Siapa yang ngerasa akhir-akhir ini
cuaca dingin meski langit cerah tanpa awan? Apalagi kalau malam. Siang boleh panas
terik menyengat, tapi malam hari justru dingin menggigit. Beberapa mungkin juga
merasa siang terasa adem meski matahari bersinar menyengat. Di beberapa daerah
pegunungan, seperti Dieng dan Bromo, justru muncul es atau embun upas.
Fenomena ini disebut ‘bediding’
(atau bedhidhing) oleh orang Jawa. Bediding berarti awal peralihan musim
hujan ke kemarau, ketika suhu udara justru terasa dingin. Nanti, ketika sudah
betul-betul masuk kemarau, suhu sudah kembali ‘normal’ alias sudah panas lagi.
Mengapa masuk musim kemarau justru
tambah dingin?
BMKG menyebutkan bahwa ini adalah
efek angin muson dan efek ketiadaan awan.
Saat ini, angin bergerak dari Benua
Australia ke Benua Asia sehingga melewati kita, Indonesia. Angin itu juga
membawa udara dingin karena Australia sedang musim dingin sekarang. Ada yang
bilang, ini juga berhubungan dengan axis alias sumbu bumi yang miring
sehingga menyebabkan perbedaan musim di belahan bumi yang berbeda.
Sebab kedua adalah ketiadaan awan.
Akibat sudah masuk musim kemarau, maka hujan dan mendung pun berkurang pesat.
Tanah/bumi yang terasahangat saat siang karena disinari matahari, saat malam
melepas panas yang ia terima (karena tidak ada matahari yang bikin tetap hangat).
Ketika ada awan/mendung—di musim hujan—, panas yang dilepas ini akan tertahan
di atmosfer bumi karena ‘tertutup’ awan sehingga suhu jadi rada mendingan.
Namun, tidak ada awan/mendung saat kemarau. Panas yang dilepas bumi itu pun
akhirnya betulan lepas ke luar karena tidak ada yang ‘menahan’. Akibat
kehilangan panas, permukaan bumi pun jadi dingin sehingga kita—manusia yang
hidup di permukaannya—ikut kedinginan.
Namun ini nggak berlangsung lama;
hanya di awal peralihan musim aja. Kalau sudah betulan masuk kemarau, ya, panas-panasan
lagi.
💡 Untuk yang suka main ke wilayah
pegunungan, bediding jadi suatu hal yang harus diperhatikan. Memang cuacanya
cerah sehingga pemandangan bakal jelas banget dan (relatif) jarang ketutup
kabut atau risiko hujan, tapi dinginnya akan lebih dingin daripada suhu gunung biasanya.
Karena alasan itulah tur ke Bromo yang saya ceritakan di sini mengatur keberangkatan
mendekati subuh meski kami ingin lihat Milky Way dari ketinggian; karena
khawatir peserta tur pada kedinginan.
Kala suhu rendah banget begini, di
beberapa pegunungan bisa terbentuk es atau embun. Beberapa hari lalu hingga
hari ini, ada berita muncul es di Bromo dan embun upas di Dieng. Fenomena ini
menarik perhatian orang berduyun-duyun untuk melihat wujud es, benda yang hampir
mustahil terlihat secara alami di daerah tropis yang panas. Di sisi lain, para
petani pun harap-harap cemas karena embun es ini bisa merusak tanaman yang
mereka budidayakan.
Dulu, saya heran ketika ada yang
cerita soal kerusakan ini. Embun es, kan, nanti akan mencair juga. Toh nggak
lama; tinggal tunggu matahari muncul dan es akan hilang. Setidaknya itu yang
terjadi di Ranu Kumbolo, saat seorang teman bilang, “Ada es, lho, di rumput,”
dan saya nggak menemukannya ketika keluar beberapa menit kemudian (yaa waktu
matahari udah lebih naik, haha).
Jadi, kenapa embun es yang nanti
akan kembali jadi air bisa merusak tanaman?
Apalagi tanaman yang kena, bisa jadi
kering.
Lho, kan, es? Kok kering? Harusnya
malah basah, dong, kan dari air? Dulu saya bertanya-tanya kayak gini.
BAGAIMANA EMBUN ES MERUSAK TANAMAN 』
Konon katanya embun upas adalah
sebutan masyarakat Dieng untuk es yang muncul pada tanaman. Teman-teman saya
yang nggak berasal dari Dieng tapi dari area Jateng lain juga menyebut
demikian. “Upas” dalam bahasa Jawa berarti “racun”. Kata ini sudah masuk KBBI
dengan makna racun dari pohon tertentu. Jadi, embun upas berarti embun yang “beracun”
karena bisa merusak tanaman.
Ladang dan perkampungan di Dataran Tinggi Dieng, dilihat dari puncak Gunung Prau |
Embun es bisa merusak tanaman karena
tanaman ini nggak terbiasa dengan suhu amat rendah. Kita bicara soal air di
dalam tubuh tanaman sekarang, bukan air/es di luar yang simply nempel di
permukaan. Es yang menempel di tubuh tanaman adalah sebuah indikator untuk kita
bahwa suhunya lagi dingin banget. Artinya, suhu di dalam tubuh tumbuhan juga
dingin banget.
Suhu rendah bisa membuat air dalam
tubuh tumbuhan turut menjadi es, seperti embun upas di luar tubuhnya. Air dalam
tubuh ini menjadi kristal es. Kristal ini bisa merusak sel tubuh. Akibatnya?
Banyak. Kristal es ini bisa melukai sel dari dalam karena kristalnya yang tajam
atau ‘mencepit’ sel-sel dari luar dengan bentuknya yang tidak beraturan. Ia
juga bisa membuat konsentrasi internal sel meningkat karena nggak ada air
(sudah jadi es). Ibarat sirup tanpa air, kental sekali, bukan. Kalau nggak
salah, kata buku teks Biologi SMP/SMA inilah kondisi hipertonik. Lalu karena lingkungan
sel yang terlalu ‘kental’, zat lain dalam sel bisa ikut rusak karena kondisi
lagi dehidrasi alias kekurangan air. Lalu, jangan lupakan bahwa metabolisme sel
sangat butuh air: untuk ‘mengalirkan’ zat, untuk mereaksikan zat, dll. Tanpa
air, praktis proses metabolisme ini berhenti.
Metabolisme yang terhenti berarti terjadi gangguan tubuh. Kalau gangguan itu sangat kecil, mungkin bisa diatasi. Namun kalau banyak, ya, alamat tamat.
Hal yang sama terjadi pada manusia. Di gunung-gunung tinggi bersalju, ada ancaman frostbite alias kerusakan jaringan sel, utamanya dekat permukaan kulit, akibat beku. Kalau beku/dinginnya sekujur badan, ya ... wassalam.
Balik ke tanaman. Tanaman yang terkena embun upas juga
jadi kering karena airnya tidak ada. Airnya sudah membeku semua. Kering = nggak
ada air (tersedia) dalam tubuhnya.
Sebagai catatan, es tidak selalu
berarti basah. Konsep ini juga baru saya pahami waktu ada teman yang cerita dia
harus pakai lipbalm, handbody, dan segala macam buat jaga kelembapan
tubuh saat ia tinggal di negara yang sedang winter.
“Kalau nggak pakai, bibir atau kulit
bisa pecah-pecah,” tuturnya.
Ia bercerita bahwa winter itu
kering karena kelembapan udara rendah sekali. Memang salju/es itu dari air.
Namun, itu itu juga berarti tidak ada air (atau minim kelembapan) saat winter
karena sudah berubah jadi salju/es.
Konsep dingin ≠ basah ini sebetulnya juga bisa dilihat di Indonesia. Itulah sebabnya kalau
naik atau main ke gunung, apalagi berhari-hari, disarankan pakai
lipbalm karena bibir bisa dehidrasi lalu pecah-pecah. (Ketahanan orang
beda-beda. Ada yang nggak pakai, baik-baik aja. Sebagian yang lain—contohnya
saya—bisa pecah mengelupas bibirnya).
Di perladangan seperti di Dieng atau
Tosari (Bromo), embun upas ini merusak tanaman kentang sehingga panen kentang menurun.
Ada yang bilang batang-daun carica Dieng juga ikut kering. Sudah ada beberapa
antisipasi untuk efek embun upas, seperti ditutup paranet atau diberi mist
irrigation. Di negara empat musim yang memang bersuhu dingin, frost pada
tanaman bisa diantisipasi dengan dibungkus atau ditanam di greenhouse.
Masih ada cara lainnya juga. Beda cara, beda efektivitas, dan tentu beda cost
produksi.
Tapi, kenapa ada tanaman yang nggak kenapa-kenapa
meski kena embun upas juga, ya?
Simpelnya: karena sifat tumbuhan
beda-beda. Ada tumbuhan yang tahan dingin, ada yang tahan panas. Thus, adaptasinya
pun beda-beda.
Namun, apa yang membuat tumbuh-tumbuhan
yang biasa hidup di tempat yang sama (say, di Dieng/Bromo), misal kentang,
cemara, semak liar, ada yang mati kena embun upas tapi yang lainnya tetap
hidup?
Kita kembali ke …
Ada banyak cara makhluk hidup beradaptasi
dengan lingkungannya, termasuk di suhu dingin. Bisa termasuk jenis adaptasi
perilaku, seperti manusia yang pakai jaket tebal atau selalu makan yang
berlemak. Bisa juga adaptasi bentuk tubuh (morfologi) atau proses dalam tubuh (fisiologi).
Karena terlalu banyak, kita rada sempitkan ke bagian fisiologi aja.
Sederhananya, tumbuhan bisa tahan hidup di lingkungan beku karena dia punya metabolisme tubuh yang mengatur itu. Bisa dengan:
- produksi zat tertentu (antifreeze agent) untuk mencegah pembekuan
- menyetorkan nutrisinya ke bagian tertentu
- 'menghibernasikan diri' (dorman)
- mengurangi kandungan air dengan memindahkan ke bagian lain/melapisi tubuh dengan lilin/mempersempit permukaan
- punya ‘sensor’ yang aktif ketika mendeteksi perubahan suhu
- produksi enzim tertentu, dan
- cara-cara lain yang belum dipahami sepenuhnya oleh kita, manusia.
Adaptasi tumbuhan yang hidup di
wilayah tropis, seperti di sini, beda dengan adaptasi tumbuhan yang memang
hidup di negara yang dingin. Pun di negara yang dingin/4 musim, adaptasinya
beda lagi dengan tumbuhan yang hidup di daerah yang hampir selalu tertutup es. Bervariasi
banget. Itu baru di tumbuhan. Belum di hewan. Belum lagi di manusia.
Kita aja, yang sesama Homo
sapiens, punya ketahanan dan adaptasi yang berbeda-beda. Padahal kita masih
satu spesies. Apalagi kalau pada tumbuhan/hewan yang spesies bahkan genusnya
lebih variatif lagi.
Buat apa tahu soal adaptasi beginian?
Tergantung orang/keperluannya. Kalau saya karena penasaran aja. Namun untuk orang-orang yang lebih serius, hal beginian bisa diaplikasikan untuk pengawetan makanan/benih pertanian, misalnya. Bisa juga buat memahami tanaman sehingga bisa antisipasi kalau-kalau suhu rendah, jadi tanamannya nggak rusak dan tetap bisa dipanen. Untuk antisipasi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, misalnya. Buat penggemar science fiction, bisa juga jadi 'pintu gerbang' menilik cryobiology alias pembekukan makhluk hidup untuk dihidupkan lagi. Kayak adegan di film-film: dibekukan terus hidup lagi berapa ratus tahun kemudian saat bumi sudah berubah atau saat di planet lain.
KEMBALI KE BEDIDING 』
Kalau kata orang-orang tua, bediding
berarti waktu ketika minyak klentik membeku. Katanya juga, ini musim
pohon-pohon mangga mulai berbunga. Beberapa bulan lagi saat kemarau, buah segarnya
sudah bisa dinikmati.
Mungkin dulu memang hal-hal seperti
ini belum bisa dijelaskan. Apa hubungannya suhu dingin dengan buah mangga?
Entah. Yang jelas, saat suhu berubah lebih menggigit, moyang kita memperhatikan
bahwa pohon-pohon mangga mulai semerbak berbunga. Kini kita mungkin sudah tahu
bahwa suhu itulah salah satu pemicu pembungaan mangga.
Dulu, kakek-nenek kita dan moyangnya
membaca prakiraan cuaca dengan modal niteni alias memperhatikan
kerutinan yang terjadi dari tahun ke tahun. Dari kerutinan inilah muncul
prakiraan cuaca model lawas seperti pranoto mangsa pada masyarakat Jawa.
Praktik niteni inilah yang menjadi salah satu patokan musim bertani.
Sekarang, dengan musim yang makin
tak jelas batasnya akibat perubahan iklim cukup drastis, praktik memperhatikan tanda-tanda
alam ini makin sulit dilakukan.
=====
Disclaimer:
Artikel ini bukan tulisan akademik, melainkan bacaan ringan saja. Beberapa poin bukan sesuatu yang pernah saya pelajari langsung/spesifik sehingga untuk penjelasan ilmiah silakan di-recheck ulang karena meski ada referensinya, bisa saja saya salah membaca/salah memahami sehingga salah menuliskan pula. Terima kasih!
=====
Source (linked italicised text):
Fajarlie, N. I. 2022. Kompas. Embun Es di Dataran Tinggi Dieng: Ancaman bagi Petani, Daya Tarik buat Wisatawan (kompas.tv) || Harmoko, I. W. 2021. BMKG.https://www.bmkg.go.id/artikel/?p=mencermati-periode-terjadinya-embun-upas-dan-bediding&lang=ID || Ritongga, F. N. dan S. Chen. 2020. Physiological and Molecular Mechanism Involved in Cold Stress Tolerance in Plants - PMC (nih.gov) || Simangunsong, W.S. 2023. Kompas. Embun Upas Muncul di Gunung Bromo, Suhu Capai 5 Derajat Celsius - Kompas.com || Wikipedia EN. Frost - Wikipedia || __. Cold hardening - Wikipedia || Wikipedia ID. Bediding - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas || * Terima kasih pada para dosen Thermomikrobiologi yang mengajarkan efek freezing pada sel