Hijaubiru

Jumat, 01 Juli 2022

Readability
Juli 01, 2022 2 Comments

Sekian lama ngeblog, ternyata topik SEO (Search Engine Optimisation) dalam dunia perbloggingan masih jadi barang yang kurang begitu saya akrabi. Secara teori udah paham, tapi dalam praktiknya ya... gitu, deh, hahahah.


Coba aja perhatikan, berapa keyword yang disisipin di artikel, ada meta-tag atau enggak di gambar yang ditampilin, apa judul header dan subheader udah sama dengan target keyword? Dijamin, hampir nggak ada, wkwkwk. Apalagi, tulisan yang saya bikin kejar deadline atau on-a-whim aja; bukan yang emang direncanakan. So pasti ini praktik SEO-nya nol besar.


Beberapa hari yang lalu, saya ngobrol virtual dengan seorang kenalan yang juga suka blogging. Bedanya, ini orang udah lebih serius dibanding saya. Blognya udah terdaftar domain TLD (kayak .com, .net, dsb, bukan yang .blogspot atau .wordpress yang gratisan). Karena dia update di medsos, saya tanya-tanya ke dia karena gambaran saya soal per-domain-an ini masih buram.


Obrolan kami mengalir hingga soal SEO. Dia cerita kalau dia nggak terlalu mikirin penulisan dengan SEO. Pertama, karena dia belum terlalu serius dan kedua, udah ada indikator SEO yang built-in di blognya. 


"Hah, kok bisa?"

Ternyata, dia pakai wordpress.com (?). Di sana ada plugin yang otomatis mendeteksi tulisan kita: apa keyword untuk SEO-nya sudah cukup, apa kalimatnya sudah enak dibaca, apa dari tulisan itu yang bisa diperbaiki, dsb.


"Lah, enak bener ada mesin otomatisnya gitu?"

Beneran enak. Apalagi buat penulis atau yang pengin ningkatin skill nulis, jadi terbantu banget. Nggak perlu repot ngoreksi sendiri satu-satu, mengira-ngira mana yang kedengaran nggak enak dsb. Dan, ini kan subjektif sekali. Pun kalau peer review ke teman. Kalau pakai mesin, kan, lebih objektif (meski mesin belum tentu selalu benar juga).


Fasiliitas di atas sayangnya nggak tersedia di blogspot. Akhirnya saya browsing, siapa tahu bisa diinstal manual ke blogspot atau gimana. Ternyata ada beberapa apps/plugin/web yang bisa dipakai dan gratis. Beberapa nggak bisa diinstal ke blogspot, tapi kita bisa copas tulisan ke sana buat dideteksi. Coba aja cari 'readability SEO checker' atau kata semacamnya.


Hal yang bikin saya agak ragu setelah nyoba beberapa website ini adalah: nilai readability-nya pakai skala tulisan berbahasa Inggris. "Emangnya bisa diaplikasikan ke bahasa Indonesia juga?" pikir saya. Kan, tiap bahasa punya standar yang beda. Kalau YOAST SEO atau AIO SEO bisa jadi sudah terintegrasi dengan bahasa Indonesia, tapi kalau web/apps lain yang saya coba tadi, entah. Sebab waktu saya coba masukkan tulisan, beuh, merah semua akibat ditengarai sebagai saltik. Ya iya saltik, lha kan bukan pakai bahasa Inggris. 


Saya pun ngubek-ngubek biar nemu checker yang (kata orang-orang) semantap YOAST atau AIO. 


And that's when something strucked me. 

"Jadi, kamu nulis biar enak dibaca atau biar sesuai SEO aja?"


Penulis atau blogger yang udah malang-melintang udah bisa menggabungkan dua hal ini. Jadi, selain ber-SEO (biar pengunjung/traffic-nya banyak), tulisan mereka juga enak dibaca. Dan, IMO, ini nggak cuma buat blogging atau tulisan yang terbit online aja. Dalam fiksi/nonfiksi pun, poin SEO seperti kalimat yang panjangnya pas/nggak terlalu banyak frasa/dll juga kepakai. Dan, toh, kalau sudah lihai memang enak-enak aja pas dibaca. 


Balik ke tulisan saya: masih banyak hal yang perlu ditingkatkan, kayak:

  • kalimatnya belum efektif
  • kalimatnya kepanjangan
  • mbulet dalam menyampaikan maksud
  • kurang runut sehingga pembaca kadang bingung ("Lagi bahas apa ini kok loncat-loncat?"
  • terlalu kaku
  • kalau nggak lagi terlalu kaku, ya terlalu santai kayak nulis diary
  • terlalu deskriptif yang detail tapi lupa menyampaikan 'rasa'
  • deskripsinya terlalu visual, belum memakai semua indra
  • hm... apa lagi ya? Tolong tambahin coba, hehehe
  • ...

Nah, ini kan perlu dibenerin dulu. Kualitas tulisan, yang adalah hal terpenting dan paling inti daripada SEO dan 'kemasan' segala macam, harus dibenahi dulu kalau emang mau bikin tulisan yang nyaman dibaca dan mudah dipahami. 


Seperti gambar di bawah ini, saya setuju kalau tulisan itubaik fiksi, nonfiksi, atau post di blogsama dengan musik: ada ritmenya biar enak dibaca. Nah, ini yang harus saya poles sehingga nggak melulu mengandalkan SEO aja. SEO itu baik & bagus, tapi kalau tulisannya acakadul ya tetap nggak bisa membantu; biasanya kalah dengan yang tulisannya bagus sekaligus pakai SEO. 


Belum lagi soal tampilan blog yang masih kurang friendly. Ada kode-kode yang perlu diubah dsb. Belum lagi mempertimbangkan domain TLD kalau emang mau upgrade.


Note to myself, actually. Kapan gw mau benerin tulisan gw dan nggak sekadar nulis/blogging hore-hore aja? *plak






===================


Update: Sept 2023


Dalam postingan yang berjudul “Readability” di atas, saya ngebahas soal tulisan panjang yang terbaca atau mudah ditemukan berdasarkan SEO. Sekarang, yang dibahas adalah tulisan lebih pendek atau bukan tulisan sama sekali, tapi foto. Nggak ngomongin tentang SEO website juga, tapi lebih ke algoritma aplikasi.

 

Kok, kedengarannya teknis banget. Nggak juga, sebenarnya intinya ini: dibaca/enggak.

 

Singkat cerita, udah hampir setahunan ini traffic medsos saya turun drastis. Efeknya terasa tahun lalu, waktu sempat crash. Setelah kejadian itu, traffic nggak setinggi biasanya: turun hampir separuh. Akhir-akhir ini, penurunan ini merembet ke feeds yang turunnya nggak main-main. Secara reach memang masih lumayan (apalagi kalau memperhatikan timing posting), tapi engagement-nya rendah banget. Mudahnya, yang ngasih comment/likes/save kalau ditotal turun hampir 75%. 

 

Awalnya, saya kira ini efek crash tadi. Tapi, kok, lama? Ya sudah mungkin ada yang berubah. Sempat kepikiran jangan-jangan kena shadowbanned atau gimana, tapi kayaknya enggak. Alasan kedua, saya pikir, adalah karena aktivitas followers menurun. Kalau dirunut ke belakang, akun saya memang rame banget justru saat Covid-19 lagi tinggi-tingginya. Mungkin efek orang-orang nyari kesibukan saat terkungkung di rumah aja, jadi mereka beralih ke medsos. Sekarang kegiatan alhamdulillah sudah balik seperti sebelum wabah, jadi mereka juga balik ke aktivitas sehari-hari yang artinya makin sedikit buka medsos (because life’s ‘happening’ again).

 

Toh sebagian besar followers saya emang teman-teman sendiri, yang artinya bukan akun hobi. Karena akun personal, ya, tentu saja bukanya sesuka hati. Kalau akun hobi, meski sama-sama sesuka hati, kadang lebih sering dibuka entah untuk refreshing atau sekadar update info sesama penghobi. Ini juga jadi kemungkinan alasan ketiga kenapa traffic saya rendah: karena akun saya lebih ke akun hobi (yaa meski kadang campur-campur sama personal life juga, hehe). Jadi kalau nggak satu selera dengan hobi saya, ya, nggak akan engage alias cuma lewat aja.

 

Alasan keempat, yang rada mellow dan bikin rada gimanaa gitu, adalah juga karena pandemi. Followers dan following saya memang nambah banyak waktu pandemi. Sekarang, saya jadi kepikiran, jangan-jangan mereka yang nggak muncul lagi ini karena … terkena imbas pandemi? Entah jadi hidup sulit atau, worse, meninggal? Kadang sedih saat tiba-tiba keingat dulu pernah/sering interaksi dengan akun A atau sering lihat fotonya lewat di feeds. Tapi begitu saya cek akunnya, eh, terakhir aktif 1-2 tahun lalu. Are you guys doing okay? Are you guys … still alive? Semoga mereka cuma sedang sibuk dengan kehidupan dan nggak aktif medsos aja.

 

Alasan kelima, yang paling mungkin dan pasti di antara alasan lainnya karena confirmed by IG, berhubungan dengan SEO dan readability. Belakangan beredar info bahwa algoritma IG berubah lagi. Kalau dulu hal seperti timing, tagar, dan likes menjadi faktor, maka sekarang balik ke konten. Mudahnya, kalau konten itu banyak yang suka/engage, ya bisa naik. Nggak terlalu tergantung faktor-faktor sebelumnya. Ini sedikit berhubungan dengan alasan ketiga: bahwa ini bukan akun khusus hobi alias followers-nya banyakan temannya daripada yang sehobi. Karena teman, kan, belum tentu sehobi sama saya. Jadi feed yang saya unggah pun besar kemungkinan ‘cuma lewat’ karena mereka nggak tertarik. Karena sedikit yang tertarik, maka IG pun menurunkan traffic kemunculannya di laman orang lain (PS: cara main IG adalah konten makin naik kalau yang tertarik/engage/visit makin banyak, dan sebaliknya).

 

Makanya kalau dilihat-lihat, akun yang ‘satu selera’/satu niche/satu hobi suka berbalas likes atau komentar ya supaya traffic-nya saling naik. Dan kalau nggak salah ngelihat, yang begini ini lebih efektif kalau ada dalam satu komunitas karena akan lebih ramai dan terdeteksi. Nah, akun saya kan nggak ikut komunitas apa-apa di IG, hehe. Paling kalau lagi ikut acara apa gitu terus tag-tag-an, tapi setelah itu ya sudah. Bukan tipe yang sering aktif upload dsb. 

 

Ini sedikit berhubungan sama readability/SEO di blog.

 

Waktu ngebahas soal readability itu, saya juga mikir gimana caranya masukin kata kunci atau bikin tulisan yang SEO-friendly supaya lebih banyak yang baca. Di kasus akun IG ini, saya juga melakukan hal yang sama: gimana caranya supaya postingan bisa naik dengan merhatiin tagar, timing, dsb. Akhirnya apa? Satu, jadi nggak enjoy. Padahal saya bikin ginian niat awalnya buat hobi (dan melatih skill hobi tsb) supaya hidup lebih hepi. Kedua, saya jadi berkutat dengan teknis dan melupakan kualitas isi/kontennya sendiri. Tentu kualitas versi growth saya yak, bukan standar media.

 

Endingnya sama: sama-sama bikin semangat berkurang.

Berasa, "Udah susah-susah nulis/motret, yang berkunjung/engage cuma segini."

Jadi nggak semangat kalau nggak dapat respons sesuai ekspektasi.

 

Ini mirip dengan kejadian yang konon katanya menimpa banyak penulis ketika memutuskan melepas karyanya ke khalayak: jadi patah semangat kalau yang likes/comment sedikit, jadi minder ketika yang suka tulisannya ternyata nggak banyak. Saya kira ini cuma terjadi pada penulis. Oh, ternyata juga bisa menjangkiti penghobi fotografi, haha. (*ambil cermin)

 

Well, kalau buat tulisan di blog, karena emang saya niatkan buat nulis-nulis aja, maka saya nggak masang ekspektasi tinggi meski ini blog lama. Sebab, kalau dilihat dari traffic ya segitu-segitu aja. Tentu kalah dengan website yang benar-benar diopeni, apalagi kalau sampai pasang iklan. Terus kalau di IG apakah bukan buat ‘nulis-nulis/foto-foto aja’? Ya enggak juga, sih, wong akun saya nggak dimonetisasi. Hanya aja, mungkin, karena sebelumnya sempat ngerasain traffic tinggi, jadinya rada kecewa saat dapat traffic rendah.

 

Padahal kalau dipikir-pikir, dulu juga traffic-nya segini-segini aja. At least buat story. Kalau buat feeds, mungkin dulu bisa tinggi karena faktor yang udah disebutin di atas plus dulu belum ada story, kan, jadi probabilitas dilihat lebih besar.

 

Faktor terakhir, yang bikin saya kepikiran adalah: jangan-jangan selama ini saya yang kurang engage sama akun teman-teman/followers? Alias isi IG saya kurang relate sama teman-teman. Kemungkinan lain adalah mungkin saya ‘asyik sendiri’ ngulik sesuatu tapi secara komunikasi kurang melibatkan? Bisa jadi. Akibatnya respons alias timbal balik dari viewers pun nggak banyak.

 

Apalagi belakangan ini saya emang jarang explore medsos dan saling mengunjungi karena lagi bosan, sehingga akhirnya cuma ngebuka foto yang emang lagi bikin tertarik aja.

 

Apa pun itu, output-nya sama: jadi malas nulis/foto, wkwk. Padahal seperti yang dibilang tadi, itu merupakan sarana refreshing dan mengurai pikiran supaya enjoy. Jadi gimana, dong? Kalau di blog, nggak akan berubah karena yo wes emang buat nulis apa pun. Kalau di IG, mungkin akhirnya saya bakal meniru blog: tulis dan unggah yang saya pengin di saat yang saya pengin tanpa terlalu memperhatikan traffic. Paling enggak dengan begitu saya jadi senang dan lebih enteng karena—seperti di blog—bisa menuangkan apa yang saya mau. Soal traffic, ya udahlah apa adanya. Toh dulu niat bikin IG juga bukan supaya dapat likes banyak, tapi buat album.

