Hijaubiru

Jumat, 14 Juli 2023

Berburu Potret Borobudur, Sunrise, dan Kabut di Punthuk Setumbu
Juli 14, 20230 Comments

 


 

Punthuk Setumbu jadi salah satu tempat yang cocok banget dijadikan tujuan untuk nunggu matahari terbit. Nggak cuma sunrise, dari sini kita bisa ngelihat gunung-gunung (Merapi-Merbabu), perbukitan di Menoreh, dan Borobudur. 

Dan, selain pemandangannya, kisah masa lalunya juga kaya.


Index: click to jump to particular part 

Punthuk Setumbu: tentang, rute, tips -

Di sekitar Setumbu:

Danau Purba Borobudur - 

- Menoreh, Perang Jawa, dan Borobudur -


[Disclaimer: beberapa kisah dan penjelasan yang berhubungan dengan sejarah dan  kebumian diambil dari beberapa referensi. Namun, bisa aja ada kekeliruan dalam tulisan ini karena saya salah memahami/salah interpretasi. Jadi mohon maaf kalau ada ketidaktepatan isi, harap cross-check ke sumber yang lebih kredibel atau sumber primer]



Beberapa tahun lalu, saat pertama ngulik dasar-dasar fotografi, saya nemu sebuah website dengan foto yang bikin menahan napas lama karena cantik banget: foto Candi Borobudur. Candi Buddha terbesar di dunia itu tengah dibalut kabut putih supertebal. Di sekitarnya, baris-baris perbukitan dan gerumbul pepohonan. Semuanya bermandikan cahaya oranye mentari pagi yang tampak hangat. Pemandangan ini magical banget buat saya.  Rasanya kayak ngelihat sebuah istana di negeri awan.

 

Fotografer asing sang pemilik website menyebutkan sebuah tempat pengambilan foto: Punthuk Setumbu. Saya pun browsing mencari tahu tempat ini. Ternyata ini adalah sebuah bukit di Magelang, tak jauh dari Candi Borobudur berdiri.

 

Waktu itu internet belum secanggih sekarang. Instagram belum booming sehingga kalau mau cari foto-foto buat referensi, ya, lewat Google; lewat website. Website fotografer tadi hanya menyebut nama tempat, tanpa ada rute jalan atau ancer-ancernya. Mungkin memang ia nggak tahu jalan dan mengandalkan guide, mungkin juga karena saat itu Punthuk Setumbu belum jadi tempat wisata sehingga jalannya belum jelas.

 

Hal senada saya dengar ketika ngobrol dengan salah seorang warga lokal saat main ke sana, 2017 lalu.

“Dulu di sini belum rame. Nggak ada begini ini (menunjuk platform foto, gazebo joglo, dan pagar). Ya benaran cuma bukit, banyak tumbuhannya. Sangat rimbun begitu. Yang ke sini kebanyakan bule buat lihat matahari terbit, atau orang yang suka foto-foto,” ujar bapak itu.

 

Setahu saya memang bukit ini baru ramai beberapa tahun kemudian. Lalu makin ramai ketika sebuah film box office nasional syuting di dekat sana.

 

Dulu waktu pertama browsing, rute menuju ke sana pun nggak sejelas sekarang. Kalau nggak salah ingat, poin Punthuk Setumbu belum ada di Google Maps, begitu pun rutenya. Saya mengandalkan ancer-ancer yang bertebaran acak  di website dan forum online, sembari bertanya-tanya sendiri gimana kalau mau jalan ke tempat yang (saat itu) relatif terpencil sedangkan saya nggak tahu medan. Apalagi kalau mau berburu sunrise artinya harus jalan malam (yang artinya nggak bisa nanya arah ke warga karena pasti pada tidur dan transpor umum nggak jalan), padahal saya belum bisa nyetir.

 

Dalam diam dan ketidakpastian, Punthuk Setumbu saya simpan dalam wishlist lokasi yang ingin dikunjungi.

 

Beberapa tahun kemudian, alhamdulillah saya akhirnya diberi kesempatan main ke Punthuk Setumbu. Yes!!! Bukit itu sudah jadi tempat wisata. Akses jalan ke sana lebih mudah dan rutenya sudah tersedia di Google Maps. 


[NB: klik foto/gambar untuk tampilan yang lebih jelas dan detail. Nggak tahu kenapa gambarnya kurang jelas atau ketarik kalau cuma di-scroll] 

  



Punthuk Setumbu berarti "Bukit Setumbu". Dalam bahasa Jawa, bukit disebut 'punthuk'. Ada juga yang nyebut 'puthuk'/'putuk'. Penyebutan versi ini saya temui di Jawa Timur.


Untuk menikmati sunrise di Punthuk Setumbu memang agak butuh pengorbanan. Kita harus datang sebelum subuh supaya nggak ketinggalan matahari terbit. Akhirnya dengan berboncengan, saya dan seorang teman berangkat pukul 03.00 dari Yogya utara menuju Magelang. Kami sampai di lokasi sekitar pukul 05.00.

 

Dari Yogya, rutenya relatif mudah. Ikuti aja Jl. Yogya-Magelang sampai ketemu gapura (memasuki area) Borobudur di kiri jalan. Belok ke situ, lalu tinggal ikuti Google Maps sampai ke parkiran Punthuk Setumbu. Bukit ini jaraknya kira-kira 5 km-an dari Borobudur, jadi ya agak jauh juga masuknya dari gapura jalan raya.

 

Oh ya, sesaat setelah masuk gapura, jangan lupa lihat sisi jalan. Kalau lewat sebelum subuh, dari tepi jalan akan terlihat Candi Pawon yang tampak megah bermandikan cahaya lampu sorot. Cantik! Serasa ngelihat istana. Agak mendekati Punthuk Setumbu, di sisi kanan kita juga bisa lihat kerlap-kerlip dari bangunan resor mewah Amanwana yang dibangun menyerupai Borobudur.

 

Kami sampai di parkiran Punthuk Setumbu. Untuk ke parkiran, jalannya berkerikil dan sedikit naik. Ada sebuah loket di sana. Tiket masuknya Rp10.000,00 per orang, sedangkan harga parkir standar (lima ribu untuk motor? Kalau nggak salah ingat).

 

Apa dari parkiran kita bisa langsung ngelihat sunrise?

Oh enggak. Kita harus jalan kaki lagi, naik tangga untuk mencapai puncak bukit. Jalannya nggak terlalu jauh, sekitar 15 menit jalan santai. Pun naiknya nggak terlalu melelahkan (kerasa capek kalau sangat nggak terbiasa jalan kaki). Baru setelah melewati terundak demi terundak, kita akan sampai di sebuah tanah datar yang menghadap timur. Ada beberapa joglo di sana. 

 


 

Saya dan teman sengaja main ke tempat ini di hari kerja supaya nggak terlalu ramai. Namun oh-la-la~ ternyata strategi ini pun rada meleset karena tetap ramai, haha. Tapi syukurlah bukan ramai yang macam umpel-umpelan. Tetap banyak orang, tapi nggak sampai berdesak-desakan banget. Cuma, ya, banyak orang berarti sudah nggak bisa memilih posisi untuk ambil foto sesuai keinginan.

 

Dua kali ke Punthuk Setumbu, saya melihat tempat-tempat strategis—di pinggir pagar—sudah dipenuhi orang padahal kami sudah datang sebelum subuh. Banyak di antaranya fotografer yang memasang tripod dengan lensa kamera yang aduhai tak diragukan kualitasnya. Kali pertama, karena lebih ramai, kami stay di agak belakang. Baru setelah matahari agak naik, kami bisa agak mendekat ke tepi pagar. Kali kedua, karena lebih sepi meski kami datang lebih mepet sunrise, kami tetap dapat tempat di tepi pagar.

 

Pagar di Punthuk Setumbu ini juga unik. Beberapa kepala pagar dihiasi dengan tiruan stupa Borobudur. Jadi meski bukan berada di candi itu, vibes-nya tetap ‘Borobudur banget’. Seperti foto di awal halaman tadi. Mungkin ada yang mengira foto tadi diambil di Borobudur, padahal dijepret dari Punthuk Setumbu. Buat saya, pagar ini jadi framing yang bagus untuk foto dan ngasih kesan Borobudurnya.

 

Lalu di mana letak Borobudur dilihat dari Punthuk Setumbu?

Candi Buddha terbesar dunia itu dapat dilihat lurus di hadapan pagar, sisi agak kanan. menyembul dari pelukan kabut. Mencarinya memang harus teliti karena ia seperti menjadi satu dengan lanskap alam di sekelilingnya. Dan, dilihat dengan mata telanjang, ukurannya memang nampak sangat kecil. Foto-foto yang menampilkan Borobudur dan kabut biasanya diambil dengan lensa dengan kemampuan zoom





Kali pertama main ke Punthuk Setumbu, cuaca agak mendung. Kami ‘hanya’ bisa menikmati lanskap Perbukitan Menoreh yang berlarik-larik. Borobudur tetap terlihat. Namun, kali kedua, cuaca lagi cerah-cerahnya. Kabut yang ada di awal, membuka tabir yang menutupi Gunung Merapi dan Merbabu di kejauhan. Pemandangan itu merupakan surprise bagi saya karena nggak nyangka mereka akan terlihat dari sini. Dan kelihatan jelas banget! Sebab pada kunjungan pertama, dua gunung itu nggak terlihat sama sekali. Kirain memang nggak bisa terlihat dari arah sini.

 

Kunjungan kedua juga menyimpan surprise lain:

Pemandangan sangat menakjubkan dengan matahari yang terbit persis di tengah dua gunung, seperti di gambar anak-anak TK/SD. Iya, matahari terbit tepat di antara Merbabu dan Merapi, menampilkan pemandangan dua gunung yang terletak berdampingan. Padahal, meski berdekatan, jarak mereka cukup jauh.


Momen itu tentu aja nggak kami lewatkan lewat kamera. Kapan lagi bisa kebetulan dapat golden sunrise dengan view keren abis gini? 

 



 

Kalau ditanya apa kami ngecek kalender astronomi dsb untuk dapat momen matahari-di-tengah ini, jawabannya enggak. Memang rezeki aja. Kami juga kaget kok pas banget, haha. Namun kalau ingin ditelusuri, mungkin bisa cek semacam kalender astronomi(?) untuk memastikan posisi matahari. Foto ini kami dapat di awal bulan Mei 2017.

 

Tips juga untuk yang ingin ambil momen sunrise:

pastikan kondisi sudah siap, baik posisi/kamera/diri sendiri. Pasalnya, detik-detik matahari muncul sampai agak naik (yang artinya sudah ‘agak’ tidak menarik untuk difoto) hanya berlangsung dalam hitungan menit. Dalam foto sunrise di atas, jarak antara matahari muncul dari balik gunung sampai betul-betul kelihatan di langit hanya berjarak 10-15 menit. Beda detik, sudah beda sinar yang didapat. Kebetulan kamera saya agak error sehingga flare matahari terlihat jelas bedanya padahal hanya beda detik. (Kalau kamera normal, kayaknya flare ini harusnya nggak terlihat)

 

Kami tetap tinggal di Punthuk Setumbu hingga matahari naik. Meski momen golden hour sudah lewat, tapi pemandangan setelahnya tetap memesona. Larik-larik lahan dan sawah di kejauhan, siluet pegunungan, dan corak Perbukitan Menoreh sangat sayang kalau dilewatkan.


💡 TIPS TRAVELLING KE PUNTHUK SETUMBU 

👉 Kalau bisa, di hari kerja supaya nggak ramai

👉 Usahakan jam 05.00 sudah sampai supaya nggak ketinggalan sunrise. Kalau dari Yogya (utara) bisa berangkat jam 03.00 jalan santai (kendaraan pribadi, tentunya)

👉 Kalau ingin lihat Borobudur dengan jelas, bawa binokular atau kamera dengan lensa zoom yang mumpuni

👉 Cek ramalan cuaca! Kalau ingin dapat cuaca cerah & kelihatan gunung. Tapi meski mendung view Borobudur+kabut tetap kelihatan kok, gunungnya yang enggak

👉 Bisa sekalian ke Gereja Ayam. Ada jalurnya dari sini, jadi tinggal jalan kaki (± 1 km, kata penduduk lokal)


📷 Cek posisi matahari! Kalau ingin dapat view matahari terbit persis di antara Gunung Merapi-Merbabu

📷 Cari posisi yang enak & setting kamera sebelumnya. Momen sunrise cepet banget, cuma 15 menit. Bahkan hitungan detik itu matahari sudah beda ketinggian, beda sinar yang masuk lensa



| DANAU PURBA BOROBUDUR

Matahari terbit dan Borobudur bisa dibilang tujuan orang-orang pergi ke Punthuk Setumbu. Saat halimun menyelimuti seluruh arah pandang, siluet Borobudur gagah berdiri di puncak bukit, muncul di antara lautan kabut putih. Sekilas, candi yang dibangun di abad 8-9 M ini tampak seperti teratai mekar di tengah danau.


Mungkin, pemandangan seperti ini juga yang dilihat seniman Belanda W.O.J. Nieuwenkamp di era 1900-an, sampai ia mencetuskan ide bahwa "Borobudur adalah candi yang dibangun di tengah danau". Ia tuangkan dugaannya ini di majalah, beberapa kali. Salah satunya dalam artikel berjudul "De Omgeving van den Borobedoer Een Meer?" (Apa Area Sekeliling Borobudur adalah Danau? *CMIIW) yang dimuat di majalah Algemeen Handelsblad pada September 1933. 


Mungkin begini bayangan Nieuwenkamp


Dalam artikel itu, ia mengajukan argumen bahwa candi yang 'ditemukan kembali' tahun 1814 ini  dibangun di atas sebuah pulau di tengah danau yang terbentuk secara alami. Danau ini diduga terbentuk akibat aktivitas gunung-gunung berapi di sekitar Borobudur yang material letusannya membendung sungai. Karena alirannya terbendung, maka terbentuklah danau. 


Di artikel itu, Nieuwenkamp bilang bahwa di era dia hidup, air danau Borobudur sudah mengering. Kemungkinan karena pendangkalan atau aktivitas geologi yang drastis, misalnya gempa. Pendapat itu dianggap memungkinkan oleh Dr. Rutten, seorang ilmuwan yang mempelajari erosi dan dimintai pendapat oleh Nieuwenkamp. Namun, dugaan ini masih perlu diteliti lebih dalam, tambah Dr. Rutten. Jadi pendapat Nieuwenkamp ini masih berupa dugaan.


Peta dugaan Nieuwenkamp 


Nieuwenkamp juga ngasih gambar peta di artikelnya. Di peta yang menggambarkan dugaannya itu, Borobudur tampak berdiri di sebuah pulau yang berdekatan dengan ujung sebuah tanjung, yang ia sebut Klosterkaap (kloster = biara, kaap = tanjung, NL). Tanjung ini, tulisnya, ia bayangkan seperti bukit tinggi untuk para biksu mengawasi Borobudur. Kalau dilihat di peta zaman sekarang, kemungkinan Klosterkaap ini adalah Bukit Dagi/Ndagi yang terletak di barat laut candi. Dari gambar dan info yang ada di dunia maya, bukit ini sekarang bisa didaki dan dari puncaknya bisa kelihatan Borobudur tampak dekat.


Jadi, apa betul Borobudur dibangun di tengah danau?

Ada perbedaan pendapat di kalangan ahli saat itu: iya dan enggak.


Perbedaan pendapat ini kemudian mengilhami sejarawan abad selanjutnya untuk meneliti kebenarannya. Ada riset peneliti Indonesia yang berkesimpulan bahwa: iya, Borobudur dibangun di antara danau, tapi bukan di tengah-tengah air. Seperti apa itu?


Yuk mundur sebentar ke belakang. Para sejarawan Indonesia tersebut setuju bahwa pernah ada danau di kawasan yang sekarang jadi Borobudur. Danau ini adalah danau purba Borobudur yang mulai terbentuk jutaan tahun yang lalu. Pergerakan lempeng bumi saat itu membentuk sebuah cekungan yang nanti jadi cikal-bakal danau.


Cekungan ini lama-lama terisi air dari sungai-sungai yang mengalir di sekitar dan di dalamnya. Periode terisi air ini terjadi sejak 22.000 sampai 600-700an tahun lalu. Selama kurun waktu ini, bentuk danau berubah-ubah; nggak selalu jadi satu genangan luas, tapi kadang juga terpisah-pisah.


20.000-an tahun lalu, danau ini memang masih jadi satu genangan amat besar. Seberapa luas? Luas banget sampai termasuk beberapa kecamatan di sekitar Borobudur. Batas bagian selatannya aja Pegunungan Menoreh, yang kalau sekarang ada kali beberapa kilometer jauhnya. 


Lama-lama danau ini mulai menyusut, mendangkal, atau kering. Pada zaman Borobudur mulaidibangun (sekitar abad ke-8 atau tahun 700-an plus-plus) danau ini sudah jadi jauh lebih kecil dan terpisah jadi dua danau. Candi Borobudur dibangun di daratan yang terletak di antara dua danau ini (tapi bukan di tengah danau, di daratannya). 


Rekonstruksi danau Borobudur (Murwanto, 2011)
YBP = Years Before Present |  Diakses dari S.H.S. Herho

Terus, danau ini sekarang ke mana? Sudah nggak ada karena kering akibat perubahan geologis. Sebabnya macam-macam, antara lain sumber airnya terputus/hilang, kena dampak material vulkanik, dsb. 


Bekas-bekas perairan ini masih bisa dilihat 'jejaknya' kini. Kalau lihat peta, akan nampak bahwa daerah Borobudur dan sekitarnya adalah cekungan. Ada bekas aliran sungai purba yang dulu mengaliri danau lalu kini sudah beralih jadi daratan, yang sekarang jadi sawah. Sawah-sawah ini kalau dilihat letaknya kayak aliran sungai; beralur.


Apa mungkin ini bekas aliran sungai purbanya?

Bekas perairan juga bisa ditelusuri dari nama-nama tempat di sekitarnya. Ada sejumlah desa yang namanya mengandung unsur air, antara lain Bumisegoro (segoro = laut) dan Tanjungsari. Soal inilah yang jadi salah satu alasan mengapa dulu daerah Borobudur diduga punya danau, meski soal danau ini nggak pernah disebut di prasasti atau catatan kuno yang sudah ditemukan. 


Keberadaan sungai atau badan air di sekitar candi diduga penting karena Borobudur diperkirakan melambangkan konsep universe di kosmologi Buddhis. Secara singkat, konsep ini bentuknya seperti ada pusat dunia yang dilingkari oleh lautan dan pegunungan. Gunung-gunung di sekitar Borobudur (Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing) diduga jadi lambang pegunungan di kosmologi tsb, begitu juga sungai dan danau yang ada di sekeliling Borobudur yang jadi lambang penting. 

(anyway soal penentuan lokasi, kosmologi, penamaan, sampai kemiripan Borobudur+lingkungannya dengan konsep alam semesta ini menarik, tapi panjang. Mungkin kita sambung lain kali di postingan selanjutnya? 😄)


Jadi, apakah betul Borobudur dibangun di danau?

Candi ini memang dibangun di tempat yang dulunya adalah danau purba. Namun, candi dibangun di daratan. Riset oleh Helmy Murwanto dan para koleganya menunjukkan bahwa saat candi dibangun, danau purbanya masih ada tapi udah menyusut jauh. Tempat yang dipilih jadi lokasi Borobudur saat itu sudah jadi daratan, meski memang terdapat sungai dan danau di sisi-sisinya. Jadi, pendapat Nieuwenkamp soal Borobudur dibangun di tengah danau agaknya nggak tepat.


💡 BOROBUDUR VIRTUAL TOUR 

Ngomong-ngomong, kita bisa 'mengunjungi' Borobudur secara virtual lewat www.borobudurvirtual.id/virtual-tour/ . Di sini kita bisa ngelihat beberapa bagian dan lorongnya. Sistemnya kayak 360° view di Google Maps. Memang nggak banyak, tapi lumayan untuk yang pengin tahu bangunannya seperti apa.



| PERBUKITAN MENOREH, PERANG JAWA, DAN DIPONEGORO

Menoreh, dilihat dari Punthuk Setumbu


Perbukitan di sekitar Borobudur, di sekitar Punthuk Setumbu, juga menyimpan cerita. Kali ini kisahnya dari zaman yang lebih 'dekat'. Kalau di pembangunan Borobudur tadi kita berkelana ke tahun 700-an Masehi, kali ini kita maju sedikit ke tahun 1800-an. 


Pegunungan Menoreh yang membentang sepanjang mata memandang ternyata jadi setting peristiwa Perang Jawa yang bergejolak. Perang ini berkobar akibat clash antara Diponegoro (seorang pangeran Keraton Yogya) dengan Belanda. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang sebab-musabab perang dan pro-kontra sosok-sosok yang terlibat, perang yang bergolak hampir di seluruh Pulau Jawa ini membuat kas Belanda berkurang banyak.


Singkat cerita, setelah kediaman Pangeran Diponegoro di Puri Tegalrejo (sekarang Museum Sasana Wiratama, Yogya) diserang, beliau dan keluarganya berlindung di Selarong. Gua Selarong terletak di selatan, yang sekarang termasuk Kabupaten Bantul, masih di Provinsi D.I.Y. Setelah Selarong inilah Diponegoro dan pasukannya bergerilya di bukit-bukit Menoreh melawan Belanda (tentang objek wisata Gua Selarong bisa dibaca di postingan yang ini).


Salah satu daerah yang pernah jadi napak tilas Diponegoro adalah desa-desa di Borobudur. Beliau pernah berdiam di Desa Wanurejo yang saat itu berbentuk kadipaten. Di sebuah daerah lain bernama Tingal, ada sebuah masjid kuno dan bedug yang dipercaya jadi genderang perang saat itu. Masjid dan bedugnya masih ada sampai sekarang, meski katanya suara bedugnya nggak sekeras dulu karena sudah tua dan direparasi.


Mengapa Diponegoro dan pasukannya ke arah Borobudur?

Bukan ke arah Borobudurnya sebenarnya, tapi ke Pegunungan Menoreh. Di sini banyak bukit; tempat yang pas untuk mengawasi pergerakan pasukan musuh dari ketinggian. Zaman itu populasi manusia (dan bangunan) nggak sebanyak sekarang. Pergerakan pasukan yang berbondong-bondong relatif mudah kelihatan dari puncak bukit. 


Salaman, Wanurejo, dan letaknya dari Punthuk Setumbu dan Borobudur


Kabarnya inilah salah satu sebab Belanda kesulitan menaklukkan pasukan Diponegoro: karena medannya berbukit-bukit. Dan, naik bukitnya juga butuh effort. Pasukan Diponegoro sudah keburu pindah ke bukit/daerah lain saat pasukan Belanda baru sampai. 


Oleh karena itu, di sekitar perbukitan ini ada banyak petilasan sebagai penanda bahwa Diponegoro dan para jenderalnya sempat singgah. Bahkan konon nama pasukannya ada yang menjadi nama desa hingga sekarang. Nama bukit pun ada yang berasal dari nama petinggi pasukan. Bukit-bukit itu kini ada beberapa di antaranya yang jadi jujugan untuk ngelihat sunrise.


Salah satu bukit yang jadi jujugan sunrise dan jadi tempat singgah pasukan Diponegoro adalah Puncak Gondokusumo/Puncak Gondopurowangi. Namanya diambil dari seorang petinggi pasukan, Gondokusumo. Saya belum pernah ke sana, baru ngecek di Google Maps. Kalau dilihat di internet,  ada jalan akses ke sana. Udah ada tulisan penandanya juga.


(Anyway saya baru tahu kalau 'alibasyah' itu gelar tingkat militer. Ada gelar 'basyah' juga. Keingat pelajaran Sejarah kalau salah satu panglima Diponegoro ada yang namanya Alibasyah Prawirodirjo. Kirain 'Alibasyah' itu namanya, ternyata gelar. Gondokusumo juga punya gelar serupa.)


Daerah sekitar Menoreh dan Borobudur juga menjadi tempat singgah terakhir Pangeran Diponegoro sebelum melanjutkan perundingan ke Magelang. Di sebuah daerah bernama Salaman, beliau sempat tinggal beberapa hari buat memulihkan diri dari malaria. Setelah itu, beliau lanjut ke Magelang.


Di Kota Magelang inilah beliau diundang berunding oleh Jenderal De Kock, tapi ditipu dan akhirnya ditangkap. Peristiwa 'perundingan' dan penangkapan ini terjadi di rumah residen Kedu, yang sekarang jadi museum perang Diponegoro. Setelah ditangkap, Diponegoro diasingkan ke Makassar hingga akhir hidupnya (kalau nggak salah sempat ditahan di Kota Tua Jakarta a.k.a Batavia sebelum lanjut ke Makassar). 


Peristiwa penangkapan Diponegoro di Magelang ini dituangkan dalam lukisan. Satu dalam lukisan Raden Saleh (pernah lihat film "Mencuri Raden Saleh"? Ya lukisan itu), satu dalam lukisan Nicolas Pienemaan. Saya nggak tahu soal seni, hanya aja katanya ada perbedaan antara dua lukisan itu, meski scene-nya sama:

di lukisan Pienemaan, Diponegoro digambarkan lebih pasrah

di lukisan Raden Saleh, Diponegoro digambarkan lebih punya fighting spirit.



Dan... begitulah cerita tentang Setumbu-Borobudur-Menoreh. 

Selain jadi tempat wisata, cerita masa lalunya juga kaya.




=================

Referensi:

  • Balai Konservasi Borobudur. 2020. BUSUR No. 2 feat Yenny Supandi - Danau Purba Borobudur, di Mana Jejaknya. Podcast, Youtube.
  • Balai Konservasi Borobudur. 2020. BUSUR No. 8 ft Transpiosa Riomandha - Yang Terlewatkan di Kawasan Borobudur. Podcast, Youtube.
  • Balai Konservasi Borobudur. 2021. BUSUR No. 15 - Jejak-Jejak Sang Pangeran Diponegoro di Kawasan Borobudur. Youtube.
  • Balai Konservasi Borobudur. 2022. BUSUR ft Salim A. Fillah - Jejak-Jejak Sang Pangeran Diponegoro di Kawasan Borobudur Part 2. Podcast, Youtube.
  • Dongeng Geologi. 2023. Candi Borobudur yang Sempat Terkubur: Sebuah Mahakarya di Atas Danau Purba. Rekaman webinar.
  • Herho, S.H.S. (2018). Reconstruction of quaternary vegetation and climate of Borobudur Lake (thesis proposal).
  • Murwanto, H., and Purwoarminta, A. (2015). Rekonstruksi danau purba Borobudur dengan pendekatan spasiotemporal. Limnotek, 22, 106-117.
  • Murwanto, H., Gunnel, Y., Suharsono, S., Sutikno, S., and Lavigne, F. (2004). Borobudur monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake: chronostratigraphic evidence and historical implications. The Holocene, 14, 467-471.
  • NatGeo Indonesia. (2021). Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur. Diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/132573046/candi-agung-di-tubir-danau-di-balik-perdebatan-telaga-borobudur.
  • Nieuwenkamp, W.O.J. "De Omgeving van Den Boroboedoer Een Meer?". Algemeen Handelsblad, Sept 9, 1933.


=================


Diperbarui pada 2024


Reading Time:

Jumat, 16 Juni 2023

Bunga dan Panas
Juni 16, 2023 2 Comments

 



Sudah beberapa minggu ini cuaca terik. Jangankan hujan, mendung aja baru mampir tadi siang. Mampir doang, sebentar. Akibatnya, tumbuhan pun banyak yang mulai meranggas. Yang nasibnya lebih buruk, ya, mati. Tanaman peliharaan yang ada di pot umumnya lebih kritis karena akarnya nggak 'menjejak' tanah sehingga nggak bebas cari air. Makanya pemandangan tumbuhan hijau yang menguning kemudian kuning-kurus-kering dan mati menjadi sesuatu yang biasa (meski tetap menyedihkan) di musim ini.


Namun, nggak semua tumbuhan seperti itu. Ada juga yang malah berkembang saat suhu beranjak naik dan intensitas matahari makin menggila. Kalau tumbuhan lain mengatur tubuhnya supaya hemat air dengan meranggas (seperti jati) dsb, ada tumbuhan yang justru 'berani' untuk berkembang. Di saat tumbuhan lain cuma 'berani' menumbuhkan beberapa bagian yang krusial aja untuk sekadar bertahan hidup, justru ada tumbuhan lain yang 'dengan happy' tumbuh makin semarak dengan bunga warna-warninya.


Memangnya kenapa kalau ada yang berbunga?

Jadi gini, aktivitas berbunga adalah aktivitas ekstra. Tumbuhan berbunga dengan tujuan apa? Betul, berkembang biak. Karena bunga itu nanti akan jadi buah dan biji yang menghasilkan anakan baru. Berkembang biak, 'melahirkan' anak ini tentunya perlu energi ekstra, sama seperti manusia. Kenapa termasuk aktivitas ekstra? Karena aktivitas 'biasanya' cukup tumbuh atau bertahan hidup saja.


Jadi, kalau ada tumbuhan yang justru mau mengeluarkan energi ekstra di saat kondisi lingkungan sedang nggak bersahabat (alias, sedang panas-panasnya), dia adalah tumbuhan yang berbeda. Tentu, metabolismenya juga berbeda dengan tumbuhan kebanyakan yang justru tumbang di saat yang sama. 


Hari ini, di tepi jalan, di sebuah pot berukuran 40x40 cm, saya melihat bugenvil yang tumbuh rimbun. Bukan daunnya yang rimbun, tapi bunganya. Warna merah jambu, merah hati, dan putih berpadu di satu pot. Di balik bunga-bunga itu, barulah terlihat daun-daun hijau yang telak kalah jumlah. 


Apa cuma bugenvil yang justru berbunga saat cuaca panas? Enggak. Pernah dengar tabebuya? Bunga yang semarak sekali saat berkembang ini juga sama dengan bugenvil. Kalau nggak salah memperhatikan, saat cuaca di Surabaya sudah gerah bener, biasanya beberapa hari setelah itu bunga ini akan memenuhi sepanjang jalan raya. Contoh lain adalah jacaranda, pohon yang bunganya ungu. 


Terus, hm... apa lagi, ya?


Kenapa bunga-bunga ini justru 'bersuka-cita' saat suhu lingkungannya memanas? Penjelasan paling sederhana adalah karena iklimnya cocok; mereka memang suka cuaca panas. Penjelasan lainnya adalah metabolisme tubuhnya justru semakin optimal saat cuaca panas. Entah bagaimana caranya. Saya juga lagi cari-cari, tapi belum nemu.


Kalau sudah nemu alasannya, bakalan di-update di sini 😁 

Atau barangkali ada yang sudah tahu? 


========== 

Poin kedua ini baru terpikirkan belakangan, saat tulisan ini sebenarnya sudah selesai. 


Mengapa pohon tabebuya justru berbunga di musim kemarau, padahal di saat yang sama pohon jati sampai menggugurkan daun-daunnya untuk bertahan hidup? Atau, kenapa bugenvil yang 'cuma' semak, bukan pohon yang sturdy, juga justru bisa berkembang dibanding jati yang kuat?


Saya pernah nemu sebuah ilustrasi dengan beberapa pot tanaman di situ. Tanaman di tiap pot berbeda. Teks yang tertulis di bawahnya kira-kira:

Bila tumbuhan saja butuh kondisi yang berbeda-beda untuk tumbuh dan berkembang, apalagi manusia.

Aaand that hit me. 


Betul juga. Ada tumbuhan yang suka hujan, ada yang kalau kena hujan malah mati. Ada tumbuhan yang suka dipupuk X, ada yang kalau dikasih pupuk X malah mati. Bahkan tumbuhan yang satu spesies dan ditanam di halaman yang sama pun pertumbuhannya bisa berbeda karena faktor-faktor lainnya. Jadi, kenapa manusia yang juga satu spesies dan menyebar di muka bumi dengan kondisi 'lingkungan' yang berbeda-beda, sering disama-samakan?


Oke, memang ada standar tertentu yang bisa (tidak harus) digunakan untuk 'mengukur' tanaman. Misal, rendemen berapa baru boleh dipanen/dijual. Tapi, itu, kan, tanaman komoditas yang memang diperdagangkan? Manusia, kan, bukan.


Ilustrasi di atas (thanks to siapa pun pembuatnya, maaf saya lupa siapa/nemu di mana) terasa sangat uplifting. Seringkali kitamungkin tepatnya sayasuka membandingkan diri-sendiri dengan orang lain. Nggak apa-apa kalau sekali-kali dan tujuannya untuk melecut diri untuk lebih baik. Tapi kalau terlalu sering sampai ngerasa rendah diri dan tertinggal sekali, juga nggak bagus, bukan? 


==========

In frame: bunga kertas / bunga zinnia / Zinnia sp. 

Reading Time:

Jumat, 09 Juni 2023

Shrine Vibes
Juni 09, 20230 Comments

Pekan lalu saya berkunjung ke sebuah peninggalan sejarah di area Trawas, Kab. Mojokerto. Masyarakat sekitaran Mojokerto-Surabaya dan sekitar kayaknya sudah nggak asing dengan Patirtan Jolotundo. Pemandian yang dibuat pada abad ke-10 M ini dulu digunakan anggota kerajaan atau kaum elit seperti brahmana, tapi kini dibuka untuk publik. Makanya kami yang tergolong orang biasa sekarang bisa masuk ke sini, hehe.

 

Kapan itu abad 10 Masehi? Waktu Jawa masih dipimpin Mataram Kuno. Beberapa abad sebelum Majapahit berdiri.

 

Pemandian ini terletak di lembah gunung, masuk ke hutan. Jalan ke pemandian nanjaknya lumayan. Kalau dari jalan biasa lalu masuk ke jalan arah pemandian, kerasa banget bedanya. Begitu masuk, rasanya langsung adem. Sejuk. Pohon-pohon tinggi berbaris di kanan-kiri. Sudah kayak masuk hutan.

 

FYI, area sekitar Gunung Penanggungan—tempat Patirtan Jolotundo berada—ini memang banyak peninggalan sejarah, apalagi era Majapahit. Candi salah satunya. Kalau naik gunung ke Penanggungan lewat jalur Jolotundo, pasti nemu banyak candi di trek pendakiannya (kayak yang pernah saya ceritain di sini).

 

Karena serasa masuk hutan, maka suasananya pun adem. Gimana enggak, kanopi hijau dari pohon-pohon yang umurnya entah sudah berapa puluh tahun, menaungi sepanjang jalan. Suasana di pemandian pun nggak kalah sejuk meski saat itu ramai orang. Apalagi ada kericik suara air dan kecipak pengunjung yang berendam di kolam. Riuh suara orang tua yang ‘ngelarui’ anaknya.

 

Menghindari keramaian, kami jalan agak ke atas. Di sana dibangun beberapa pendopo kecil untuk duduk-duduk. Setelah istirahat sebentar, berkelilinglah saya untuk lihat-lihat. Pada satu titik, tatapan saya terpaku pada sebuah pohon besar.

 

Sebenarnya, pohon itu sama dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Tinggi menjulang ke langit, daunnya banyak bak payung hijau yang menaungi seluruh area. Akarnya kokoh, bermunculan di atas tanah bak otot yang dilatih keras. Kebetulan, waktu itu angin berembus menggugurkan daun-daun kering ke atas tangan. Diiringi denting suara genta dari orang-orang yang sedang sembahyang.

 

Rasanya… seperti lagi di anime atau film-film Jepang.

 



Serasa bak di kuil kuno (ya memang kuil kuno, style lokal/tradisional kita). Pohon-pohon besar di sekeliling kuil menghalau matahari musim panas yang terik. Lalu… wussh, angin menerbangkan helaian kelopak sakura atau daun ginkgo. Kemudian, dari belakang, ada sebuah suara lembut yang memanggil, “Kimi wa….”

 

Eh, lho, ngayalnya kejauhan.

 

Tapi, serius, memang kesan itu yang saya dapat saat berada di sini. Vibes-nya J-drama/anime. Kesan antik, tapi menarik karena serasa klasik. Waktu lihat pohon dan suasana itu malah di kepala langsung terputar lagu Path of The Wind OST-nya kartun Totoro. Kesan damai yang sejuk dan sunyi yang menenangkan. Mungkin karena pada dasarnya saya suka sejarah dan suka hutan kali, ya?

 

Bisa jadi, karena kesan orang lain bisa beda banget. Teman jalan saya saat itu malah merasa klaustrofobi karena seperti dikungkung pohon. Ada pula yang berkata kesannya horor. Hm… beda-beda, ya.

 

Kesan terakhir ternyata banyak juga yang sependapat. Anggapan bahwa bangunan peninggalan sejarah (candi, rumah, dsb) itu horor dan mistis jamak ditemui. Suasana damai atau bahkan romantis seperti yang sering ditampakkan di media tentang kuil Jepang, rasanya berbanding terbalik dengan di sini.

 

Ini maksudnya nggak cuma di lokasi ini aja, ya. Di bangunan lawas atau peninggalan sejarah lainnya juga. Bahkan di candi/bangunan yang terawat.


Kenapa, ya? Awalnya saya pikir karena perbedaan budaya. Namun, sebagai sesama negara Asia, sebenarnya banyak juga kemiripan kita. Kuil/candi sama-sama sakralnya, sama-sama digunakan untuk upacara/sembahyang sampai sekarang. Kalau bicara soal makhluk gaib, di sini dan di Jepang masyarakatnya sama-sama percaya keberadaan makhluk gaib. Macam makhluk astral yang dipercaya pun mirip: sama-sama ada yang baik dan ada juga yang mengganggu manusia.  Namun, dengan kesamaan yang mirip, kenapa anggapan tentang shrine vibes ini bisa beda?


(Disclaimer, ini bukan tulisan serius, yak. Seperti labelnya, ini kebetulan kepikiran alias opini lewat aja.)

 

Bukannya saya ngomong gini karena pernah main ke kuil-kuil Jepang. Belum malah, haha. Namun, Negeri Matahari Terbit itu sering banget memasukkan unsur kuil ke media yang dia siarkan ke dunia. Lewat dorama, anime, film, komik, dan tentu aja kanal pariwisatanya. Bahkan adegan film/novel/komik romance pun bisa berlokasi di kuil. Tampaknya kuil jadi bagian dekat dengan hidup mereka, meski mereka hanya ke kuil bukan setiap hari. Dan, vibes kuil yang ditampakkan di media-media itu lebih friendly. Vibes yang horor atau mistis tetap ada, tapi rasanya lebih sedikit.  

 

Atau mungkin ini karena sepi dan pendapat orang aja? Toh, candi-candi besar seperti Prambanan dan Borobudur nggak dianggap horor oleh masyarakat. Mistis dan empowering, iya, tapi itu adalah kesan yang positif. Mungkin karena sering dikunjungi banyak orang atau lebih dikenal? Kalau bangunan/candi lain, mungkin lebih sedikit orang.

 

Atau mungkin memang karena perbedaan budaya? Biar sama-sama Asia, tapi detail budayanya pasti beda. Atau ada faktor lainnya. Mungkin. 


Beberapa hari setelahnya, saya nggak sengaja lihat foto rumah-rumah tua ala Eropa di sebuah unggahan. Takarirnya sungguh positif: kesan vintage, ajakan membayangkan kehidupan di sana yang classic abis. Dan, sejujurnya, image yang pertama muncul di benak saya memang positif. "Wah, cantik banget. Imut banget." Lantas pikiran saya langsung teringat akan rumah-rumah lawas ala Indonesia: entah joglo, rumah panggung, atau rumah jengki yang sering disangka 'gaya Belanda', dsb. Rumah dan gedung yang menjadi vintage-nya kita. Pendapat saya memang masih sama: mereka sama vintage, classic, dan cantiknya dengan rumah lawas ala Eropa tadi. Tapi pendapat orang belum tentu sama, kan? Kalau ada foto-foto seperti itu, kira-kira apa kesan orang lain akan tetap sama seperti saat mereka ngelihat rumah lawas Barat tadi? Atau berbeda opini dan menganggap bangunan lawasnya kita itu justru horor dan sebaiknya dihindari?



==========

Disclaimer: 
Foto & video bukan bangunan pemandian,
tapi joglo duduk-duduk

Song title: Path of The Wind
Original song by Joe Hisaishi, covered by topcup

Reading Time:

Jumat, 19 Mei 2023

Review Buku: The Journeys 2
Mei 19, 2023 2 Comments

Judul: The Journeys 2, Cerita dari Tanah Air Beta 
Penerbit: Gagasmedia 
Tahun terbit: 2012 (cetakan pertama) 
Tebal: 255 halaman 



“Kamu harusnya lahir sepuluh tahun lebih awal.” Begitu yang biasa diucapkan beberapa teman pada saya. Saya setuju saja karena selera musik saya memang lebih lawas. Namun, untuk buku ini, sepertinya review saya juga harusnya sepuluh tahun lebih awal karena ia terbit satu dekade lalu. 


The Journeys adalah buku berseri. Saya lupa ada berapa, karena yang saya tahu/pernah lihat hanya tiga. Buku pertama pernah saya baca; hasil pinjam dari seorang teman, saat masih berseragam putih abu-abu (review supersingkatnya pernah diulik di postingan ini). Hingga tahun lalu, saya nggak tahu kalau buku ini beranak-pinak. Hingga takdir mengantarkan saya (ceile…) pada sebuah pameran buku tahun lalu. 


Kalau nggak salah pula, di era sepuluh tahun lalu itu, buku-buku travel story dari orang Indonesia mulai membanjir. Sama dengan tren saat itu, The Journeys yang pertama juga bercerita tentang perjalanan penulis-penulisnya mengunjungi negara-negara dunia. Karena saat itu dan hingga kini buku perjalanan macam itu sudah banyak, awalnya saya juga nggak begitu tertarik waktu melihat The Journeys 2 di rak. No offense, semakin banyak buku seperti ini, semakin banyak juga rasanya tulisan yang ketika dibaca serasa laporan yang kaku, bukan teks non-fiksi naratif yang ‘bercerita’. 


Nemun, teks di bawahnya menarik mata saya kemudian. Tagline “Cerita dari Tanah Air Beta” itu… menarik. Buku travel story tentang perjalanan di Indonesia memang tak cuma satu-dua, tapi rasanya masih lebih sedikit (atau kurang populer?) daripada yang perjalanan luar negeri. (Ini konteksnya buku yang dikemas travel story, ya, bukan yang hanya kumpulan tulisan aja). Padahal, keindahan Indonesia sangat boleh diadu dengan mancanegara. Kalau enggak, manalah mungkin jadi salah satu tujuan wisata internasional, meski ya kadang masih kalah dengan negara-negara tetangga kita. 


Tagline tadi bikin saya berharap bahwa The Journeys 2 akan memuat kisah-kisah yang menunjukkan uniknya kelokalan kita atau tempat-tempat hidden gem yang bahkan jarang diketahui WNI sendiri. Apalagi melihat beberapa nama penulis di bawahnya: ada yang jurnalis, pembuat film dokumenter, presenter acara jalan-jalan, dan salah satu travel writer favorit. Dengan latar belakang/pengalaman yang sudah malang-melintang di dunia media, saya jadi berharap buku ini berbeda dengan antologi catatan perjalanan lainnya.


Jadi gimana, apakah sesuai ekspektasi?

Pertama-tama, ada dua belas cerita di sini. Semuanya menyebar dari sekitaran Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan sekitarnya, serta Papua. Sayang nggak ada cerita dari Tanah Sumatra dan Kalimantan. Namun, kisah-kisahnya cukup menarik. Mungkin karena nggak semua yang diceritakan adalah resor atau tempat yang memang jadi tempat wisata.


Ada satu-dua yang menulis tentang tempat terpencil yang hanya dikunjungi kalau ada keperluan khusus; napak tilas misalnya. Memang bukan tempat wisata. Ada pula satu tempat yang ulasannya menarik, tentang batik. Tempat ini sudah umum dikenal soal batiknya, tapi di sini penulis berhasil mengisahkan nggak cuma filosofi di balik kain dan motifnya, tapi juga cerita para pengrajinnya, dengan menarik.


Yang nggak kalah menarik adalah cara berceritanya. Ada satu tulisan yang bercerita tentang sebuah tempat secara umum. Umum di sini maksudnya lokasi yang diceritakan udah umum banget. Sebuah kota yang cukup punya nama, tempat-tempat yang biasa dikunjungi sejuta umat di sana (Lapangan Merdeka Kota Ambon, contohnya). Namun, style tulisannya yang kocak bikin ngalir dan pembaca jadi ikut nyantai ngikutin alur, meski tempat-tempatnya sekilas nggak/kurang berkesan.


Ada pula tulisan lain yang bikin rada kaget. Pasalnya, tulisan satu ini berkisah soal perjalanan penulis liburan ke salah satu daerah yang dilarang. Pemerintah daerah setempat sudah menutupnya dari wisatawan karena asalnya memang bukan tempat wisata, hanya saja tempatnya memang menarik sehingga banyak orang yang nggak tahu lalu main ke sana. Sempat ngebatin, ‘Kok, bisa dimuat? Apa nggak cross check dulu?’. Tapi suudzon itu berakhir setelah baca tahun terbit buku ini: 2012. Oh, pantes. Lha wong ini buku terbit tahun 2012! Larangan itu baru berlaku kurang lebih tiga tahunan setelahnya. Dan, oh, satu lagi subbab yang bikin kaget adalah pengalaman salah satu kontributor waktu ikutan acara nudis. 


Ngomong-ngomong soal cara bercerita, tiap tulisan di sini punya ciri khas sendiri. Efek karena penulisnya banyak. Ada yang lempeng, ada yang mirip itinerary (hari X jam X ke X, dst), ada yang (menurut saya, sih) berusaha ngelucu tapi jatuhnya agak hm…, tapi ada yang memang lucu beneran. Bagian yang saya tunggu tentu aja tulisan yang ditulis oleh orang-orang yang setahu saya biasa mengulik tabir lebih dalam dari sesuatu/suatu tempat (dan emang tulisannya bagus, kayak standar majalah/koran cetak gitulah). Terbukti, sih. Tulisan mereka memang ‘dalem’, selain informatif dan menyentuh. Cerita tentang Digul dan bangkai lumba-lumba, salah dua di antaranya. 


Jadi kalau ditanya gimana isinya, ya, macam-macam. Ada yang bagus, ada yang biasa aja.


Kalau lokasinya gimana?

Nggak bisa disangkal, sebagian besar lokasi yang dituju memang cantik-cantik! Ada yang enggak, tapi memang karena bukan tempat wisata. Jadi indahnya yang alamiah gitu. Kalau soal tempat hidden gem, kayaknya nggak ada. Tempat-tempat itu udah umum diketahui di zaman ini. Kalau di tahun itu, memang ada beberapa yang belum terkenal, kecuali di kalangan orang yang suka jalan-jalan. Lokasi tsb pernah saya tahu di sekitaran tahun terbit buku ini, sayang sampai sekarang belum terwujud ke sana, hahaha. 


Tapi jangan khawatir. Meski belum ke sana, penulis berbaik hati membagikan wujud tempat yang mereka kunjungi. Yup, dengan foto. Spesialnya (dan poin yang bikin saya suka buku ini) adalah… foto-fotonya berwarna! Dan banyak! Nggak pelit, deh! Padahal, biasanya kan buku buat orang dewasa ya gitu-gitu aja: tanpa gambar, tanpa warna, hitam-putih doang. Kalau ada foto atau gambarnya pun terbatas alias sedikit banget. Itu pun dicetak grayscale yang tentu kurang menarik daripada gambar warna-warni. Padahal, orang dewasa yang suka buku+gambar berwarna juga ada, lho. Ya mungkin ini lebih ke alasan ekonomis daripada alasan kesukaan. Nggak bisa dipungkiri kalau makin banyak yang dicetak berwarna, harga jual juga bakal makin tinggi, sehingga ngaruh ke daya beli pasar. 



Karena ini buku antologi, yang artinya ada beberapa tulisan terpisah yang nggak saling berhubungan, maka buku ini cocok buat bahan bacaan orang yang baru mau nyoba kebiasaan membaca atau yang mau kembali memulai hobi/kebiasaan membaca. Sejujurnya akhir-akhir ini saya termasuk jenis kedua: berasa malas-nggak sabar-susah fokus kalau baca buku. Tapi kalau gitu terus, kapan nambah masukan otaknya? :’) Akhirnya saya coba baca buku macam ini. Karena fokusnya nggak bisa lama, maka buku macam ini nggak masalah kalau dibaca sepotong-sepotong sebab antarbab nggak berhubungan. Jadi misal hari ini baca bab 1-3, terus ternyata mutung beberapa hari (di kasus saya malah 1-2 minggu), kita bisa lanjut baca bab selanjutnya tanpa ngerasa lupa cerita sebelumnya. Sebab, biasanya, yang bikin malas lanjut baca adalah karena lupa kisah yang udah dibaca, tapi mau re-read malas, sedangkan kalau lanjut baca bisa jadi nggak nyambung karena lupa detailnya.


Untuk buku yang nggak begitu tebal kayak gini, ternyata sekarang saya butuh waktu satu bulan biar kelar baca. Namun, kalau dihitung-hitung, total hari baca lama cuma lima harian aja. Itu pun, nggak terlalu lama. Paling lama sejam lah; di sela-sela ngurus sesuatu, nunggu servis, dsb. 


Kalau niat emang bisa cepat, kok, sebenarnya. Mengabaikan distraksi (ponsel, terutama) itu yang susah, hahaha. 


Sooo, kalau diringkas, begini review-nya:


Kelebihan (+)

  • Ada cerita yang bagus. Gaya bercerita/secara tulisan juga bagus. Informatif, historis, empatis, komedik juga ada
  • Ada foto berwarna, banyak
  • Cocok buat yang lagi kena reading slump atau mau mulai membaca

Kekurangan (-)

  • Ada cerita yang lempeng aja atau kayak baca laporan  
  • Cerita lokalitas ada, tapi nggak semuanya bercerita ‘dalam’



==========


Di luar pengalaman bepergiannya, ada beberapa hal yang membekas buat saya. Salah satunya adalah kisah satu penulis yang mengajak ibunya travelling. Di situ ia bilang bahwa tempo jalan bareng orang tua (orang tua yang mengasuh kita ataupun orang yang umurnya sudah tua) itu beda. Tentu karena faktor fisik dan usia. Kalau ngajak ortu jalan bareng, sebisa mungkin kita ‘berjalan’ lebih lambat, menyesuaikan tempo mereka. Begitu juga dengan kenyamanan. Orang tua mungkin lebih suka jalan-jalan yang mengutamakan kenyamanan dibanding anak muda yang ‘geletakan di mana pun tetap bisa tidur nyenyak’. Apalagi kalau ortunya jarang travelling. Jangan sampai sesi bepergian dengan kita malah bikin mereka nggak nyaman atau kapok, kalau kita masih pengin jalan bareng lagi. 


Buat saya, pendapat itu membekas.

Saya cenderung cepat saat berjalan atau bepergian. Tipe yang ngejar tempat sebanyak mungkin dan menikmatinya sepuas mungkin. Jadi, waktu yang 'dipangkas', ya, semacam makan atau jalan (literally). Belakangan, saat jalan bareng ortu, saya merasa tempo saya diperlambat. Ucapan seperti, “Jangan jalan cepat-cepat” menjadi kian familiar seiring bertambahnya usia mereka. Bisa ditebak, waktu perjalanan pun jadi makin lama. Tapi, ya, travelling kan buat senang-senang. Kalau yang satu nggak enjoy, what for? Akhirnya saya pun kompromi: ‘berjalan’ lebih lambat, nggak jarang mengunjungi lebih sedikit tempat daripada biasanya. Di setiap tempat pun kami siasati dengan menambahkan waktu istirahat yang cukup supaya nggak terlalu capek saat ‘jalan’ lagi. 


Memang, jadinya ada lebih sedikit destinasi yang dikunjungi. Tapi memang baiknya begitu: saling kompromi. Si anak muda (saya) berkompromi dengan ‘jalan’ lebih santai, sedangkan di lain kesempatan para orang tua berkompromi dengan, misalnya, mengunjungi tempat yang lebih ke style anak muda. Oh, tentu ini berlaku kalau jalan-jalan personal, bukan group tour. Kalau yang itu, setahu saya ada beberapa organiser yang menyediakan paket sesuai usia/tempo.


Terakhir, mungkin kita perlu berjalan sesuai tempo masing-masing. Nggak cuma berjalan secara harfiah atau jalan-jalan, tapi juga ‘berjalan’ meniti jembatan rapuh bernama kehidupan. 


Packing itu belajar memilih, mana-mana saja yang kita bawa dan pertahankan, seperti halnya memilih siapa yang akan kita masukkan ke hati. Hidup adalah perjalanan, hati adalah koper. Bawa secukupnya di dalamnya.

         Rahne Putri, salah satu kontributor tulisan The Journeys 2


Reading Time:

Minggu, 19 Maret 2023

Different 'Explore'
Maret 19, 20230 Comments


Beberapa minggu belakangan, Instagram explore rasanya jadi tak semenarik dulu. 'Kebetulan' explore saya isinya mayoritas foto-foto lanskap/objek dan konten sejenis. Sekilas isinya masih sama dengan, katakanlah, satu-dua tahunan yang lalu. Tapi, rasanya beda aja.


Apakah foto-fotonya nggak keren? Menarik, kok. Foto yang muncul toh bervariasi. Lokasinya bervariasi, mulai dari di dalam negeri sampai luar negeri, dari tempat yang ikonik hingga yang pelosok. Objeknya jangan ditanya: gedung, pemandangan, reruntuhan, rumah orang, you name itTone warna dari yang gelap sampai terang banget, ada. Memang, nggak semua foto yang muncul adalah yang 'jarang'. Tempat atau potret yang ikonik tentu muncul lebih sering. Namun toh 'eksekusinya' nggak sama. 


Terus, kenapa jadi bosan kalau foto-fotonya bagus dan variatif?

Mungkin, justru karena terlalu sering lihat. Jadinya serasa, "Lu lagi, lu lagi."


Lihat foto sakura, "Ah sakura lagi." Padahal yang tadi sakura merah jambu, sekarang sakura putih. Lihat potret gunung, "Ah lokasi pengambilannya dari sini lagi." Padahal yang tadi diambil pas sunrise, yang ini dipotret saat malam. Dan, sebagainya.


Ini bikin keingat salah satu bagian di buku Geography of Bliss. Di sana dibilang kalau tingkat kebahagiaan pada manusia akan kembali di level sebelumnya bila ia terekspos kebahagiaan dalam waktu yang lama. Katakanlah, tingkat kebahagiaan seseorang konstan di angka 3. Lalu tiba-tiba ia diberi sesuatu yang membahagiakan (contohnya rezeki nomplok/cinta/lifestyle idaman/simply foto kesukaan seperti kasus saya), kebahagiaannya akan naik ke angka 8 atau mungkin 10. Namun, kalau ia dipapar sumber kebahagiaan ini dalam waktu cukup lama, ia akan merasa terbiasa. Kesenangan tadi nggak jadi suatu pemantik kembang api dalam hati, sehingga kebahagiaannya akan turun ke angka yang mirip seperti semula. 


Kenapa?

Ya karena udah terbiasa. Ketika ada suatu perubahan, manusia akan selalu merespons hal itu, baik dengan respons positif ataupun negatif. Tapi kalau perubahan itu dialami tiap hari, ya bukan perubahan lagi namanya, tapi rutinitas. And there's nothing new in a routine


Mungkin itu sebabnya beberapa hal yang dulunya terlihat sangat keren atau kelihatan sangat menantang, kini tak lagi semendebarkan seperti ketika dialami pertama kali. Berita buruknya adalah ini nggak cuma terjadi pada hal semacam barang, tapi juga pada hal yang lebih abstrak macam lifestyle atau perasaan. 


Dan, ini memang subjektif sekali. Hal yang kita anggap ngebosenin, bisa jadi oleh orang lain adalah hal yang exhilarating. Ketika pelesiran ke sebuah desa di kaki Gunung Arjuno, Jawa Timur, saya pernah ngobrol dengan seorang pemuda seusia. Ia warga lokal. Kami bertemu di sebuah warung dan ngobrol karena basa-basi aja.


"Enak, ya, di sini. Hawanya adem, udaranya seger. Pemandangannya bagus, lagi," ujar saya.

"Iya. Healing-nya tinggal ke belakang rumah udah ketemu gunung-hutan," selorohnya.

"Nggak perlu jauh-jauh motoran. Enak jadi nggak gampang bosan."

"Nggak juga, sering bosan juga karena tiap hari ketemunya ini. Saya malah pengin main ke kota sampeyan. Kayaknya lebih rame, lebih seru!"

Rupanya kami berkebalikan. Saya motoran berjam-jam demi lihat desa, dia berjam-jam motoran juga demi melihat kota. Sebab rutinitas kami berbeda; bosannya beda, kebahagiannya berbeda juga. Saya yang tiap hari ketemu keramaian, cari kebahagiaan dengan main ke kaki gunung yang lebih senyap. Dia yang tiap hari ketemu gunung, cari kebahagiaan dengan main ke kota yang penuh suara. 


Ya ini mirip sih sama yang pernah diceritain di sini (Euforia Kebaruan). 


Mungkin, kalau saya tinggal lama di desa, saya juga nggak akan menganggap kaki gunung itu semenarik dan setentram ini. Mungkin saya akan sama seperti mas tadi, yaitu weekend main ke kota yang lebih 'hidup'. Mungkin, kalau saya tinggal di tempat yang jadi tujuan wisata, saya juga bakal berasa biasa aja. Seuatu yang keren buat wisatawan, mungkin akan jadi hal yang biasa aja dan nggak bikin saya tertarik. 


Ini pernah kejadian beberapa kali pada saya dan teman. Teman saya adalah warga Yogya tulen. Saat di Yogya, kami main ke Sekaten, sebuah festival peringatan maulid Nabi Muhammad. Tanya-tanyalah saya soal beberapa hal. Teman saya menjawab nggak tahu.

"Kalau tahun-tahun sebelumnya gimana, gini juga atau beda?"

"Hm... nggak tahu. Aku juga baru pertama kali ke Sekaten."

Kadang peristiwa yang berkebalikan juga terjadi, yaitu saat saya ditanyai teman gimana suasana di festival X atau lokasi Y yang ada di kota saya dan saya jawab nggak tahu karena belum pernah ke situ.


Ya, karena buat kami itu adalah 'sesuatu yang sehari-hari' sehingga nggak menarik lagi. Tapi toh tetap menarik buat orang lain. Dulu, saya sempat mengernyit kalau ada turis lokal ataupun bule yang berwisata ke kota saya. Ngapain? Apa yang dilihat? Gedung doang gini. Little did I know there's something interesting. Sisi sejarah, arsitektur, bahkan kebiasaan yang buat saya 'biasa aja' jadi terlihat menarik sampai bisa dijual sebagai package wisata.


Perspektif lain ini baru beneran bikin saya ngeh saat travelling beberapa saat lalu. Tempat wisatanya terkenal banget. Branding ke luar negerinya juga joss. Saat ngobrol dengan warga setempat, saya nyeletuk, "Bagus, ya, di sini. Unik. Ada filosofi dan sebagainya." Teman bicara saya yang warga setempat menanggapi, "Ah enggak, Kak. Biasa aja sebenernya."


Lha? Padahal saya ngerasa unik banget. Dan tentu unik juga buat orang lain sampai bisa 'dijual' ke turis lokal dan wisman. Tapi, oh, ada toh yang ngerasa ini nggak unik.


Betul juga. Karena untuknya sudah menjadi hal yang rutin, bukan cuma pertunjukan, tapi sudah mendarah-daging menjadi kebiasaan. Di sisi lain, saya atau wisatawan lain justru baru kali ini menemui hal kayak gini, sehingga nge-hype. Mungkin perasaannya mirip kayak saya waktu ngelihat ada turis main ke kota saya.


Barangkali itu sebabnya ada hal-hal spesial yang sebaiknya memang jarang ditemui. Ketika ditemui, jadi lebih terasa euforianya. Liburan atau travelling pun nggak akan terasa seasyik itu kalau liburan terus; butuh waktu untuk goleran aja nggak ngapa-ngapain. Atau Ramadan dan lebaran misalnya, terasa euforianya karena cuma sekali setahun. Selain capek juga ya puasa setahun penuh atau hari raya sebulan penuh. Lah, lebaran aja kadang paginya senang-senang, siangnya udah terasa keramaiannya berkurang. Malamnya udah lempeng aja kayak hari-hari biasanya.


Mungkin emang kadang perlu keluar dari kebiasaan supaya bisa dapat 'rasa' yang lain pula. Sesekali. Serupa dengan keluar dari bubble explore di Instagram supaya bisa lihat konten-konten jenis lain. 

Reading Time: