Punthuk Setumbu jadi salah satu tempat yang cocok banget dijadikan tujuan untuk nunggu matahari terbit. Nggak cuma sunrise, dari sini kita bisa ngelihat gunung-gunung (Merapi-Merbabu), perbukitan di Menoreh, dan Borobudur.
Dan, selain pemandangannya, kisah masa lalunya juga kaya.
Index: click to jump to particular part
- Punthuk Setumbu: tentang, rute, tips -
Di sekitar Setumbu:
- Menoreh, Perang Jawa, dan Borobudur -
[Disclaimer: beberapa kisah dan penjelasan yang berhubungan dengan sejarah dan kebumian diambil dari beberapa referensi. Namun, bisa aja ada kekeliruan dalam tulisan ini karena saya salah memahami/salah interpretasi. Jadi mohon maaf kalau ada ketidaktepatan isi, harap cross-check ke sumber yang lebih kredibel atau sumber primer]
Beberapa tahun lalu, saat pertama
ngulik dasar-dasar fotografi, saya nemu sebuah website dengan foto yang bikin menahan napas lama karena cantik banget: foto Candi Borobudur. Candi Buddha terbesar di dunia itu tengah dibalut kabut putih supertebal. Di sekitarnya, baris-baris perbukitan dan gerumbul
pepohonan. Semuanya bermandikan cahaya oranye mentari pagi yang tampak hangat.
Pemandangan ini magical banget buat saya. Rasanya kayak ngelihat sebuah istana di
negeri awan.
Fotografer asing sang pemilik website
menyebutkan sebuah tempat pengambilan foto: Punthuk Setumbu. Saya pun browsing
mencari tahu tempat ini. Ternyata ini adalah sebuah bukit di Magelang, tak jauh
dari Candi Borobudur berdiri.
Waktu itu internet belum secanggih
sekarang. Instagram belum booming sehingga kalau mau cari foto-foto buat
referensi, ya, lewat Google; lewat website. Website fotografer tadi hanya menyebut nama tempat, tanpa ada rute jalan atau ancer-ancernya. Mungkin memang ia nggak tahu jalan dan
mengandalkan guide, mungkin juga karena saat itu Punthuk Setumbu belum
jadi tempat wisata sehingga jalannya belum jelas.
Hal senada saya dengar ketika
ngobrol dengan salah seorang warga lokal saat main ke sana, 2017 lalu.
“Dulu di sini belum rame. Nggak ada
begini ini (menunjuk platform foto, gazebo joglo, dan pagar). Ya benaran
cuma bukit, banyak tumbuhannya. Sangat rimbun begitu. Yang ke sini kebanyakan bule buat lihat matahari terbit, atau orang yang suka foto-foto,” ujar bapak itu.
Setahu saya memang bukit ini baru
ramai beberapa tahun kemudian. Lalu makin ramai ketika sebuah film box
office nasional syuting di dekat sana.
Dulu waktu pertama browsing, rute menuju ke sana pun nggak sejelas sekarang. Kalau nggak salah ingat, poin Punthuk Setumbu belum ada di Google Maps, begitu pun rutenya. Saya mengandalkan ancer-ancer yang bertebaran acak di website dan forum online, sembari bertanya-tanya sendiri gimana kalau mau jalan ke tempat yang (saat itu) relatif terpencil sedangkan saya nggak tahu medan. Apalagi kalau mau berburu sunrise artinya harus jalan malam (yang artinya nggak bisa nanya arah ke warga karena pasti pada tidur dan transpor umum nggak jalan), padahal saya belum bisa nyetir.
Dalam diam dan ketidakpastian,
Punthuk Setumbu saya simpan dalam wishlist lokasi yang ingin dikunjungi.
Beberapa tahun kemudian, alhamdulillah saya akhirnya diberi kesempatan main ke Punthuk Setumbu. Yes!!! Bukit itu sudah jadi tempat wisata. Akses jalan ke sana lebih mudah dan rutenya sudah tersedia di Google Maps.
[NB: klik foto/gambar untuk tampilan yang lebih jelas dan detail. Nggak tahu kenapa gambarnya kurang jelas atau ketarik kalau cuma di-scroll]
Punthuk Setumbu berarti "Bukit Setumbu". Dalam bahasa Jawa, bukit disebut 'punthuk'. Ada juga yang nyebut 'puthuk'/'putuk'. Penyebutan versi ini saya temui di Jawa Timur.
Untuk menikmati sunrise di
Punthuk Setumbu memang agak butuh pengorbanan. Kita harus datang sebelum
subuh supaya nggak ketinggalan matahari terbit. Akhirnya dengan berboncengan,
saya dan seorang teman berangkat pukul 03.00 dari Yogya utara menuju Magelang. Kami
sampai di lokasi sekitar pukul 05.00.
Dari Yogya, rutenya relatif mudah. Ikuti aja Jl. Yogya-Magelang sampai ketemu gapura (memasuki area) Borobudur di kiri jalan. Belok ke situ, lalu tinggal ikuti Google Maps sampai ke parkiran Punthuk Setumbu. Bukit ini jaraknya kira-kira 5 km-an dari Borobudur, jadi ya agak jauh juga masuknya dari gapura jalan raya.
Oh ya, sesaat setelah masuk gapura,
jangan lupa lihat sisi jalan. Kalau lewat sebelum subuh, dari tepi jalan akan
terlihat Candi Pawon yang tampak megah bermandikan cahaya lampu sorot. Cantik!
Serasa ngelihat istana. Agak mendekati Punthuk Setumbu, di sisi kanan kita juga
bisa lihat kerlap-kerlip dari bangunan resor mewah Amanwana yang dibangun
menyerupai Borobudur.
Kami sampai di parkiran Punthuk
Setumbu. Untuk ke parkiran, jalannya berkerikil dan sedikit naik. Ada sebuah
loket di sana. Tiket masuknya Rp10.000,00 per orang, sedangkan harga parkir
standar (lima ribu untuk motor? Kalau nggak salah ingat).
Apa dari parkiran kita bisa langsung ngelihat sunrise?
Oh enggak. Kita harus jalan kaki lagi, naik tangga untuk mencapai puncak bukit. Jalannya nggak terlalu jauh, sekitar 15 menit jalan santai. Pun naiknya nggak terlalu melelahkan (kerasa capek kalau sangat nggak terbiasa jalan kaki). Baru setelah melewati terundak demi terundak, kita akan sampai di sebuah tanah datar yang menghadap timur. Ada beberapa joglo di sana.
Saya dan teman sengaja main ke
tempat ini di hari kerja supaya nggak terlalu ramai. Namun oh-la-la~ ternyata strategi
ini pun rada meleset karena tetap ramai, haha. Tapi syukurlah bukan ramai yang
macam umpel-umpelan. Tetap banyak orang, tapi nggak sampai berdesak-desakan banget. Cuma, ya, banyak orang berarti sudah nggak bisa memilih
posisi untuk ambil foto sesuai keinginan.
Dua kali ke Punthuk Setumbu, saya
melihat tempat-tempat strategis—di pinggir pagar—sudah dipenuhi orang padahal kami sudah datang sebelum subuh. Banyak
di antaranya fotografer yang memasang tripod dengan lensa kamera yang aduhai
tak diragukan kualitasnya. Kali pertama, karena lebih ramai, kami stay
di agak belakang. Baru setelah matahari agak naik, kami bisa agak mendekat ke
tepi pagar. Kali kedua, karena lebih sepi meski kami datang lebih mepet sunrise,
kami tetap dapat tempat di tepi pagar.
Pagar di Punthuk Setumbu ini juga unik. Beberapa kepala pagar dihiasi dengan tiruan stupa Borobudur. Jadi meski bukan berada di candi itu, vibes-nya tetap ‘Borobudur banget’. Seperti foto di awal halaman tadi. Mungkin ada yang mengira foto tadi diambil di Borobudur, padahal dijepret dari Punthuk Setumbu. Buat saya, pagar ini jadi framing yang bagus untuk foto dan ngasih kesan Borobudurnya.
Lalu di mana letak Borobudur dilihat
dari Punthuk Setumbu?
Candi Buddha terbesar dunia itu
dapat dilihat lurus di hadapan pagar, sisi agak kanan. menyembul dari pelukan kabut. Mencarinya memang harus teliti karena ia seperti menjadi satu dengan
lanskap alam di sekelilingnya. Dan, dilihat dengan mata telanjang, ukurannya
memang nampak sangat kecil. Foto-foto yang menampilkan Borobudur dan kabut biasanya
diambil dengan lensa dengan kemampuan zoom.
Kali pertama main ke Punthuk Setumbu,
cuaca agak mendung. Kami ‘hanya’ bisa menikmati lanskap Perbukitan Menoreh yang
berlarik-larik. Borobudur tetap terlihat. Namun, kali kedua, cuaca lagi cerah-cerahnya. Kabut yang ada di awal, membuka tabir yang menutupi Gunung
Merapi dan Merbabu di kejauhan. Pemandangan itu merupakan surprise bagi
saya karena nggak nyangka mereka akan terlihat dari sini. Dan kelihatan jelas banget! Sebab pada kunjungan
pertama, dua gunung itu nggak terlihat sama sekali. Kirain memang nggak bisa
terlihat dari arah sini.
Kunjungan kedua juga menyimpan surprise lain:
Pemandangan sangat menakjubkan
dengan matahari yang terbit persis di tengah dua gunung, seperti di gambar anak-anak TK/SD. Iya, matahari terbit tepat di antara Merbabu dan Merapi, menampilkan
pemandangan dua gunung yang terletak berdampingan. Padahal, meski
berdekatan, jarak mereka cukup jauh.
Momen itu tentu aja nggak kami lewatkan lewat kamera. Kapan lagi bisa kebetulan dapat golden sunrise dengan view keren abis gini?
Kalau ditanya apa kami ngecek
kalender astronomi dsb untuk dapat momen matahari-di-tengah ini, jawabannya
enggak. Memang rezeki aja. Kami juga kaget kok pas banget, haha.
Namun kalau ingin ditelusuri, mungkin bisa cek semacam kalender astronomi(?)
untuk memastikan posisi matahari. Foto ini kami dapat di awal bulan Mei 2017.
Tips juga untuk yang ingin ambil
momen sunrise:
pastikan kondisi sudah siap, baik
posisi/kamera/diri sendiri. Pasalnya, detik-detik matahari muncul sampai agak
naik (yang artinya sudah ‘agak’ tidak menarik untuk difoto) hanya berlangsung
dalam hitungan menit. Dalam foto sunrise di atas, jarak antara matahari
muncul dari balik gunung sampai betul-betul kelihatan di langit hanya berjarak
10-15 menit. Beda detik, sudah beda sinar yang didapat. Kebetulan kamera saya agak
error sehingga flare matahari terlihat jelas bedanya padahal
hanya beda detik. (Kalau kamera normal, kayaknya flare ini harusnya
nggak terlihat)
Kami tetap tinggal di Punthuk
Setumbu hingga matahari naik. Meski momen golden hour sudah lewat, tapi
pemandangan setelahnya tetap memesona. Larik-larik lahan dan sawah di kejauhan,
siluet pegunungan, dan corak Perbukitan Menoreh sangat sayang kalau dilewatkan.
💡 TIPS TRAVELLING KE PUNTHUK SETUMBU
👉 Kalau bisa, di hari kerja supaya nggak ramai
👉 Usahakan jam 05.00 sudah sampai supaya nggak ketinggalan sunrise. Kalau dari Yogya (utara) bisa berangkat jam 03.00 jalan santai (kendaraan pribadi, tentunya)
👉 Kalau ingin lihat Borobudur dengan jelas, bawa binokular atau kamera dengan lensa zoom yang mumpuni
👉 Cek ramalan cuaca! Kalau ingin dapat cuaca cerah & kelihatan gunung. Tapi meski mendung view Borobudur+kabut tetap kelihatan kok, gunungnya yang enggak
👉 Bisa sekalian ke Gereja Ayam. Ada jalurnya dari sini, jadi tinggal jalan kaki (± 1 km, kata penduduk lokal)
📷 Cek posisi matahari! Kalau ingin dapat view matahari terbit persis di antara Gunung Merapi-Merbabu
📷 Cari posisi yang enak & setting kamera sebelumnya. Momen sunrise cepet banget, cuma 15 menit. Bahkan hitungan detik itu matahari sudah beda ketinggian, beda sinar yang masuk lensa
Matahari terbit dan Borobudur bisa dibilang tujuan orang-orang pergi ke Punthuk Setumbu. Saat halimun menyelimuti seluruh arah pandang, siluet Borobudur gagah berdiri di puncak bukit, muncul di antara lautan kabut putih. Sekilas, candi yang dibangun di abad 8-9 M ini tampak seperti teratai mekar di tengah danau.
Mungkin, pemandangan seperti ini juga yang dilihat seniman Belanda W.O.J. Nieuwenkamp di era 1900-an, sampai ia mencetuskan ide bahwa "Borobudur adalah candi yang dibangun di tengah danau". Ia tuangkan dugaannya ini di majalah, beberapa kali. Salah satunya dalam artikel berjudul "De Omgeving van den Borobedoer Een Meer?" (Apa Area Sekeliling Borobudur adalah Danau? *CMIIW) yang dimuat di majalah Algemeen Handelsblad pada September 1933.
Mungkin begini bayangan Nieuwenkamp |
Dalam artikel itu, ia mengajukan argumen bahwa candi yang 'ditemukan kembali' tahun 1814 ini dibangun di atas sebuah pulau di tengah danau yang terbentuk secara alami. Danau ini diduga terbentuk akibat aktivitas gunung-gunung berapi di sekitar Borobudur yang material letusannya membendung sungai. Karena alirannya terbendung, maka terbentuklah danau.
Di artikel itu, Nieuwenkamp bilang bahwa di era dia hidup, air danau Borobudur sudah mengering. Kemungkinan karena pendangkalan atau aktivitas geologi yang drastis, misalnya gempa. Pendapat itu dianggap memungkinkan oleh Dr. Rutten, seorang ilmuwan yang mempelajari erosi dan dimintai pendapat oleh Nieuwenkamp. Namun, dugaan ini masih perlu diteliti lebih dalam, tambah Dr. Rutten. Jadi pendapat Nieuwenkamp ini masih berupa dugaan.
Peta dugaan Nieuwenkamp |
Nieuwenkamp juga ngasih gambar peta di artikelnya. Di peta yang menggambarkan dugaannya itu, Borobudur tampak berdiri di sebuah pulau yang berdekatan dengan ujung sebuah tanjung, yang ia sebut Klosterkaap (kloster = biara, kaap = tanjung, NL). Tanjung ini, tulisnya, ia bayangkan seperti bukit tinggi untuk para biksu mengawasi Borobudur. Kalau dilihat di peta zaman sekarang, kemungkinan Klosterkaap ini adalah Bukit Dagi/Ndagi yang terletak di barat laut candi. Dari gambar dan info yang ada di dunia maya, bukit ini sekarang bisa didaki dan dari puncaknya bisa kelihatan Borobudur tampak dekat.
Jadi, apa betul Borobudur dibangun di tengah danau?
Ada perbedaan pendapat di kalangan ahli saat itu: iya dan enggak.
Perbedaan pendapat ini kemudian mengilhami sejarawan abad selanjutnya untuk meneliti kebenarannya. Ada riset peneliti Indonesia yang berkesimpulan bahwa: iya, Borobudur dibangun di antara danau, tapi bukan di tengah-tengah air. Seperti apa itu?
Yuk mundur sebentar ke belakang. Para sejarawan Indonesia tersebut setuju bahwa pernah ada danau di kawasan yang sekarang jadi Borobudur. Danau ini adalah danau purba Borobudur yang mulai terbentuk jutaan tahun yang lalu. Pergerakan lempeng bumi saat itu membentuk sebuah cekungan yang nanti jadi cikal-bakal danau.
Cekungan ini lama-lama terisi air dari sungai-sungai yang mengalir di sekitar dan di dalamnya. Periode terisi air ini terjadi sejak 22.000 sampai 600-700an tahun lalu. Selama kurun waktu ini, bentuk danau berubah-ubah; nggak selalu jadi satu genangan luas, tapi kadang juga terpisah-pisah.
20.000-an tahun lalu, danau ini memang masih jadi satu genangan amat besar. Seberapa luas? Luas banget sampai termasuk beberapa kecamatan di sekitar Borobudur. Batas bagian selatannya aja Pegunungan Menoreh, yang kalau sekarang ada kali beberapa kilometer jauhnya.
Lama-lama danau ini mulai menyusut, mendangkal, atau kering. Pada zaman Borobudur mulaidibangun (sekitar abad ke-8 atau tahun 700-an plus-plus) danau ini sudah jadi jauh lebih kecil dan terpisah jadi dua danau. Candi Borobudur dibangun di daratan yang terletak di antara dua danau ini (tapi bukan di tengah danau, di daratannya).
Rekonstruksi danau Borobudur (Murwanto, 2011) YBP = Years Before Present | Diakses dari S.H.S. Herho |
Terus, danau ini sekarang ke mana? Sudah nggak ada karena kering akibat perubahan geologis. Sebabnya macam-macam, antara lain sumber airnya terputus/hilang, kena dampak material vulkanik, dsb.
Bekas-bekas perairan ini masih bisa dilihat 'jejaknya' kini. Kalau lihat peta, akan nampak bahwa daerah Borobudur dan sekitarnya adalah cekungan. Ada bekas aliran sungai purba yang dulu mengaliri danau lalu kini sudah beralih jadi daratan, yang sekarang jadi sawah. Sawah-sawah ini kalau dilihat letaknya kayak aliran sungai; beralur.
Apa mungkin ini bekas aliran sungai purbanya? |
Bekas perairan juga bisa ditelusuri dari nama-nama tempat di sekitarnya. Ada sejumlah desa yang namanya mengandung unsur air, antara lain Bumisegoro (segoro = laut) dan Tanjungsari. Soal inilah yang jadi salah satu alasan mengapa dulu daerah Borobudur diduga punya danau, meski soal danau ini nggak pernah disebut di prasasti atau catatan kuno yang sudah ditemukan.
Keberadaan sungai atau badan air di sekitar candi diduga penting karena Borobudur diperkirakan melambangkan konsep universe di kosmologi Buddhis. Secara singkat, konsep ini bentuknya seperti ada pusat dunia yang dilingkari oleh lautan dan pegunungan. Gunung-gunung di sekitar Borobudur (Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing) diduga jadi lambang pegunungan di kosmologi tsb, begitu juga sungai dan danau yang ada di sekeliling Borobudur yang jadi lambang penting.
(anyway soal penentuan lokasi, kosmologi, penamaan, sampai kemiripan Borobudur+lingkungannya dengan konsep alam semesta ini menarik, tapi panjang. Mungkin kita sambung lain kali di postingan selanjutnya? 😄)
Jadi, apakah betul Borobudur dibangun di danau?
Candi ini memang dibangun di tempat yang dulunya adalah danau purba. Namun, candi dibangun di daratan. Riset oleh Helmy Murwanto dan para koleganya menunjukkan bahwa saat candi dibangun, danau purbanya masih ada tapi udah menyusut jauh. Tempat yang dipilih jadi lokasi Borobudur saat itu sudah jadi daratan, meski memang terdapat sungai dan danau di sisi-sisinya. Jadi, pendapat Nieuwenkamp soal Borobudur dibangun di tengah danau agaknya nggak tepat.
💡 BOROBUDUR VIRTUAL TOUR
Ngomong-ngomong, kita bisa 'mengunjungi' Borobudur secara virtual lewat www.borobudurvirtual.id/virtual-tour/ . Di sini kita bisa ngelihat beberapa bagian dan lorongnya. Sistemnya kayak 360° view di Google Maps. Memang nggak banyak, tapi lumayan untuk yang pengin tahu bangunannya seperti apa.
| PERBUKITAN MENOREH, PERANG JAWA, DAN DIPONEGORO
Menoreh, dilihat dari Punthuk Setumbu |
Perbukitan di sekitar Borobudur, di sekitar Punthuk Setumbu, juga menyimpan cerita. Kali ini kisahnya dari zaman yang lebih 'dekat'. Kalau di pembangunan Borobudur tadi kita berkelana ke tahun 700-an Masehi, kali ini kita maju sedikit ke tahun 1800-an.
Pegunungan Menoreh yang membentang sepanjang mata memandang ternyata jadi setting peristiwa Perang Jawa yang bergejolak. Perang ini berkobar akibat clash antara Diponegoro (seorang pangeran Keraton Yogya) dengan Belanda. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang sebab-musabab perang dan pro-kontra sosok-sosok yang terlibat, perang yang bergolak hampir di seluruh Pulau Jawa ini membuat kas Belanda berkurang banyak.
Singkat cerita, setelah kediaman Pangeran Diponegoro di Puri Tegalrejo (sekarang Museum Sasana Wiratama, Yogya) diserang, beliau dan keluarganya berlindung di Selarong. Gua Selarong terletak di selatan, yang sekarang termasuk Kabupaten Bantul, masih di Provinsi D.I.Y. Setelah Selarong inilah Diponegoro dan pasukannya bergerilya di bukit-bukit Menoreh melawan Belanda (tentang objek wisata Gua Selarong bisa dibaca di postingan yang ini).
Salah satu daerah yang pernah jadi napak tilas Diponegoro adalah desa-desa di Borobudur. Beliau pernah berdiam di Desa Wanurejo yang saat itu berbentuk kadipaten. Di sebuah daerah lain bernama Tingal, ada sebuah masjid kuno dan bedug yang dipercaya jadi genderang perang saat itu. Masjid dan bedugnya masih ada sampai sekarang, meski katanya suara bedugnya nggak sekeras dulu karena sudah tua dan direparasi.
Mengapa Diponegoro dan pasukannya ke arah Borobudur?
Bukan ke arah Borobudurnya sebenarnya, tapi ke Pegunungan Menoreh. Di sini banyak bukit; tempat yang pas untuk mengawasi pergerakan pasukan musuh dari ketinggian. Zaman itu populasi manusia (dan bangunan) nggak sebanyak sekarang. Pergerakan pasukan yang berbondong-bondong relatif mudah kelihatan dari puncak bukit.
Salaman, Wanurejo, dan letaknya dari Punthuk Setumbu dan Borobudur |
Kabarnya inilah salah satu sebab Belanda kesulitan menaklukkan pasukan Diponegoro: karena medannya berbukit-bukit. Dan, naik bukitnya juga butuh effort. Pasukan Diponegoro sudah keburu pindah ke bukit/daerah lain saat pasukan Belanda baru sampai.
Oleh karena itu, di sekitar perbukitan ini ada banyak petilasan sebagai penanda bahwa Diponegoro dan para jenderalnya sempat singgah. Bahkan konon nama pasukannya ada yang menjadi nama desa hingga sekarang. Nama bukit pun ada yang berasal dari nama petinggi pasukan. Bukit-bukit itu kini ada beberapa di antaranya yang jadi jujugan untuk ngelihat sunrise.
Salah satu bukit yang jadi jujugan sunrise dan jadi tempat singgah pasukan Diponegoro adalah Puncak Gondokusumo/Puncak Gondopurowangi. Namanya diambil dari seorang petinggi pasukan, Gondokusumo. Saya belum pernah ke sana, baru ngecek di Google Maps. Kalau dilihat di internet, ada jalan akses ke sana. Udah ada tulisan penandanya juga.
(Anyway saya baru tahu kalau 'alibasyah' itu gelar tingkat militer. Ada gelar 'basyah' juga. Keingat pelajaran Sejarah kalau salah satu panglima Diponegoro ada yang namanya Alibasyah Prawirodirjo. Kirain 'Alibasyah' itu namanya, ternyata gelar. Gondokusumo juga punya gelar serupa.)
Daerah sekitar Menoreh dan Borobudur juga menjadi tempat singgah terakhir Pangeran Diponegoro sebelum melanjutkan perundingan ke Magelang. Di sebuah daerah bernama Salaman, beliau sempat tinggal beberapa hari buat memulihkan diri dari malaria. Setelah itu, beliau lanjut ke Magelang.
Di Kota Magelang inilah beliau diundang berunding oleh Jenderal De Kock, tapi ditipu dan akhirnya ditangkap. Peristiwa 'perundingan' dan penangkapan ini terjadi di rumah residen Kedu, yang sekarang jadi museum perang Diponegoro. Setelah ditangkap, Diponegoro diasingkan ke Makassar hingga akhir hidupnya (kalau nggak salah sempat ditahan di Kota Tua Jakarta a.k.a Batavia sebelum lanjut ke Makassar).
Peristiwa penangkapan Diponegoro di Magelang ini dituangkan dalam lukisan. Satu dalam lukisan Raden Saleh (pernah lihat film "Mencuri Raden Saleh"? Ya lukisan itu), satu dalam lukisan Nicolas Pienemaan. Saya nggak tahu soal seni, hanya aja katanya ada perbedaan antara dua lukisan itu, meski scene-nya sama:
di lukisan Pienemaan, Diponegoro digambarkan lebih pasrah
di lukisan Raden Saleh, Diponegoro digambarkan lebih punya fighting spirit.
Dan... begitulah cerita tentang Setumbu-Borobudur-Menoreh.
Selain jadi tempat wisata, cerita masa lalunya juga kaya.
=================
Referensi:
- Balai Konservasi Borobudur. 2020. BUSUR No. 2 feat Yenny Supandi - Danau Purba Borobudur, di Mana Jejaknya. Podcast, Youtube.
- Balai Konservasi Borobudur. 2020. BUSUR No. 8 ft Transpiosa Riomandha - Yang Terlewatkan di Kawasan Borobudur. Podcast, Youtube.
- Balai Konservasi Borobudur. 2021. BUSUR No. 15 - Jejak-Jejak Sang Pangeran Diponegoro di Kawasan Borobudur. Youtube.
- Balai Konservasi Borobudur. 2022. BUSUR ft Salim A. Fillah - Jejak-Jejak Sang Pangeran Diponegoro di Kawasan Borobudur Part 2. Podcast, Youtube.
- Dongeng Geologi. 2023. Candi Borobudur yang Sempat Terkubur: Sebuah Mahakarya di Atas Danau Purba. Rekaman webinar.
- Herho, S.H.S. (2018). Reconstruction of quaternary vegetation and climate of Borobudur Lake (thesis proposal).
- Murwanto, H., and Purwoarminta, A. (2015). Rekonstruksi danau purba Borobudur dengan pendekatan spasiotemporal. Limnotek, 22, 106-117.
- Murwanto, H., Gunnel, Y., Suharsono, S., Sutikno, S., and Lavigne, F. (2004). Borobudur monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake: chronostratigraphic evidence and historical implications. The Holocene, 14, 467-471.
- NatGeo Indonesia. (2021). Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur. Diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/132573046/candi-agung-di-tubir-danau-di-balik-perdebatan-telaga-borobudur.
- Nieuwenkamp, W.O.J. "De Omgeving van Den Boroboedoer Een Meer?". Algemeen Handelsblad, Sept 9, 1933.
=================
Diperbarui pada 2024