 

If I cannot make people enjoy it, at least I can enjoy it myself.

Kalau nggak bisa memuaskan orang lain, paling nggak saya sebagai pembuatnya bisa ngerasa puas.

 

Lagian ini hobi. Apa tetap disebut hobi kalau nggak enjoy, padahal hobi sendiri berarti “kegemaran”?

 

I’ll start a new path, then.

 

Ngapain, sih, nulis kayak gini? Toh SEO/algoritma juga nggak begitu paham, medsos pun bukan buat keperluan (amat) profesional. Ya… apa ya, buat mengurai pikiran aja. Sekaligus sebagai pengingat kalau misal di masa depan nanti saya frustasi dengan traffic, minat orang lain, dan sejenisnya, saya bisa mengingat kalau saya nulis/motret sebagai pelampiasan supaya nggak banyak pikiran, bukan supaya menambah beban pikiran.

 


Reading Time:

Jumat, 10 Juni 2022

Re-read
Juni 10, 2022 2 Comments



Siapa yang suka baca ulang buku-buku yang pernah dibaca? Cung! 


Buat sebagian orang, ngebaca ulang buku yang pernah dibaca mungkin ngebosenin. "Ngapain? Kan udah tahu isinya?" begitu respon beberapa orang yang pernah saya temui. Orang rumah tepatnya; yang kerap nemu saya mojok sambil baca novel, komik, atau jenis buku lain yang udah kami miliki bertahun-tahun lalu tapi tetap saya baca ulang.


Iya, ngapain? Kan, udah tahu 'dalamnya'. Udah hapal pula: setelah bagian ini kemudian bagian itu. Kenapa dibaca ulang?


Karena suka aja, hehe. Makanya diulang-ulang. Novel-novel atau buku-buku bergambar terutama. Kalau novel, karena bisa mengulang sensasi emosi yang ikut terbawa arus. Kalau buku non-fiksi, karena bagian itu unik. Kalau buku atau majalah warna-warni, jelas lah karena visualnya menarik banget, hahaha. Kadang juga baca buku yang bukan favorit karena ngerasa, "Eh ini kayaknya udah lama nggak kubaca jadi lupa isinya. Diulang, ah."


Namun, secara personal, ada manfaat lain yang bisa saya petik dari hobi re-read ini, yaitu kita bisa jadi lebih lancar berbahasa. Dengan sering membaca teks yang sama, maka kosakata yang ada dalam teks tersebut secara nggak sadar ikut terhapalkan. Bahkan, kata-kata yang awalnya kita nggak tahu artinya kemudian bisa jadi paham maksudnya tanpa perlu buka kamus. Kok bisa? Karena kita mengasosiasikan maknanya sesuai kalimatnya. 


Gini deh. Misalnya: kita tahu makna 'sakit' itu apa. Tapi kalau disuruh menjabarkan dengan jelas kata-per-kata apa arti sakit, belum tentu kita bisa. Cuma, kita paham sakit itu seperti apa, rasanya gimana, dsb. Jadi kita nggak sekadar tahu arti harfiahnya, tapi lebih pada paham maknanya. Mirip-mirip dengan gimana cara kita belajar dan nyerap bahasa ibu ketika kita masih bayi. (Ini ada istilahnya, cuma saya lupa apa)


Bagi seseorang yang pengin belajar nulis, re-read juga bisa jadi salah satu cara belajar. Sejujurnya, inilah cara saya belajar nulis, dulu banget. Waktu itu belum ada seminar kepenulisan atau buku-buku petunjuk menulis, apalagi menulis fiksi. Panduan yang tersedia ya cuma EYD (waktu itu belum jadi PUEBI) dan buku penulisan karya ilmiah. Hal yang terakhir ini kan kaku banget, yah. Nggak cocok kalau dipraktikkan di genre fiksi. Jadi cara belajarnya ya dengan memperhatikan penulisan penulis lain lewat bukunya. Dan, karena terbiasa baca buku dengan ejaan, tanda baca, dan huruf kapital yang benar, makakebiasaan itu pun tanpa disengaja jadi ikut kebawa waktu nulis. 


Oh ya, selain hal-hal teknis macam PUEBI, gaya penulisan buku yang kita baca juga sangat mempengaruhi style nulis kita ke depannya. Ketika masih SD, saya suka baca novel Enid Blyton dan seri Sherlock Holmes sehingga kalau tulisan cekeremes saya saat itu dibaca lagi, style-nya kelihatan banget meniru mereka berdua. Beranjak remaja, saya mulai suka baca teenlit, metropop, dsb. Gaya tulisan saya pun berubah jadi nge-pop banget. Sekarang gimana? Ya campur-campur, hahahah.


Bila 'diolah', kejadian di atas bisa dimanfaatkan sebagai trik. Gimana itu?

Sebelum bikin tulisan tertentu, saya baca buku dari penulis yang gaya penulisannya saya suka. Karena 'dikondisikan' dengan gaya itu, maka setelah itu tulisan saya gayanya juga jadi mirip-mirip begitu.


Karena saya belum punya gaya nulis sendiri, yang khas, maka kadang saya ganti-ganti pakai gayanya siapa. 'Siapa' ini adalah penulis-penulis yang karyanya saya suka dan gaya tulisannya berasa klop di hati saya. Kalau mau nulis fiksi pop tapi puitis dan to-the-point, saya baca bukunya Asma Nadia dan Dee. Kalau pengin nulis fiksi yang puitis bermetafora atau agak serius, baca Tere Liye, Andrea Hirata, atau kumpulan cerpen koran. Saat berencana bikin travel notes yang asik dan ngalir, bacaannya Trinity, Agustinus Wibowo, atau majalah National Geographic. Tentunya kemudian diselaraskan dengan style kita juga, ya. Baca buku ini biar kebawa suasana aja. Dengan begitu kita bisa eksplor kira-kira style kita sendiri bakal kayak gimana. (Ya meski beberapa orang bisa juga kaget dan bilang, "Hah, ini tulisan kamu? Kok gayanya beda? Kayak bukan kamu?" Well... namanya juga masih nyari pendirian, haha).


Begitulah. Kadang ngerasa sayang juga sama buku, terutama ebook yang saya pinjam dari perpus online, yang nggak dibaca ulang. Ngerasa lewat aja gitu infonya. Baru setelah lihat kaver atau dibuka-buka lagi baru keinget, "Oh ada info begini, ya. Ternyata aku pernah baca."


Cuma ya emang selera nggak bisa dipaksa. Jadi wajar-wajar rasanya kalau emang nggak suka re-read buku tertentu atau nggak re-read sama sekali (tapi kayaknya nggak mungkin ya. Paling nggak pasti pernah dong re-read buku pelajaran, hehe). 


==========

Picture is courtesy of https://bookriot.com/wp-content/uploads/2014/03/ReRead.

Reading Time:

Jumat, 03 Juni 2022

Skill Outdoor, What For?
Juni 03, 2022 2 Comments




Beberapa hari lalu, saya ngikutin acara WJSC (Woman Jungle Survival Course) yang diselenggarakan Eiger Adventure. Acaranya online. Sebab karena masih masa adaptasi pandemi, ini juga kegiatan awal sebelum course-nya dilaksanakan offline beberapa bulan ke depan. 


Ngapain aja? Sesuai namanya, WJSC berisi materi-materi petualangan alam bebas. Ada materi kesehatan, pertolongan pertama, bikin api dan pelindung (tenda, bivak), survival botani-hewani, dsb. Pematerinya juga emang orang yang mumpuni di bidangnya. Udah khatam praktik, nggak sekadar teori. Kalau soal kesehatan ya diisi oleh dokter (tentunya yang juga suka outdoor adventure), materi soal surviving dibawakan oleh ketua tim SAR operasi tertentu. 


Materi-materi yang diberi adalah ilmu-ilmu dasar buat kegiatan outdoor.  Kalau di sispala/mapala, ini udah masuk standar minimal sistem pendidikan mereka; hal yang pertama diajarkan di materi kelas. Buat pemula atau orang yang baru nyoba naik gunung, emang berguna banget. Jadi bisa tahu gimana bikin kegiatan outdoor-nya nggak cuma fun, tapi juga aman. Ilmu macam gimana packing yang benar (dulu mikir, "Haa serius masukin baju ke tas aja ada ilmunya?" Wkwk), gimana pakai tas carrier yang benar, atau perbekalan sederhana yang sesuai kebutuhan gizi (enggak, makan mi instan doang nggak cukup buat naik gunung), dsb.


Dulu waktu pertama dapat materi kayak gini, buat saya eye-opening, sih. Jadi tahu kalau hiking/trekking yang kayaknya tinggal jalan doang ternyata butuh ini-itu biar enjoy dan aman. 


"Apa manfaatnya buat hidup sehari-hari?"

Omongan kayak gini nggak sekali-dua masuk kuping. Baik yang memang murni pengin tahu maupun yang bernada sinis, hehe. Kalau dilihat sekilas emang bermanfaat buat kegiatan yang banyak outdoor-nya ya, secara juga ilmu outdoor adventure. Tapi, kalau diambil dasarnya, menurut saya bisa aja ini dipraktikkan buat sehari-hari.


Misalnya, packing. Buat hiking, barang harus ditata rapi dan bawa barang yang diperluin aja. Pack the essentials and travel light. Kalau nggak penting ngapain dibawa? Cuma bikin berat punggung, ya kan. Masukin atau ngelipat baju pun ada cara tertentu biar lebih padat sehingga nggak ngabisin ruang yang nggak perlu. Tips ini bisa banget dipakai kalau mau travelling ke luar kota/negeri misalnya. Biar isi tas bisa maks, tapi kerasa lebih ringan ringan & gampang dibawa.


Personally, cara tadi sering saya pakai nggak cuma kalau hiking, tapi juga jalan-jalan, packing-in barang teman yang tasnya nggak muat (kemudian jadi muat!), atau sekadar nata baju di lemari biar lebih gampang diambil atau nggak gampang kusut.


Apa lagi contoh lainnya? Bikin itinerary sekaligus back up plan. a.k.a ngatur jadwal. Buat yang suka travelling, apalagi sampai berhari-hari, tentu perlu ngatur tujuan dan timing biar waktu travelling-nya bisa maksimal. "Kalau jalan-jalannya cuma sehari, nggak perlu, dong?" Lho, justru perlu, karena durasinya lebih pendek.


Contoh lain yang masih saya bawa sampai saat ini adalah nentuin barang esensial yang dibutuhkan di waktu darurat. Kalau lagi gupuh jadi udah tahu apa aja barang yang harus disamber.


Hal lain yang paling membekas dan menurut saya paling bisa dipraktikkan meski di kota adalah survival botani. Intinya ilmu ini ngajarin tumbuhan liar apa yang bisa dan aman dimakan manusia. Diajarin tuh ciri-ciri umum tumbuhan yang aman dikonsumsi/edible, gimana cara memastikan tumbuhan asing biar aman dikonsumsi. Terus masaknya gimana, batas konsumsinya berapa, dsb.


Ilmu ini sebenarnya ilmu dasarnya manusia karena sebelum kenal pertanian toh dulu kita adalah hunter and gatherer; berburu dan metik langsung dari alam. Namun, seiring berkembangnya zaman, makin nyaman kita dengan sistem pertanian dan makin detached kita dengan alam, cara ini sudah banyak yang nggak tahu. Kalau masyarakat desa biasanya masih banyak yang tahu sih karena mereka kadang masih meramban/foraging ke ladang atau hutan. Eh tapi di beberapa negara, misalnya di area Skandinavia, foraging masih umum. 


Oke, balik. Kenapa survival botani/foraging/meramban bisa diterapkan di kota? Kan kalau pengin sayur, kita bisa ke pasar atau supermarket?


Betul. Cuma, ilmu ini seenggaknya bikin kita paham bahwa sebetulnya ada banyak tumbuhan di sekitar kita yang edible dan bergizi. Tumbuhan yang kelihatan rumput liar, gulma, bahkan tanaman hias, ternyata bisa lho dikonsumsi. Awal-awal saya juga kaget ngelihat daftar tumbuhannya. Sering banget mbatin,

"Oalaaah, ini kan kalau lagi bersihin halaman suka dicabutin; dibuang"

atau

"Lho ini kan yang katanya makanan ular. Ternyata edible toh."

(padahal ular kan karnivora yak, ngapain makan tumbuhan? Wkwkw)


Kadang saya ngerasa 'sebuta' itu sama lingkungan sekitar. Mungkin karena dari kecil udah terbiasa hidangan meja makan hadir dari pasar kali, ya. Kalau metik sendiri, itu pun sayur/buah yang memang umum banget ditemukan di pasar: bayam, terung, kangkung. Mana tahu saya kalau umbut, daun sirih bumi, dan buah tembelekan bisa dimakan. Atau beberapa rumput liar yang suka saya caci-maki karena susah banget nyabutnya ternyata bisa dibuat obat herbal.


Seperti beberapa hari lalu. Nemu buah bundar hitam dari semak liar yang merambat. Crosscheck sumber beberapa kali kok kayaknya anggur hutan, tapi belum yakin. Akhirnya nanya ke famili yang tahu ilmu botani. Waktu scrolling bareng, dia nyeletuk, "Oalah, ini yang namanya 'galing'. Dulu mbah suka cerita kalau waktu muda sering makan buah galing. Aku cuma tahu nama, nggak tahu bentuknya gimana. Ternyata di halaman sekarang tumbuh liar, hohoho."


Saya terhenyak. Mbah saya tahu, tapi kami nggak tahu? Kadang, mungkin, memang seterputus itu arus pengetahuan dari satu generasi ke generasi lainnya. Sebab memang jarang atau bahkan nggak digunakan. Dianggap ilmu lama yang nggak terpakai. In some, or special, occasions of course it can be used but not for so many people in different eras; different lifestyle. 


Mungkin ini kali ya, salah satu sebab orang zaman sekarang mudah terpukau begitu ada 'penemuan baru'. Tanpa sadar bahwa 'penemuan' itu sebenarnya udah lama banget ada dan ditemukan, cuma baru sekarang tersebar kabarnya di generasi ini. Jadi kelihatan baru. Padahal enggak.


Kalau dalam konteks foraging/botani, misalnya, tersebar kabar bahwa tumbuhan X ternyata bisa menyembuhkan penyakit tertentu. Begitu viral, dianggap penemuan baru. Padahal mungkin nggak baru juga; zaman dulu juga orang lawas udah pakai itu buat pengobatan. Mungkin bahkan disebutkan di buku para tabib. Hanya saja mungkin akses informasi di zaman tsb masih terbatas sehingga ribet nurunin ilmunya ke generasi selanjutnya. (Zaman dulu kan cuma 'orang penting' yang bisa akses info/buku).


Hal yang paling sering (saya) temukan, sih, judul semacam 'Tanaman/tumbuhan liar A ternyata mengandung senyawa yang bisa mengobati kanker' dsb. Padahal, memang tumbuhan itu mengandung banyak senyawa. Secara alami sudah begitu. Coba misal vitamin C. Cari aja di rumput-rumputan. Pasti ada rumput liar yang punya vit C. Kenapa? Antara mereka juga butuh vit C atau mereka menghasilkan vit C. Hanya saja jumlahnya sedikit sehingga lebih efektif kalau kita mengambil vit C dari yang jelas-jelas kandungannya banyak, misalnya dari buah jeruk.


Jadi kalau ngebahas soal zat tertentu dari tanaman, itu sebetulnya hal yang umum. Tumbuhan yang masih sejenis pun besar kemungkinan mengandung zat yang sama. Biasanya, masalah baru timbul waktu akan diproduksi secara massal: cost effective, nggak? Kayak, percuma dong susah-susah numbuhin, nunggu panen, ekstraksi, tapi zatnya sedikit. Mending ekstraksi dari tumbuhan yang sudah jelas banyak mengandung itu atau sintesis kimia (alasan kenapa sintesis kimia itu banyak dipake karena: lebih murah! Dan time effective daripada yang herbal/non-alami). 


"Lho tapi kan bahan alam itu lebih bagus/lebih aman?"

Bisa jadi (FYI bahan sintetik belum tentu pasti bahaya, yang aman juga ada). Makanya produk organik, herbal, atau ekstrak asli dari tumbuhan itu harganya mahal. Selain karena jumlahnya sedikit, waktu tunggu dari pembibitan s.d. panen juga lebih lama. Masalahnya kan industri harus tetap bekerja dan banyak juga konsumen yang butuh harga lebih murah.


Jadi mungkin ke depannya kalau ada headline soal zat-zat itu, mungkin kita bisa lebih 'tenang' dan nggak mudah gumun karena tahu bahwa semua tumbuhan pasti punya potensi pemanfaatan. Entah ilmu pemanfaatannya sudah terkubur atau justru manusia yang belum nemu fungsinya.


Ilmu dan skill outdoor juga sama. Meski udah banyak kumpulan ilmu kegiatan outdoor di muka bumi: sejak zaman penjelajahan berabad lalu hingga era yang paling baru,  tapi akan selalu ada tambahan ilmu baru. Bak software, ada update-nya juga. Dan, personally, inilah yang bikin saya suka sesi Q&A di WJSC kemarin. Karena ada aja,

"Oh bisa ya pakai cara itu."

"Wah ada kasus yang sampai kayak gitu ya."

atau yang saya suka, tipikal daerah tropis Indonesia yang jangkauannya luas, "Oh di daerah itu caranya begitu. Tapi kalau di daerah ini nggak bisa, harus pakai cara ini."


To learn more and to explore more.

Sebab, seperti kata orang bijak, ilmu manusia kan cuma setetes dibandingkan ilmu-Nya yang seluas samudra.



=============

Foto: the suspected galing

Reading Time:

Jumat, 13 Mei 2022

Mei 13, 20220 Comments

In frame: Mt. Batok. Mt. Bromo is located behind it. 
 

Kalau dilihat dari bagian yang lebih tinggi, Gunung Bromo dan gunung-gunung di sekitarnya akan nampak seperti kerucut-kerucut yang tumbuh di dalam mangkuk raksasa. 'Mangkuk' itu terbuat dari tebing-tebing tinggi dan memagari area berpasir abu-abu. Area inilah yang ramai dikenal dengan Lautan Pasir (Sand Sea).


Kalau lihat gunung-gunung lain, kayaknya jarang yang begini. Gunung seakan tumbuh dari tanah. Di kakinya ada lembah, hutan, dan perkampungan penduduk. Nggak ada batas pagar serupa mangkuk begini. Jadi kenapa Bromo kok beda?


Sebab, sesungguhnya Bromo dan gunung-gunung di sekitarnya itu tumbuh di dalam kaldera. Apa itu kaldera? Mudahnya, anggap saja bekas kawah (meski secara istilah geografi bukan gitu). Ada yang pernah ke Bromo dan Lautan Pasirnya? Selamat, Anda telah menapak bekas kawah.


Kalau kawahnya sebegitu gedenya (ada yang bilang diameternya kurang-lebih 9 km), seberapa besar gunungnya? Ya... berarti gede banget. Salah satu sumber berkata bahwa Gunung Tengger Tua dulu tingginya 4.000 mdpl. Kemudian kawahnya meletus berulang dan meninggalkan kaldera yang sekarang adalah Lautan Pasir. Kaldera Lautan Pasir ini ternyata masih bergolak, makanya tumbuh Gunung Bromo, Batok, Widodaren, dan kawan-kawannya. Kapan ini terjadi? Puluhan hingga ratusan ribu, bahkan jutaan tahun lalu. 


Wisatawan yang pernah ke Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS) pasti ingat bahwa sebelum masuk area Bromo, kendaraan melalui area berbukit-bukit dan tebing-tebing hijau curam di kanan-kiri. Duluuu banget, daerah itu juga bekas gunung. Saking tuanya jadi sekarang sudah kelihatan bukan gunung lagi. Seberapa tua? Wah, lebih tua dari Bromo. Kalau yang ini bisa jutaan tahun lalu. Daerah yang sebelah mana, sih? Mana-mana, hehe. Kemarin dulu (2015 maybe?) saya lewat Nongkojajar. Area ini sudah terbentuk 1,4-0,2 juta tahun lalu. Manusia purba Pithecanthropus masih hidup saat itu.


Kini, Nongkojajar sudah dihuni Homo sapiens seluruhnya. Bukit-bukit yang dulunya hutan lebat dan tak tersentuh manusia, kini sebagian sudah berubah ladang-ladang wortel, kentang, atau kubis yang tak kalah hijaunya. Kalau kita lewat daerah ini saat masih terang, bakal sering ketemu mobil pick-up yang mengangkut sayuran fresh from the farm


Nongkojajar adalah jalur dari Pasuruan untuk mencapai TNBTS. Jalur lainnya bisa melalui Tumpang (Malang) yang lebih terkenal, Tongas (Probolinggo) yang juga adalah jalur zaman Majapahit (konon dulu Gadjah Mada setelah pensiun berangkat ke Air Terjun Madakaripura lewat sini), dan lewat Senduro (Lumajang). Kalau dari Surabaya bisa lewat Tumpang atau Nongkojajar biar nggak muter. Kali itu, saya lewat Nongkojajar.


Gimana jalannya? Ya kayak jalan gunung pada umumnya. Awal-awal menanjak biasa, kemudian mulai banyak tanjakan ekstrem. Banyak juga tikungan tajam sehingga kudu lebih waspada dan membunyikan bel supaya kendaraan yang berlawanan tahu kalau ada kendaraan lain (kita). Tapi pemandangannya?


Wah, kalau secara personal, sudah bikin jatuh cinta, hahahah. Salah satu alasan kenapa saya suka banget sama TNBTS adalah karena sejak dari 'gerbang' aja panoramanya sudah bikin geleng-geleng. Termasuk pada perjalanan tahun 2015 ini. Secantik apa?


Mari kita lanjutkan dalam postingan pekan depan 😄


========

Disclaimer: artikel ini bukan artikel ilmiah. Saya yg nulis juga nggak mendalami geologi dkk. Jadi, meski pake referensi, harap jangan nganggap artikel ini 100% benar. Please kindly recheck it yourself  :)

Reading Time:

Jumat, 25 Maret 2022

Bunga Bangkai: yang Mana?
Maret 25, 2022 2 Comments

Pernah dengar bunga bangkai?

Kebanyakan orang kayaknya pasti pernah dengar meski belum pernah lihat langsung. Maklum, 'wangi' bunga ini memang semerbak dan unik karena beda sendiri. Kalau kembang-kembang lain umumnya beraroma wangi, maka bunga ini baunya super-duper nggak enak karena mirip daging busuk (katanya sih gitu. Saya belum pernah lihat dan nyium sendiri).


Orang-orang sering keliru antara bunga bangkai dan bunga yang berbau bangkai. Banyak orang mengira bahwa bunga bangkai itu ya Rafflesia sp., di antaranya Rafflesia arnoldii. Namun, bunga bangkai sebetulnya merujuk pada bunga Amorpophallus sp., contohnya Amorpophallus titanum. Apa bedanya? Beda banget, seperti gambar di bawah ini. 





Bunga bangkai (Amorpophallus sp.) berbentuk mirip lonceng terbalik. Dari dalam 'lonceng', muncul putik serupa pedang panjang yang tumbuh tinggi melebihi tinggi mahkotanya. Bunga ini punya nama lokal 'kibut'. Saat masih berbentuk umbi, sekilas kelihatan mirip banget dengan 'suweg'. Ya gimana nggak mirip, keduanya masig sama-sama famili talas-talasan.


Beda halnya dengan bunga rafflesia. Bunga ini bentuknya kayak bunga biasa yang mekar merebah dengan lingkaran di tengah. Lubang lingkaran inilah yang menguarkan aroma nggak sedap tapi sekaligus bisa menarik serangga masuk. Bunga rafflesia umumnya berwarna merah, oranye, atau coklat.


Rafflesia adalah puspa langka Indonesia, lho. Bunga ini juga jadi salah satu komponen lambang provinsi Bengkulu. Kenapa Bengkulu? Sebab, kembang ini pertama kali ditemukan di sana. Nama bunganya pun diambil dari dua anggota tim ekspedisi yang menemukannya, yaitu Thomas Stamford Raffles dan Dr. Joseph Arnold.


Raffles dan Arnold adalah warga Inggris. Raffles menjabat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda (waktu itu 'Indonesia' ditukar oleh Belanda buat Inggris sebagai imbas perang negeri-negeri Eropa zaman kerajaan. Baru setelah Perang Napoleon selesai, Indonesia 'dibalikin' ke Belanda). Pria ini juga berperan sebagai kepala ekspedisi ke Bengkulu saat itu sehingga namanya diabadikan jadi nama bunga. Demikian juga Dr. Arnold yang bertugas sebagai naturalis (peneliti) di ekspedisi tsb. Konon, salah satu pemandu lokal melihat bunga rafflesia kemudian melaporkannya pada Arnold. Ia kemudian meneliti dan mengidentifikasi bunga ini.


Mungkin nama Rafflesia arnoldii lebih tenar dibandingkan dengan saudara-saudarany sesama rafflesia. Jadi sebetulnya ada beberapa jenis rafflesia di Indonesia. Di Jawa ada, nggak? Ada, di Jember. Duluuu banget ditemukan di sekitar situ. Sekarang, adanya di area Taman Nasional Meru Betiri, Jember, Jawa Timur. Hanya saja, yang tumbuh di sini adalah jenis Rafflesia zolingeriana. Kenampakannya mirip dengan R. arnoldii, cuma kayaknya warnanya agak coklat.


Mungkin karena sama-sama parasit, nggak punya daun/badan yang lengkap,  berukuran raksasa, dan berbau nggak enak, maka orang-orang sering keliru di membedakan rafflesia dan Amorpophallus. Apalagi dua alasan terakhir yang unik banget & nggak dimiliki banyak tumbuhan. 


Jadi mudah gini:

bunga bangkai = Amorpophallus sp. = corpse flower

bunga rafflesia = Rafflesia sp. = stinking corpse lily

Dulu saya juga ngiranya sama aja, sama-sama bunga bangkai, hehe. Ada yang pernah kecele juga?





===============

Maafkeun belum sempat nge-list sumber. 

Penjelasan lebih rinci bisa dilihat di sini:

http://lipi.go.id/lipimedia/6-perbedaan-harus-diketahui-antara-bunga-bangkai-dan-rafflesia/19787 




Reading Time:

Jumat, 04 Maret 2022

Kebetulan (?)
Maret 04, 20221 Comments

Beberapa hari lalu, seorang sobat ngajakin makan di salah satu tempat yang emang lagi happening di kalangan kancah muda. Habis cek-cek online, oke lah. Emang tampak nyaman, panorama di sana juga cantik. Cuma, ini salah satu tantangannya: karena happening abis, maka besar kemungkinan itu tempat bakal ruamee pol.


Apalagi, kami emang berencana pergi di hari libur.
(Ya gimana, kalau hari biasa kepentok hari kerja)

Salah satu trik saya kalo pengin jalan-jalan/wisata ke tempat yang disukai banyak orang: pergi di hari kerja atau datang pagi-pagi banget. Yang pertama, tentu nggak bisa. Nah, yang kedua bisa diusahakan.

Tapi karena satu dan lain hal, kami baru bisa mampir menjelang sore. Terus gimana? Sesuai dugaan. Bukan rame lagi, tapi full! Pemilik resto sampai bilang ke bapak parkir supaya nggak nerima pengunjung lagi.

Ya wes kita cari tempat lain yang suasananya masih 11-12. Lagipula kalau penuh manusia gitu rasanya agak gimanaaa gitu. Sebelum ada Covid19 aja, saya cenderung ngehindarin tempat nongkrong yang rame karena berasa sumpek dan malah nggak bisa santai. Apalagi pas ada Covid, tambah lagi. 

Nggak jauh dari situ ada resto lain. Resto yang ini sama happening-nya dengan yang tadi. Kita coba masuk. Udah parkir nih, udah jalan sampai ke gerbang, lalu dicegat seorang bapak (security, maybe?) yang intinya pengunjung harus antre dulu dan syarat berkunjung harus memesan makan/minum minimal sekian rupiah per orang. Udah jam segini dan kudu ngantre dulu buat makan siang? No way. Selak keluwen, cak. 

Sebelum tempat parkir kebetulan ada beberapa resto lagi. Salah satu terlihat lebih sederhana dibanding tempat makan di sekelilingnya. Di sana pun pengunjung tampak sedikit, jadi sepi. Maka kami berbelok ke resto itu. Urusan rasa, nanti-nanti lah. Yang penting makan dan duduk dulu.

Dari ukuran, tempat ini jelas lebih kecil. Hanya seukuran rumah dengan halaman yang rada luas. Soal konsep, nggak tahu. Mungkin mengusung konsep fasad tradisional karena ada beberapa saung jerami khas Indonesia, beda dengan resto-resto di sekitarnya yang tampak mengusung tema lumbung tani ala Eropa (a.k.a rustic Western barn). Tapi karena lebih sepi, kami bisa lebih santai.

Selain agenda meet up sama sobat, sebenernya saya sekalian hunting foto juga. Awalnya rada skeptis, sih. Tempat yang sederhana kan biasanya bikin otak harus lebih muter karena kudu cari angle yang pas biar foto jadi enak dipandang. Karena udah agak capek juga, jadi saya cuma motretin bunga-bunga di sekitar situ aja. Sekenanya; cenderung asal jepret.

Kemudian nyadar. Lah, kok, di sini ada lebih banyak bunga dan lebih berwarna daripada resto sebelah? 

Salah satu alasan kenapa saya motret bunga adalah mereka eye-catching. Nggak perlu banyak usaha, mereka sudah bisa 'tampil' dengan cantik. Jadi buat saya yang amatir ini, objek bunga sangat memudahkan hunting foto, hehehe. Selain itu, bunga juga bisa jadi salah satu alat buat framing. Karena masih latihan (lama amat latihannya, wkwk), maka kalau ada objek kayak gini ya membantu banget. 

Mungkin, kalau kami jadi ke resto tujuan tadi (baik yang pertama ataupun kedua), kami bakal kurang bisa santai karena ada banyak orang. Kami pun, mungkin, kurang max menikmati pemandangan alam dan hawa sejuk yang ada di sekitar. Dan, saya nggak bakal ketemu bunga-bunga elok aneka warna yang bisa jadi objek foto.

Kebetulan banget, bukan?
Padahal resto itu kami pilih asal. Asal dapet tempat, asal bisa makan (udah laper! wkwk), asal bisa duduk. Suasana dan makanan nomor sekian (meski surprisingly rasa makanannya lumayan meski menunya biasa aja). Serasa kebetulan yang merupakan keberuntungan.

Kalau kata orang bijak, sih, nggak ada yang namanya kebetulan. Kan, udah ada yang ngatur takdir. Hanya saja, logika takdir nggak semudah logika otak manusia. Atau mungkin pakai hukum logika yang berbeda. Jadi ya... nggak nyampe.  

"Oh, Sherlock, what do we say about coincidence?"
"The universe is rarely so lazy."
- Sherlock (BBC ver)

Hal yang kita anggap kebetulan, mungkin sebetulnya adalah hasil dari sebuah rangkaian rumit dan teramat panjang yang didesain Yang Maha Kuasa. Rentetan reaksi ini begitu njelimet dan 'nggak logis' bagi otak kita. Tahu butterfly effect? Ya mirip-mirip itu lah, cuma lebih rumit sebab ilmu kita kan jauh lebih sedikit. Seperti yang kita tahu, logika dan matematika Tuhan seringkali beda dengan kita. Dan bukannya dunia ini sebetulnya perwujudan sebuah model matematika? Bahkan cahaya yang dianggap maya toh bisa dihitung pakai formula. 

Yaa kebetulan waktu itu takdirnya dapat tempat yang lumayan cozy. 
Berarti, bisa aja dong dapatnya justru tempat yang lebih nggak enak? Bisa. Bisa aja kebetulan kami jadi dapat resto yang suasana dan makanannya nggak enak. Bisa jadi kebetulan malah dapat tempat yang enak tapi harganya selangit. Daaan kebetulan-kebetulan lainnya.

Namanya juga kemungkinan; ada banyak. Hampir tak hingga.

So, kebetulan tak harus selalu dapat keberuntungan; kadang malah bisa buntung. Bahkan ketika sudah diusahakan, udah ikhtiar mati-matian, hasilnya tetap bisa jelek dan nggak sesuai harapan. Para pengunjung resto happening tadi mungkin ada yang udah rencana jauh-jauh hari, datang dari tempat yang jauh juga, atau mungkin berangkat pagi dari rumahnya. Tapi bisa jadi dengan usaha yang lebih itu, ada yang justru rugi karena malah nggak bisa nikmatin suasana akibat penuh sesak. Atau, nggak bisa dapat foto bagus karena banyak orang seliweran. Di sisi lain, ada yang lebih santai, tanpa usaha, mungkin malah asal aja (kayak kami tadi), tapi justru dapat hasil yang baik.

Kok kayak nggak adil gitu?
Well, that's life. Life is unfair. You want fair? That's afterlife.

Manusia cuma bisa usaha dan antisipasi. Hasilnya? Entah.
Beberapa bisa seperti prediksi, sebagian bisa seratus delapan puluh derajat.
Bisa kebetulan bagus sesuai perhitungan atau kebetulan apes meleset berlawanan.
Bisa qadarullah pas dengan hal yang dipengeni atau qadarullah malah bikin istigfar berkali-kali. 

Hidup toh memang dinamis. Nggak sesimpel 'jika x maka y'. Jika berusaha maka berhasil, jika malas pasti miskin, dan jika-jika lainnya. Nggak juga seideal kalimat motivasi ataupun kata-kata mutiara; mau yang berbau senja ataupun yang tampaknya berbalut agama. 

Life is just... too complex to be comprehended from only one sentence.
And it is too complex to be summarised to only one sentence.

Or one paragraph.
Or one random written thoughts.


Siapa sangka dari asal pilih, ternyata kebetulan dapat pemandangan lumayan cakep

Reading Time:

Jumat, 25 Februari 2022

Pesan dalam Tulisan
Februari 25, 2022 2 Comments


Apa, sih, pesan dalam tulisan itu?

Apa pesan adalah sesuatu yang jelas-jelas dituliskan penulis di naskah? Misalnya, ajakan 'jangan mencuri, jangan berbuat jahat, jangan merebut milik orang' dsb. Atau, pesan dalam tulisan adalah sesuatu yang bisa dipahami pembaca secara tersirat tanpa si penulis menuliskannya dengan gamblang?


Menurut saya, keduanya benar. Namun, poin pertama lebih cocok digunakan untuk buku anak-anak sehingga memang harus gamblang. Di sisi lain, poin kedua lebih sesuai untuk buku-buku/tulisan remaja dan dewasa karena mereka punya tingkat pemahaman yang lebih tinggi daripada anak-anak. 


Ini konteksnya tulisan fiksi, ya. Sebab pada nonfiksi, sebagian besar memang tersurat.


Namun, pada praktiknya, pesan model pertama (yang gamblang itu) masih sering ditemukan di buku untuk dewasa/remaja. Pesan-pesan seperti ini seakan menyuapi pembaca sehingga kita serasa sedang diceramahi dan didikte bagaimana harus bersikap. Meski pesannya baik, tapi gimana ya.... Kan, ini fiksi yang 'tugasnya' bercerita; bukan teks peraturan atau ceramah tokoh agama.


Biasanya, model-model tulisan seperti ini sebagian besar adalah hasil karya para pemula, baik itu yang baru 'nyemplung' dalam dunia kepenulisan ataupun orang yang bukan pendatang baru tapi masih belajar merangkai cerita. Namanya juga proses jadi sebetulnya normal-normal aja. Namun, akibat belum halus dalam bercerita, maka biasanya ada dua kemungkinan, antara (1) pesannya nggak sampai, atau (2) pesan tsb jadi cenderung kayak menceramahi. Kemungkinan kedua lebih sering ditemui. (Saya juga masih sering kayak gini, haha. Apalagi kalo udah buntu terus bingung ini enaknya 'dibungkus' kayak gimana, LOL).


Namun, ternyata bukan cuma penulis-penulis aja yang 'terjebak' di pesan tersurat, pembaca juga kayaknya masih banyak yang sulit mengambil pesan dan lebih suka ngambil 'permukaannya' aja. 


Soal pembaca yang nggak bisa memahami lebih dalam ini sebenernya saya agak kaget juga, sih. Kalau tulisan sastra, maklum, karena emang dibungkus metafora berlapis-lapis. Tapi kalau tulisan populer, hm... kan itu sudah lebih mudah dipahami, yak. Dan, saya pikir, jenis tulisan/genre/aliran/dll penulis sudah akan menyaring siapa yang akan jadi pembaca sehingga mereka sudah paham gaya tulisannya memang seperti itu dan mampu mengambil pesan yang tersirat di situ.


Gampangnya, 'pasar'/sasaran pembacanya udah terseleksi lewat genre dll-nya gitu, lho. Jadi harusnya mereka memang orang yang relate dan 'nyambung' dengan si penulis ini.


Jadi saya cukup terhentak waktu nemu ini di kolom Facebook.



Saya nggak tahu apa orang yang request ini udah baca semua tulisan Asma Nadia atau belum. Soalnya, kalau ngikutin, judul-judul seperti Emak Ingin Naik Haji, Cinta di Ujung Sajadah, itu bukan ngomongin soal cinta cowok-cewek, euy. Misalnya di Emak Ingin Naik Haji. Duh, itu, kalau disorot dari segi kekuasaan Allah seperti kata sender, pas banget karena isinya bener-bener nunjukin kuasa Allah. [SPOILER ALERT!] Dari Emak yang cuma jadi ART tua di rumah juragan, yang jelas gajinya cuma cukup buat hidup sederhana, sampai bisa haji karena tiba-tiba juragannya mau syukuran dengan berangkatin orang lain haji. Padahal, juragan itu sebelumnya kalau syukuran ya syukuran biasa aja; makan-makan ramai-ramai. [SPOILER END]


Poin saya adalah di ucapan Asma Nadia soal perspektif yang banyak itu. Ambil contoh topik cinta. Perspektifnya memang bisa jadi kisah kasih pria-wanita, tapi bisa juga antara ortu-anak, Tuhan-hamba, atau riilnya cinta Emak terhadap Allah lewat keinginan naik haji tadi. Buku/novel mbak Asma yang bertema pernikahan pun ada pesan terselubungnya; nggak cuma nunjukin indahnya romantisme kehidupan setelah married.


Sayangnya, hal-hal seperti inilah yang masih luput dari kacamata beberapa pembaca. Entah belum bisa atau nggak mau, mereka nggak menyelami isi cerita lebih dalam sehingga pesan tulisan justru kelewat gitu aja. Biasanya, karena yang menjadi fokus ketika membaca hanya alurnya. Apa sih ini konfliknya? Gimana sih ending-nya? Gimana nasibnya si A, B, C? Akhirnya, yang dipahami, ya, cuma garis besarnya. Padahal (menurut saya sih), penulis macam Asma Nadia, Andrea Hirata, dsb itu meski pesannya kadang agak berat, tapi penyampaiannya udah halus dan 'merakyat' sekali sampai remaja aja bisa paham. 


Lagipula, banyak, kok, penulis kondang dan andal di Indonesia yang sudah menuangkan berbagai kisah yang nggak cuma cinta-cintaan. Mungkin pembaca aja yang kudu cari-cari lebih banyak daripada disajikan begitu saja. 


Lalu, poin kedua.

Bila memperhatikan kolom sebelah kanan, apa yang terlintas?

Kalau saya, yang terpikir adalah ensiklopedia, bukan novel. Mungkin cerpen, tapi cerpen anak. Sebab, pesan-pesannya terlalu gamblang dan konfliknya terlalu sederhana dan pendek. Entah kalau ada yang bikin seperti cerpen koran yang dibungkus metafora bermacam-macam, mungkin bisa (?) Entah. Tapi yang jelas, sulit rasanya buat saya untuk membayangkan hal seperti ini diangkat menjadi topik utama di novel untuk dewasa/remaja.


Mungkin, memang pembaca yang harus mau menggali pesan lebih dalam daripada hanya membaca pesan dan alur permukaan aja. Sebab, salah satu kelemahan fiksi Indonesia dibandingkan luar negeri memang perkembangan karakter dan 'isi' yang kurang karena terlalu fokus pada alur dan penyelesaian konflik. 


Nggak semua tulisan, tentu. Tulisan yang matang biasanya sudah melewati hal ini. Tapi untuk fiksi pop, masih banyak yang begini. Bahkan, tulisan yang sudah dicetak menjadi buku pun bukan jaminan kalau ia sudah 'lepas' dari style seperti ini.


Pada akhirnya ya tergantung pembaca. Nggak bisa menggantungkan quality control pada penulis aja. Sebab, nggak cuma penulis, pembaca juga harus cerdas untuk menentukan tulisan yang masuk ke otaknya.

Reading Time: