Kalau kemarin sudah sempat baca sampai tbc,
sila klik link ini biar langsung ke teks update hari ini: lanjutan 1.
----------
Dulu, kalau saya atau teman pengin jalan-jalan,
kami harus ngumpulin beberapa orang dulu. Setelah itu baru survei transpor,
akomodasi, dan lain-lain. Karena jaringan sosial media dan internet belum
semaju sekarang, jadi nanyanya ke orang-orang yang pernah ke lokasi itu atau
telepon ke lokasi sekalian. Transportasi? Kalau jauh, ya, pakai kendaraan umum.
Ngebus, kereta, carter jeep atau numpang mobil bak terbuka. Kalau orang
yang pengin ke sana cuma sedikit, pilihannya ada 2: tetap berangkat dengan
sedikit orang dan bayar lebih mahal, atau nggak jadi berangkat (atau nunda
sambil ngumpulin ‘pasukan’ pelan-pelan, berbulan-bulan).
Ya gimana lagi, harus diakui bahwa nggak semua
daerah di Indonesia, bahkan Jawa, mudah terhubung dengan transportasi umum (wong
sekelas Surabaya aja masih pada ngandalin motor). Akibatnya, butuh
kendaraan pribadi untuk mencapai daerah tertentu. Kalau nggak punya, tentu
harus nyarter. Nah biaya carter ini yang nggak murah. Kalau orang yang pergi
cuma segelintir, biaya patungannya akan lebih mahal.
Beruntunglah sekarang ada layanan open trip
via agen travel. Jadi, dengan sedikit orang pun kita bisa tetap travelling
ke tempat-tempat yang butuh kendaraan khusus atau biaya transpor yang cukup
tinggi. Memang nggak semua tempat ter-cover, tapi sudah cukup.
Seperti Juli lalu saat saya pengin banget main
ke gunung yang agak jauh. Bagai pucuk dicinta ulam tiba, seorang karib mengajak
jalan ke Bromo. Dia kemudian mengirim akun sebuah operator tur yang ia temukan di
instagram. Agensi itu menyediakan layanan open trip ke beberapa daerah
di Malang dan Batu. Cek-cek dan terbukti bukan travel bodong, kami pun booking.
Open trip adalah layanan tur yang pesertanya
macam-macam. Dalam satu kelompok, akan ada orang-orang lain yang nggak kita
kenal. Asalkan tujuan dan tanggal keberangkatannya sama, maka kita bakal
dijadikan satu rombongan: satu itinerary, satu mobil/bus, dan mungkin satu
hotel/restoran (kalau termasuk biaya inap/makan).
Jujur awalnya saya sangsi. Bukan apa-apa, hanya
saja sejak era medsos makin menggaung dan hiking/travelling makin
lumrah diterima masyarakat, banyak banget kasus open trip ataupun shared
cost yang berujung penipuan (meski nggak semuanya; yang beneran jujur dan
baik juga banyak). Maka dari itu, personally, saya lebih suka jalan sama
teman sendiri. Udah kenal. Jalan bareng orang tak dikenal juga masih oke,
asalkan dia ‘dibawa’ teman (ya intinya ada yang kenal: dia temannya teman saya
dan teman saya ini ikut).
Namun karena saat itu kami lagi butuh banget refreshing
‘besar’, maka kami putuskan jalan berdua dengan ikut open trip aja. Biar
cepat; nggak kebanyakan rundingan jadwal. Kebetulan open trip ini
menawarkan trip tiap hari a.k.a kami bebas pilih tanggal (di hari kerja
sekalipun) dan bebas berapa orang pun tanpa minimal peserta. Sounds too good
to be true, though, so I was a bit suspicious. Atau emang saya aja
yang ndeso karena nggak ngerti sistem kerjanya? Maybe, hahahah.
Jadi, sebagai pengguna open trip pertama kali,
ini cara yang
kami lakukan untuk menentukan agen travel ini valid atau enggak (disclaimer,
tips ini bukan jaminan sukses 100%, tapi bisalah biar ada gambaran sedikit):
1. Cek akunnya
Karena kami nemu dari IG, ya cek IG-nya. Foto
dan komentar di sana, interaksi mereka, price list dan rundown
jelas, dsb. Tidak ada komentar yang dimatikan, jadi kami tengarai nggak pernah
berkasus. Sahabat saya juga sempat bertanya pada akun lain yang kelihatannya pernah
pakai jasa tur tsb.
Karena teman saya nemu akun tur tsb dari iklan
IG, apa jaminan kalau akun itu valid? Belum tentu. Aturan pasang iklan di IG
sudah nggak seribet dulu, jadi siapapun bisa pasang, termasuk akun bodong. Beberapa
bulan lalu, seorang teman menemukan iklan bank abal-abal yang mencatut sebuah
bank besar.
2. Crosscheck ke agen travel
langsung
Setelah cek akun, kami langsung kontak ke
narahubung/contact person. Tanyakan harga, itinerary (jadwal/rundown),
fasilitas yang didapat. Salah satu yang terpenting, tanya juga perihal
pembayarannya. Jangan percaya kalau minta bayar full langsung. Travel
yang kami pakai kemarin hanya meminta DP 50k per orang dari harga total open
trip Bromo yang 250k/orang. Oke, masuk akal. Harga 250k sudah termasuk:
- penjemputan dari dan ke area Malang
Kota:
setelah trip selesai, kita
diantar balik ke kota/titik penjemputan - carter jeep (kapasitas 8
orang)
- tiket dan izin masuk ke kawasan
TNBTS (Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru)
- fotografer + dokumentasi:
tentu berbagi dengan 6 peserta lainnya. Foto
tanpa editing dengan kamera mirrorless. Jadi kalau kebetulan
hasilnya biasa aja, ya diedit sendiri. Awalnya saya kira dieditin sekalian agar
estetis, makanya ngebatin, ‘Kok murah banget 250k udah sama editing’. Ternyata
yang dikasih foto mentah, hehe. Tapi itu pun udah lumayan, sebab ada tur
berharga 300k yang tanpa fotografer/dokumentasi
Oh, jangan lupa tanyakan detail mobil seperti jenis,
warna, nopol, serta sopir yang mengantar ke dan dari lokasi. Juga perkiraan
jumlah peserta yang barengan dengan kita.
3. Konfirmasi H-1 dan hari-H
Kontak lagi narahubung untuk mengingatkan dan
memastikan. Di hari-H biasanya mereka akan mengirim detail mobil dan sopir yang
menjemput. Kemarin kami cuma dibilang, “Bakal ada sopir yang menghubungi” meski
sudah minta identitas sopir. Akhirnya, ketika dihubungi sopir, kami konfirmasi
ulang ke pihak travel apa benar orang tsb.
Ini yang agak bikin ribet. Ternyata kami harus crosscheck
sendiri-sendiri ke pihak travel dan sopir. Kirain mereka satu pusat
komando, jadi terhubung satu dengan lain dan sama-sama tahu sehingga kami cukup
nanya ke satu orang aja. Ternyata enggak.
Usut punya usut, ternyata sistem terpisah-pisah
inilah yang bikin agen travel mau menerima peserta dengan jumlah sedikit:
karena mereka memang bukan satu travel agent. Jadi ada orang yang
bertugas marketing seperti narahubung yang kami hubungi tadi, kemudian ada
sopir sendiri, ada sopir jeep sendiri, dan fotografer sendiri. Mereka adalah
mitra yang punya modal sendiri (misal: mobil, jeep) dan kayaknya
mendaftar ke satu pengelola. Pengelola inilah yang nanti ngatur peserta mana ikut
mobil siapa, sedangkan narahubung tadi sudah lepas karena sudah ‘menyerahkan’ customer
ke pengelola.
Mirip mitra gojek/grab gitu lah. Perusahaannya kan
bukan yang punya kendaraan; mereka cuma menyalurkan.
Narahubung, pemilik mobil, fotografer, dan
pemilik jeep ini bisa jadi nggak saling tahu mana customer yang
dapat siapa karena memang nggak ada dalam satu travel agent yang sama. Semuanya
terpusat di pengelola tadi. Mereka nggak saling berinteraksi karena dapat
perintah langsung dari pengelola tadi.
Itulah kenapa travel agent menjanjikan
bebas pilih tanggal berangkat dan tanpa minimal peserta: karena peserta dari mereka
akan digabung dengan peserta yang didapat oleh agen lain. Jadi, di hari-hari
sepi pun, pasti ada mobil yang full peserta. Awalnya kami kira peserta open
trip ini ya hanya dari narahubung yang kami kontak aja….
lanjutan...
Oh ya, apa harga open trip ke Bromo
masih 250k? Entah. Kalau ngelihat harga BBM yang naik, kayaknya ya pasti ikut
naik, ya…. Tapi saya belum pernah cek lagi. Waktu itu banyak agen lain yang
sudah mematok harga 300k, jadi yang 250k ini masih tergolong lebih murah dengan
fasilitas yang sama. Bahkan ada yang 300k tanpa dokumentasi.
Singkat cerita, perjalanan 2D1N (2 days 1
night) itu kami mulai dengan menumpang KA Penataran. Berangkat dari Stasiun
Gubeng Lama (SGU) pukul 17.40-an dan estimasi sampai di Stasiun Malang (ML)
sekitar pukul 20.00. Meski kereta lokal, pastikan untuk nggak beli tiket secara
mendadak mengingat ini jam pulang kerja. Karena KA lokal (wilayah Jatim aja),
tiketnya hanya bisa dibeli di aplikasi KAI, nggak bisa lewat web. Kayaknya
waktu itu cari lewat web juga nggak ketemu.
Actually, that was my first time riding a train
after the pandemic hit. How was it?
Like nothing had changed. Kereta, meski di hari kerja, tetap
penuh sesak. Tetap berisik (karena ekonomi, lokal pula, kan). Ada ibu-bapak
pulang kerja, ada satu keluarga yang bawa anak bayi dan balita, ada
pemuda-pemudi yang kayaknya mau berangkat main kayak kami. Macam-macam, deh.
Saya pikir kereta di hari kerja bakal lebih sepi, ternyata enggak, hehe. Untung
kereta zaman sekarang pasti dapat tempat duduk. Kalau ini di zaman dulu, bisa
dipastikan kami bakal susah atau rebutan kursi.
Di tengah perjalanan, kami menerima pesan dari
narahubung bahwa waktu penjemputan diundur. Tadinya dijadwalkan pukul 23.00,
tapi diubah jadi 01.00. Duh, tambah malem aja. Jadilah kami batal
melekan di kafe dan memutuskan nyewa hostel seperti yang pernah saya
ceritain di sini. Penjemputan dini hari inilah yang bikin kami agak rewel
soal konfirmasi identitas dan mobil sopir; buat mastiin keamanan bahwa betul
itu mobil dari travel dan bukan yang lain.
Pukul 01.00 kami dijemput di hostel, setelah
itu menjemput orang lain yang serombongan dengan kami. Selanjutnya kami lanjut
ke daerah Tumpang untuk oper ke jeep. Meski bukan open trip pun,
kalau masuk TNBTS lewat Malang, sejak dulu memang berhenti di daerah ini untuk
oper jeep. Waktu ke Semeru satu dekade lalu pun (catper di sini)
juga. Nampaknya memang pusatnya jeep.
Kalau ke Bromo/Semeru harus naik jeep?
Nggak harus sebenarnya, tapi sebaiknya memang
mobil 4-wheel-drive karena medannya ekstrem dan ada jalur pasir yang
susah-susah-gampang dilalui ban. Mana jalannya nggak lebar juga kan, jadi kudu
hati-hati kalau papasan dengan kendaraan lain. Era 2010-an, mobil 4WD pribadi
masih boleh masuk Lautan Pasir. Namun, beberapa tahun belakangan ini kayaknya
pengelola TNBTS mewajibkan sewa jeep agar membantu perekonomian warga
sekitar taman nasional. Mobil masih boleh masuk sampai poin tertentu, lalu
kemudian harus sewa jeep.
Kalau motor?
Masih boleh, asal bukan motor matic. Dan
pastikan benar-benar menguasai motor dan medan. Yang paling tricky, ya,
jalan yang meliuk naik-turun mendadak dan jalur pasir di kaldera itu. Nggak
jarang ada motor yang susah jalan karena pasirnya licin banget. Dulu saya harus
turun dan jalan, sedangkan partner menuntun motor, saat ngelewatin pasir ini. Road
trip TNBTS juga nggak kalah seru dengan open trip, lho.
Balik ke Tumpang. Di sini, kami dan
peserta-peserta lain dikumpulkan di satu rumah sambil menunggu rombongan dan jeep
komplet.
“Kok belum berangkat juga, sih? Ini udah hampir
setengah tiga, lho,” bisik kawan saya sambil melihat arloji. Beberapa peserta
yang semobil juga mengutarakan hal yang sama.
Saya cuma menggumam, sedikit tak sabar pula.
Kalau trip ini memang hanya mengejar matahari terbit, gagal sudah
rencana kami menikmati dan mendokumentasikan star-trail Bimasakti yang
cantiknya bak permata langit itu. Asli itu pemandangan bikin kangen meski demi
melihatnya harus diterpa angin gunung dan suhu dini hari yang menggigit ke
sumsum tulang.
“Iya memang rencana sampai sana subuh, Kak.
Beberapa hari ini dingin banget sampai peserta pada nggak mau keluar mobil
sebelum sunrise. Daripada kita kedinginan lagi,” jelas fotografer saat
itu.
Akhirnya kami maklum. Waktu itu memang
puncaknya kemarau. Namun, puncak kemarau berarti suhu di gunung turun
serendah-rendahnya saat malam tiba. Orang Jawa mengenalnya sebagai bediding.
Fenomena inilah yang bikin butiran es-es terbentuk di pegunungan, termasuk yang
terkenal di Semeru dan Dieng. Es yang disebut embun upas ini membungkus
permukaan, merusak beberapa tanaman perkebunan.
Pukul tiga kurang, mobil meluncur membelah
jalan sepi temaram. Sedikit demi sedikit jalan meliuk naik membelah perbukitan.
Gelap. Mantap sekali skill nyetir pak sopir jeep, Pak Agus,
karena saya pun nggak bisa lihat jalan depan meski sudah diterangi lampu mobil.
Perjalanan tak lama. Entah memang dekat atau karena rada ngebut. Sekitar
03.10-an kami sampai di pertigaan Jemplang, sebelum turun ke Kaldera Lautan
Pasir.
Hari ini istimewa: purnama. Di kota, mungkin
nggak begitu terasa efeknya. Namun, di tengah gunung tanpa polusi cahaya sama
sekali, sinar lembut keperak-perakan itu menerangi seantero penjuru. Sisi
tebing dan punggungan gunung tersorot garis silver bak distabilo. Silver
lining.
Tiga puluh menit kami mengelilingi Lautan Pasir
yang masih gelap. Sempat ketemu orang-orang yang kayaknya camping di
sana. Vibes camping-nya dah kayak kemping di padang pasir ala-ala film Wild
West. Rombongan sempat berhenti sesaat untuk membantu jeep dari grup
lain yang mesinnya error. Setelah kelar, jeep kemudian naik ke sisi
lain. Tak lama, roda berhenti di dekat sebuah warung. Di tebing depan warung
inilah rencananya rombongan kami akan menanti matahari terbit.
Ada beberapa—apa ya
istilahnya, viewpoint?—tempat untuk
menanti sunrise di sekeliling gugusan Gunung Bromo. Semacam Pananjakan
gitulah. Rupanya grup kami berhenti di viewpoint yang tak jauh dari
tanjakan sehingga Gunung Bromonya nggak nampak dari sini karena tertutup Gunung
Batok.
Orang yang baru pertama kali ngelihat mungkin akan terbalik mengenali
Bromo dan Batok. Meski nama Bromo lebih terkenal daripada Batok, tapi ukuran
Batok lebih besar (dan lebih tinggi). Tinggi Bromo ini ada kali separuhnya
Batok. Dari arah ini, Bromo terletak lebih ke kiri. Gunung ini juga nggak punya
puncak kerucut seperti Batok sebab dia punya kawah sebagai gantinya.
Kalau kita lihat di kartu pos atau foto, ada kepulan asap yang menguar
dari cekungan sebuah gunung, itulah Gunung Bromo. Saat upacara Yadnya Kasada,
upacara besar suku Tengger, ke dalam kawah inilah mereka menghaturkan berbagai
hasil bumi. Bromo juga satu-satunya gunung yang masih aktif di area Lautan
Pasir ini (*cmiww).
Subuh menjelang. Di tempat tinggi, matahari memang lebih cepat terbit. Saya
dan sobat menumpang shalat subuh di salah satu warung di antara kios-kios yang
berjajar.
📑A tip: kalau nggak kuat nyentuh air karena dingin,
bisa diakali dengan punya wudhu sebelum berangkat (naik jeep). Jadi
waktu di lokasi tinggal shalat.
Atau bisa juga karena nggak tahan dingin kalau harus lepas jaket/pakaian
tebal (karena susah kalau cuma digulung sampai lengan) atau lepas sepatu. Kan
bisa tayammum? Kalau itu, kita kembalikan ke orangnya masing-masing. Sebab
kadang ada orang yang nggak mau tayammum selama masih ada air.
Kelar subuhan, kami naik ke pinggir bukit buat ngelihat sunrise.
Di luar dugaan, ramai banget, euy! Seluruh pinggiran sudah disesaki pengunjung.
Banyak yang duduk-duduk. Ada penjaja yang nawarin sewa karpet buat duduk juga
(10k). Kalau cari foto yang ‘bersih’, susah memang. Namun, pemandangan ke bawah
ke arah gugusan Bromo dkk masih terlihat jelas.
Menurut tour leader saat itu, kami beruntung bisa lihat Lautan
Pasir diselimuti kabut putih seluruhnya bak kapas lembut. Sebab, malam
sebelumnya hujan.
Oh, ya, mumpung berada di ketinggian, jangan lewatkan pula pemandangan
dari gugusan gunung lain yang jaraknya puluhan kilometer nun jauh di kota-kota
tetangga. Dari sini kita bisa lihat kompleks Welirang-Arjuno dan (sepertinya)
Anjasmoro di arah kanan. Di kiri, meski lebih kecil, samar-samar terlihat
gugusan Pegunungan Iyang-Argopuro yang kondang dengan jalur pendakian terpanjang
se-Pulau Jawa.
Serasa baru saja matahari terbit; udara baru
saja terasa hangat. Langit pun masih merah-jingga-kekuningan khas nuansa pagi.
Namun, tour leader sudah meminta kami balik ke mobil karena rombongan
akan segera turun ke Lautan Pasir pukul enam.
Sejujurnya, saya merasa ini kurang lama. Kenapa? Well....
to be continued 😄
Psst, foto-fotonya juga belum ditambahin, hehe. Kalau udah kelar milih dan milah nanti insyaallah bakal bertabur foto