Hijaubiru

Jumat, 03 Desember 2021

Let's Eat Less Meat
Desember 03, 20210 Comments



A few days ago, I came across a big, global organisation's post about how to minimise the effect of climate change. One of them is to eat less meat.


This campaign is very relevant because cattle ranch produces much methane, which in a big number is able to risen the earth's temperature significantly. This gas is one of the main component in greenhouse gas/effect.


Sounds good, right? To eat less meat to reduce greenhouse gas to minimise the effect of climate change?


Yes.

Except that it has been practiced in many countries already. Especially in developing countries.  It is known that, in these nations, eating any kind of meat is a luxury. The price of beef and poultry is far higher than most people's daily wage. It is practically impossible for them to eat meat everyday. Well, even many of them cannot eat meat for a year round if it is not for their neighbour's charity or a given from a festival/holiday.


In my own country, there are many people like them. The best protein source they can obtain is egg or tofu or tempeh because they are far cheaper than meat. They consume meat only when Qurban holiday comes and it only happens once a year. They don't even buy the meat, the moslem charity does it. Yeah, the holiday which is widely misunderstood mostly by Westerners as cold-blooded-cruel-cattle massacre (which, is not cruel because there is a strict guidelines in how to swiftly end the animal's misery) actually feeds them protein they need.


"But plant-based protein is healthy!"

Yes, but humans do need animal-based protein too. And those people want to eat it. Once. A. Year.


If so, then who eat many meats?

Sorry to say, but it is the people in first world countries.


"But their country doesn't have big ranches!"

They imported it. Have you ever read that a big ranch opening in South America (which, of course, opened a virgin forest thus led to deforestation) is actually producing meat to be distributed to its northern continent? There is a supply and demand, my friend. 


It does not stop here. Another campaigns are irrelevant for developing countries too. A saying that each country has to reduce its energy uses, for instance. It looks like that the 3rd world countries waste their energy etc etc. But, the calculation shows that the energy spent per capita is higher in 1st world countries. Let's say, European ones. It means that each person in Europe uses more energy than one person in developing countries. And which nation was it that told to cut their energy uses?


Another example is deforestation. They insist that forest-harbouring countries should stop deforestation at all. I agree with this, but with some points for consideration.

A friend once joked, "They did deforestation far earlier than us in 60s-70s and it pushed their economy to be better until now. Nowadays they forbid us to do it. Is it because they are afraid that we will catch up to their economy?"


Just so we know, many of Europe or Northern America's forest were cut down to open ranches, farms, lumbers, etc decades ago. Yes there are rehabilitation recently (and we have to admit that our own country's rehabilitation is slower anyway). But not all of them are rehabilitated. We may question some really good photos about expansively stretching farms. You know, those ones which is very wide, very uniform, and very instagrammable. Maybe most of them were forest or a natural local ecosystem. Oh, and do not forget that those massive monoculture farming is almost impossible to be organic. It means there are synthetic chemicals involved in massive numbers.

Not all of them, sure. But still, most of it.


I do not approve of deforestation. I do not approve of damaging the earth or nature. To prevent it, we all need to sacrifice some aspects of our convenient life. But it is hardly called a sacrifice if a country do not feel inconvenient and just inconveniencing another nation, is it not?


We developing countries need to grow too. It is impossible to have a hundred percent green economy for all country. There will always be a speck of brown economy. But every country can minimise the brown one depends on their situation. Sustainability is how to sustain best on their own. Every nation's condition is different so the methods will be different too.


These global campaigns are good, actually. They do it for the better earth for us and our descendants. Although, they can localise the action based on the location. For instance, if they are campaigning about less meats, they should add where it should be applicated. This organisation has 'local' ambassador for almost each country. These ambassadors should campaigning things that is relevant to their corresponding nation.


============================


Disclaimer: it is a personal thought and personal notes. Not even an opinion type-of-writing or essay. There is no data because I read/heard it a long time ago and I did not keep record of it.


============================


Tried my hands (and thoughts) writing in English again after a loooong time didn't do it properly. Feels a little bit stiff and it can be seen that my grammar and vocabulary are battered in every paragraph LOL. So ... feel free to correct me if you find wrong grammar or the likes.



============================



Pic credit: https://www.vecteezy.com/photo/2804733-raw-beef-meat-on-cutting-board



Reading Time:

Jumat, 26 November 2021

Surabaya dari Balik Jendela
November 26, 20210 Comments

 


Gimana cara mengusir kebosanan di-rumah-aja karena pandemi? Ada banyak cara; dari melakoni hobi hingga iseng ikut tren macam bikin dalgona dan puding. Tapi gimana kalau hobinya jalan-jalan? Well, ini sih memang harus ditahan dulu.


Namun, kalau kita termasuk orang yang bisa menahan diri nggak mampir-mampir, jalan-jalan tipis dalam kota masih mungkin dilakukan. Bener-bener cuma jalan atau nyetir kendaraan tanpa berhenti. Paling cuma singgah sebentar buat isi bensin atau beli makanan/jajan yang bungkus bawa pulang.


Sejak sebelum pandemi, saya emang udah doyan muter-muter tanpa berhenti buat cuci mata. Nggak jauh, di dalam kota aja. Ngelihat gedung tua, sawah atau tegalan yang hijau, atau sekadar nyobain rute jalan yang jarang dilewatin. Literally nggak ngapa-ngapain; cuma naik kendaraan tanpa berhenti sambil lihat pemandangan kanan-kiri doang. Kadang disambi hunting foto kalau ada panorama bagus dan memungkinkan buat berhenti.

 

Bahasa umumnya: sight-seeing. Bahasa jowonya: mblakrak.

 

Sejak pandemi dan nggak bisa travelling beneran, ini jadi cara alternatif saya kalau lagi pengin jalan-jalan. Nggak sering, seminggu sekali belum tentu.

 

Kalau di kota/kabupaten yang nggak terlalu ramai, pemandangan ijo royo-royo relatif gampang didapat karena masih banyak sawah, lahan, sungai yang lumayan bersih, plus dekat lembah & gunung. Gimana kalau di kota, apa yang mau dilihat? Surabaya, misalnya?

 

Kalau di Surabaya, saya beralih ke gedung tua. September lalu (kalau nggak salah), saya sempat motret beberapa gedung lawas dari balik jendela mobil, waktu kebetulan melintas di depannya (God bless penemu autofokus!)


Berikut beberapa landmark yang terlewati dari rute Surabaya utara ke selatan

(NB: dibuat berdasar cerita mulut-ke-mulut, jadi besar kemungkinan ada yang bias atau nggak valid. Untuk yang lebih tepat, harap cari sumber lain yang lebih otentik).

 

1. TUGU PAHLAWAN

Tugu Pahlawan (kiri), bendera, dan kantor gubernur Jatim (kanan)
Gambar diambil dari area dalam Tugu Pahlawan, 2015
(foto yg dijepret sambil jalan ternyata burik, jadi pake ini aja)


Monumen juang untuk memperingati keberanian arek-arek Suroboyo (yang hingga kini masih suka bondo nekat) mengusir penjajah. Selain tugu yang menjulang bak pena tembus ke langit, juga ada museumnya. Bentuk bangunan museum ini agak mirip dengan kubah piramid Museum Louvre, Perancis.

 

Di sini juga ada lapangan luas. Dulu pada zaman kerajaan-kerajaan, saat Surabaya masih berupa kadipaten independen, di sinilah letak alun-alun kota. Keraton Surabaya, yang sekarang tak ada jejaknya, terletak tak jauh dari sini. Perkampungan dan ruko yang ada saat ini, dulu adalah perkampungan abdi dalem dan para pekerja kadipaten.

 

Konon, nama-nama jalan di sekitar sini dibuat berdasar jenis perkampungan di masa lalu. Misalnya, Jl. Jagalan yang ditengarai sebagai pusat jagal ternak di waktu itu. Btw kalau nggak salah di sekitar sini juga ada kampung yang di sana ditemukan sumur kuno zaman Majapahit. Tapi saya lupa tepatnya di mana. 

 

 

2. KALISOSOK


Nama ‘Kalisosok’ adalah nama penjara legendaris di Surabaya. Puing bangunan ini masih terletak di kota tuanya Surabaya.

 

Dulu, waktu eyang-eyang pejuang kemerdekaan masih banyak yang hidup, nama bui ini sering disebut dan diceritakan ke kami yang masih kecil-kecil.

“Kalisosok ya … Dulu pernah dipenjara di situ.”

“Kenapa, Mbah?”

“Biasa … ditangkap Belanda.”

 

In frame: bukan Kalisosok, tapi gedung-gedung lawas di sekitarnya. Nuansa kota tua terlihat dari bentuk bangunan dan jendela yang besar-besar khas gaya kolonial. Masih berpenghuni.

 


3. KALIMAS DAN MATARAM



Salah satu sungai besar dan penting di Surabaya yang merupakan sempalan Sungai Brantas. Sungai ini sudah jadi jalur transportasi air sejak zaman Majapahit (untuk masuk ke Mojokerto) dan zaman kolonial.

 

Masih ingat cerita penaklukan dunia oleh tentara Mongol khususnya dinasti Khan? Pertempuran Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit, dengan pasukan Mongol utusan Kubilai Khan terjadi di sekitar sungai ini.


Kalimas yang membelah Surabaya
(maafkeun garis animasinya nggak terlalu pas, ngedit di HP)

Nama ‘Kalimas’ punya arti ‘sungai (kali) yang berwarna kuning/keemasan’. Nama ini didapatkan ketika Kadipaten Surabaya sedang berperang dengan Mataram Islam. Saat itu, Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung sedang meluaskan ekspansinya ke Jawa Timur.

 

Pasukan Mataram kesulitan menaklukkan Surabaya karena selain kuat, keraton Surabaya (daerah sekitar Tugu Pahlawan tadi) dikelilingi sungai dan rawa. Mereka pun bersiasat dengan membuang banyak kotoran, termasuk feses manusia, ke Kalimas sehingga airnya kotor dan berwarna kekuningan. Akibatnya, sungai tersebut tercemar sehingga menyebabkan penyakit bagi prajurit dan penduduk setempat.

 

Taktik oldies bioweaponry ini berhasil. Surabaya menyerah.

 

Setelah ditaklukkan dan jadi bagian dari Mataram, beberapa pemimpin Surabaya pun dikirim ke Yogya, pusat Mataram Islam. Salah satunya adalah Pangeran Pekik. Beliau dinikahkandengan adik Sultan Agung dan ikut terlibat aktif dalam pemerintahan sultan.

 

Pangeran Pekik hidup di Yogya sampai meninggal. Beliau dimakamkan di kompleks makam Banyusumurup yang terletak di Imogiri, Kab. Bantul, D. I. Yogyakarta. Tak jauh dari kompleks makam raja-raja. Lokasinya tak jauh dari pertigaan utama ke arah Kebun Buah Mangunan.

 

 

4. JEMBATAN MERAH

Pagar jembatan yang dicat merah tampak di bagian paling kiri dan kanan foto


Selain sebagai penyeberangan melintasi Kalimas, jembatan ini juga dijadikan batas pemisah oleh pemerintah Hindia-Belanda. Bagian barat jembatan merupakan area untuk orang Eropa dan Belanda, sedangkan sebelah timur untuk Tionghoa, Arab, dan Melayu.

 

Makanya bila diperhatikan, gedung-gedung di Jl. Rajawali dan sekitarnya (barat) punya gaya arsitektur ala Eropa, sedangkan area Kyakya dan sekitarnya punya bangunan bernuansa Timur Jauh.

 

Jembatan ini juga jadi saksi penting sejarah perang kemerdekaan ketika Sekutu (Allied Forces) masuk ke Indonesia. Brigjend Mallaby disebut tewas di sekitar sini menjelang pertempuran 10 November.

 

Aaanyway, Jembatan Merah punya lagu yang dibuat oleh Gesang. Keroncong gitu. Liriknya sedih bener, ngegambarin situasi zaman mbah-mbah kita yang ditinggal perang orang terkasih. Coba simak potongannya berikut ini:

Biar jembatan merah

Andainya patah aku pun bersumpah

Akan kunanti dia di sini

Bertemu lagi~

 


5. KYAKYA/KEMBANG JEPUN


Pecinannya Surabaya. Nuansa bisnisnya terasa. Banyak toko dengan pintu folding-gate berteralis berjajar di kanan-kiri.

 

‘Kyakaya’ berarti ‘jalan-jalan’ dalam salah satu dialek Tionghoa (Hokkian, kalau nggak salah *cmiiw). Artinya, tempat ini biasa jadi jujugan untuk jalan-jalan.

 

Namun, ada pendapat lain yang berkata bahwa ‘kyakya’ berarti ‘jalan, jalan!’. Dulu, tempat ini sangat ramai hingga manusia pun berjalan umpel-umpelan. Maka banyak orang berseru, “Kya! Kya!” dengan maksud menyuruh orang di depannya supaya berjalan lebih cepat.

 

Nama ‘Kembang Jepun’ muncul ketika pasukan Jepang datang dan mereka menjadikan tempat ini sebagai jujugan mencari ‘kembang’ *iykwim

 

 

6. HOTEL ARCADIA



Dulu bernama Hotel Ibis. Dulunya lagi, bekas gedung perusahaan Geo Wehry & Co. Ini perusahaan termasuk Big Five di Hindia Belanda pada masanya. Geo Wehry & Co juga punya gedung di kota-kota besar lain, seperti Jakarta dan Padang.



7. SIOLA DAN TP (TUNJUNGAN PLAZA)


Tunjungan adalah pusat jalan-jalan sejak zaman dulu kala, bahkan sebelum ada plaza-plaza yang menjulang tinggi dan sering bikin orang nyasar itu. Demikian juga Siola.

 

Banyak toko; dulu dan kini. Hotel Majapahit/ex-Yamato/ex-Oranje tempat insiden penyobekan bendera Belanda juga terletak di ruas ini. Dengar-dengar, pemkot bakal bikin area ini jadi semacam sentra jalan-jalan.

 

Sama seperti Jembatan Merah, Tunjungan juga punya lagu.

Rek, ayo, Rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan

Rek, ayo, Rek, rame-rame bebarengan

Cak, ayo, Cak, sopo gelem melu aku~

 


8. BALAI PEMUDA


Dekat balai kota. Sering jadi tempat pameran dan rute pawai. Dekat situs sejarah patung Joko Dolog juga. Konon disebut 'Balai Pemuda' karena dulu dijadikan tempat kumpul-kumpul para jongens (pemuda/lelaki Belanda). Macam gentleman clubhouse gitu lah. 

 


9. WISMILAK


Menuju selatan, di persimpangan Jl. Dr. Soetomo dan Jl. Polisi Istimewa, ada hiasan jalan berupa rangkaian kandang burung (tanpa burung) yang dihiasi lampu warna-warni. Di selatan ada gedung yang jelas mencolok karena gayanya yang lebih oldies dibandingkan yang lain. Itulah Grha Wismilak.

 

Sebelum masa kemerdekaan, bangunan ini menjadi toko elit bagi warga Belanda. Kemudian, disewa menjadi Toko Yan. Ketika Jepang masuk, mereka menjadikannya asrama Pasukan Polisi Istimewa (Tokubetsu Keisatsu-tai, sekarang istilahnya Brimob). Ketika Sekutu datang pada ’45, para pejuang diultimatum dan diminta menyerahkan senjata ke sini.

 

Setelah Indonesia merdeka, gedung ini pernah jadi kantor polisi RI. Sekarang, gedung ini menjadi milik PT. Wismilak

(sumber: Grha Wismilak | Wismilak Group)

 


10. PINTU AIR JAGIR

Pintu air untuk mengatur volume air. Termasuk cagar budaya karena dibangun (selesai) pada 1917 (sumber: Pintu Air Jagir - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

 


11. GRAHA PENA

Now the modern time it is!

Salah satu gedung di Surabaya yang ikonik karena bentuk menaranya yang mirip pena. Nggak heran, karena gedung ini milik perusahaan surat kabar Jawa Pos. Tapi, di dalamnya ada beberapa kantor, nggak cuma Jawa Pos aja.

 

Di depan Graha Pena terdapat gedung ‘anak mudanya Surabaya’: DBL Arena. Gedung ini dipakai anak-anak SMP & SMA untuk tanding basket dan suporteran. Biasanya sepulang suporteran anak-anak sekolah ini bakal mampir ke KFC di sebelahnya. Sekarang sih, kayaknya tempat nongkrongnya makin beragam.

 

==========

 

Sekian.

Cerita-cerita didapat dari obrolan, kisah orang-orang tua, virtual tour, dan baca dari beberapa buku dan webpage (yang, maaf, lupa apa aja--bakal ditambahkan kalo udah nemu). Foto dan takarirnya pernah saya jadiin instastory beberapa bulan lalu. Awalnya saya pikir karena cerita tiap tempat (yang saya tahu) sedikit, ngapain ditulis di blog? Tapi akhirnya, "Ya udah nggak apa-apa buat pemanasan nulis lagi", hehe.


Selamat malam. Semoga bisa menikmati Surabaya yang kini sedang dibalut hujan (dan kenangan (?)




Reading Time:

Jumat, 12 November 2021

Supaya (Kembali) Suka Membaca
November 12, 2021 2 Comments




(Judulnya formal & serius amat ya kayaknya, haha. Padahal isinya lebih kayak cerita biasa. Rada template  biar ke-detect SEO aja padahal ya nggak kayak gitu cara mainnya lol  Ilustrasinya juga nggak nyambung)

Okay, back to business.

 

Seseorang pernah nanya ke saya, “Gimana sih biar suka/hobi baca?”

Pertanyaan ini bikin garuk-garuk kepala. Ini sama aja kayak nanya kenapa ada orang yang suka es krim tapi ada juga yang nggak suka; kenapa teman kita ada yang naksir si X dan bukan si Y.

 

Ya karena … emang suka.

Apa rasa suka bisa dipaksakan? Kan enggak. Sama dengan baca buku.

 

Tapi, bukan berarti nggak bisa dibiasakan. Sama kayak kita yang nggak semuanya suka Matematika tapi karena dibiasakan, seenggaknya kita bisa kalau tiba-tiba disuruh ngitung perbandingan senilai (apalagi kalau yang dibandingin itu harga barang di toko online pas event 11.11).

 

Jadi gimana caranya?

Untuk catatan, cara orang beda-beda, yak. Cocok buat saya belum tentu cocok buat ngana. Ini cuma berdasar pengalaman (halah!) personal saya aja sih.

 

1. START SMALL

… tapi rutin. Usahakan sehari baca paling enggak sekali. Nggak perlu lama-lama, 15 menit aja cukup. Dan, nggak perlu panjang-panjang. Baca teks panjang juga nggak apa-apa sih—apalagi kalau enjoy— tapi membaca sedikit ini lebih buat memicu minat baca. Khawatirnya bakal jenuh dan hilang minat kalau ngerasa diwajibkan baca agak banyak.

 

Berapa banyak ‘sedikit’ itu? Terserah. Saya kemarin cuma tiga lembar per hari. Meski kadang karena ngerasa nanggung dan telanjur penasaran jadi dilanjutin lebih dari tiga, hehe. Ini cuma butuh waktu paling lama 15 menit.

 

Kalau dibatesinnya bukan lembar, tapi waktu, gimana?

Ya, monggo kerso, silakan aja. Suka-suka.

 

Cuma kalau pengalaman saya, dibatasi pakai waktu terasa lebih mengganggu. Sedikit-sedikit lihat HP buat lihat waktu (“Duh kok masih lama sih?”). Tapi kadang malah waktu lagi asik-asiknya, alarm keburu bunyi. Jadi keasyikan baca bukunya berkurang. Jadi saya pilih pakai lembar aja.

 

 

2. BACA BUKU YANG DISUKAI

… atau genre buku yang disukai. Atau, buku yang emang pengin dibaca karena penasaran. Supaya ada pemantik: memang suka bacaan itu/penasaran isinya.

 

“Tapi aku sukanya baca komik.”

 

Nggak apa-apa. Baca! Ini kan baru pembiasaan. Nanti kalau sudah biasa, bisa lanjut ke buku-buku yang lebih tebal. Waktu kecil, saya juga juga gitu. Ortu membiasakan dengan buku dongeng bergambar. Lalu waktu agak besar, ke komik tokoh-tokoh dunia dan novel anak. Terus saya melebar ke koran, majalah, dan semacamnya, kemudian berlanjut ke novel teenlit, lalu novel sastra, lalu buku-buku nonfiksi. No problemo, semua bertahap. Yang penting enjoy dulu.

 

Lagipula, komik itu nggak jelek, kok. Banyak komik-komik yang bagus. Bahkan saya pernah nemu komik yang pembacanya kudu mikir dulu, sedangkan ada pula novel yang udahlah isinya nggak jelas, gaya penulisannya kayak anak SD baru belajar ngarang.

 

Saya juga pernah coba baca buku yang masuk kategori must read. Kebetulan semacam buku pengembangan diri yang lagi ngetren gitu lah di kalangan mahasiswa. Banyak teman yang review, “Bagus nih, kamu kudu baca apalagi kamu suka baca!” Terus, saya bacalah itu buku.

 

And then?  Udah seminggu nggak habis-habis, euy. Jangankan habis/enjoy, isi bab yang barusan dibaca aja nggak begitu ngeh, masih nggrambyang. Bukan nggak paham, tapi karena I can’t grasp the idea. Kemudian saya sadar: saya baca itu buku bukan karena pengin/penasaran tapi karena ngerasa kudu baca, ikut tren para pembaca lainnya.

 

Kalau dari awal udah nggak enjoy, ya gimana bisa suka (baca)?

Sama lah kayak naksir orang. 

 

NB: ada sih buku yang sebaiknya dibaca meski kita nggak terlalu pengin tahu. Bisa buku nonfiksi atau fiksi. Kadang saya juga memaksa diri baca buku-buku itu supaya nambah isi otak atau memperluas referensi. Bisa, kok. Masuk ke otak. Cuma nggak masuk ke hati. Nggak apa.

Namun, karena di sini yang dibahas adalah membiasakan membaca, jadi saya saranin supaya cari sesuatu yang bisa bikin suka secara alamiah dulu.

 

 
3. SEDIAKAN BUKU KHUSUS KETIKA MALAS MELANDA

Akan ada waktu saat dalam seminggu full kita malas baca. Atau, kalau programnya harian, ada hari yang sibuk banget atau maleeees banget baca (penginnya main medsos atau main HP aja—ini sih saya, wkwk). Terus gimana biar nggak putus dan bisa istikomah?

 

Biasanya saya sediakan satu buku yang antarbab nggak begitu berhubungan. Maksudnya?

 

Gini. Sebetulnya, saya tipe orang yang nggak bisa kalau baca itu dipotong-potong. Misalnya satu buku dibaca dalam seminggu. Nggak bisa. Soalnya, saya bakal gampang lupa apa yang udah dibaca. Jadi emang harus habis dalam sehari. Max 3 hari. Kecuali textbook dan buku nonfiksi scientific. Makanya dulu, meski bacanya ngejoss, paling seminggu saya cuma bisa baca 1 buku meski sehari langsung habis.

 

Nah, karena saya harus mulai membiasakan membaca dari awal lagi, ya nggak mungkin ritmenya kayak gitu, dong. Jadi untuk menyiasati hari malas baca, saya sedia buku macam kumpulan cerpen/esai/artikel. Nah kalau kayak ini kan, satu cerpen paling 10 lembar bahkan bisa lebih pendek. So yang dibaca lebih pendek, tapi tetap baca.

 

Kalau nggak suka cerpen, gimana?

 

Bisa diganti buku-buku yang ‘babnya adalah pembahasan terpisah’. Selain antologi cerpen, kadang saya baca kompilasi artikel Ekspedisi/Liputan Kompas, misalnya. Atau buku semacam ‘jenis-jenis tumbuhan TOGA Indonesia’, itu kan tiap babnya cuma bahas satu jenis tanaman.

 

 

4. JAUHKAN SUMBER DISTRAKSI

Ini ‘tips’ paling penting, paling krusial, paling esensial.

Jauhkan HP atau matikan internet. Dua itu sih sumber distraksi saya yang paling utama. Bahkan, yang disebut kedua adalah hal yang bikin saya berpindah hati dari buku. Apalagi setelah pandemi ketika harga paket data dan wifi jadi jor-joran murahnya (dulu mah buka Youtube pakai HP aja kalau mepet banget).

 

Duluuu, sebelum harga paket data & wifi ‘semurah’ sekarang, saya suka ngakalin dengan sengaja beli paket data yang memang koneksinya jelek. Jadi memang cuma lancar buat chatting aja. Terus kalau butuh buka web dll gimana? Di kampus. Kalau terpaksa buka web di kosan, paling cuma buka website jurnal yang notabene teks semua jadi loading-nya cepet.

 


5. EBOOK

Gimana kalau masih tetap lebih suka pegang HP?

 

Baca ebook (yang legal). Ada beberapa aplikasi, seperti Google Books dsb. Saya pakai iPusnas. Dia gratis. Selain itu, ada aplikasi perpustakaan lain yang juga gratis, cari aja.

(“Ngantre lama dong?” Kalau buku yang populer, iya. Tapi nggak semua juga. Beberapa buku Dee, misalnya, saya pinjam tanpa antre. Kadang malah nemu hidden gem; buku yg isinya bagus tapi jarang orang cari/tahu. Tanpa antre.)

 

Saya baca ebook via HP kalau lagi males banget baca buku dan seharian lebih sering pegang HP. Mau berpisah, rasanya susah. Tapi saat dipegang, terasa bosan. Sering kan, kita pindah-pindah apps karena bosan sampai mikir, “Buka apa lagi yaa?”

 

Nah, cara ini saya pakai kalau lagi kayak gitu. Daripada random tanpa guna, buka aja apps membaca. Tips ini biasanya saya kombinasikan dengan tips nomor 3 karena moodnya sama: lagi males.


Dan, karena mata saya tipe yang cepat perih kalau baca buku di HP, cara ini lumayan membantu. Tetap baca, tapi nggak terlalu lama.



 

 

==============================

 

 

Mau cerita sedikit. Sebenarnya, udah hampir dua tahunan ini saya nggak melahap habis satu buku. Setahun mungkin cuma tamat 1-2 buku baru. Bacanya juga loncat-loncat aja dan itu buku udah terlupakan bahkan sebelum dibaca separuh. Durasinya pun nggak lama. Satu jam nggak pakai tengak-tengok itu udah rekor banget.

 

Padahal dulu? Satu buku dengan tebal 500 halaman lebih bisa saya lahap dalam sehari. Nggak skimming atau scanning, tapi emang beneran dibaca. Dan, kalau diminta mengisahkan ulang, saya bisa nyeritain detail isinya apa.

 

Karena makin sibuk, kali?

 

Well, no. Malah kayaknya dulu jauh lebih sibuk, secara fisik ataupun otak.

 

Sebenernya udah tahu kenapa, sih …. Tak lain tak bukan: distraksi HP. Scroll medsos (apalagi kalau lagi bangun niche ya kan—alasan aja sih), nonton Youtube, chatting, dll dsb dst. ‘Untungnya’ masih baca juga meski baca komik online yang per episodenya terbit per minggu (sehingga fokusnya cepat loncat ke judul komik lain yang juga lagi update hari itu).

 

Nah itu kan masih baca!

 

Kalau ngitungnya gitu, ya, masih baca. Masih sering baca artikel juga, misalnya yang di-share akun-akun macam NatGeo dkk. Tapi, kan, itu paling cuma 3-5 lembar. Setelahnya langsung ganti baca artikel lain. Jadi durasi fokus baca di satu topik itu nggak lama. Beda dengan buku yang butuh berjam-jam buat stay di satu bahasan.

 

Untungnya sebulan lalu, ada teman-teman yang menggagas program rutin membaca buku sebulan penuh. ODTL namanya, singkatan dari One Day Tiga Lembar (jangan tanya kenapa bahasanya campuran, saya juga lupa kenapa, wkwk). Setiap hari harus lapor mandiri ke tautan yang diberikan: baca buku apa & berapa lembar. Di akhir pekan, laporan itu akan direkap admin dan dibagikan progress membaca tiap orang. Yang dibaca nggak banyak kok, sehari minimal 3 lembar. Dan, idealnya emang membaca tiap hari, tapi kalau bolong juga nggak ada hukuman.

 

Saya mutusin ikut buat membangun kembali kebiasaan membaca. Siapa tahu setelah ada dorongan eksternal a.k.a kewajiban setor, saya jadi lebih ajeg. Dan, kalau berhasil 30 hari tanpa bolong, bisa jadi fondasi buat ngelanjutin kebiasaan baca di bulan-bulan selanjutnya, meski nggak laporan ke admin lagi.

 

Did I manage, considering that I haven’t do it for a long time?

 

Yes. Thankfully, alhamdulillah, walau diwarnai ke-moody-an dan kemalasan. Bahkan bisa habis dua buku 300++ halaman yang salah satunya mampu dihabiskan dalam sehari dengan enjoy dan nggak ngoyo (yep, buku yang pekan kemarin baru saya review di sini, wkwkwk).

 

Dan sisanya adalah buku-buku yang saya baca dengan ‘5 Kiat Agar Suka Membaca’ di atas, wkwk. Jadi ya … emang banyak buku yang dibaca lompat-lompat atau pilih-pilih bab. Ada sih beberapa buku yang full dibaca (tapi tipis).

 

Barangkali ada yang punya kiat lain supaya suka membaca, mangga drop di kolom komentar. Siapa tahu lebih efektif dari cara saya.

Reading Time: