Hijaubiru

Rabu, 27 Desember 2023

Alam sebagai Kulkas
Desember 27, 20231 Comments



Malam itu saya ingin makan mi instan dengan daun bawang. Sayang, ternyata stok daun bawang saya lagi habis. Sebelum memutuskan makan mi tanpa garnish (halah!), Ibu menyuruh saya memetik daun kucai di pot.

 

“Lho kan kucainya cuma sedikit.” Saya mengingat-ingat.

“Nggak kok, rumpunnya udah nambah,” kata Ibu.

 

Singkat cerita, rumpun yang masih sedikit itu akhirnya saya potong beberapa. Pucuknya saja, hanya beberapa helai. Tak sebanyak biasanya. Saya membatin diri sendiri, ‘Kalau pas banyak aja, ambilnya nggak kira-kira. Ternyata kalau sedikit gini, tetap bisa juga ambil secukupnya’.

 

Ambil sedikit karena keadaan terpaksa. Atau karena merasa milik sendiri. Kalau lagi banyak, metik seenaknya.

 

Mudahnya, secara  maksimal adalah ngambil seenaknya sendiri, sebanyak-banyaknya, tanpa peduli kelangsungan hidup. Eksploitatif.

 

Sebaliknya, saat merasa itu milik sendiri, merasa bertanggung jawab dengan habis-enggaknya atau hidup-enggaknya itu tanaman, jadi lebih mindful ngambilnya. Nggak eksploitatif. Secukupnya.

 

Saya teringat sebuah bagian di buku “Sokola Rimba”-nya Butet Manurung. Butet seorang pengajar, guru bagi anak-anak Orang Rimba—sebuah suku di pedalaman Sumatra yang tinggal jauh di dalam hutan. Suatu hari dia bercerita tentang konsep kulkas pada muridnya. Bercerita tentang benda elektronik pada orang yang asing dengan konsep listrik menjadi kesulitan sendiri. Akhirnya Butet berkata bahwa kulkas itu seperti “tempat menyimpan”. Makanan yang didapat hari ini disimpan, lalu diambil esok bila mau dimakan.

 

Respons muridnya menakjubkan. Kalau nggak salah ingat, kurang lebih begini,

“Kami juga punya kulkas. Alam itu kulkas kami. Hari ini kami ambil secukupnya. Besok kalau butuh, kami ambil lagi.”

 

Sekilas seperti ucapan sederhana, but that’s deep.

 

Mereka “memperlakukan” alam sebagai kulkas. Ambil secukupnya. Kalau butuh, baru ambil lagi. Bukan ambil sebanyak-banyaknya hari ini, besok nggak tahu gimana caranya harus dapat lagi. Dengan ambil secukupnya, itu langkah yang menurut saya amat bijak. Nggak eksploitatif. Selain sebagai bentuk menghormati alam, juga sebagai bentuk pelestarian.

 

Kuncinya adalah keseimbangan.

Eksploitasi atau mengambil yang berlebihan, merusak keseimbangan. Itulah sebabnya banyak lahan, hutan, alam, yang rusak: karena dieksploitasi. Diambil besar-besaran tanpa peduli efeknya ke lingkungan dan manusia sekitarnya.

 

Memang, segala yang berlebihan itu tidak baik.

Dan rasa-rasanya ini berlaku untuk semua hal.

 

Dalam survival botani, salah satu aturan adalah para forager harus mengambil secukupnya saja. Contohnya, kalau kita di hutan kemudian nemu beri liar, kita nggak boleh metikin sampai buahnya habis. Kita harus sisakan. Ini juga berlaku kalau mau forage/merambah bunga, daun, dsb. Kenapa?

-          Supaya tumbuhannya bisa terus berkembang biak. Kalau buahnya diambil semua, artinya bijinya ikut dimakan. Artinya dia nggak bisa tumbuh tumbuhan baru.

Kalau tumbuhannya nggak berkembang biak dengan biji, gimana? Tetap nggak boleh, karena…

-          … buah itu jadi makanan hewan liar. Kalau buahnya kita makan semua, gimana dengan hewan yang setiap hari makannya memang itu? Nggak bisa makan, dong? Bisa sih cari di tempat lain, tapi sulit. Ini hutan yang nyari satu jenis/populasi tumbuhan butuh usaha lebih, bukan aisle supermarket atau pasar yang bisa langsung kelihatan produknya.

 

Konsep keseimbangan, nggak mengambil terlalu banyak, juga berlaku untuk makanan. Saya termasuk ‘penganut’ paham the dose makes the poison. Alias nggak ada makanan yang betul-betul terlarang atau betul-betul jelek untuk tubuh (lain hal dengan haram-halal, ya). Makin gede, orang-orang di sekitar makin banyak yang anti sama sekali dengan makanan siap saji, perisa makanan (contoh: MSG), gula, dsb.

 

Saya masih mengonsumsi mereka, sesekali. Boleh makan makanan siap saji, boleh pakai micin, tetap konsumsi gula, dsb. Asal nggak kebanyakan. Kalau kebanyakan, jelas bakal jadi penyakit. Kalau kekurangan gimana? Sama aja. Saya pernah pusing mumet muter-muter karena ternyata kurang gula. Dalam hal konsumsi makanan, kebutuhan tiap orang berbeda karena metabolisme tubuhnya berbeda. Jadi menurut saya nggak bisa dipukul rata: makan harus ini aja, itu nggak boleh. Apa yang jadi pantangan bagi A, bisa jadi harus dikonsumsi oleh B. Demikian pula sebaiknya.

 

Mungkin kita akan berbeda pendapat. And that’s okay. You do you, I’ll do mine.

 

Contohnya, orang tua yang punya asam urat, harus membatasi makan protein. Tapi kalau orang tua lain yang mengidap kwashiorkor (kekurangan protein) ya masa nggak boleh makan daging juga. (*cmiiw)

 

Di lingkungan sehari-hari, plastik bisa jadi contoh nyata. Plastik toh awalnya diciptakan salah satunya untuk ngurangi penebangan pohon untuk pembuatan kantung. Niat yang baik, bukan? Tapi gimana sekarang? Ketika plastik udah digunakan berlebihan, timbul ketidakseimbangan dan masalah baru: sampahnya. Makanya sekarang banyak diminta pakai tas kain.

 

Just my hunch, tapi kalau pemakaian tas kain ini juga berlebihan, bukan nggak mungkin di masa depan akan timbul masalah lain. Misal, sampah. Perlu diingat bahwa tas kain sekarang nggak murni terbuat dari serat kapas yang relatif mudah terurai. Ada tas kain yang terbuat dari serat sintetis yang di dalamnya terkandung plastik. Dan, mengurai suatu benda yang terbuat dari bahan campuran itu lebih banyak tantangannya daripada mengurai suatu benda yang terbuat dari satu bahan aja.

 

“Ya sudah balik ke tas belanja dari bambu kayak mbah-mbah dulu!”

Bisa banget. Namun kalau berlebihan, bisa timbul kerusakan akibat penebangan bambu yang berlebihan. Atau kerusakan lahan karena terlalu intensif tanam bambu dalam waktu lama, misalnya.

 

Balik lagi ke konsep keseimbangan.

Dan, melihat Orang Rimba yang begitu sederhana tapi lebih paham (dan sudah praktik) konsep keseimbangan seperti kulkas tadi, sepertinya kita harus belajar pada mereka.

Reading Time:

Sabtu, 23 Desember 2023

Mencari Buku Pendakian Zaman (Amat) Lawas
Desember 23, 20230 Comments


Seminggu lalu, tepat di 16 Desember, adalah 54 tahun meninggalnya Soe Hok Gie. Aktivis dan pendiri Mapala UI itu meninggal di Gunung Semeru bersama dengan temannya, Idhan Lubis. Hari itu, beberapa poster peringatan hari kematiannya bermunculan di media sosial. Poster-poster itu mengingatkan saya tentang sebuah buku yang pernah saya baca di bulan yang sama, tahun lalu.


Buku itu berjudul “Soe Hok Gie, Sekali Lagi”. Buku yang pertama terbit tahun 2009 inilah yang jadi gerbang untuk saya untuk menemukan buku pendakian zaman (amat) lawas.


“Soe Hok Gie, Sekali Lagi” adalah kumpulan esai tentang Gie dari orang-orang yang dekat dengannya. Ada pula esai dari orang-orang yang tidak pernah ia temui tetapi ikut terlibat dalam pembuatan film “Gie”, antara lain aktor Nicholas Saputra, sutradara Riri Riza, dan produser Mira Lesmana. Dalam buku 500-an halaman itu, ada satu bagian cukup panjang yang ditulis oleh Rudy Badil—yang kemudian menjadi wartawan Kompas—yang ikut dalam pendakian saat itu. Bagian inilah yang menarik perhatian saya.


Tulisan Rudy menceritakan pendakian mereka ke Semeru. Lengkap. Sejak awal persiapan berangkat sampai pengebumian Hok-Gie dan Idhan. Esainya juga menceritakan ingatan-ingatan tentang teknis dan medan pendakian saat itu. Jalur mana yang ditempuh, apa saja yang ditemui, hambatan-perselisihan-dinamika tim yang terjadi di lapangan. Seperti pendaki lain, tim pendakian mereka juga mencari data pegunungan dari catatan perjalanan pendaki-pendaki sebelumnya. Kebetulan yang dijadikan rujukan adalah buku C.W. Wormser, seorang petualang Belanda.


Nama Wormser beberapa kali disebut. Catatan perjalanannya, selain cerita soal gunung dan perjalanan itu sendiri, juga jadi sumber catatan sejarah yang terjadi di sekitar Gunung Semeru di masa lalu. Dari nukilan catper (catatan perjalanan) Wormser inilah saya jadi tahu kalau sejak dulu sudah ada tanah pertanian di Ranu Pani (desa terakhir sebelum hiking ke Semeru), bahkan peternakan sapi. Selain soal Semeru, catatan Wormser juga disebut-sebut memiliki tulisan perjalanannya ke gunung-gunung lain.



[Wormser]

Sebelum Wormser, saya pernah menemukan catatan-catatan dan nama-nama penjelajah/pendaki lain. Antara lain cerita dari Junghuhn, van Bemmelen, dsb. Namun, catper mereka isinya lebih seperti laporan. Deskriptif sekali, “poin-poin banget”, ilmiah pol (kecuali Junghuhn, yang kadang nulisnya ngalir kayak diary). Mau gimana lagi, mereka emang nulis untuk keperluan laporan eksplorasi pemerintah Hindia-Belanda, bukan untuk majalah. Jadi ya emang kaku sekali. Lebih cocok untuk referensi.


Di sisi lain, saya lebih akrab dengan catper gaya non-fiksi naratif. Pernah baca artikel majalah atau salindia di medsos? Ya kayak gitulah. 


Buku Wormser tampaknya menyajikan catper pendakian secara khusus. Maksudnya, kalau catper penjelajah lain biasanya gunungnya dibahas sedikit dan lebih banyak bahas daerahnya (karena emang laporan daerah). Karena topiknya lebih mengerucut ke pendakian itulah, saya jadi ingin baca bukunya.


Alasan lain adalah karena buku Wormser ini rupanya udah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dari judulnya “Bergenweelde” menjadi “Kemewahan Gunung-Gunung.” Yesss, saya nggak perlu bolak-balik buka Google Translate untuk nerjemahin halaman satu per satu!


Sebagai catatan, kebanyakan catper penjelajah Hindia-Belanda (seenggaknya yang saya temukan online) mayoritas berbahasa Belanda. Atau kadang, Jerman. Nyari itu topik pakai keyword bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sama nihilnya; hasilnya sama-sama sedikit. Beda dengan browsing pakai kata kunci bahasa Belanda atau Jerman. Padahal saya nggak bisa bahasa Belanda atau Jerman. :(


Karena buku Wormser sudah diterjemahkan, maka rasa penasaran semakin besar, haha.


Saya meluncur ke marketplace dengan harapan ada yang jual, meski second pun nggak apa. Duh, ternyata buku terjemahan '96 ini nggak banyak. Ada, sih, yang tulisannya masih tersedia. Tapi tokonya nggak terlihat meyakinkan. Dan berita buruknya, ini buku kayaknya udah nggak diterbitkan lagi. 


Tiada harapan di pembelian, saya beralih ke peminjaman. Buku lawas begini biasanya tersedia di perpustakaan, khususnya perpus-perpus kampus. Saya menelusuri satu demi satu repository perpustakaan terdekat. Nihil. Hiks. Sebetulnya ada satu yang lokasinya cukup “terjangkau”, yaitu… Perpusat UGM. Rasanya pengin nggremeng ke diri sendiri, kenapa tahunya nggak dari dulu, waktu itu tempat masih berjarak sepelemparan batu dan sering disambangi setiap minggu. Hmm….


Untungnya, beberapa bulan kemudian, saya berkesempatan berkunjung ke Yogya. Saya udah ngerancang: mau ngehubungin adik kelas, minta tolong pinjamin itu buku dengan KTM-nya, lari ke rental buat fotokopi kilat, dan besoknya saya sudah memiliki kopian bukunya.


Namun rencana tinggal rencana. Waktu saya di Yogya ternyata amat mepet. Akhirnya saya ambil cara terakhir: nyari bukunya di perpus, baca, catat bagian yang dibutuhkan. Lagi-lagi, rencana ini pun tinggal rencana (LOL). Waktunya masih nggak cukup buat baca (astaga!). Akhirnya saya pun nggak jadi baca dan… menghabiskan satu jam lebih untuk memotret halaman satu sampai 350-an. Untuk dibaca kemudian di lain kesempatan. Alhamdulillah kamera ponsel sekarang sudah jernih, motret dokumen full satu halaman pun nggak jadi hambatan. Coba kalau ini kejadian saat kamera HP masih jadul. Itu huruf bisa ngeblur nggak kebaca semua :’)



[Awal Pencarian

Buku Pendakian Era Hindia Belanda]

Buat apa nyari catatan perjalanan/pendakian zaman dulu?

Sebenarnya saya nggak ada niatan. Waktu jadi anggota Pecinta Alam (PA), para anggota wajib survei dan cari tahu segala hal soal gunung yang akan didaki: medan, transpor, risiko, dsb. Minimal tahu jalur dan detail rutenya supaya nggak nyasar. Kalau sekarang, hal seperti ini bisa dicek di medsos atau website basecamp gunungnya. Namun, dulu medsos belum segencar sekarang. Cara buat cari tahu biasanya nanya teman/senior/organisasi PA lain yang udah pernah ke sana. Cara lain adalah baca-baca catatan perjalanan orang lain, umumnya di blog/website orang (ah jadi kangen zaman ketika blog/web dan mesin perambah masih diisi website yang organik, yang isinya beda-beda, bukan yang judul sedikit beda tapi isinya sama semua karena iklan-SEO-dsb). Cara lain adalah telepon basecamp, kalau mereka punya telepon. 


Catper orang lain ini berguna banget buat mendaki, apalagi kalau gunungnya jarang didaki. Tanda-tanda yang pernah ditemui pendaki terdahulu bisa membantu banget buat kita menandai medan dan manajemen risiko. Kita juga jadi tahu kemungkinan apa yang bisa terjadi di pendakian kita, belajar dari pendakian orang lain. 


Buat saya sendiri, rasanya seperti ada semacam “aha” moment ketika menemui hal-hal yang diceritakan dalam catatan orang lain. Hal-hal sederhana, sebenarnya. Tapi cukup buat saya dan teman-teman untuk nge-hype bareng. 

“Wah, ini batu gede yang diceritain di catper!”

“Iya, ternyata gede banget seukuran kasur!”

“Kalau nemu batu ini, berarti kita udah di jalur yang benar.”

“Yesss, aku udah khawatir kita salah ambil jalan di percabangan tadi.”


Sama halnya seperti ketika membaca catatan seabad lalu, kemudian ngelihat wujudnya di depan mata.


Rasa penasaran itu kian meningkat saat mendengar cerita-cerita pendakian di tahun-tahun saat orang tua kita masih muda atau cerita dari senior tua. Dari cerita dan foto-foto mereka aja, pendakian dulu dan sekarang beda banget. Dulu lebih susah. Transpor minim dan harus lebih jauh jalan kaki, peralatan kemping nggak seringkas sekarang, dan jalurnya lebih liar. Saya jadi ngebayangin: zaman itu aja susah, gimana zaman penjelajah Hindia-Belanda? (Apalagi zaman nenek moyang di masa kerajaan-kerajaan dulu)


Membaca beberapa catatan, memang beda bangeeet. Antara lain:

  • Sekarang, kita bisa bawa mobil/truk sampai desa terakhir. Satu moda transportasi cukup. Di abad itu, mereka harus gonta-ganti kendaraan: mobil, perahu, kuda. Paling sering pakai kuda.
  • Sekarang, perbekalan bisa kita isi sekali jalan aja. Di era itu, mereka harus ngerencanain pit-stop untuk ganti kuda atau isi ulang perbekalan (pendakiannya lebih lama, berhari-hari) 
  • Di zaman kita (atau orang tua), kita bisa hiking dalam grup beberapa orang aja. Zaman itu, mereka hiking rombongan besar: ada penunjuk jalan, porter (bisa puluhan), juru masak, penerjemah, dsb.


Apa buku Wormser ini satu-satunya buku tentang pendakian?

Enggak. Sebenarnya, sebelum ‘berjodoh’ dengan buku Wormser, saya ketemu buku lain tentang pendakian gunung-gunung Indonesia karya Clement Steve, “Menyusuri Garis Bumi”. Tulisannya berlatar era 70-an. Ada juga buku “Manusia dan Gunung” tulisan Pepep D.W. dan “Zerowaste Adventure” karya Teh Siska Nirmala. Buku terakhir fokusnya bukan di catper macam medan dsb, tapi lebih ke manajemen perbekalan pendakian agar minim sampah. Selain itu apa lagi ya… mungkin ada yang tahu buku lainnya?


Reading Time:

Jumat, 17 November 2023

Kita yang Sedang Mengulang (dan Menjadi) Sejarah
November 17, 20230 Comments

 

[Trigger warning: death, pandemic, war]

 

Sebuah akun foto-foto masa lalu, diprotes oleh sebagian followers-nya karena akhir-akhir ini menayangkan foto-foto dan berita masa kini. Protesnya kurang lebih, “Ini kan akun sejarah, stick aja ngepos foto-foto dan cerita jadul. Ngapain ngepos foto dan berita sekarang?”

 

Pemilik akun menjawab. Beberapa followers lain turut jawab pula. Respons mereka kurang lebih,

“Ya karena foto dan berita yang dipos sekarang itu akan jadi sejarah di masa depan. Sekarang aja udah jadi sejarah. It is history in the making.”

On point.

 

Bahkan kejadian beberapa saat lalu aja, sudah bisa jadi sejarah. Toh definisi ‘sejarah’ sendiri salah satunya adalah ‘kejadian yang benar-benar terjadi di masa lalu’. Berita tadi pagi aja udah masuk kategori sejarah. Apalagi berita pekan lalu, bulan lalu. Ya meski secara sense kurang dianggap sejarah oleh umum karena pandangan khalayak tentang sejarah adalah sesuatu yang udah lamaaa… banget, bertahun-tahun atau berpuluh tahun lalu.

 

Yang 'menakjubkan', kita dan banyak orang kadang nggak sadar sedang menjadi sejarah. Atau, mengulangi sejarah.

 

Ada yang bilang, sejarah dunia sebetulnya sejak dulu sama aja. Konflik dan intriknya ya itu-itu aja. Cuma beda orang dan beda detailnya.

 

Saat baca atau lihat kisah sejarah, sempat terlintas di benak, “Hidup mereka zaman itu gimana, ya? Kok bisa jadi seperti itu ya, kan sebenarnya simpel banget tapi kok jadi masalah gede?” dst dst. Beberapa tahun ke belakang, benang merah sebagai jawaban mulai bisa ditarik.

 

Jawabannya: hidupnya ya begitu.

Betul, banyak kejadian besar yang berlangsung. Namun mayoritas yang dilakukan orang memang satu: tetap hidup. Sesederhana keep on living.

 

Ingat pandemi Covid-19 kemarin? Tentu, banyak berita dan kejadian penting yang wow dan besar sekali. Mulai dari jumlah korban yang amat tinggi, akselerasi teknologi dan IPTEK demi mendapat obat dan mendukung work from home, kegiatan yang segalanya berubah online, jalanan yang sepi tanpa apa pun, kesehatan mental yang mulai meningkat concern-nya di antara orang-orang, dsb. Never in my life I’d imagine that a vaccine would be invented during my life. Kalau dikilas balik, seperti film sci-fi. Berkejar dengan waktu dan sumber daya. Namun bila di film sci-fi rasanya seru, yang ini rasanya tentu aja nggak ingin diulang lagi. Adrenaline rush karena asyik nonton film dan karena emang kepepet itu rasanya beda; dan yang kedua rasanya jauh lebih nggak enak.

 

Those are major global events. Perubahan dan kejadian global yang semua orang di dunia, tahu dan mengalami. Masuk sejarah? Oh tentu. Kejadian bombastisnya akan terekam. Lalu apa yang kita, orang-orang biasa, lakukan waktu itu? Kita bertahan hidup. We ‘just’ keep on living, trying to live. Nggak peduli apakah ini akan jadi kejadian sejarah, nggak peduli apa ini akan tercatat sejarah, yang penting (berjuang untuk tetap) hidup.

 

Sama halnya dengan sejarah yang “kok bisa kejadian ya?”. Ya… bisa.

Saat belajar sejarah Perang Dunia di bangku sekolah, atau pembantaian, atau pembunuhan, atau penjajahan, apalagi yang melibatkan hak hidup orang banyak banget, sempat terpikir, “Kok bisa, ya? Bunuhin orang segitu banyak, lho. Kok tega, ya? Kok nggak ada yang menyetop,” dan kok-kok yang lainnya. Akhir-akhir ini, jawaban itu mulai terlihat benang merahnya. Sesimpel: ya, bisa; ya, ada yang percaya itu untuk kebaikan; ya, nggak ada yang tegas menyetop karena politik.

 

Sama seperti mati dan tersiksanya banyak orang saat perang zaman duluuu, sekarang juga sama. Hanya saja pelaku dan lakonnya beda-beda. Sangat disayangkan. Teknologi udah maju, zaman udah berubah, sifat manusianya tetap sama.

 

Apa kata orang bijak? Those who don’t learn history are doomed to repeat it. Orang-orang yang tidak mempelajari sejarah akan mengulangi kejadian-kejadian buruk itu. Tapi, rasa-rasanya, orang-orang ini banyak yang belajar sejarah, bahkan mungkin sampai amat mendalam dan langsung dari sumbernya, tapi sejarah itu tetap berulang.

Reading Time:

Jumat, 10 November 2023

Kustbatterij Kedung Cowek, Bekas Benteng Belanda di Surabaya
November 10, 20230 Comments



 

Mendengar ada bekas benteng di Surabaya, telinga saya mencuat. Sekian lama tinggal di Kota Pahlawan, saya nggak pernah melihat langsung wujud benteng. Saya baru lihat yang namanya benteng justru saat berada di Yogyakarta, di Benteng Vredeburg. Padahal sebagai salah satu kota penting sejak zaman Belanda (bahkan sebelum Majapahit), harusnya Surabaya punya benteng, nggak sih?

 

Mungkin udah hancur nggak berbekas atau gimana, pikir saya waktu itu. Jadi saat baca sebuah laman berita bahwa ditemukan reruntuhan benteng bekas Belanda di pesisir utara Surabaya beberapa tahun lalu, saya tertarik. Pengin lihat, tapi (kalau nggak salah) aksesnya masih tertutup untuk umum saat itu. Sekarang, aset milik TNI itu sudah dibuka untuk umum.

 

[Disclaimer: tulisan ini memang dibuat dengan pengamatan lokasi dan merujuk referensi sejarah. Namun saya bukan ahli sejarah, sekadar penggemar, sehingga mungkin sekali kalau ada kesalahan/ketidakakuratan di tulisan ini karena saya keliru cari sumber atau salah interpretasi. Jadi soal sejarahnya silakan dicek kembali dan mohon maaf serta mohon masukan bila ada kekeliruan.]

 

Benteng Kedung Cowek (atau kustbatterij Kedoeng-Tjowek) dibangun Belanda di daerah Kedung Cowek pada awal abad 20. Tujuannya tentu buat pertahanan kota dari serangan arah laut. Yup, depan benteng ini langsung laut. Tepatnya Selat Madura. Pertahanan dari siapa? Dari musuh Belanda, tentunya.

 

Saat pecah Perang Dunia II dan Jepang merangsek ke Jawa, benteng ini jadi salah satu lini pertahanan pasukan Kerajaan Belanda meladeni armada Kekaisaran Jepang. Waktu PD II selesai dan Indonesia baru aja merdeka, benteng ini juga dipakai pejuang kita untuk menghalau tentara Sekutu yang balik ke Indonesia.

 


Benteng Kedung Cowek berbeda dengan umumnya benteng. Selama ini di bayangan saya, benteng itu semacam sistem tertutup. Dinding-dinding mengelilingi dan melindungi sebuah area di tengah. Ternyata enggak. Kalau dilihat-lihat, Benteng Kedung Cowek ini bentuknya seperti garis di sepanjang bibir pantai.

 

Bentuk ini nggak lepas dari fungsinya. Dalam bahasa Belanda, tempat ini namanya kustbatterij atau coast battery. Kantung pertahanan tepi laut. Jadi bentuknya memang bukan benteng melingkar, tapi kantung-kantung pertahanan di sepanjang lini.

 

Cuaca panas saat saya ‘main’ ke lokasi. Cuaca Surabaya memang terkenal sumuk, apalagi ini di tepi pantainya. Baru jam delapan, tapi keringat sudah siap menetes dari pelipis. Untungnya, makin mendekati lokasi benteng, ada banyak pohon-pohon tinggi. Pohon yang dirambati tumbuhan berbunga merah muda ini mengungkung dinding benteng. Bunga dan daun-daun hijaunya merambat ke dinding-dinding bercat putih/kuning yang usianya sudah seabad. Sekilas seperti enchanted castle di negeri dongeng.

 

Karena ia kustbatterij, maka dinding-dinding ini dibangun terpisah-pisah. Jadi total ada beberapa bangunan yang tak terhubung dan lokasinya terpisah-pisah. Ada dinding pertahanan, gudang amunisi, gudang diesel, dan beberapa bastion. Di bastion bundar, ada jejak semacam geretan. Seorang kenalan berkata kalau itu mungkin bekas jalur untuk meriam.

 

Benteng Kedung Cowek memang bukan tempat wisata. Mungkin, belum. Atau memang nggak difungsikan untuk itu. Dan mungkin karena baru ‘ditemukan’, kondisinya pun tampak seperti sesuatu yang baru disibak. Semak dan pohon di mana-mana. Namun, beberapa ruangan jelas telah dibersihkan dan dikosongkan sehingga kita bisa masuk.


 

Gimana di dalamnya?

Cukup luas, mungkin karena kosong melompong. Jendelanya tanpa pintu, mengantarkan cahaya dari matahari yang rasanya sedang bersinar tepat di atas kepala. Namun sisanya agak gelap. Dan seperti umumnya tempat yang nggak digunakan, pengap. Nggak kebayang dulu gimana para tentara berdiam di sini, sempit-sempitan, bau mesiu terbakar, dan memantapkan hati menghadapi pasukan musuh yang dar-der-dor dari arah laut.

 

[to be continued]

Next story: benteng Kedung Cowek dan perlawanan menghadapi pasukan Sekutu setelah kemerdekaan, Kedung Cowek masa kini



 Update! 

Versi lengkap cerita ini udah diunggah ulang di postingan berikut:

🔗

 

Kustbatterij Kedung Cowek, Bekas Benteng Belanda yang Tersisa di Surabaya - Hijaubiru 






Ref:
Giffari, R.A. dan K. Y. Soekardi. (2021). “Component analysis at Fort Kedung Cowek buildings in Surabaya, East Java: observation on panopticon concept.” International Review of Humanities Studies 6: 428-452.
Nuffida, N. I. (2018). Fragmented continuum concept Museum of Kedung Cowek fortification. [Final project, Institut Teknologi Sepuluh Nopember].






Reading Time:

Jumat, 03 November 2023

Panas dan Air
November 03, 20230 Comments


Mungkin karena belakangan ini cuaca panas nggak berhenti-berhenti meskipun harusnya udah masuk musim penghujan, saya jadi sering ngeluh soal panas-panasan ini. Seumur hidup kayaknya baru kali ini November belum hujan. Dan kayaknya baru kali ini ngerasain sumuk yang sepanas ini. Suhu lebih dari tiga puluh derajat setiap hari, lebih dari sebulan. 


Beberapa kali chatting dengan teman yang tinggal di lain daerah, kotanya juga belum hujan. Air PDAM sudah lama nggak ngalir.


Di tengah obrolan, dia melontarkan celetukan, "Semoga aja segera hujan, ya. Ini udah masuk musim tanam." Maksudnya adalah musim tanam padi. 


Saya mengiyakan. Saya kurang tahu soal musim tanam, hanya aja kalau dilogika, musim tanam padi emang di musim hujan karena petani butuh banyak air buat menggenangi sawah. Saya cuma iya-iya aja karena antara nggak paham dan ngerasa kalau hal itu nggak ngefek ke saya karena saya nggak nanam padi. Sampai dia mengatakan kalimat selanjutnya.


"Katanya cadangan beras kita cuma cukup buat beberapa bulan ke depan. Kalau nggak tanam sekarang, musim depan makannya gimana," teman saya melanjutkan.


Baru ketika itulah saya merasa, 'Oh iya, ya.'

Hal yang tadinya saya kira nggak ngefek, ternyata secara nggak langsung berefek juga ke saya.

Kadang manusia emang gitu. Baru ngerasa kalau hidupnya berpotensi terganggu. Saya salah satunya.


Tentang kebenaran cadangan makanan ini pun saya kurang tahu valid/enggak. Poinnya adalah: ternyata kemarau berkelanjutan ini nggak cuma soal sumuk setiap hari atau kulit terpanggang matahari. Ada hal-hal besar lain yang ikut terpengaruh. Ketersediaan air salah satunya.


Bahkan dalam kondisi 'baik-baik aja', ketersediaan air di negara kita masih meresahkan. Nggak semua pemukiman punya akses yang mudah ke air bersih. Ini hanya ngomongin air bersih non-konsumsi. Kalau air bersih untuk konsumsi, bahkan di kota-kota metropolitan aja belum tersedia. Perusahaan pemerintah yang seyogyanya menyediakan air minum baru mampu mengolah air menjadi air bersih saja sehingga banyak orang beralih mengonsumsi air galon. 


Dengan cuaca yang makin panas dan nggak beraturan, akibat dari pemanasan global, ketersediaan air jadi suatu masalah karena air bersih makin sulit didapatkan. Di desa, mata airnya bisa aja kering. Di kota, dengan sungai yang kebersihannya nggak bisa diharapkan, air bersih untuk minum didatangkan dari desa-desa. Kalau sumbernya aja nggak ngalir atau debitnya sedikit, terus gimana? Masyarakat desa jadi bersaing dengan perusahaan penyedia air, sedangkan masyarakat kota bisa aja kekurangan suplai air.


Ini baru ngomongin air minum dan air konsumsi rumah tangga. Belum lagi dalam skala yang lebih besar, misalnya tadi: air untuk pengairan tumbuhan pangan. Tanpa air, bisa jadi hasil panen jelek atau gagal panen. Kalau udah kayak gitu, manusia sendiri yang susah dapat makan.


Selain pertanian, bidang industri juga kena efek. Mesin industri kan pasti butuh air. Pun kalau seandainya mesinnya nggak pakai air, perusahaan tetap butuh air entah untuk sanitasi atau untuk kebutuhan karyawan. Kalau industri tersendat, produknya juga tersendat. Akhirnya sampai ke konsumen juga tersendat dan terbatas. 


Itu baru dari segi kebutuhan manusia. Belum lagi soal keseimbangan alam. Satu-dua bulan lalu, saya lihat berita bahwa terjadi badai pasir di salah satu pegunungan tinggi di Jawa Timur. Di gunung! Badai pasir? Ternyata memang iya. Mungkin karena hawa panas tabrakan dengan hawa dingin, kemudian tanahnya kering banget, makanya debunya beterbangan. Sebulan sebelum kejadian, waktu saya lewat daerah itu, tanahnya memang kering. Jalan dipenuhi debu kuning. Masker yang menutupi muka saya sampai bersaput kuning karena pasir. Kalau tanahnya nggak kering, mungkin nggak terjadi badai pasir tapi angin ribut 'saja'. Meski angin ribut ini mungkin juga nggak akan terjadi kalau cuaca nggak seekstrem ini.


Dengar-dengar, kita udah bukan di zaman global warming lagi, tapi udah hampir masuk di global boiling. Saya nggak kebayang aja kalau cuacanya lebih panas atau lebih ekstrem dari ini. Lha wong kemarin-kemarin aja di negara empat musim udah sering heatwave dan badai salju. Kalau masuk global boiling apa nggak lebih ekstrem?


Alamnya, saya rasa, pasti akan bisa beradaptasi apa pun kondisi yang terjadi. Sebab alam akan selalu bergeser ke kondisi seimbang secara otomatis (meski tentu pergeseran ini akan mengorbankan makhluk-makhluk hidup yang tidak bisa bertahan, tapi hasil akhirnya adalah alam selalu 'seimbang', seperti yang sudah-sudah). Hewan dan tumbuhan akan mengikuti pergeseran ini. Tinggal kita, manusia, yang bisa bertahan atau enggak. 


Yah... apa pun itu, pemanasan global yang dulu 'cuma' kita pelajari teorinya di sekolah, kini semakin terasa dampaknya. Dan semoga ke depannya bisa berkurang atau, paling nggak, melambat signifikan. Kebutuhan dasar aja sekarang makin sulit terkejar. Tanah tempat tinggal, harganya sudah nggak masuk akal. Air bersih, aksesnya belum semua dapat kemudahan. Pangan, bisa jadi rebutan. Apalagi kalau perubahan iklim jadi makin-makin, nggak tahu seberapa banyak lagi yang harus ketat kita perjuangkan?



==========

Disclaimer: Photo by Leo Rivas on Unsplash


Reading Time:

Jumat, 20 Oktober 2023

Mematikan Lilin
Oktober 20, 20231 Comments


Di lingkungan sekitar rumah, ada banyak kucing liar. Kucing-kucing ini emang biasa keluar-masuk halaman rumah orang, termasuk numpang tiduran atau main sebentar. Para warga pun nggak masalah. Kadang mereka malah dikasih makan atau diajak main. Masalahnya baru kalau pada ribut berantem atau BAB/BAK sembarangan. Kalau itu, barulah hewan-hewan berbulu ini dibubarkan supaya nggak mengganggu ketenteraman publik.

 

Dari sekian banyak kucing yang seliweran dan main ke tempat tinggal saya, ada satu yang rutin ‘bertamu’. Sebut aja namanya si Putih. Selain paling sering bertamu, dia juga yang paling sering ngendon di depan rumah. Kalau yang lain leyeh-leyeh beberapa jam aja, dia bisa ngendon sejak pagi sampai sore, kadang sampai malam. Dan, di antara yang lainnya, si Putih ini yang paling manja. Baruuu aja kami buka pintu, dia udah ngeong-ngeong. Minta dipuk-puk lah, minta dikasih makan lah, terus gelendotan di sekitar kaki lah.

 

Sebenarnya mau bermanja-manja juga nggak apa-apa. Toh, semua kucing kami perlakukan sama dan setara (ceilah!): sama-sama dielus-elus, sama-sama diajak main, saat kasih jajan dan adanya sedikit ya semua dikasih sedikit/ada banyak ya semua dikasih banyak, kalo reseh ya semuanya kena marah.

 

Masalah muncul kira-kira dua minggu belakangan.

Saat itu, ada beberapa anak kucing/kitten yang muncul di kampung. Nggak kecil-kecil banget, sih, udah agak gede dan kelihatannya udah bisa eksplor sekitar/cari makan sendiri. Entahlah ini ada induk yang baru nyapih anaknya atau (seperti desas-desus tetangga) ada orang yang buang kucing.

 

Nah, salah satu kitten ini ada yang main ke rumah. Awalnya kayaknya nyasar karena masih takut-takut; timid sekali. Setelah diajak main, dia mulai berani dekat-dekat. Ini anak lucu banget! Mari kita sebut si Belang. Si Belang memang nggak terlalu gembul kayak anak kucing di video-video viral, tapi raut mukanya… polos.

 

Adik imut ini anteng dan penurut. Maksudnya nggak reseh dan clingy gitu. Mana ada satu kejadian yang bikin terharu: ketika dia main di jalan depan, kemudian saya yang nggak sengaja ngelihat keluar ngelihat dia, lalu saya panggil, kemudian dia yang sebelumnya nampak jalan sambil plonga-plongo ngelihatin sekitar langsung lari-lari kecil menghampiri saya sambil ngeong pelan lalu merem-melek saat saya puk-puk. Duh, melting saya…. Ini anak imut sekali! Mana suaranya kalau ngeong tuh pelaaan banget. Siapa yang nggak gemes, coba! Tampak plonga-plongo belum tahu kejamnya dunia dan tanpa dosa.

 

Sedihnya, dia akan segera tahu kejamnya dunia. Hiks.

Dan ‘kekejaman’ itu berasal dari si Putih.

 

Awalnya saya kira semua fine aja. Dengar-dengar kucing itu hewan teritorial alias punya daerah kekuasaan sendiri-sendiri. Tapi ngelihat kucing-kucing yang selama ini mampir rumah dan oke-oke wae, saya kira hubungan mereka pun baik-baik aja. Toh biasanya nampak si Putih dan 1-2 kucing lain goleran bareng di teras dalam jarak dekat. Dan nggak berantem. Jadi saya pikir si Putih cukup welcome.

 

Nope.

 

Kali kedua si Belang bertandang, si Putih emang tampak penasaran. Mereka saling mengendus (kenalan kali, ya?). Lalu si Belang lari menjauh. Pikir saya, ‘Oh mungkin karena anak baru, masih takut-takut’. Pertemuan selanjutnya agak dramatis. Setelah si Putih mengendus si Belang, dia nabok si kecil! Ya ampun. Kami refleks berseru, “Heh, nggak boleh!” Namun si Belang udah keburu lari. Waktu itu kami masih berprasangka baik: kali aja si Putih cuma gemes. Nah, kali ketigalah yang bikin patah hati dan pengin ngamuk.

 

Saat itu kurang lebih semingguan sejak kemunculan si Belang. Sore itu, saya lagi duduk di depan rumah. Seperti biasa, si Putih sudah nyamperin dari tadi dan kini sedang tiduran santai setelah dikasih jajan. Nah, waktu saya berbalik, eh ada si Belang muncul! Dia ngeong pelan.

 

Saya berjongkok, mengelusnya sebentar. “Sebentar ya, kuambilin makan,” ujar saya sambil berbalik mau masuk rumah.

 

Eh lho, kok si Putih yang tadinya dua meteran dari kami, kini sudah di sebelah kaki saya.

Perasaan saya mulai nggak enak.

 

Si Putih mendekati si Belang, berusaha mengendus. Si adik kecil mundur beberapa langkah, tampak ragu.

“Adik nggak apa-apa, sini aja,” kata saya pada si Belang sambil menghalangi si Putih.

 

Si Putih mendekat lagi, yang langsung saya dorong menjauh dengan kaki (takut kecakar euy kalau pakai tangan/langsung gendong). Entah imajinasi atau bukan, rasanya dengar suara mendesis pelan. Hissing? Saya yang tadi berdiri di samping si Putih kini berpindah ke depannya, supaya ini kucing gede nggak nabok si adik kecil kayak kemarin. Nggak lupa tetap ngedorong si Putih menjauh. Saya juga minta bantuan ibu buat menarik perhatian si Belang supaya dia menjauh sebentar.

 

Kejadian selanjutnya berlangsung dalam hitungan detik. Wussh! Si Putih tiba-tiba melompati kaki saya dan mendarat di tempat si Belang tadi duduk. Sepersekian detik sebelumnya, si Belang mundur menjauh. Kaki kecilnya cukup lincah menghindari serangan rupanya. Pada titik ini, si Putih udah nggak hissing lagi tapi udah ngeong-ngeong marah, macam orang ngomel.

 

“Heh, nggak boleh!!! Itu masih anak kecil!” seru saya tertahan.

 

Si Putih malah mengejar. Kali ini si Belang sudah lari dan sembunyi di kolong. Tetap sambil ngomel, si Putih merangsek ke kolong, mengikuti terus si adik kecil yang sudah merelakan tidak makan malam hari itu.

 

Saya nggak ngelihat gimana pertengkaran mereka di dalam kolong. Cuma sebentar saya dengar si Putih marah-marah kenceng banget dan terus mengejar si Belang. Seakan nggak rela. Mungkin dia ngomel, “Ini daerahku! Tempatku makan dan tiduran. Kamu anak baru nggak usah ke sini, cari tempat lain!”

 

Waktu saya nunduk lihat kolong, sekilas saya lihat si Belang merapatkan badan. Gesturnya seperti meringkuk di pojokan dengan berkata, “Aku cuma pengin main dan jajan, Kak. Aku nggak akan ngerebut apa-apa….”

 

Sepersekian detik kemudian, si Putih lari macam ngejar prajurit musuh. Badan putihnya cepat melintasi kolong, keluar pagar, menuju jalanan. Sekelebat saya lihat warna abu-abu kecil juga tunggang-langgang ke jalanan depan rumah karena dikejar. Si Putih teriak-teriak kencang. Dia kejar si Belang sampai ke 2-3 rumah sebelah dan masih ngeong kenceng banget sampai tetangga yang lagi nongkrong juga kaget. Sesaat terdengar suara grubak-grubuk. Mungkin itu suara si Belang grubak-grubuk cari persembunyian supaya nggak terjangkau.

 

Suara cempreng si Putih baru berhenti setelah beberapa detik. Kemudian, semua tenang. Seakan nggak terjadi apa-apa. Tinggal saya, keluarga, dan para tetangga yang masih tercengang akan kejadian barusan. Belum mampu mencerna.

“Lapo iku mau? Tukaran?” Terdengar suara tetangga yang depan rumahnya dilewati saat ‘peristiwa pengejaran’. Ya gimana, peristiwa pengusiran di atas terjadi hanya dalam hitungan detik!

 

Eh, ketika saya masih berdiri terpaku dan mau buka pagar buat nyari si Belang, si Putih dengan santainya melenggang kembali rumah kami. Dia berusaha mendekat.

 

“Nggak mau! Kamu jahat! Nggak usah dekat-dekat!” kata saya yang udah sadar dari syok. Perlahan saya jauhi pagar, urung mencari si Belang karena diadang si Putih. “Kamu jahat sama anak kecil!”

 

Mengingat kucing yang teritorial, kami paham mungkin si Putih merasa keberadaan si Belang mengancam dirinya. Tapi, kenapa sama si Belang aja, sama kucing lain enggak? Ada kucing lain di depan rumah pun dia santuy aja. Apa karena Belang anak baru? Atau karena Belang anak kecil, jadi mudah diintimidasi?

 

Yah, apa pun itu, jelasnya si Putih mungkin cemburu. Atau iri. Takut jatah perhatian dan jajannya berkurang.

 

Ya ampun, kenapa dah. Sama anak kecil, juga. Masa nggak ada kasihannya? Dia, kan, juga kucing jalanan yang susah cari makan. Masa nggak ada empatinya pada sesama (ke anak kecil, lagi!) yang juga cari rezeki? Toh, meski ada si Belang, si Putih tetap diberi makan dengan porsi seperti biasanya. Malah porsi makan si Belang jauh lebih sedikit (mungkin karena masih bocil, porsi makannya juga kecil).

 


Mematikan Lilin

Sejak kejadian itu, saya dan orang rumah jadi jaga jarak dengan si Putih. Jarang elus-elus, jarang kasih jajan, jarang ajak main. Ya masih, tapi nggak sesering dulu; nggak seramah dulu. Selain karena sebal dia ngusir Belang, kami juga ngebiasaain si Putih supaya nggak terlalu tergantung atau merasa “the only one”. Supaya nggak merasa, “Pokoknya di sini yang boleh diperlakukan baik cuma aku! Yang lain minggir!”

 

Mana rasanya si Putih jadi lebih clingy. Ngeongnya lebih kenceng, ndusel-nya jadi lebih ndusel. Kalau kata ibu, “Gara-gara kejadian kemarin, dia jadi minta diperhatikan, pengin diyakinkan kalau dia masih disayang.”

 

Meski ada si Belang juga kemarin dia tetap disayang. Coba nggak gaplokin Belang, mungkin sekarang akan tetap disayang.

 

Drama perkucingan itu keingat sampai hari ini. Masih nggak tega aja kalau keingat si kecil yang harus berjuang sendiri, terus ditabok dan dikejar kayak kriminal sampai harus lari tunggang-langgang. Padahal yang ‘kriminal’ kan kucing dewasa yang ‘ngehajar’ kucing kecil, kan, ya? Tahu, sih, dunia hewan memang pakai hukum rimba, tapi tetap aja nggak tega. Apalagi sama anak kecil kayak gitu.

 

Saya jadi teringat sebuah kutipan:

Nggak perlu mematikan lilin orang lain untuk membuat lilin kita menyala lebih terang.

Nggak perlu mematikan kebahagiaan orang lain untuk membuat kita jadi lebih bahagia. Pun soal rezeki. Fine, lilin itu akan tampak seolah-olah jadi lebih terang karena nggak ada lilin lain. Namun, kalau dihitung intensitas cahayanya, sebenarnya nggak ada perubahan.

 

Itu kan kebahagiaan, gimana kalau rezeki? Konsepnya mirip. Okelah kalau harta dan semacamnya mungkin akan jadi lebih banyak. Tapi, kan, ini ngomongin rezeki yang artinya nggak hanya harta, tapi juga kesehatan, berkah, ketenangan, dsb.

 

Kalau dari kejadian si Putih vs Belang ini, berasa si Putih matiin ‘lilinnya’ sendiri. Dengan ngusir si Belang, mungkin dia merasa ancamannya nggak ada. ‘Cahaya lilinnya’ seakan lebih terang karena nggak ada ‘lilin’ lain; milik si Belang. Namun efeknya adalah perhatian dan porsi jajan dia justru berkurang karena kami—salah satu pemberi jajan dan teman mainnya—telanjur kesal.

 

Mungkin, sama aja dengan ‘lilin’ kebahagiaan manusia. Memadamkan kebahagiaan orang lain nggak akan menambah kebahagiaan diri sendiri. (Plus, berbuat nggak baik akan selalu punya konsekuensi, sooner or later). Kebahagiaan/rezeki yang ‘mati’ tadi nggak otomatis berubah haluan menjadi milik kita, tapi bisa aja malah jadi milik orang lain lagi, kan?

 

Tentu aja kutipan di atas nggak berlaku dalam beberapa kasus; (pasti) ada beberapa pengecualian. Namun, poinnya adalah keegoisan dan rasa iri berlebihan yang sampai ngerusak atau ganggu hidup orang lain akan ‘balik’ ngerusak diri sendiri. Ya kayak cerita si Putih tadi.


Sejak saat itu, si Belang nggak pernah kelihatan. Sesaat setelah kejadian, sempat lihat dia digendong anak kecil yang tinggal di blok tetangga. Entah kemudian dia dipiara anak itu atau diajak main ke bloknya sehingga nggak pernah lewat depan rumah kami lagi. 

 

Duh, Belang, semoga nasibmu lebih baik sekarang. Sampai kita ketemu lagi, ya  :’)

 


=====


 

Anyway jadi ingat salah satu adegan di sebuah komik. Ada pasangan, sebut aja A dan B. Namun ada sosok C‍👧 yang suka B👨. Udahlah si C ngefitnah A dan sebagainya sehingga reputasi A jelek banget dan hubungannya dengan B jadi renggang. 

‍👧: “A jelek dan jahat banget, kan. Udahlah kamu nggak usah sama dia.”

👨: (menatap tajam) “Meski udah nggak sama A, kamu pikir aku jadi mau sama kamu?”

 


Reading Time:

Minggu, 15 Oktober 2023

Panas dan Aroma
Oktober 15, 20231 Comments


Berulang kali, pengharum ruangan dengan aroma pinus segar itu saya raba. Kening saya berkerut, berusaha mengingat-ingat kapan pengharum yang terpasang di kipas angin itu diganti. Perasaan belum ada tiga minggu, deh. Kenapa udah kecil banget gini?

 

Namun, saya segera ingat: dua minggu belakangan, kipas itu memang hampir selalu berputar. Lebih dari dua belas jam per hari, tujuh hari per minggu. Ya gimana pengharumnya nggak cepat habis, lha ketiup angin kipas terus. Padahal biasanya itu kipas nggak pernah nyala selama itu, yang artinya pengharumnya juga nggak secepat itu habisnya.

 

Yah… gimana lagi. Rasanya udah lebih dari sebulan terakhir, penggunaan mesin berpendingin macam kipas, AC, dan kawan-kawannya meningkat. Di mana-mana. Di banyak kota, hawa panas bagai tak terbendung. Di luar ruangan, panasnya terik membakar. Di dalam ruangan, panasnya pengap memenuhi seluruh penjuru. Di luar bak digoreng, di dalam bak diungkep.

 

Kabarnya panas yang nggak umum ini adalah efek perubahan iklim, yang merupakan akibat  pemanasan global yang makin nggak terbendung. Kabarnya lagi, ini belum seberapa. Efeknya bisa aja lebih parah dari ini beberapa tahun ke depan, kalau nggak keburu dicegah.

 

Cuaca yang nggak menentu dan suhu yang makin fluktuatif—termasuk cuaca panas banget macam sekarang ini—adalah dua dari deretan efek climate change. Hal ini udah banyak memantik perhatian orang, termasuk saya. Namun, ada satu lagi efeknya yang turut memantik penasaran saya: tentang aroma/bau.

 

Saya lupa dari website mana, dulu sempat ada artikel yang menyatakan bahwa seiring dengan makin panasnya bumi, maka aroma (khususnya yang wangi) akan semakin sulit tercium. Waktu kejadian pengharum ruangan habis tadi, saya langsung teringat pernyataan ini. Memang kurang berhubungan sebab kemungkinan besar pengharum ruangan saya cepat habis karena angin, bukan karena panas. Hanya membuka ingatan tentang pembahasan aroma ini aja.

 

Kok bisa aroma jadi kurang tercium saat suhu meningkat?

Aroma, termasuk wewangian, tersusun dari beragam molekul. Yang namanya molekul, susunan atomnya dipengaruhi banyak hal, termasuk suhu. Ketika suhu udara naik, ia bisa ngerusak susunan molekul ini. Akibatnya? Molekul pun jadi rusak. Molekul yang rusak menjadi nggak/kurang wangi. Itulah sebabnya beberapa minyak aromaterapi atau parfum yang penyimpanannya harus dihindarkan dari sinar matahari langsung: supaya manfaat/wanginya terjaga. Makanya sampai ada baju yang ‘beraroma matahari’, karena dijemur saat cuaca panas banget atau kena sinar matahari langsung. Beda aroma dengan baju yang dijemur dalam ruangan atau saat cuaca mendung, misalnya.

 

Sekilas, perkara wewangian ini seperti nggak terlalu penting dibandingkan dengan efek negatif climate change lainnya. Kalau parfum kurang wangi, sintesislah yang lebih wangi; kalau baju yang dijemur jadi kurang wangi, sintesislah pewangi pakaian yang lebih kuat; bila pengharum ruangan aromanya kurang mantap, sintesislah yang wanginya lebih mantap. Chemically, possible. Namun, efeknya lebih dari itu. Gimana dengan proses alamiah yang memanfaatkan aroma?

 

Salah satu contohnya adalah penyerbukan bunga. Ada penyerbukan yang memanfaatkan aroma harum bunga untuk menarik penyerbuknya. Jika aromanya jadi kurang wangi sehingga kurang tercium oleh hewan penyerbuk, maka penyerbukan nggak bisa terjadi. Bila ini terjadi di tanaman pangan, maka tanaman tersebut nggak bisa berbuah sehingga nggak bisa dipanen sehingga makanan untuk manusia berkurang. Pun bila ini terjadi di tumbuhan hutan yang buahnya dikonsumsi hewan hutan. Untuk tumbuhannya sendiri, bisa jadi alamat buruk jika ia berkembang biak dengan biji. Nggak diserbuki = nggak ada buah dan biji = nggak bisa tumbuh baru lagi.

 

Selain aroma wangi yang enak, kenaikan suhu juga mempengaruhi bau yang nggak enak. Apa kemudian bau nggak enak juga berkurang karena molekulnya rusak? Bisa jadi. Namun, ada pula bau nggak enak yang aromanya justru menguat karena (1) semakin diproduksi oleh mikroba yang ‘suka’ suhu yang menghangat, atau (2) aroma wangi tadi rusak oleh suhu dan menghasilkan molekul baru yang aromanya nggak enak.

 

Persoalan aroma dan wewangian ini nggak sekadar terjadi pada benda yang fungsinya mengharumkan—seperti parfum/pewangi ruangan dan baju—aja. Bisa juga berefek ke bau sampah misalnya, atau bau ruangan, dan segalanya yang memiliki aroma. Ini baru soal aroma, belum poin-poin lainnya.

 

Ya… intinya, perubahan iklim secara ekstrem selain bikin nggak bisa hidup, juga bikin hidup nggak nyaman dalam prosesnya. Semoga aja di tahun-tahun ke depan bisa benar-benar dikurangi, kita semua—seluruh manusia bumi dan pihak-pihak yang terlibat—kurangi.






Edited on Oct 21

==========

Picture by Trarete on Pexels

Reading Time: