Beberapa minggu belakangan, Instagram explore rasanya jadi tak semenarik dulu. 'Kebetulan' explore saya isinya mayoritas foto-foto lanskap/objek dan konten sejenis. Sekilas isinya masih sama dengan, katakanlah, satu-dua tahunan yang lalu. Tapi, rasanya beda aja.
Apakah foto-fotonya nggak keren? Menarik, kok. Foto yang muncul toh bervariasi. Lokasinya bervariasi, mulai dari di dalam negeri sampai luar negeri, dari tempat yang ikonik hingga yang pelosok. Objeknya jangan ditanya: gedung, pemandangan, reruntuhan, rumah orang, you name it. Tone warna dari yang gelap sampai terang banget, ada. Memang, nggak semua foto yang muncul adalah yang 'jarang'. Tempat atau potret yang ikonik tentu muncul lebih sering. Namun toh 'eksekusinya' nggak sama.
Terus, kenapa jadi bosan kalau foto-fotonya bagus dan variatif?
Mungkin, justru karena terlalu sering lihat. Jadinya serasa, "Lu lagi, lu lagi."
Lihat foto sakura, "Ah sakura lagi." Padahal yang tadi sakura merah jambu, sekarang sakura putih. Lihat potret gunung, "Ah lokasi pengambilannya dari sini lagi." Padahal yang tadi diambil pas sunrise, yang ini dipotret saat malam. Dan, sebagainya.
Ini bikin keingat salah satu bagian di buku Geography of Bliss. Di sana dibilang kalau tingkat kebahagiaan pada manusia akan kembali di level sebelumnya bila ia terekspos kebahagiaan dalam waktu yang lama. Katakanlah, tingkat kebahagiaan seseorang konstan di angka 3. Lalu tiba-tiba ia diberi sesuatu yang membahagiakan (contohnya rezeki nomplok/cinta/lifestyle idaman/simply foto kesukaan seperti kasus saya), kebahagiaannya akan naik ke angka 8 atau mungkin 10. Namun, kalau ia dipapar sumber kebahagiaan ini dalam waktu cukup lama, ia akan merasa terbiasa. Kesenangan tadi nggak jadi suatu pemantik kembang api dalam hati, sehingga kebahagiaannya akan turun ke angka yang mirip seperti semula.
Kenapa?
Ya karena udah terbiasa. Ketika ada suatu perubahan, manusia akan selalu merespons hal itu, baik dengan respons positif ataupun negatif. Tapi kalau perubahan itu dialami tiap hari, ya bukan perubahan lagi namanya, tapi rutinitas. And there's nothing new in a routine.
Mungkin itu sebabnya beberapa hal yang dulunya terlihat sangat keren atau kelihatan sangat menantang, kini tak lagi semendebarkan seperti ketika dialami pertama kali. Berita buruknya adalah ini nggak cuma terjadi pada hal semacam barang, tapi juga pada hal yang lebih abstrak macam lifestyle atau perasaan.
Dan, ini memang subjektif sekali. Hal yang kita anggap ngebosenin, bisa jadi oleh orang lain adalah hal yang exhilarating. Ketika pelesiran ke sebuah desa di kaki Gunung Arjuno, Jawa Timur, saya pernah ngobrol dengan seorang pemuda seusia. Ia warga lokal. Kami bertemu di sebuah warung dan ngobrol karena basa-basi aja.
"Enak, ya, di sini. Hawanya adem, udaranya seger. Pemandangannya bagus, lagi," ujar saya.
"Iya. Healing-nya tinggal ke belakang rumah udah ketemu gunung-hutan," selorohnya.
"Nggak perlu jauh-jauh motoran. Enak jadi nggak gampang bosan."
"Nggak juga, sering bosan juga karena tiap hari ketemunya ini. Saya malah pengin main ke kota sampeyan. Kayaknya lebih rame, lebih seru!"
Rupanya kami berkebalikan. Saya motoran berjam-jam demi lihat desa, dia berjam-jam motoran juga demi melihat kota. Sebab rutinitas kami berbeda; bosannya beda, kebahagiannya berbeda juga. Saya yang tiap hari ketemu keramaian, cari kebahagiaan dengan main ke kaki gunung yang lebih senyap. Dia yang tiap hari ketemu gunung, cari kebahagiaan dengan main ke kota yang penuh suara.
Ya ini mirip sih sama yang pernah diceritain di sini (Euforia Kebaruan).
Mungkin, kalau saya tinggal lama di desa, saya juga nggak akan menganggap kaki gunung itu semenarik dan setentram ini. Mungkin saya akan sama seperti mas tadi, yaitu weekend main ke kota yang lebih 'hidup'. Mungkin, kalau saya tinggal di tempat yang jadi tujuan wisata, saya juga bakal berasa biasa aja. Seuatu yang keren buat wisatawan, mungkin akan jadi hal yang biasa aja dan nggak bikin saya tertarik.
Ini pernah kejadian beberapa kali pada saya dan teman. Teman saya adalah warga Yogya tulen. Saat di Yogya, kami main ke Sekaten, sebuah festival peringatan maulid Nabi Muhammad. Tanya-tanyalah saya soal beberapa hal. Teman saya menjawab nggak tahu.
"Kalau tahun-tahun sebelumnya gimana, gini juga atau beda?"
"Hm... nggak tahu. Aku juga baru pertama kali ke Sekaten."
Kadang peristiwa yang berkebalikan juga terjadi, yaitu saat saya ditanyai teman gimana suasana di festival X atau lokasi Y yang ada di kota saya dan saya jawab nggak tahu karena belum pernah ke situ.
Ya, karena buat kami itu adalah 'sesuatu yang sehari-hari' sehingga nggak menarik lagi. Tapi toh tetap menarik buat orang lain. Dulu, saya sempat mengernyit kalau ada turis lokal ataupun bule yang berwisata ke kota saya. Ngapain? Apa yang dilihat? Gedung doang gini. Little did I know there's something interesting. Sisi sejarah, arsitektur, bahkan kebiasaan yang buat saya 'biasa aja' jadi terlihat menarik sampai bisa dijual sebagai package wisata.
Perspektif lain ini baru beneran bikin saya ngeh saat travelling beberapa saat lalu. Tempat wisatanya terkenal banget. Branding ke luar negerinya juga joss. Saat ngobrol dengan warga setempat, saya nyeletuk, "Bagus, ya, di sini. Unik. Ada filosofi dan sebagainya." Teman bicara saya yang warga setempat menanggapi, "Ah enggak, Kak. Biasa aja sebenernya."
Lha? Padahal saya ngerasa unik banget. Dan tentu unik juga buat orang lain sampai bisa 'dijual' ke turis lokal dan wisman. Tapi, oh, ada toh yang ngerasa ini nggak unik.
Betul juga. Karena untuknya sudah menjadi hal yang rutin, bukan cuma pertunjukan, tapi sudah mendarah-daging menjadi kebiasaan. Di sisi lain, saya atau wisatawan lain justru baru kali ini menemui hal kayak gini, sehingga nge-hype. Mungkin perasaannya mirip kayak saya waktu ngelihat ada turis main ke kota saya.
Barangkali itu sebabnya ada hal-hal spesial yang sebaiknya memang jarang ditemui. Ketika ditemui, jadi lebih terasa euforianya. Liburan atau travelling pun nggak akan terasa seasyik itu kalau liburan terus; butuh waktu untuk goleran aja nggak ngapa-ngapain. Atau Ramadan dan lebaran misalnya, terasa euforianya karena cuma sekali setahun. Selain capek juga ya puasa setahun penuh atau hari raya sebulan penuh. Lah, lebaran aja kadang paginya senang-senang, siangnya udah terasa keramaiannya berkurang. Malamnya udah lempeng aja kayak hari-hari biasanya.
Mungkin emang kadang perlu keluar dari kebiasaan supaya bisa dapat 'rasa' yang lain pula. Sesekali. Serupa dengan keluar dari bubble explore di Instagram supaya bisa lihat konten-konten jenis lain.