Hijaubiru

Jumat, 18 Agustus 2023

Berkunjung ke Gua Selarong: Markas Perang Jawa dan Diponegoro
Agustus 18, 20230 Comments

 



Sebenarnya kunjungan ke sini udah lama, beberapa tahun lalu. Namun karena kayaknya momennya pas: saat Agustusan, well, here we go. Mari berkunjung ke jejak salah satu pahlawan nasional yang terletak di Yogyakarta dan nggak ramai serbuan turis.

 

Saat dengar kata “Selarong”, yang saya ingat adalah Pangeran Diponegoro. Nggak tahu kenapa, nama ini melekat di memori bersama dengan dua wilayah lain yang pernah jadi tempat persembunyian Diponegoro saat Perang Jawa dua abad lalu.

 

Saya masih ingat bunyi teks di buku paket, 

... Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu bersembunyi di Selarong, Pleret, Dekso ...


Mungkin, karena nama mereka menjadi soal yang diujikan dalam ulangan. Mungkin juga karena nama-nama itu terasa tak biasa dan baru di telinga saya yang kala itu masih SD. Jadi, nggak sengaja malah tersimpan di memori.

 

Selarong, Pleret, dan Dekso adalah beberapa wilayah yang terletak di Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Ketiganya pernah jadi tempat persembunyian Pangeran Diponegoro dan pasukannya saat Perang Jawa (1825-1830). Pangeran dari Yogya yang juga pernah menjadi santri ini berpindah-pindah agar pasukannya tak terendus pasukan Belanda.

 

Kalau sekarang, Gua Selarong terletak di selatan ringroad Yogya. Nggak selatan juga, sih, tapi agak ke barat. Waktu itu saya dari ringroad timur, begitu belok ke ruas ringroad selatan, nggak jauh kemudian putar balik untuk masuk kampung di selatannya. Dari situ tinggal ikuti Google Maps.

 

Jalannya menuju destinasi lewat jalur Google Maps relatif bagus. Seingat saya, masuk jalan kampung/desa yang di sisinya rumah-rumah dan sawah, baru kemudian masuk ke ruas jalan lintas desa yang mulai jarang rumah dan banyak hutan (jati/sengon? Lupa). Jalannya aspal halus. Di beberapa ruas jalan memang agak naik, tapi bukan yang nanjak tajam. Ada beberapa tikungan tajam, tapi nggak yang ‘tajam banget’ macam kalau ke Mangunan.

 

Setelah lihat peta, baru nyadar kalau letaknya nggak terlalu jauh dari sentra gerabah Kasongan. Tapi rasanya udah jauh. Apa karena lokasinya yang dikelilingi banyak pohon dan nggak terletak di jalan raya besar?

 

Dari jalan aspal, Gua Selarong ada di sisi kanan. Kalau nggak salah ingat, masuk dulu baru kemudian terlihat tanda selamat datang. Bayar masuknya sekitar Rp5.000,00/orang plus biaya parkir per kendaraan (lupa berapa, tapi standar, bukan yang mahal banget).

 

Dari parkiran, tampak tulisan besar-besar “GOA SELARONG” dengan cat oranye menyala.

(Jadi yang benar ‘goa’ atau ‘gua’? Di KBBI pakai ‘gua’, tapi di masyarakat lebih biasa pakai ‘goa’ kayaknya)

 

Plang dan infografis  Gua Selarong, oleh dinas setempat dan program KKN mahasiswa
(klik untuk baca dalam ukuran lebih besar)

Seperti umumnya daerah di selatan Yogya agak ke barat, area ini sekilas seperti kering. Khas area pegunungan kapur. Banyak tumbuhan, tapi suasananya kayak kering. Singkapan tebing yang terbuka berwarna putih kecoklatan. Tanahnya pun berwarna coklat muda sekali, mengingatkan pada pasir pantai putih.

 

Dan, karena saya berkunjung ke sini saat musim kemarau, maka hawanya beneran kering. Sepanjang jalan tadi, pohon-pohon jati mulai meranggas. Seresah kekuningan di mana-mana, yang kalau diinjak bunyinya renyah sekali kayak suara kerupuk.

 

Menurut sumber online, ada air terjun kecil di area ini. Kalau dilihat dari foto, letaknya di sebelah kanan, setelah parkiran atau sebelum gua/tangga naik. Alirannya nggak terlalu deras, jatuh dari pinggir tebing kemudian langsung ke aliran sungai kecil di bawahnya. Sayang banget kami nggak bisa ngelihat air terjun itu di kunjungan kali ini. Sebabnya, sumber airnya hanya ada di musim hujan dan kering saat musim kemarau. Jadilah kami cuma bisa melihat jejak-jejak alirannya yang memahat bebatuan.

 

Satu hal yang menjadi surprise: ternyata guanya banyak.

Hal kedua yang jadi surprise: tangganya juga lumayan banyak.

 

Pengunjung harus menaiki terundak demi terundak untuk mencapai gua. Pertama dilihat, wah, tinggi juga. Apalagi jalurnya lurus ke atas, mengingatkan pada tangga menuju langit di film-film kartun.

 

Nggak lebih dari 15 menit meniti tangga (dengan sedikit menggeh-menggeh, haha), akhirnya kami sampai di kompleks gua. Saya sebut kompleks karena itu tadi: guanya ternyata banyak. Yang disebut gua adalah ceruk-ceruk yang masuk ke bawah tebing-tebing batu keras. Pintu masuknya pendek, tak sampai setinggi pinggang orang dewasa. Bayangan saya tentang gua persembunyian pun buyar.

 

Awalnya, saya kira Gua Selarong hanya terdiri dari satu gua yang masuk panjang ke dalam. Bahkan mungkin sampai bisa ada sekat-sekatnya seperti di komik Swiss Family Robinson yang pernah saya baca dulu sekali. Sampai sini barulah saya tahu bahwa gua itu bentuknya macam-macam. Berbeda dengan bentukan dalam komik (dan imajinasi saya), di sini guanya lebih seperti ceruk, ada banyak, dan sekilas terlihat tak terlalu dalam. Ada yang pojok-pojoknya bisa terlihat dari luar. Jadi bentuknya lebih kayak sebuah ruangan. Apa ada yang masuk sampai dalam banget? Kurang tahu, karena saya nggak masuk ke gua, cuma ngelihat dari luar aja. Lagipula, ada beberapa gua yang diberi gapura dan tampak ada beberapa barang di mulut guanya, jadi saya kira itu adalah area off-limit untuk pengunjung.

 

Ide berkunjung ke Gua Selarong sebenarnya bukan keinginan yang baru. Beberapa tahun sebelumnya sudah pengin ke sana, tapi perlahan lupa. Siang itu, waktu pengin jalan-jalan dan bingung ke mana, langsung kepikir ke Selarong aja. Lagipula saat itu saya lagi di tengah kota Yogya. Meski masih jauh, tapi nggak terlalu jauh kalau dibandingkan saya jalan dari Kaliurang, misalnya. Dan karena siang itu waktu kami terbatas dan emang niat untuk lihat-lihat aja (bukan yang menikmati banget atau ndelumuk ngamatin banget), jadi ya gas aja. Paling enggak, satu tempat tujuan sudah tercoret dari wishlist.

 

Kenapa ingin lihat jejak Pangeran Diponegoro? Selain alasan ‘terpatri di ingatan karena soal ulangan’ di atas, saya penasaran aja. Mungkin karena beliau salah satu pahlawan nasional yang terkenal. Mungkin karena tertarik dengan background beliau yang priyayi tinggi sekaligus santri, bangsawan yang nampak agamis hingga digambarkan selalu mengenakan surban, sebuah kombinasi yang termasuk jarang ditemui. Mungkin juga karena saya merasa aji mumpung: mumpung di Yogya, bisa sepuasnya menggali kisah budaya dan cerita serta tempat bersejarah yang sebelumnya cuma bisa saya dengar dan lihat dari buku pelajaran aja.

 

Menyaksikan sebuah tempat dengan mata kepala sendiri, setelah selama ini hanya tahu cerita atau fotonya aja, serasa … menakjubkan. It was magical. Semacam ada perasaan, “Wah … dulu dia berdiri di sini, lho” atau “Oh ini toh yang selama ini diceritain”.

 

Rasanya kayak bayanganmu terwujud, berbentuk nyata di depanmu.

 

Sebelum Selarong, sebetulnya ada keinginan ngelihat keraton Tegalrejo. Konon di sinilah Pangeran Diponegoro dibesarkan. Beliau baru meninggalkan Tegalrejo ketika Belanda menyerang keraton itu. Di peta, nama “Tegalrejo” masih ada, menjadi nama sebuah kecamatan di Kota Yogya. Di mana istana atau bekasnya? Menurut seorang petugas Keraton Yogya yang sempat saya tanya saat berkunjung ke keraton, istana Tegalrejo menjadi bangunan milik TNI sekarang. (Setelah ngecek lagi, ada yang bilang bahwa sudah jadi museum sekarang—Museum Sasana Wiratama—, bahkan bekas tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro waktu nyelamatin keluarganya saat dikepung Belanda, masih ada.)

 

Gua Selarong termasuk markas utama pasukan Pangeran Diponegoro. Keluarganya pun turut tinggal di sini. Ada dua gua paling utama di area ini: Gua Kakung dan Gua Putri. Konon, Gua Putri adalah tempat tinggal untuk istri sang pangeran. Mungkin, karena sebagai tempat persembunyian, maka ‘pintu’ masuk guanya rendah-rendah. Supaya nggak mudah ditemukan meski di ketinggian, mungkin? Meski tentu hutan zaman itu yang lebih lebat daripada sekarang cukup bisa menyembunyikan. Dari ketinggian gua ini, terlihat dataran di selatan Yogya yang menghijau.

 

Pemandangan di Yogya bagian selatan


Perang antara Belanda vs Pangeran Diponegoro, yang dikenal sebagai Perang Jawa/The Java War/Java Oorlog dikenal sebagai salah satu perang yang membuat Belanda kalang kabut. Kerugian banyak, habis dana banyak. Kabarnya, Belanda sampai menarik pasukannya di Sumatra (yang sedang memerangi pasukan Tuanku Imam Bonjol *cmiiw) untuk bala bantuan.

 

Area Yogya sekitarnya menjadi arena pertempuran. Termasuk daerah Menoreh, yang sempat dibahas di postingan sebelumnya waktu main ke Punthuk Setumbu—dekat Candi Borobudur. Area utara Menoreh, yang termasuk daerah Kedu (sekarang Magelang), menjadi saksi penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda sebelum beliau ditawan di Batavia (penjaranya di Kota Tua Jakarta) kemudian dibuang ke Makassar.

 

Seperti cerita-cerita sejarah lainnya, selalu ada sisi abu-abu dalam setiap kisah. Pun tentang perjuangan Diponegoro dan pasukannya. Mungkin sebagian kita tahunya adalah Diponegoro berperang dengan Belanda untuk kemerdekaan. Sebagian lain berpendapat bahwa perang ini dimulai dan berlangsung karena konflik kepentingan. Tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya pun, baik dari pihak Indonesia dan Belanda, tak lepas dari kemelut putih-hitam sosok manusia: ada saat menjadi heroine, ada saat menjadi villain. Seperti apa kisahnya? Wah, banyak. Apalagi, sumber dan metode penelusuran sejarahnya macam-macam. Jadi ada beragam versi.

 

Yah, hidup kayaknya memang gitu: selalu abu-abu.

 

Kenapa beragam versi dan kisah itu nggak diajarkan di buku sejarah sekolah?

Ya, karena itu tadi: banyak, panjang. Dan versinya macam-macam. Nggak cukup itu buku paket. Dan mungkin yang diberikan adalah versi ringkasnya aja supaya para siswa nggak bingung karena kebanyakan versi. Dan kalau dimasukin pun, ada beberapa jenjang yang pikirannya belum sanggup mencerna kisah yang kompleks dan pelik. Lah kita aja, orang dewasa, masih suka bingung kok kalau nemu cerita yang versinya banyak, apalagi anak kecil. 

 

Begitulah. Apa di daerahmu juga ada jejak/lokasi bersejarah yang kadang luput dari tujuan wisatawan? Sini bisikin, siapa tahu kapan-kapan kita bisa explore bareng :D


Para simbah dan dagangan mereka di dalam area
Gua Selarong: ada minuman, jajan, dan buah-buahan
seperti jambu dan ciplukan yang sudah dikupas

Reading Time:

Jumat, 28 Juli 2023

Bediding: Ketika Kemarau Justru Terasa Dingin
Juli 28, 20230 Comments

 

 

Siapa yang ngerasa akhir-akhir ini cuaca dingin meski langit cerah tanpa awan? Apalagi kalau malam. Siang boleh panas terik menyengat, tapi malam hari justru dingin menggigit. Beberapa mungkin juga merasa siang terasa adem meski matahari bersinar menyengat. Di beberapa daerah pegunungan, seperti Dieng dan Bromo, justru muncul es atau embun upas.

 

Fenomena ini disebut ‘bediding’ (atau bedhidhing) oleh orang Jawa. Bediding berarti awal peralihan musim hujan ke kemarau, ketika suhu udara justru terasa dingin. Nanti, ketika sudah betul-betul masuk kemarau, suhu sudah kembali ‘normal’ alias sudah panas lagi.

 

Mengapa masuk musim kemarau justru tambah dingin?

BMKG menyebutkan bahwa ini adalah efek angin muson dan efek ketiadaan awan.

 

Saat ini, angin bergerak dari Benua Australia ke Benua Asia sehingga melewati kita, Indonesia. Angin itu juga membawa udara dingin karena Australia sedang musim dingin sekarang. Ada yang bilang, ini juga berhubungan dengan axis alias sumbu bumi yang miring sehingga menyebabkan perbedaan musim di belahan bumi yang berbeda.

 

Sebab kedua adalah ketiadaan awan. Akibat sudah masuk musim kemarau, maka hujan dan mendung pun berkurang pesat. Tanah/bumi yang terasahangat saat siang karena disinari matahari, saat malam melepas panas yang ia terima (karena tidak ada matahari yang bikin tetap hangat). Ketika ada awan/mendung—di musim hujan—, panas yang dilepas ini akan tertahan di atmosfer bumi karena ‘tertutup’ awan sehingga suhu jadi rada mendingan. Namun, tidak ada awan/mendung saat kemarau. Panas yang dilepas bumi itu pun akhirnya betulan lepas ke luar karena tidak ada yang ‘menahan’. Akibat kehilangan panas, permukaan bumi pun jadi dingin sehingga kita—manusia yang hidup di permukaannya—ikut kedinginan.

 

Namun ini nggak berlangsung lama; hanya di awal peralihan musim aja. Kalau sudah betulan masuk kemarau, ya, panas-panasan lagi.

 

💡 Untuk yang suka main ke wilayah pegunungan, bediding jadi suatu hal yang harus diperhatikan. Memang cuacanya cerah sehingga pemandangan bakal jelas banget dan (relatif) jarang ketutup kabut atau risiko hujan, tapi dinginnya akan lebih dingin daripada suhu gunung biasanya. Karena alasan itulah tur ke Bromo yang saya ceritakan di sini mengatur keberangkatan mendekati subuh meski kami ingin lihat Milky Way dari ketinggian; karena khawatir peserta tur pada kedinginan.

 

Kala suhu rendah banget begini, di beberapa pegunungan bisa terbentuk es atau embun. Beberapa hari lalu hingga hari ini, ada berita muncul es di Bromo dan embun upas di Dieng. Fenomena ini menarik perhatian orang berduyun-duyun untuk melihat wujud es, benda yang hampir mustahil terlihat secara alami di daerah tropis yang panas. Di sisi lain, para petani pun harap-harap cemas karena embun es ini bisa merusak tanaman yang mereka budidayakan.

 

Dulu, saya heran ketika ada yang cerita soal kerusakan ini. Embun es, kan, nanti akan mencair juga. Toh nggak lama; tinggal tunggu matahari muncul dan es akan hilang. Setidaknya itu yang terjadi di Ranu Kumbolo, saat seorang teman bilang, “Ada es, lho, di rumput,” dan saya nggak menemukannya ketika keluar beberapa menit kemudian (yaa waktu matahari udah lebih naik, haha).

 

Jadi, kenapa embun es yang nanti akan kembali jadi air bisa merusak tanaman?

Apalagi tanaman yang kena, bisa jadi kering.

Lho, kan, es? Kok kering? Harusnya malah basah, dong, kan dari air?  Dulu saya bertanya-tanya kayak gini.



BAGAIMANA EMBUN ES MERUSAK TANAMAN 

Konon katanya embun upas adalah sebutan masyarakat Dieng untuk es yang muncul pada tanaman. Teman-teman saya yang nggak berasal dari Dieng tapi dari area Jateng lain juga menyebut demikian. “Upas” dalam bahasa Jawa berarti “racun”. Kata ini sudah masuk KBBI dengan makna racun dari pohon tertentu. Jadi, embun upas berarti embun yang “beracun” karena bisa merusak tanaman.

 

Ladang dan perkampungan di Dataran Tinggi Dieng,
dilihat dari puncak Gunung Prau


Embun es bisa merusak tanaman karena tanaman ini nggak terbiasa dengan suhu amat rendah. Kita bicara soal air di dalam tubuh tanaman sekarang, bukan air/es di luar yang simply nempel di permukaan. Es yang menempel di tubuh tanaman adalah sebuah indikator untuk kita bahwa suhunya lagi dingin banget. Artinya, suhu di dalam tubuh tumbuhan juga dingin banget.

 

Suhu rendah bisa membuat air dalam tubuh tumbuhan turut menjadi es, seperti embun upas di luar tubuhnya. Air dalam tubuh ini menjadi kristal es. Kristal ini bisa merusak sel tubuh. Akibatnya? Banyak. Kristal es ini bisa melukai sel dari dalam karena kristalnya yang tajam atau ‘mencepit’ sel-sel dari luar dengan bentuknya yang tidak beraturan. Ia juga bisa membuat konsentrasi internal sel meningkat karena nggak ada air (sudah jadi es). Ibarat sirup tanpa air, kental sekali, bukan. Kalau nggak salah, kata buku teks Biologi SMP/SMA inilah kondisi hipertonik. Lalu karena lingkungan sel yang terlalu ‘kental’, zat lain dalam sel bisa ikut rusak karena kondisi lagi dehidrasi alias kekurangan air. Lalu, jangan lupakan bahwa metabolisme sel sangat butuh air: untuk ‘mengalirkan’ zat, untuk mereaksikan zat, dll. Tanpa air, praktis proses metabolisme ini berhenti.

 

Metabolisme yang terhenti berarti terjadi gangguan tubuh. Kalau gangguan itu sangat kecil, mungkin bisa diatasi. Namun kalau banyak, ya, alamat tamat. 


Hal yang sama terjadi pada manusia. Di gunung-gunung tinggi bersalju, ada ancaman frostbite alias kerusakan jaringan sel, utamanya dekat permukaan kulit, akibat beku. Kalau beku/dinginnya sekujur badan, ya ... wassalam.

 

Balik ke tanaman. Tanaman yang terkena embun upas juga jadi kering karena airnya tidak ada. Airnya sudah membeku semua. Kering = nggak ada air (tersedia) dalam tubuhnya.

 

Sebagai catatan, es tidak selalu berarti basah. Konsep ini juga baru saya pahami waktu ada teman yang cerita dia harus pakai lipbalm, handbody, dan segala macam buat jaga kelembapan tubuh saat ia tinggal di negara yang sedang winter.

“Kalau nggak pakai, bibir atau kulit bisa pecah-pecah,” tuturnya.

Ia bercerita bahwa winter itu kering karena kelembapan udara rendah sekali. Memang salju/es itu dari air. Namun, itu itu juga berarti tidak ada air (atau minim kelembapan) saat winter karena sudah berubah jadi salju/es.

 

Konsep dingin basah ini sebetulnya juga bisa dilihat di Indonesia. Itulah sebabnya kalau naik atau main ke gunung, apalagi berhari-hari, disarankan pakai lipbalm karena bibir bisa dehidrasi lalu pecah-pecah. (Ketahanan orang beda-beda. Ada yang nggak pakai, baik-baik aja. Sebagian yang lain—contohnya saya—bisa pecah mengelupas bibirnya).

 

Perladangan di area sekitar Bromo-Tengger-Semeru: 
ada lahan yang belum ditanami (coklat) & sudah (hijau, bawah)
(Dan ya, securam itu ladangnya. Kalau saya pasti sehari aja
keliling ladang, ini kaki udah gempor  ðŸ˜„)


Di perladangan seperti di Dieng atau Tosari (Bromo), embun upas ini merusak tanaman kentang sehingga panen kentang menurun. Ada yang bilang batang-daun carica Dieng juga ikut kering. Sudah ada beberapa antisipasi untuk efek embun upas, seperti ditutup paranet atau diberi mist irrigation. Di negara empat musim yang memang bersuhu dingin, frost pada tanaman bisa diantisipasi dengan dibungkus atau ditanam di greenhouse. Masih ada cara lainnya juga. Beda cara, beda efektivitas, dan tentu beda cost produksi.

 

Tapi, kenapa ada tanaman yang nggak kenapa-kenapa meski kena embun upas juga, ya?

Simpelnya: karena sifat tumbuhan beda-beda. Ada tumbuhan yang tahan dingin, ada yang tahan panas. Thus, adaptasinya pun beda-beda.

 

Namun, apa yang membuat tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di tempat yang sama (say, di Dieng/Bromo), misal kentang, cemara, semak liar, ada yang mati kena embun upas tapi yang lainnya tetap hidup?

 

Kita kembali ke …

 


BAGAIMANA CARA ADAPTASI DI SUHU DINGIN 

Ada banyak cara makhluk hidup beradaptasi dengan lingkungannya, termasuk di suhu dingin. Bisa termasuk jenis adaptasi perilaku, seperti manusia yang pakai jaket tebal atau selalu makan yang berlemak. Bisa juga adaptasi bentuk tubuh (morfologi) atau proses dalam tubuh (fisiologi). Karena terlalu banyak, kita rada sempitkan ke bagian fisiologi aja.

 

Sederhananya, tumbuhan bisa tahan hidup di lingkungan beku karena dia punya metabolisme tubuh yang mengatur itu. Bisa dengan:

  • produksi zat tertentu (antifreeze agent) untuk mencegah pembekuan
  • menyetorkan nutrisinya ke bagian tertentu
  • 'menghibernasikan diri' (dorman)
  • mengurangi kandungan air dengan memindahkan ke bagian lain/melapisi tubuh dengan lilin/mempersempit permukaan
  • punya ‘sensor’ yang aktif ketika mendeteksi perubahan suhu
  • produksi enzim tertentu, dan
  • cara-cara lain yang belum dipahami sepenuhnya oleh kita, manusia. 

Mekanisme tumbuhan juga bisa beda antara mereka yang memang hidup di lingkungan dingin dan tumbuhan yang lingkungannya bisa menjadi dingin.


Adaptasi tumbuhan yang hidup di wilayah tropis, seperti di sini, beda dengan adaptasi tumbuhan yang memang hidup di negara yang dingin. Pun di negara yang dingin/4 musim, adaptasinya beda lagi dengan tumbuhan yang hidup di daerah yang hampir selalu tertutup es. Bervariasi banget. Itu baru di tumbuhan. Belum di hewan. Belum lagi di manusia.

 

Kita aja, yang sesama Homo sapiens, punya ketahanan dan adaptasi yang berbeda-beda. Padahal kita masih satu spesies. Apalagi kalau pada tumbuhan/hewan yang spesies bahkan genusnya lebih variatif lagi.


Buat apa tahu soal adaptasi beginian?

Tergantung orang/keperluannya. Kalau saya karena penasaran aja. Namun untuk orang-orang yang lebih serius, hal beginian bisa diaplikasikan untuk pengawetan makanan/benih pertanian, misalnya. Bisa juga buat memahami tanaman sehingga bisa antisipasi kalau-kalau suhu rendah, jadi tanamannya nggak rusak dan tetap bisa dipanen. Untuk antisipasi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, misalnya. Buat penggemar science fiction, bisa juga jadi 'pintu gerbang' menilik cryobiology alias pembekukan makhluk hidup untuk dihidupkan lagi. Kayak adegan di film-film: dibekukan terus hidup lagi berapa ratus tahun kemudian saat bumi sudah berubah atau saat di planet lain.



KEMBALI KE BEDIDING  

Kalau kata orang-orang tua, bediding berarti waktu ketika minyak klentik membeku. Katanya juga, ini musim pohon-pohon mangga mulai berbunga. Beberapa bulan lagi saat kemarau, buah segarnya sudah bisa dinikmati.

 

Mungkin dulu memang hal-hal seperti ini belum bisa dijelaskan. Apa hubungannya suhu dingin dengan buah mangga? Entah. Yang jelas, saat suhu berubah lebih menggigit, moyang kita memperhatikan bahwa pohon-pohon mangga mulai semerbak berbunga. Kini kita mungkin sudah tahu bahwa suhu itulah salah satu pemicu pembungaan mangga.

 

Dulu, kakek-nenek kita dan moyangnya membaca prakiraan cuaca dengan modal niteni alias memperhatikan kerutinan yang terjadi dari tahun ke tahun. Dari kerutinan inilah muncul prakiraan cuaca model lawas seperti pranoto mangsa pada masyarakat Jawa. Praktik niteni inilah yang menjadi salah satu patokan musim bertani.

 

Sekarang, dengan musim yang makin tak jelas batasnya akibat perubahan iklim cukup drastis, praktik memperhatikan tanda-tanda alam ini makin sulit dilakukan.



=====

Disclaimer:

Artikel ini bukan tulisan akademik, melainkan bacaan ringan saja. Beberapa poin bukan sesuatu yang pernah saya pelajari langsung/spesifik sehingga untuk penjelasan ilmiah silakan di-recheck ulang karena meski ada referensinya, bisa saja saya salah membaca/salah memahami sehingga salah menuliskan pula. Terima kasih!



=====


Source (linked italicised text):

Fajarlie, N. I. 2022. Kompas. Embun Es di Dataran Tinggi Dieng: Ancaman bagi Petani, Daya Tarik buat Wisatawan (kompas.tv) || Harmoko, I. W. 2021. BMKG.https://www.bmkg.go.id/artikel/?p=mencermati-periode-terjadinya-embun-upas-dan-bediding&lang=ID || Ritongga, F. N. dan S. Chen. 2020. Physiological and Molecular Mechanism Involved in Cold Stress Tolerance in Plants - PMC (nih.gov) || Simangunsong, W.S. 2023. Kompas. Embun Upas Muncul di Gunung Bromo, Suhu Capai 5 Derajat Celsius - Kompas.com || Wikipedia EN. Frost - Wikipedia || __. Cold hardening - Wikipedia || Wikipedia ID. Bediding - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas || * Terima kasih pada para dosen Thermomikrobiologi yang mengajarkan efek freezing pada sel


Reading Time:

Jumat, 14 Juli 2023

Berburu Potret Borobudur, Sunrise, dan Kabut di Punthuk Setumbu
Juli 14, 20230 Comments

 


 

Punthuk Setumbu jadi salah satu tempat yang cocok banget dijadikan tujuan untuk nunggu matahari terbit. Nggak cuma sunrise, dari sini kita bisa ngelihat gunung-gunung (Merapi-Merbabu), perbukitan di Menoreh, dan Borobudur. 

Dan, selain pemandangannya, kisah masa lalunya juga kaya.


Index: click to jump to particular part 

Punthuk Setumbu: tentang, rute, tips -

Di sekitar Setumbu:

Danau Purba Borobudur - 

- Menoreh, Perang Jawa, dan Borobudur -


[Disclaimer: beberapa kisah dan penjelasan yang berhubungan dengan sejarah dan  kebumian diambil dari beberapa referensi. Namun, bisa aja ada kekeliruan dalam tulisan ini karena saya salah memahami/salah interpretasi. Jadi mohon maaf kalau ada ketidaktepatan isi, harap cross-check ke sumber yang lebih kredibel atau sumber primer]



Beberapa tahun lalu, saat pertama ngulik dasar-dasar fotografi, saya nemu sebuah website dengan foto yang bikin menahan napas lama karena cantik banget: foto Candi Borobudur. Candi Buddha terbesar di dunia itu tengah dibalut kabut putih supertebal. Di sekitarnya, baris-baris perbukitan dan gerumbul pepohonan. Semuanya bermandikan cahaya oranye mentari pagi yang tampak hangat. Pemandangan ini magical banget buat saya.  Rasanya kayak ngelihat sebuah istana di negeri awan.

 

Fotografer asing sang pemilik website menyebutkan sebuah tempat pengambilan foto: Punthuk Setumbu. Saya pun browsing mencari tahu tempat ini. Ternyata ini adalah sebuah bukit di Magelang, tak jauh dari Candi Borobudur berdiri.

 

Waktu itu internet belum secanggih sekarang. Instagram belum booming sehingga kalau mau cari foto-foto buat referensi, ya, lewat Google; lewat website. Website fotografer tadi hanya menyebut nama tempat, tanpa ada rute jalan atau ancer-ancernya. Mungkin memang ia nggak tahu jalan dan mengandalkan guide, mungkin juga karena saat itu Punthuk Setumbu belum jadi tempat wisata sehingga jalannya belum jelas.

 

Hal senada saya dengar ketika ngobrol dengan salah seorang warga lokal saat main ke sana, 2017 lalu.

“Dulu di sini belum rame. Nggak ada begini ini (menunjuk platform foto, gazebo joglo, dan pagar). Ya benaran cuma bukit, banyak tumbuhannya. Sangat rimbun begitu. Yang ke sini kebanyakan bule buat lihat matahari terbit, atau orang yang suka foto-foto,” ujar bapak itu.

 

Setahu saya memang bukit ini baru ramai beberapa tahun kemudian. Lalu makin ramai ketika sebuah film box office nasional syuting di dekat sana.

 

Dulu waktu pertama browsing, rute menuju ke sana pun nggak sejelas sekarang. Kalau nggak salah ingat, poin Punthuk Setumbu belum ada di Google Maps, begitu pun rutenya. Saya mengandalkan ancer-ancer yang bertebaran acak  di website dan forum online, sembari bertanya-tanya sendiri gimana kalau mau jalan ke tempat yang (saat itu) relatif terpencil sedangkan saya nggak tahu medan. Apalagi kalau mau berburu sunrise artinya harus jalan malam (yang artinya nggak bisa nanya arah ke warga karena pasti pada tidur dan transpor umum nggak jalan), padahal saya belum bisa nyetir.

 

Dalam diam dan ketidakpastian, Punthuk Setumbu saya simpan dalam wishlist lokasi yang ingin dikunjungi.

 

Beberapa tahun kemudian, alhamdulillah saya akhirnya diberi kesempatan main ke Punthuk Setumbu. Yes!!! Bukit itu sudah jadi tempat wisata. Akses jalan ke sana lebih mudah dan rutenya sudah tersedia di Google Maps. 


[NB: klik foto/gambar untuk tampilan yang lebih jelas dan detail. Nggak tahu kenapa gambarnya kurang jelas atau ketarik kalau cuma di-scroll] 

  



Punthuk Setumbu berarti "Bukit Setumbu". Dalam bahasa Jawa, bukit disebut 'punthuk'. Ada juga yang nyebut 'puthuk'/'putuk'. Penyebutan versi ini saya temui di Jawa Timur.


Untuk menikmati sunrise di Punthuk Setumbu memang agak butuh pengorbanan. Kita harus datang sebelum subuh supaya nggak ketinggalan matahari terbit. Akhirnya dengan berboncengan, saya dan seorang teman berangkat pukul 03.00 dari Yogya utara menuju Magelang. Kami sampai di lokasi sekitar pukul 05.00.

 

Dari Yogya, rutenya relatif mudah. Ikuti aja Jl. Yogya-Magelang sampai ketemu gapura (memasuki area) Borobudur di kiri jalan. Belok ke situ, lalu tinggal ikuti Google Maps sampai ke parkiran Punthuk Setumbu. Bukit ini jaraknya kira-kira 5 km-an dari Borobudur, jadi ya agak jauh juga masuknya dari gapura jalan raya.

 

Oh ya, sesaat setelah masuk gapura, jangan lupa lihat sisi jalan. Kalau lewat sebelum subuh, dari tepi jalan akan terlihat Candi Pawon yang tampak megah bermandikan cahaya lampu sorot. Cantik! Serasa ngelihat istana. Agak mendekati Punthuk Setumbu, di sisi kanan kita juga bisa lihat kerlap-kerlip dari bangunan resor mewah Amanwana yang dibangun menyerupai Borobudur.

 

Kami sampai di parkiran Punthuk Setumbu. Untuk ke parkiran, jalannya berkerikil dan sedikit naik. Ada sebuah loket di sana. Tiket masuknya Rp10.000,00 per orang, sedangkan harga parkir standar (lima ribu untuk motor? Kalau nggak salah ingat).

 

Apa dari parkiran kita bisa langsung ngelihat sunrise?

Oh enggak. Kita harus jalan kaki lagi, naik tangga untuk mencapai puncak bukit. Jalannya nggak terlalu jauh, sekitar 15 menit jalan santai. Pun naiknya nggak terlalu melelahkan (kerasa capek kalau sangat nggak terbiasa jalan kaki). Baru setelah melewati terundak demi terundak, kita akan sampai di sebuah tanah datar yang menghadap timur. Ada beberapa joglo di sana. 

 


 

Saya dan teman sengaja main ke tempat ini di hari kerja supaya nggak terlalu ramai. Namun oh-la-la~ ternyata strategi ini pun rada meleset karena tetap ramai, haha. Tapi syukurlah bukan ramai yang macam umpel-umpelan. Tetap banyak orang, tapi nggak sampai berdesak-desakan banget. Cuma, ya, banyak orang berarti sudah nggak bisa memilih posisi untuk ambil foto sesuai keinginan.

 

Dua kali ke Punthuk Setumbu, saya melihat tempat-tempat strategis—di pinggir pagar—sudah dipenuhi orang padahal kami sudah datang sebelum subuh. Banyak di antaranya fotografer yang memasang tripod dengan lensa kamera yang aduhai tak diragukan kualitasnya. Kali pertama, karena lebih ramai, kami stay di agak belakang. Baru setelah matahari agak naik, kami bisa agak mendekat ke tepi pagar. Kali kedua, karena lebih sepi meski kami datang lebih mepet sunrise, kami tetap dapat tempat di tepi pagar.

 

Pagar di Punthuk Setumbu ini juga unik. Beberapa kepala pagar dihiasi dengan tiruan stupa Borobudur. Jadi meski bukan berada di candi itu, vibes-nya tetap ‘Borobudur banget’. Seperti foto di awal halaman tadi. Mungkin ada yang mengira foto tadi diambil di Borobudur, padahal dijepret dari Punthuk Setumbu. Buat saya, pagar ini jadi framing yang bagus untuk foto dan ngasih kesan Borobudurnya.

 

Lalu di mana letak Borobudur dilihat dari Punthuk Setumbu?

Candi Buddha terbesar dunia itu dapat dilihat lurus di hadapan pagar, sisi agak kanan. menyembul dari pelukan kabut. Mencarinya memang harus teliti karena ia seperti menjadi satu dengan lanskap alam di sekelilingnya. Dan, dilihat dengan mata telanjang, ukurannya memang nampak sangat kecil. Foto-foto yang menampilkan Borobudur dan kabut biasanya diambil dengan lensa dengan kemampuan zoom





Kali pertama main ke Punthuk Setumbu, cuaca agak mendung. Kami ‘hanya’ bisa menikmati lanskap Perbukitan Menoreh yang berlarik-larik. Borobudur tetap terlihat. Namun, kali kedua, cuaca lagi cerah-cerahnya. Kabut yang ada di awal, membuka tabir yang menutupi Gunung Merapi dan Merbabu di kejauhan. Pemandangan itu merupakan surprise bagi saya karena nggak nyangka mereka akan terlihat dari sini. Dan kelihatan jelas banget! Sebab pada kunjungan pertama, dua gunung itu nggak terlihat sama sekali. Kirain memang nggak bisa terlihat dari arah sini.

 

Kunjungan kedua juga menyimpan surprise lain:

Pemandangan sangat menakjubkan dengan matahari yang terbit persis di tengah dua gunung, seperti di gambar anak-anak TK/SD. Iya, matahari terbit tepat di antara Merbabu dan Merapi, menampilkan pemandangan dua gunung yang terletak berdampingan. Padahal, meski berdekatan, jarak mereka cukup jauh.


Momen itu tentu aja nggak kami lewatkan lewat kamera. Kapan lagi bisa kebetulan dapat golden sunrise dengan view keren abis gini? 

 



 

Kalau ditanya apa kami ngecek kalender astronomi dsb untuk dapat momen matahari-di-tengah ini, jawabannya enggak. Memang rezeki aja. Kami juga kaget kok pas banget, haha. Namun kalau ingin ditelusuri, mungkin bisa cek semacam kalender astronomi(?) untuk memastikan posisi matahari. Foto ini kami dapat di awal bulan Mei 2017.

 

Tips juga untuk yang ingin ambil momen sunrise:

pastikan kondisi sudah siap, baik posisi/kamera/diri sendiri. Pasalnya, detik-detik matahari muncul sampai agak naik (yang artinya sudah ‘agak’ tidak menarik untuk difoto) hanya berlangsung dalam hitungan menit. Dalam foto sunrise di atas, jarak antara matahari muncul dari balik gunung sampai betul-betul kelihatan di langit hanya berjarak 10-15 menit. Beda detik, sudah beda sinar yang didapat. Kebetulan kamera saya agak error sehingga flare matahari terlihat jelas bedanya padahal hanya beda detik. (Kalau kamera normal, kayaknya flare ini harusnya nggak terlihat)

 

Kami tetap tinggal di Punthuk Setumbu hingga matahari naik. Meski momen golden hour sudah lewat, tapi pemandangan setelahnya tetap memesona. Larik-larik lahan dan sawah di kejauhan, siluet pegunungan, dan corak Perbukitan Menoreh sangat sayang kalau dilewatkan.


💡 TIPS TRAVELLING KE PUNTHUK SETUMBU 

👉 Kalau bisa, di hari kerja supaya nggak ramai

👉 Usahakan jam 05.00 sudah sampai supaya nggak ketinggalan sunrise. Kalau dari Yogya (utara) bisa berangkat jam 03.00 jalan santai (kendaraan pribadi, tentunya)

👉 Kalau ingin lihat Borobudur dengan jelas, bawa binokular atau kamera dengan lensa zoom yang mumpuni

👉 Cek ramalan cuaca! Kalau ingin dapat cuaca cerah & kelihatan gunung. Tapi meski mendung view Borobudur+kabut tetap kelihatan kok, gunungnya yang enggak

👉 Bisa sekalian ke Gereja Ayam. Ada jalurnya dari sini, jadi tinggal jalan kaki (± 1 km, kata penduduk lokal)


📷 Cek posisi matahari! Kalau ingin dapat view matahari terbit persis di antara Gunung Merapi-Merbabu

📷 Cari posisi yang enak & setting kamera sebelumnya. Momen sunrise cepet banget, cuma 15 menit. Bahkan hitungan detik itu matahari sudah beda ketinggian, beda sinar yang masuk lensa



| DANAU PURBA BOROBUDUR

Matahari terbit dan Borobudur bisa dibilang tujuan orang-orang pergi ke Punthuk Setumbu. Saat halimun menyelimuti seluruh arah pandang, siluet Borobudur gagah berdiri di puncak bukit, muncul di antara lautan kabut putih. Sekilas, candi yang dibangun di abad 8-9 M ini tampak seperti teratai mekar di tengah danau.


Mungkin, pemandangan seperti ini juga yang dilihat seniman Belanda W.O.J. Nieuwenkamp di era 1900-an, sampai ia mencetuskan ide bahwa "Borobudur adalah candi yang dibangun di tengah danau". Ia tuangkan dugaannya ini di majalah, beberapa kali. Salah satunya dalam artikel berjudul "De Omgeving van den Borobedoer Een Meer?" (Apa Area Sekeliling Borobudur adalah Danau? *CMIIW) yang dimuat di majalah Algemeen Handelsblad pada September 1933. 


Mungkin begini bayangan Nieuwenkamp


Dalam artikel itu, ia mengajukan argumen bahwa candi yang 'ditemukan kembali' tahun 1814 ini  dibangun di atas sebuah pulau di tengah danau yang terbentuk secara alami. Danau ini diduga terbentuk akibat aktivitas gunung-gunung berapi di sekitar Borobudur yang material letusannya membendung sungai. Karena alirannya terbendung, maka terbentuklah danau. 


Di artikel itu, Nieuwenkamp bilang bahwa di era dia hidup, air danau Borobudur sudah mengering. Kemungkinan karena pendangkalan atau aktivitas geologi yang drastis, misalnya gempa. Pendapat itu dianggap memungkinkan oleh Dr. Rutten, seorang ilmuwan yang mempelajari erosi dan dimintai pendapat oleh Nieuwenkamp. Namun, dugaan ini masih perlu diteliti lebih dalam, tambah Dr. Rutten. Jadi pendapat Nieuwenkamp ini masih berupa dugaan.


Peta dugaan Nieuwenkamp 


Nieuwenkamp juga ngasih gambar peta di artikelnya. Di peta yang menggambarkan dugaannya itu, Borobudur tampak berdiri di sebuah pulau yang berdekatan dengan ujung sebuah tanjung, yang ia sebut Klosterkaap (kloster = biara, kaap = tanjung, NL). Tanjung ini, tulisnya, ia bayangkan seperti bukit tinggi untuk para biksu mengawasi Borobudur. Kalau dilihat di peta zaman sekarang, kemungkinan Klosterkaap ini adalah Bukit Dagi/Ndagi yang terletak di barat laut candi. Dari gambar dan info yang ada di dunia maya, bukit ini sekarang bisa didaki dan dari puncaknya bisa kelihatan Borobudur tampak dekat.


Jadi, apa betul Borobudur dibangun di tengah danau?

Ada perbedaan pendapat di kalangan ahli saat itu: iya dan enggak.


Perbedaan pendapat ini kemudian mengilhami sejarawan abad selanjutnya untuk meneliti kebenarannya. Ada riset peneliti Indonesia yang berkesimpulan bahwa: iya, Borobudur dibangun di antara danau, tapi bukan di tengah-tengah air. Seperti apa itu?


Yuk mundur sebentar ke belakang. Para sejarawan Indonesia tersebut setuju bahwa pernah ada danau di kawasan yang sekarang jadi Borobudur. Danau ini adalah danau purba Borobudur yang mulai terbentuk jutaan tahun yang lalu. Pergerakan lempeng bumi saat itu membentuk sebuah cekungan yang nanti jadi cikal-bakal danau.


Cekungan ini lama-lama terisi air dari sungai-sungai yang mengalir di sekitar dan di dalamnya. Periode terisi air ini terjadi sejak 22.000 sampai 600-700an tahun lalu. Selama kurun waktu ini, bentuk danau berubah-ubah; nggak selalu jadi satu genangan luas, tapi kadang juga terpisah-pisah.


20.000-an tahun lalu, danau ini memang masih jadi satu genangan amat besar. Seberapa luas? Luas banget sampai termasuk beberapa kecamatan di sekitar Borobudur. Batas bagian selatannya aja Pegunungan Menoreh, yang kalau sekarang ada kali beberapa kilometer jauhnya. 


Lama-lama danau ini mulai menyusut, mendangkal, atau kering. Pada zaman Borobudur mulaidibangun (sekitar abad ke-8 atau tahun 700-an plus-plus) danau ini sudah jadi jauh lebih kecil dan terpisah jadi dua danau. Candi Borobudur dibangun di daratan yang terletak di antara dua danau ini (tapi bukan di tengah danau, di daratannya). 


Rekonstruksi danau Borobudur (Murwanto, 2011)
YBP = Years Before Present |  Diakses dari S.H.S. Herho

Terus, danau ini sekarang ke mana? Sudah nggak ada karena kering akibat perubahan geologis. Sebabnya macam-macam, antara lain sumber airnya terputus/hilang, kena dampak material vulkanik, dsb. 


Bekas-bekas perairan ini masih bisa dilihat 'jejaknya' kini. Kalau lihat peta, akan nampak bahwa daerah Borobudur dan sekitarnya adalah cekungan. Ada bekas aliran sungai purba yang dulu mengaliri danau lalu kini sudah beralih jadi daratan, yang sekarang jadi sawah. Sawah-sawah ini kalau dilihat letaknya kayak aliran sungai; beralur.


Apa mungkin ini bekas aliran sungai purbanya?

Bekas perairan juga bisa ditelusuri dari nama-nama tempat di sekitarnya. Ada sejumlah desa yang namanya mengandung unsur air, antara lain Bumisegoro (segoro = laut) dan Tanjungsari. Soal inilah yang jadi salah satu alasan mengapa dulu daerah Borobudur diduga punya danau, meski soal danau ini nggak pernah disebut di prasasti atau catatan kuno yang sudah ditemukan. 


Keberadaan sungai atau badan air di sekitar candi diduga penting karena Borobudur diperkirakan melambangkan konsep universe di kosmologi Buddhis. Secara singkat, konsep ini bentuknya seperti ada pusat dunia yang dilingkari oleh lautan dan pegunungan. Gunung-gunung di sekitar Borobudur (Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing) diduga jadi lambang pegunungan di kosmologi tsb, begitu juga sungai dan danau yang ada di sekeliling Borobudur yang jadi lambang penting. 

(anyway soal penentuan lokasi, kosmologi, penamaan, sampai kemiripan Borobudur+lingkungannya dengan konsep alam semesta ini menarik, tapi panjang. Mungkin kita sambung lain kali di postingan selanjutnya? 😄)


Jadi, apakah betul Borobudur dibangun di danau?

Candi ini memang dibangun di tempat yang dulunya adalah danau purba. Namun, candi dibangun di daratan. Riset oleh Helmy Murwanto dan para koleganya menunjukkan bahwa saat candi dibangun, danau purbanya masih ada tapi udah menyusut jauh. Tempat yang dipilih jadi lokasi Borobudur saat itu sudah jadi daratan, meski memang terdapat sungai dan danau di sisi-sisinya. Jadi, pendapat Nieuwenkamp soal Borobudur dibangun di tengah danau agaknya nggak tepat.


💡 BOROBUDUR VIRTUAL TOUR 

Ngomong-ngomong, kita bisa 'mengunjungi' Borobudur secara virtual lewat www.borobudurvirtual.id/virtual-tour/ . Di sini kita bisa ngelihat beberapa bagian dan lorongnya. Sistemnya kayak 360° view di Google Maps. Memang nggak banyak, tapi lumayan untuk yang pengin tahu bangunannya seperti apa.



| PERBUKITAN MENOREH, PERANG JAWA, DAN DIPONEGORO

Menoreh, dilihat dari Punthuk Setumbu


Perbukitan di sekitar Borobudur, di sekitar Punthuk Setumbu, juga menyimpan cerita. Kali ini kisahnya dari zaman yang lebih 'dekat'. Kalau di pembangunan Borobudur tadi kita berkelana ke tahun 700-an Masehi, kali ini kita maju sedikit ke tahun 1800-an. 


Pegunungan Menoreh yang membentang sepanjang mata memandang ternyata jadi setting peristiwa Perang Jawa yang bergejolak. Perang ini berkobar akibat clash antara Diponegoro (seorang pangeran Keraton Yogya) dengan Belanda. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang sebab-musabab perang dan pro-kontra sosok-sosok yang terlibat, perang yang bergolak hampir di seluruh Pulau Jawa ini membuat kas Belanda berkurang banyak.


Singkat cerita, setelah kediaman Pangeran Diponegoro di Puri Tegalrejo (sekarang Museum Sasana Wiratama, Yogya) diserang, beliau dan keluarganya berlindung di Selarong. Gua Selarong terletak di selatan, yang sekarang termasuk Kabupaten Bantul, masih di Provinsi D.I.Y. Setelah Selarong inilah Diponegoro dan pasukannya bergerilya di bukit-bukit Menoreh melawan Belanda (tentang objek wisata Gua Selarong bisa dibaca di postingan yang ini).


Salah satu daerah yang pernah jadi napak tilas Diponegoro adalah desa-desa di Borobudur. Beliau pernah berdiam di Desa Wanurejo yang saat itu berbentuk kadipaten. Di sebuah daerah lain bernama Tingal, ada sebuah masjid kuno dan bedug yang dipercaya jadi genderang perang saat itu. Masjid dan bedugnya masih ada sampai sekarang, meski katanya suara bedugnya nggak sekeras dulu karena sudah tua dan direparasi.


Mengapa Diponegoro dan pasukannya ke arah Borobudur?

Bukan ke arah Borobudurnya sebenarnya, tapi ke Pegunungan Menoreh. Di sini banyak bukit; tempat yang pas untuk mengawasi pergerakan pasukan musuh dari ketinggian. Zaman itu populasi manusia (dan bangunan) nggak sebanyak sekarang. Pergerakan pasukan yang berbondong-bondong relatif mudah kelihatan dari puncak bukit. 


Salaman, Wanurejo, dan letaknya dari Punthuk Setumbu dan Borobudur


Kabarnya inilah salah satu sebab Belanda kesulitan menaklukkan pasukan Diponegoro: karena medannya berbukit-bukit. Dan, naik bukitnya juga butuh effort. Pasukan Diponegoro sudah keburu pindah ke bukit/daerah lain saat pasukan Belanda baru sampai. 


Oleh karena itu, di sekitar perbukitan ini ada banyak petilasan sebagai penanda bahwa Diponegoro dan para jenderalnya sempat singgah. Bahkan konon nama pasukannya ada yang menjadi nama desa hingga sekarang. Nama bukit pun ada yang berasal dari nama petinggi pasukan. Bukit-bukit itu kini ada beberapa di antaranya yang jadi jujugan untuk ngelihat sunrise.


Salah satu bukit yang jadi jujugan sunrise dan jadi tempat singgah pasukan Diponegoro adalah Puncak Gondokusumo/Puncak Gondopurowangi. Namanya diambil dari seorang petinggi pasukan, Gondokusumo. Saya belum pernah ke sana, baru ngecek di Google Maps. Kalau dilihat di internet,  ada jalan akses ke sana. Udah ada tulisan penandanya juga.


(Anyway saya baru tahu kalau 'alibasyah' itu gelar tingkat militer. Ada gelar 'basyah' juga. Keingat pelajaran Sejarah kalau salah satu panglima Diponegoro ada yang namanya Alibasyah Prawirodirjo. Kirain 'Alibasyah' itu namanya, ternyata gelar. Gondokusumo juga punya gelar serupa.)


Daerah sekitar Menoreh dan Borobudur juga menjadi tempat singgah terakhir Pangeran Diponegoro sebelum melanjutkan perundingan ke Magelang. Di sebuah daerah bernama Salaman, beliau sempat tinggal beberapa hari buat memulihkan diri dari malaria. Setelah itu, beliau lanjut ke Magelang.


Di Kota Magelang inilah beliau diundang berunding oleh Jenderal De Kock, tapi ditipu dan akhirnya ditangkap. Peristiwa 'perundingan' dan penangkapan ini terjadi di rumah residen Kedu, yang sekarang jadi museum perang Diponegoro. Setelah ditangkap, Diponegoro diasingkan ke Makassar hingga akhir hidupnya (kalau nggak salah sempat ditahan di Kota Tua Jakarta a.k.a Batavia sebelum lanjut ke Makassar). 


Peristiwa penangkapan Diponegoro di Magelang ini dituangkan dalam lukisan. Satu dalam lukisan Raden Saleh (pernah lihat film "Mencuri Raden Saleh"? Ya lukisan itu), satu dalam lukisan Nicolas Pienemaan. Saya nggak tahu soal seni, hanya aja katanya ada perbedaan antara dua lukisan itu, meski scene-nya sama:

di lukisan Pienemaan, Diponegoro digambarkan lebih pasrah

di lukisan Raden Saleh, Diponegoro digambarkan lebih punya fighting spirit.



Dan... begitulah cerita tentang Setumbu-Borobudur-Menoreh. 

Selain jadi tempat wisata, cerita masa lalunya juga kaya.




=================

Referensi:

  • Balai Konservasi Borobudur. 2020. BUSUR No. 2 feat Yenny Supandi - Danau Purba Borobudur, di Mana Jejaknya. Podcast, Youtube.
  • Balai Konservasi Borobudur. 2020. BUSUR No. 8 ft Transpiosa Riomandha - Yang Terlewatkan di Kawasan Borobudur. Podcast, Youtube.
  • Balai Konservasi Borobudur. 2021. BUSUR No. 15 - Jejak-Jejak Sang Pangeran Diponegoro di Kawasan Borobudur. Youtube.
  • Balai Konservasi Borobudur. 2022. BUSUR ft Salim A. Fillah - Jejak-Jejak Sang Pangeran Diponegoro di Kawasan Borobudur Part 2. Podcast, Youtube.
  • Dongeng Geologi. 2023. Candi Borobudur yang Sempat Terkubur: Sebuah Mahakarya di Atas Danau Purba. Rekaman webinar.
  • Herho, S.H.S. (2018). Reconstruction of quaternary vegetation and climate of Borobudur Lake (thesis proposal).
  • Murwanto, H., and Purwoarminta, A. (2015). Rekonstruksi danau purba Borobudur dengan pendekatan spasiotemporal. Limnotek, 22, 106-117.
  • Murwanto, H., Gunnel, Y., Suharsono, S., Sutikno, S., and Lavigne, F. (2004). Borobudur monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake: chronostratigraphic evidence and historical implications. The Holocene, 14, 467-471.
  • NatGeo Indonesia. (2021). Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur. Diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/132573046/candi-agung-di-tubir-danau-di-balik-perdebatan-telaga-borobudur.
  • Nieuwenkamp, W.O.J. "De Omgeving van Den Boroboedoer Een Meer?". Algemeen Handelsblad, Sept 9, 1933.


=================


Diperbarui pada 2024


Reading Time: