sekian lama tinggal di Surabaya, kayaknya nggak ada yang nyebut-nyebut keratonnya atau bekas/sisanya. Paling pol soal gedung-gedung superlawas yang dibangun era Belanda, yang sekarang wujudnya masih ada dan beberapa masih difungsikan.

 

Entah di mana kini link tulisan tersebut. Yang saya ingat, di situ disebut kalau jejaknya ada di sekitar Surabaya Pusat. Beberapa nama jalan bernuansa kerajaan seperti Jl. Kraton dan Jl. Praban ditengarai dinamakan begitu karena dulu di situlah aktivitas kerajaan berpusat.


[NB: foto pintu di atas hanya pemanis; bagian dari sebuah bangunan tua di sekitar Kampung Kraton, bukan bagian dari keratonnya sendiri] 

[NB: klik foto/gambar untuk tampilan yang lebih jelas dan detail. Nggak tahu kenapa gambarnya blur banget kalau cuma di-scroll] 

  

 

[ASAL MULA] 

[Disclaimer: postingan ini bukan tulisan sejarah yang faktual sekali. Saya bukan sejarawan, hanya hobi ngulik sejarah. Tulisan ini dibuat berdasarkan apa yang saya tahu aja: dari cerita orang, dari obrolan, artikel/berita yang pernah dibaca (yang lupa apa aja dan detailnya gimana, cuma ingat intinya), sehingga sangat mungkin terdapat kesalahan isi atau interpretasi dalam tulisan/post ini. Oleh karena itu, sebaiknya pembaca check and re-check dari sumber lain yang lebih terpercaya.]

 

Terbesit pikiran, “Kenapa Surabaya sampai punya keraton? Kan, sejak dulu dia nggak pernah berbentuk kerajaan?”

 

Karena nggak pernah jadi kerajaan inilah, mungkin pikiran bahwa pernah ada istana di Kota Pahlawan nggak pernah lewat di pikiran saya; beda dengan kota-kota yang menjadi/pernah jadi pusat kerajaan/kesultanan seperti Yogya, Cirebon, atau Mojokerto.

 

Usut punya usut, ‘keraton Surabaya’ memang bukan istana raja melainkan keraton kadipaten. Kadipaten adalah suatu wilayah pemerintahan di bawah kerajaan tertentu. Tingkatnya setara duchy yang dipimpin seorang duke. Namun untuk wilayah setingkat itu, apalagi yang menjadi salah satu pusat Jawa Timur sejak dulu, maka nggak heran kalau ‘rumah’ pemimpinnya (alias adipati) sampai bisa disebut keraton dan punya kompleks

 

Jadi, siapa yang jadi atasan adipate/duke ini? Kerajaan mana?

Kita mundur ke belakang sebentar.

 

Sejak dulu, yang saya tahu adalah Surabaya jadi wilayah milik Mataram di era kesultanan. Sebelum itu, milik Majapahit. Sebelum itu, milik kerajaan di Jawa Timur. Sebelum itu, adalah kota pelabuhan. Sebelumnya lagi, kampung tepi pantai dan muara yang ramai (cikal-bakal pelabuhan).

 

Surabaya dipercaya sempat bernama Ujunggaluh (ada yang nulis Ujung Galuh/Hujung Galuh). Namun ada pendapat bahwa Ujunggaluh ini bukan cuma Surabaya, tapi juga meliputi kota-kota pelabuhan di sekitarnya seperti Gresik, Lamongan, dsb.

 

Back to Surabaya.

Kalau dari cerita rakyat yang sering diceritakan ke anak-anak kecil, nama ‘Surabaya’ berasal dari kata (ikan/iwak) suro dan boyo (buaya). Mitosnya, dulu pernah ada perkelahian hebat antara ikan suro—yang dipercaya adalah ikan hiu—dan buaya di muara Sungai Kalimas. Berantemnya hebat banget sampai bikin masyarakat yang lihat ketenggengen.  Gara-gara kejadian ini, masyarakat menamai tempat itu ‘Surabaya’ (Suroboyo, kalau pakai logat Jatim).


Sungai Kalimas kini

Di versi lain, diceritakan bahwa pemimpin Surabaya saat itu berkelahi dengan utusan dari Majapahit. Konon berkelahinya karena pemimpin Surabaya makin kuat dan dianggap mengancam keutuhan Majapahit. Perkelahian (dan adu kesaktian, kayaknya) ini berlangsung berhari-hari di Kalimas. Ikan suro dan buaya di cerita sebelumnya diduga adalah simbol dari dua sosok ini.

 

Namun, sejarah punya pendapat lain.

Nama ‘Surabaya’ berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Sansekerta: ‘chura’/‘sura’ dan ‘bhaya’ yang berarti ‘selamat dari marabahaya’. Menurut sejarawan, penamaan versi ini lebih otentik daripada versi mitos tadi.

 

 


[DI MANA SISA KERATON SURABAYA?] 

Berangkat dari postingan kakak kelas yang mengangkat keraton Surabaya tadi, saya pun mulai browsing. Saya buka peta Surabaya, terutama wilayah pusat. Benar aja, di sekitar situ memang nama jalannya pakai nama-nama bernuansa keraton, antara lain: 

  • Jl. Kraton       : diduga dulu pusat keratonnya di sini
  • Jl. Praban       : kompleks untuk raja/penguasa keraton (praban = prabu = raja)
  • Jl. Maspati & Jl. Kepatian: kompleks untuk patih
  • Kebon Rojo    : kebun milik raja
  • dan jalan yang letaknya agak jauh dari pusat tadi, antara lain Jl. Keputren (tempat tinggal putra/putri), dsb. Jalan/kampung lain ada yang dinamakan sesuai fungsinya, contoh Kampung Temenggungan, Carikan, Jl. Jagalan (jagal hewan), Jl. Pandean (tempat pandai besi), dsb. Area yang sekarang jadi Tugu Pahlawan, dulunya adalah alun-alun Surabaya.

 

Kabarnya letak-letak kompleks/kampung berdasarkan fungsi ini juga ditentukan dengan khusus. Penempatannya disesuaikan dengan arah mata angin: utara, barat, timur, selatan. Tiap arah mata angin mengandung filosofi tersendiri, misalnya arah tertentu untuk fungsi kerohanian, arah yang lain untuk nilai keduniawian. Tapi saya nggak hafal arah dan perwujudan nilainya.

 


Sudah lama saya ingin blusukan ke gang-gang di jalan ini. Kalau lewat jalan besarnya, memang sering saat motoran. Nggak nyangka aja ternyata jalan yang saya lewati ratusan kali ternyata udah ada bahkan sebelum mbah saya lahir, yang di dalamnya punya kampung yang usianya juga sudah ratusan tahun meski bangunannya tampak baru. Mau blusukan sendiri rasanya kok ya sungkan karena ini kampung orang dan bukan tujuan wisata. Bukan seperti, misalnya, kampung di sekitar Tamansari Yogya yang rame. Kebayang kalau ditanya,

“Nyari apa?”

“Nggak cari apa-apa, Bu/Pak. Mau lihat-lihat aja.”

“Lha kampung gini aja, apa yang mau dilihat?”

Worst case scenario, malah dicurigai mengintai rumah untuk dimaling.

 

Kesempatan menelusuri gang-gang itu datang waktu saya nemu info walking tour. Nggak pikir panjang, saya langsung join. Seenggaknya kalau jalan berbanyak orang, mungkin dikira mahasiswa lagi cari data, hehehe.

 

Dari walking tour inilah saya tahu bahwa mulut gang yang udah bolak-balik saya lewati ternyata adalah satu-satunya sisa bangunan Keraton Surabaya yang masih ada, yaitu di salah satu mulut gang di Jl. Kramat Gantung. Bentuknya seperti gapura, warnanya putih. Modelnya sekilas mengingatkan saya pada model tembok Jokteng Yogya dan Vredeberg. Imajinasi saya berkelana, membayangkan dulu gapura ini dijaga para prajurit yang siaga dan menanyai setiap orang yang keluar-masuk; seperti gerbang kota di film-film medieval.

 

Anyway, tentang sisa tembok keraton ini juga ada perbedaan pendapat. Ada yang berpandangan bahwa belum ada cukup bukti untuk tembok ini diklaim sebagai sisa bangunan keraton. Ada yang punya persepsi bahwa ini tembok bangunan baru, yang nggak ada hubungannya dengan keraton, dan baru dibuat di era 1900-an.

 

Entah mana yang benar, saya juga nggak tahu. Namun, yang nyata diyakini adalah keraton Surabaya memang habis tak bersisa. Luluh lantak. Kok bisa?


Tembok/gerbang gang yang diduga bagian dari keraton, diapit pertokoan

Masih ingat nggak, kalau dulu Surabaya masuk jadi kadipaten di wilayah Majapahit? Setelah Majapahit runtuh, Surabaya jadi daerah independen. Setelah Kesultanan Demak berdiri, Surabaya masuk jadi wilayah Demak (apa ini karena ada Sunan Ampel di Ampel yang dekat dengan sultan Demak?). Setelah Demak runtuh, Surabaya independen lagi.

 

Saat independen ini, Surabaya sempat jadi salah satu pusat pemerintahan di Jawa Timur. Karena posisinya di pinggir laut dan jadi kota pelabuhan, maka meski dia nggak di bawah pemerintahan siapa-siapa, dia punya hubungan diplomatis dengan kota/kerajaan di luar Pulau Jawa via laut.

 

Setelah sempat independen, Surabaya masuk jadi wilayah Kesultanan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung. Saat itu, Keraton Surabaya diperkirakan masih berdiri.

 

Hubungan antara Surabaya dan Mataram ini punya cerita tersendiri. Rada panjang dan penuh intrik. Nanti deh diceritain di bagian akhir. Di sini ngebahas sisa bangunannya dulu.

 

Oke. Setelah jadi kadipaten di bawah Mataram, terus gimana?

Keraton masih berdiri; masih ada. Seenggaknya sampai Sultan Agung Hanyokrokusumo tutup usia. Masalah dimulai saat putranya, Amangkurat I, naik tahta.

 

Amangkurat I berkonflik dengan salah satu putranya. Putranya ini bersekutu dengan Trunojoyo, bangsawan dari Madura. Konon salah satu alasan Trunojoyo bergabung dengan putra Amangkurat I ialah karena nggak suka dengan VOC, sedangkan Amangkurat I malah dekat dengan VOC (nggak kayak bapaknya). Trunojoyo menganggap VOC menjajah Madura. 

 

Anak Amangkurat I ini kemudian berhasil jadi raja. Namun setelah itu dia bertengkar dengan Trunojoyo. Alasan pertengkaran ini sendiri punya banyak versi, salah duanya adalah sudah nggak sepaham atau menganggap Trunojoyo terlalu berkuasa di (Jawa) timur dan mengancam Mataram. Anak Amangkurat I ini kemudian balik bersekutu dengan VOC untuk memburu Trunojoyo.

 

Singkat cerita, Trunojoyo tewas. Pesisir Jawa, termasuk Surabaya, kemudian diserahkan pada VOC oleh Mataram. Konon saat perang VOC-Mataram vs Trunojoyo inilah Keraton Surabaya dihancurkan VOC, luluh-lantak tak bersisa sampai sekarang.


Dalam versi lain, Keraton Surabaya dihancurkan VOC saat VOC berperang dengan Mataram. Di sini ceritanya Mataram masih belum friend sama VOC. Tapi ending-nya sama: setelah perang, keraton hancur, dan Surabaya dikuasai VOC. 

 


 

[SURABAYA-MATARAM, KALIMAS, dan PANGERAN PEKIK]

Kita mundur sedikit ke belakang; saat Kesultanan Demak runtuh dan Surabaya jadi daerah independen, sebelum jadi bawahan Mataram.


Mataram ini sebenarnya siapa? Mataram ini kesultanan yang ada di tengah Jawa; sekarang jadi Yogya. Kalau saat sekolah dulu di pelajaran Sejarah disebut “... lalu Sultan Agung menyatukan wilayah Jawa di bawah panji Mataram...” ya inilah Mataram itu. Kalau yang pernah main ke Yogya, khususnya ke daerah Kotagede, pusat Mataram dulu ya di sana. Ada masjidnya juga. Area ini jaraknya cuma beberapa km dari Terminal Giwangan dan dekat dengan gerai Cokelat Monggo (eh kok jadi ke mana-mana).

 

Sebagai catatan, Mataram ada dua: Mataram Hindu yang membangun candi-candi besar di DIY-Jateng (termasuk Borobudur, Prambanan, dsb) dan Mataram Islam yang menjadi cikal bakal Kesultanan Yogya dan Kasunanan Surakarta. Yang dibahas di sini adalah Mataram yang kedua.

 

Sultan Agung termasuk raja besar dalam sejarah Indonesia. Perjuangannya menaklukkan daerah-daerah di Jatim-Jateng nggak sebentar. Perebutan Surabaya pun nggak ujug-ujug; ditaklukkan daerah sekitarnya dulu.

 

Setelah Demak runtuh dan Surabaya independen, saat Sultan Agung mulai ekspansi, banyak bangsawan pemimpin lokal a.k.a bupati kota lain di Jatim yang lari ke Surabaya dan berlindung di sana. Wilayah Surabaya dianggap kuat.

 

Saat menaklukkan Surabaya, pasukan Sultan Agung pun kesulitan. Gara-garanya karena (selain kuat):

  • Surabaya dikelilingi benteng yang kokoh,
  • dikelilingi sawah, hutan, dan rawa yang rapat dan susah ditembus. Jangan bayangin Surabaya seluas sekarang. Waktu itu, wilayahnya masih seluas Surabaya pusat dan utara aja. Kalau dilihat di peta lawas, sekeliling daerah itu kelihatan kayak wilayah kosong dan berair,
  • punya akses laut. Akibatnya, meskipun sudah dikepung via daratan, Surabaya masih bisa minta bantuan dari daerah lain via pelabuhannya.

 

Karena susah, pasukan Mataram akhirnya memutar otak. Mereka tahu ada satu sungai vital di Surabaya, mengalir dari luar batas kota hingga ke pelabuhannya. Sungai bernama Kalimas ini mereka cemari; dibuangi tahi dan bangkai sampai warnanya buthek kekuningan.


Atas: peta sekarang | Bawah: nama kampung di Surabaya tahun 1825, nama-namanya masih dipakai sampai sekarang.

Kejadian ini kemudian jadi (salah satu versi) penamaan Sungai Kalimas. Kali = sungai, mas = kekuningan.

 

Taktik bioweapon ini berhasil. Kota Surabaya airnya tercemar, penduduknya jadi sakit-sakitan dan kesulitan suplai air bersih. Adipati Jayalengkoro akhirnya menyerah ke tangan Mataram sekitar era 1600-an.

 

Apa udah selesai? Oh, belum.

Seperti yang jamak dilakukan saat itu, saat ada wilayah yang baru direbut, maka harus ada bukti persatuan selain perjanjian. Salah satunya dengan pernikahan. Pangeran Surabaya saat itu, Pangeran Pekik, setelah menggantikan ayahnya (Adipati Jayalengkoro), dinikahkan dengan adik Sultan Agung.

 

Hubungan pemimpin Surabaya dan Mataram, selain antara adipati dan raja, juga menjadi hubungan kekeluargaan antara adik dan kakak ipar.

 

Masalah muncul ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan putranya, Amangkurat I. Amangkurat I tercatat sebagai raja bermasalah: dari segi pemerintahan, juga dari segi kepribadian. Singkat cerita,  Pangeran Pekik berkonflik dengan Amangkurat I ini.

 

Pertengkaran dua orang ini juga—seperti lazimnya sejarah—punya banyak versi.

Dan seperti umumnya tokoh sejarah, pertengkarannya pun 'berdarah'.

 

Versi satu, Pangeran Pekik dianggap bersalah karena menikahkan wanita yang disukai Amangkurat dengan putra sang raja (iya, Amangkurat I dan putranya suka satu perempuan yang sama; rebutan). Perempuan ini, Rara Oyi, ceritanya tragis dan sedih banget di akhir hidupnya Versi kedua, Pangeran Pekik dianggap merencanakan pembunuhan raja. Ini versi lain, sebab ada yang bilang bahwa Pangeran Pekik udah meninggal saat kejadian bapak-anak tadi berebut Rara Oyi.

 

Ending-nya sama: Pangeran Pekik dianggap bersalah, kemudian dieksekusi. Beserta keluarga dan pengikutnya. Kisah pangeran Surabaya itu pun berakhir.

 

Sampai akhir hidupnya, pangeran dari Surabaya itu nggak kembali ke Surabaya. Pangeran Pekik dimakamkan di Pesarean Banyusumurup, yang sekarang letaknya di Imogiri, Kab. Bantul, masih di D.I. Yogyakarta. Di mana itu?

 

Pernah jalan-jalan ke Kebun Buah Mangunan atau hutan pinusnya? Kalau ingat rutenya, mungkin ingat kalau sebelum jalanan mulai nanjak, ada belokan ke kanan. Di situlah Pangeran Pekik dan keluarganya dimakamkan. Makam ini nggak jauh dari Pemakaman Raja-Raja Imogiri. Kalau makam Imogiri ada di bukit, Banyusumurup berada di lembah. Konon, pesarean ini adalah kompleks pemakaman bagi mereka yang dianggap berkhianat pada raja.


Pemandangan di Kebun Buah Mangunan


Dan begitulah cerita tentang Keraton Surabaya dan pemimpinnya. Selanjutnya seperti kota-kota lain di Indonesia, Surabaya ada dalam genggaman pemerintahan kolonial Belanda, kemudian jadi salah satu kota yang paling bergejolak selama perang kemerdekaan.




=================

Catatan: peta utuh dari inset tahun 1825.


Kaart van Soerabaia 1825. Dipublikasikan/dicetak oleh G. Kolff & Co, 1931.  Diakses via Digital Collections Leiden University Libraries.



Reading Time:

Jumat, 05 April 2024

Blue Fire Ijen (dan Nyala Biru Lainnya)
April 05, 20241 Comments


 

Beberapa hari lalu waktu langit cerah, kelihatan sebuah bintang di langit (agak) selatan. Buat ukuran sebuah kota yang polusi udara dan polusi cahayanya tinggi banget tapi dia tetap kelihatan, kemungkinan bintang itu memang sinarnya terang banget. Dan yang bikin makin penasaran adalah pendar kebiruan yang ada di sekitarnya.

 

Ingin memastikan, saya ambil kamera untuk zoom. Beneran warna bintangnya rada biru atau mata ini yang salah lihat?

 



 

Ternyata beneran. Biru.

Ada beberapa bintang malam itu. Namun yang bersinar putih kebiruan hanya satu. Lainnya bersinar putih dengan binar kekuningan.

 

Waktu foto itu saya upload di medsos, seseorang nanya, kenapa warnanya bisa biru gitu ya?

Saya jadi keinget pelajaran IPA dulu: semakin panas suhunya, nyala apinya makin biru. Kalau nyala api sesuatu yang terbakar warnanya merah, berarti panasnya ‘cuma panas aja', bukan yang ‘panas banget’ (yaa meski yang disebut ‘panas aja' itu udah panas bangeeet kalau kesentuh tangan kita). Macam api kompor yang dipakai masak. Waktu kompornya masih baru, masih bagus, panasnya cepat, nyala apinya biru. Lama-lama karena sering dipakai, kompornya mulai kotor, panasnya (relatif) agak lama (sedikit), dan nyala apinya jadi oranye kemerahan.

 

Apa hubungannya dengan blue fire Kawah Ijen?

Ngelihat binar biru bintang tadi, saya berasumsi bahwa bintang tadi pasti panas banget. Terbakar amat hebat dan bergejolak lebih dari matahari kita (yang sinarnya tampak kuning/oranye). Saya jadi keinget nyala biru lain yang pernah saya lihat: di sebuah praktikum Kimia dan di Kawah Ijen, Jawa Timur.

 

Kawah di Gunung Ijen sudah terkenal banget di kancah mancanegara sejak dulu. Kalau pergi ke sana bakal ngelihat banyak bule alias para turis internasional, yang kalau hiking ke kawah cuma pakai celana kargo pendek sepaha padahal kita yang penduduk Indonesia pakai baju berlapis-lapis atau, paling nggak, tertutup dari pundak sampai kaki karena dingin yang menggigit. Sempat ngerasa wow juga karena mereka sampai pakai masker gas—macam di film-film—untuk menghalau aroma belerang yang baunya seperti kentut atau telur busuk, sedangkan kami (dan pengunjung Indonesia lain) maksimal cuma pakai masker biasa. Beberapa bahkan nggak pakai dan hanya nutup hidung pakai tangan, kadang-kadang.

 

Kembali ke Kawah Ijen. Salah satu faktor yang membuat tempat ini jadi jujugan wisata nasional dan internasional adalah: karena punya blue fire. Api biru. Konon di bumi ini cuma ada dua blue fire: di Indonesia (Ijen) dan di Islandia. (Meski setelah searching nggak nemu juga lokasi blue fire Islandia ini di mana. Nemunya malah foto blue fire-nya Danakil Depression di Ethiopia. Jauh banget nggak tuh beda lokasinya).

 

Tentunya, orang-orang yang berwisata ke Ijen ya pengin lihat blue fire ini. Demikian juga saya dan konco-konco penghobi hiking, beberapa tahun lalu.

 

Kenapa apinya bisa biru, padahal di gunung berapi lainnya warnanya merah/oranye?

Karena kawah di Gunung Ijen mengandung gas sulfur alias belerang. Itu lho, yang bikin baunya ‘semerbak’ di mana-mana. Ternyata belerang/sulfur ini baru bisa terbakar di suhu amat tinggi, lebih tinggi dari pembakaran biasa. Karena suhu pembakarannya (apa ya istilah yang benar?) tinggi, maka api yang dihasilkan bukan merah lagi tapi biru.

 

Selain faktor suhu, faktor bahan juga mempengaruhi warna nyala api. Bahan yang berbeda-beda, saat dibakar, nyalanya juga beda-beda. Kenapa bisa gitu?

Yang pandai Fisika mungkin bisa menjelaskan, hehe, karena kayaknya ada hubungannya sama foton, level energi, dsb. Namun intinya, tiap bahan punya sifat yang berbeda. Makanya saat dibakar, karena sifatnya beda tadi, maka nyala apinya juga beda.

 

Ada sebuah praktikum Fisika sederhana yang menggambarkan ini. Dijejerlah sumbu dari beberapa bahan, contohnya tembaga, barium, natrium, dsb. Sumbu ini kemudian dinyalakan, lalu voila! Apinya kelihatan berwarna-warni kayak pelangi. Ada merah, oranye, kuning, biru, sampai hijau. 

 

Ilmu inilah yang dipakai untuk pembuatan kembang api. Tahu sendiri kan kalau kembang api tuh warna-warni; kelirnya macam-macam dan cantik banget. Mejikuhibiniu ada semua. Nah, sesuai namanya yaitu kembang api, maka yang kelihatan waktu diledakkan di langit malam ya itu tadi: api. Warnanya beda-beda karena mineral untuk bahan kembang apinya beda-beda. Misal ada kandungan barium kalau kembang apinya hijau terang, ada kandungan tembaga kalau kembang apinya biru, dsb. Bahkan mineral-mineral ini bisa dikombinasikan untuk menciptakan warna lain yang nggak muncul kalau mereka diledakkan sendiri-sendiri.  

 

 

Alam tuh keren, ya. Nggak cuma menyediakan hal yang praktikal, tapi juga memicu hal-hal turunan yang menakjubkan; yang baru terpikirkan atau baru bisa dibuat oleh manusia di era-era belakangan. Kalau alamnya aja keren, apalagi penciptanya alam, kan?


= = = = = 


Lalu gimana penampakan blue fire Ijen sendiri?

Sayangnya, waktu itu gerimis dan kabut tebal menutupi kawah. Rombongan kami cuma bisa ngelihat sedikit bagian kawah, sedangkan api birunya nggak kelihatan sama sekali :( Kelihatan sih, sebentar. Tapi sedikit banget dan samar banget, beda dengan foto-foto  yang bertebaran di internet. Emang lagi nggak rezeki aja, haha. Atau ini 'undangan' supaya mengulang perjalanan ke sana lagi di lain kesempatan :D

Reading Time:

Minggu, 31 Maret 2024

Audiobook
Maret 31, 20241 Comments

 



Dari beberapa bentuk buku, audiobook adalah salah satu yang paling jarang saya nikmati—kalau nggak bisa disebut nggak pernah. Saya lebih suka baca teks langsung karena ngerasa lebih gampang ‘masuk’ ke kepala. Kalau mendengarkan aja, rasanya masih ngawang. Dan, ngedengerin audiobook memakan waktu lebih lama dibandingkan kalau saya baca buku fisik. Karena itulah saya nggak pernah ngedengerin audiobook.

 

Seenggaknya, sampai beberapa saat lalu.

 

Semua bermula dari algoritma Youtube yang merekomendasikan potongan bacaan sebuah buku. Ketika saya klik, wah, kok suara yang bacain enak didengar *eh-lho. Memang nggak semua potongannya saya dengarkan saksama sehingga ceritanya baru saya pahami sepotong, tapi nada bacaannya mirip ASMR yang menenangkan dan bisa jadi white noise untuk teman saat laptop-an.

 

Sayangnya durasi buku itu cuma sebentar. Lalu meluncurlah gadget ini ke salah satu website penyedia audiobook yang saya tahu. Tentu, semua buku di sana berbayar. Namun, penyedia berbaik hati menyediakan preview masing-masing buku kurang-lebih lima menit. Baiklah, mari kita coba.

 

Hm... yang ini kok asyik.

 

Audiobook yang saya tahu adalah suara orang membaca teks. Nadanya memang nggak datar-datar saja karena narator perlu menyesuaikan emosi yang ada di buku, apalagi di buku fiksi. Saya kira, pembacanya hanya satu orang (karena kalau banyak atau disesuaikan jumlah tokoh, bukannya mirip sandiwara radio?). Dan itulah yang bikin kesannya seperti ngebosenin di benak saya.

 

Namun, yang ini beda. Saya baru tahu juga kalau ternyata format audiobook tuh beda-beda.

Dalam buku yang kebetulan saya dengerin, naratornya ada beberapa orang. Tiap ganti tokoh, naratornya berganti orang pula. Jadi nggak bikin bingung siapa yang lagi bicara. Asyiknya lagi, ini buku ada sound effect-nya. Saat lagi badai, ya kedengaran ada desau angin. Saat narator berkata bahwa perapiannya mulai dinyalakan, maka kedengaran suara gemeretak kayu yang sedang terbakar. Efek-efek suara itu bikin suasana jadi ‘hidup’ dan saya yang ngedengarin jadi ikut larut dan ngebayangin berada di dalam cerita.

 

Rasanya seperti didongengi.

Tenang, ngalir.

Preview itu saya putar berkali-kali, hahaha.

 

Memang nggak semua audiobook ada efek suara dan naratornya berganti tiap ganti tokoh. Saat ngebuka buku lain, naratornya seringkali cuma satu; dari awal sampai selesai. Dan nggak ada sound effect-nya. Namun, ini lumayan. Ya itu tadi, buat white noise kalau lagi laptop-an atau teman bergadang malam-malam. Namun karena saya dengerinnya disambi, jadi isinya memang nggak sepenuhnya masuk kepala karena nggak intens mendengarkan. But it’s okay, karena niatnya memang untuk jadi ‘teman’.

 

Pada akhirnya, saya tetap nggak bisa ‘membaca buku’ dengan ngedengerin audiobook, haha. Namun saya jadi dapat alternatif white noise baru yang lebih informatif. Pun bisa jadi alternatif kalau lagi males dengarin musik.

 

Audibook ada yang tersedia gratis. Selain preview di beberapa website penyedia, ada juga yang tersedia full version di Youtube. Pilihan bukunya memang nggak banyak dan suaranya/efeknya sepertinya nggak sevariatif yang berbayar (tentunya). Namun buat yang baru coba, bisa dijajal dulu.

 

Untuk yang lagi belajar bahasa asing, audiobook ini lumayan bisa bantu kemampuan mendengar (listening). Asal sudah punya basic berbahasa dan kosakata yang cukup (karena kalau enggak atau baru awal, bisa jadi malah bingung). Belakangan saya makai audiobook untuk pembiasaan dengarin omongan orang native speaker (karena logat native sama logat kita kan beda yak, dan itu bisa jadi kita bingung dia ngomong apa karena pengucapannya beda). Kalau buat belajar intensif, tentu kurang efektif karena saya dengarinnya cuma sekilas. Intinya semacam kalau ada orang ngobrol di dekat kita, dan kita nggak ngedengarin pembicaraan mereka dengan sengaja, tapi sedikit-banyak kita tahu mereka ngomongin apa, garis besarnya.

 

Buat yang suka baca novel, latihan listening-sambil-lalu pakai audiobook juga seenggaknya bisa tahu garis besar ceritanya tuh apa. Ada satu novel dan film yang saya pengin tahu isinya, tapi tebal dan lama, jadi saya dengerin audiobook-nya sambil lalu sehingga jadi tahu ini ngomongin apa (lebih cepat kalau baca review orang sih, tapi oh well, kan buat white noise juga😄)


Audiobook icon by Awicon via Freepik

Reading Time:

Jumat, 08 Maret 2024

When Book Meets Travel
Maret 08, 20241 Comments


 

Siapa yang suka baca buku saat lagi travelling? Bukan saya, haha. Saya lebih suka jalan-jalan, ngobrol, atau bengong ngelihatin sekitar saat travelling. Pun saat nggak ngapa-ngapain seperti waktu di dalam kendaraan. Membaca yang saya lakukan saat travelling biasanya hanya baca artikel daring tentang tempat yang akan/sudah dikunjungi. Membaca buku tentang suatu lokasi, yang biasa jadi penambah info sebelum mengunjungi destinasi, biasanya udah dilakuin sebelum berangkat.

 

Mungkin karena kalau baca buku, saya sering terlalu larut di dalamnya. Jadi kalau ngebaca pas travelling, ntar jangan-jangan malah lebih fokus ke bukunya daripada jalan-jalannya, haha *ngeles

 

Namun, ngelihat postingan para pejalan lain yang sering upload cerita dan foto buku yang mereka baca waktu di perjalanan, jadi pengin ngerasain juga, haha. Mungkin akan beda sensasinya, ada kesan khusus, saat membaca sesuatu di tempat hal itu terjadi atau diceritakan.

 

Jadilah ‘membaca buku tentang suatu tempat ketika berada di tempat tsb’ masuk ke bucket list saya. Meski nggak diseriusi kapan dikerjainnya.

 

Tanpa sengaja, 2023 lalu, alhamdulillah poin bucket list tersebut kesampaian.

 

Tanpa direncanakan, pertengahan 2023 lalu saya main ke area Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS), tepatnya ke Nongkojajar dan Wonokitri. Karena capek motoran lama, saya dan para partner touring (cuma bertiga sih, haha) memutuskan istirahat lama di kebun edelweis, Wonokitri (catatan perjalanannya bakal ditulis, insyaallah—kalau kelar, entah kapan). Saat mereka ngobrol, saya bengong duduk di gazebo bambu sambil nyeruput matcha latte yang sudah dingin.

 

“Udah, belum? Jalan lagi, yuk. Keburu malam sampai bawah,” ajak saya.

 

“Nanti dululah. Santai. Ini rokoknya belum habis,” kata salah satu partner—yang adalah ayah saya—, mengisap batang rokok yang entah sudah keberapa.

 

“Okay….” Saya kembali ke gazebo, menjauh dari kepulan asap.

 

Saya diam. Bingung mau ngapain. Makanan bahkan camilan sudah habis. Pengin jalan lihat-lihat sekeliling, tadi sudah. Foto-foto, sudah. Sekarang tinggal capeknya. Tidur? Mana mungkin…. Akhirnya iseng saya buka galeri ponsel dengan niat ngehapusin foto yang makin numpuk padahal nggak pernah dilihatin. Eh lho, kok ada foto buku?

 

Ternyata saya masih menyimpan foto beberapa halaman dari buku perjalanan Wormser, seorang pendaki gunung-gunung di Jawa awal tahun 1900-an (sekilas bukunya ada di postingan ini). Untungnya juga, tulisannya tentang area Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru belum saya hapus. Jadilah bab itu saya baca.

 

Di tengah kabut yang mulai menutupi perbukitan di seberang dan hawa yang makin menggigit, catatan perjalanan seabad lalu itu menemani saya menghabiskan sisa siang.

 

Tempat yang sama.

Jalur perjalanan (yang di beberapa bagian sepertinya) sama.

Orang yang berbeda.

Perjalanan yang berbeda.

 

It felt… serene. Blissful, content, fulfilling, beautiful.

 

Oh, jadi gini rasanya.

Mirip dengan sensasi saat masuk ke wilayah atau gedung bersejarah, yang sejarahnya pernah kita baca atau pelajari di bangku sekolah. Rasanya seperti ‘ikut melihat’ kejadian di masa itu, membayangkan peristiwa itu terjadi di depan mata. Bertumpukan antara mana yang imaji dan mana yang nyata. Seperti diorama.

 

Meski buku (dan bagian itu) udah pernah saya baca sebelumnya, sensasinyanya tetap… beda. Mungkin karena barusan ngelewati area yang diceritakan di buku, maka rasanya lebih fresh. Kayak muncul percikan-percikan rasa senang saat nemuin beberapa hal yang sama, jalan yang sama, atau daerah yang barusan dilewati, disebutkan di buku. Semacam, “Aha!” moment.

 

It was melancholic-kinda nostalgic. Or maybe it was just the melancholic in me.

 

Selesai membaca bagian tentang TNBTS, saya terdiam. Kehabisan bacaan dan kegiatan. Hal selanjutnya yang saya lakukan, tak disangka, juga adalah salah satu poin yang juga ada di bucket list: mendengarkan musik favorit di tengah gunung yang dipeluk kabut.

 

Alunan piano dan biola mengalir harmonis dari earbud, selaras dengan bisikan angin yang membuat semak edelweis dan pucuk-pucuk pinus menari lembut. Aroma cemara segar tercium samar di ujung hidung. Satu, dua, tiga baris kalimat diketik di notes HP. Kata-kata itu beranak-pinak menjadi paragraf panjang sepuluh, dua puluh menit kemudian; menyumbang bagian untuk cerita yang tak kunjung selesai meski ditulis bertahun-tahun sebelumnya.

 

Area TNBTS memang salah satu tempat istimewa bagi saya. Salah satu pegunungan tercantik yang pernah saya lihat, daki, dan kunjungi. Sejarah, budaya, dan proses terbentuknya pun luar biasa. Dan, mungkin karena ini gunung ‘jauh’ yang pertama saya kunjungi ketika masih kecil, juga pendakian di atas 3.000 mdpl pertama saya, sehingga meninggalkan kesan mendalam yang kala itu menginspirasi beberapa potong cerita (yang sampai sekarang nggak tamat-tamat juga, haha).

 

Tiap bagian wilayah ini selalu berhasil membangkitkan memori; memunculkan imajinasi.

Or maybe it was the poet in me.

 

*                      *                      *

 

Kayaknya udah telat untuk 2023 recap karena udah Maret, tapi mumpung ngomongin bucket list, sekalian ajalah, haha. Beberapa hal paling memorable yang alhamdulillah tercapai tahun lalu—yang kebetulan terjadi di satu tempat—adalah:

  • baca buku tentang suatu lokasi, di lokasi itu — di TNBTS
  • ngedengerin lagu favorit (yang sekaligus jadi theme song cerita yang saya tulis) di tempat yang jadi setting lokasi cerita, sambil dikelilingi gunung-hutan-kabut — di TNBTS
  • ngelihat semak arbei/berry liar di tepi hutan (surprised dan senang banget karena biasanya nemu arbei liar saat masuk banget ke dalam hutan/gunung aja) — di kaki Gunung Arjuno

 

Those are small things; seemingly insignificant and unimportant (don’t affect my course of life much, I think)

but I count them as small wins.

My little sparks of joy.

 

Dan semoga, kita bisa menemukan ‘little sparks of joy’ lainnya di tahun ini juga. Juga di tahun-tahun setelahnya.

Reading Time:

Sabtu, 02 Maret 2024

Reminiscing Narnia
Maret 02, 20240 Comments
Soca Valley (Lembah Soca), Slovenia - 
- Salah satu lokasi film Narnia: Prince Caspian -


 [NB: Mengandung spoiler


Beberapa waktu ini sedang suka-sukanya (lagi) sama film Narnia, termasuk sekuel-sekuelnya. Film masa kecil ini nggak cuma punya cerita yang menarik, tapi juga sinematografi yang bagus dan setting tempat yang keren-keren (dan bikin pengin lihat lokasinya langsung, haha). Di mata saya.

 

Kesannya soft dan eloquent (brb nyari padanan katanya) untuk film yang di dalamnya ada cerita perang, makhluk buas setengah manusia, dan adegan-adegan bertahan hidup yang bikin deg-degan.

 

Gara-gara mengenang kembali film ini, saya jadi ‘disadarkan’ betapa waktu sudah berlalu cukup lama.

 

Apa hubungannya?

 

Awalnya, saya nggak sengaja lihat credit sebuah film. Di sana ada satu nama aktor yang pernah main di film Narnia. Penasaran, saya browsing gambar-gambar film itu. Kening saya berkerut. ‘Kok kayaknya nggak ada wajah yang familiar, ya?’ Rasanya nggak ada wajah pemeran tokoh Narnia dalam scene-scene yang bertebaran di film baru ini.

 

Browsing lagilah saya. Kali ini menyertakan nama pemeran+judul filmnya. Lalu… jeng jeng!

Tampaklah sebuah wajah nggak familiar…

 

… yang, ketika dilihat lebih teliti, ternyata mirip dengan salah satu aktor Narnia.

 

Ya gimana nggak mirip, lha wong mereka emang orang yang sama! Wajahnya tambah dewasa aja.

 

Kini saya yang terperangah. Membatin, ‘Seriusan?’

Pasalnya, nama dan wajah yang tersimpan di ingatan saya adalah sosok mas-mas 17 tahunan; sekitar usia SMA atau anak kuliahan. Bukan wajah seseorang yang lebih mirip seperti bos berpengalaman/very gentlemanly-looked gent.

 

Beda banget dibanding dulu. Lalu saya pun menghitung waktu. Ah, udah lebih dari sepuluh tahun semenjak saya pertama nonton Narnia. Itu pun beberapa tahun setelah tanggal rilisnya. Ya… pantas aja kalau wajah aktornya sudah berubah.

 

Di saat yang sama, melihat foto wajah itu, rasanya saya seperti melihat sebuah cermin. Bukan, bukan karena parasnya yang rupawan lalu saya merasa tampang saya ikut cakep juga (LOL), tapi lebih ke usia. Dia yang dulu muda, sekarang udah nampak lebih dari dewasa. Berarti saya juga bertambah  tua, dong!

 

*Sigh*

Namanya hidup memang tambah tua, bukan?’ Saya berkata pada diri sendiri.

 

Memang ada betulnya perkataan orang: kadang, kita nggak berasa kalau bertambah tua atau bertambah usia. Kita baru berasa saat ngelihat orang lain yang bertambah tua. Ortu dan om-tante yang dulu tegap lalu sekarang bungkuk dan mulai ompong, teman-teman yang kini jadi ayah-bunda, adik bayi yang dulu kita jagain yang sekarang udah SMP/SMA bahkan kuliah.

 

Lantaran menemukan fakta bahwa aktor dari film masa kecil kini nggak lagi muda, saya seperti ‘baru melihat’ realita. Seperti udah mengetahui sesuatu, tapi sekarang baru ‘berasa’.

 

The reality that we’re—I am—getting older rarely really sinks in until I see other people age.

I shouldn’t be surprised, but I was  ðŸ˜…


Yah... kayak waktu mengenang film Narnia tadi.



Reading Time: