“Kamu nulis di xxxx,
kenapa nggak nulis di xyxy?”
Beberapa teman menyebutkan
sejumlah platform kepenulisan, non-fiksi dan fiksi. Beberapa memang platform
besar yang sudah banyak orang tahu. Platform lebih besar tentu berarti pembaca
yang lebih banyak. Berarti juga, ‘mata-mata’ penerbit juga sudah terbiasa
terjun ke sana untuk scouting naskah yang berpotensi dibukukan.
Jadi, kenapa lebih milih
nulis di platform yang belum terlalu banyak orang tahu?
Dan, kenapa milih komunitas/grup belajar nulis tertentu?
Caution: ini tulisan
bakal panjang karena ada curhatannya juga, wkwk
(1)
Salah satu alasannya
justru itu: karena orangnya masih sedikit. Yaa sekarang sih nggak
sedikit-sedikit amat, meski jumlah penggunanya masih kalah jauh dengan platform
satunya yang lebih sohor. Namun, jumlah yang sedikit itu justru jadi peluang.
Logikanya, kalau ada lebih sedikit orang lalu kemampuannya agak menonjol, maka
peluang ‘dilirik’ lebih besar juga, kan? Beda kalau orangnya lebih banyak.
Tentu bukan ‘agak’ lagi, tapi harus sangat menonjol.
(2)
Kedua, vibes-nya.
Beberapa platform banyak mengusung tema percintaan sebagai trademark.
Percintaan remaja, dewasa, hingga cerita stensilan. Tentu, nggak
semuanya. Kisah yang bagus atau sarat makna juga banyak, baik yang bertema asmara ataupun bukan. Namun, seringkali views-nya
kalah jauh dengan cerita-cerita di atas. Sayangnya, cerita-cerita bagus ini nggak
masuk di menu Recommended platform ybs karena ya itu tadi... views-nya
sedikit. Jadi pembaca yang mau nyari ya agak rumit.
Saya nggak masalah kalau
cerita percintaan. Tapi letak masalahnya pada ini: substansi.
(Sok iyes banget, sih!
Emang! Hahaha.)
Saya suka novel roman.
Jangankan yang berat kayak Pride and Prejudice, yang ringan macam Winter in
Tokyo dsb-nya aja saya lahap. Lha emang pada dasarnya hopeless romantic (ups,
ini sih trait di The Sims, hehe).
Beda Winter in Tokyo dkk
dengan cerita cinta di platform ybs dkk adalah isinya. Di novel-novel tsb, meski
poin utamanya tetap cerita cinta, yang diceritain nggak melulu soal asmara.
Misalnya, ada nih cerita soal lokasi tertentu, kultur atau kebiasaan tertentu,
konflik sosial tertentu, dll dsb yang larut ke alur cerita dan bukan tempelan. Bahkan,
kerjaan tokohnya aja bisa jadi tambahan kisah.
Kalau di beberapa
platform, maaf, klise. Topiknya nggak jauh-jauh dari kisah cinta cool
CEO-bawahannya, dosen-mahasiswanya, atau malah sugar daddy. Atau
perjodohan, pernikahan terpaksa, mencintai tapi tidak dicintai yang penuh tangisan bombay, abusive relationship yang ber-ending
si tokoh laki-laki jatuh cinta dan tobat, dst.
‘Uniknya’, meski
tokohnya CEO/dosen/the most eligible bachelor and exec, nggak ada
cerita gitu lho soal kerjaannya, sedikiiit aja. Bahkan nggak jelas si CEO ini perusahaannya bergerak di bidang apa. Kalau rapat ya cuma dibilang meeting.
Cuma diceritain dia masuk ruangan, menjelaskan (mbuh opo), terus direksi
bilang “Saya suka, kita terima!”. Kayak tempelan gitu lho. Pokoke CEO, tajir
melintir, punya power. Misalnya nih, gawean si tokoh diganti jadi
karyawan/staf biasa tapi tajir dari sononya, nggak bakal berefek banyak ke alur cerita.
Ada pula cerita-cerita
yang mirip sinetron di TV atau akun gosip instagram. Bedanya cuma: ini bentuknya
tulisan. Perselingkuhan, pelakor/pebinor, konflik menantu-mertua, konflik
suami-istri, pernikahan dipaksa orang tua, rebutan pacar, dsb. Kadang dibumbui
pesan agamis yang sayangnya cuma tempelan dan agamanya asal tafsir pulak! Biasanya yang ‘islami’
bertopik taaruf, pernikahan, dan poligami. Tapi, isi yang dibahas ya itu-itu aja. Klise,
kayak udah template gitu. Cuma beda nama tokoh aja.
Jadi kasihan nggak sih
sama yang Islam beneran, taaruf dengan benar, nyunnah beneran, dsb. Image-nya
jadi gini amat di masyarakat. Padahal mereka yang beneran ini bisa seratus
delapan puluh derajat sama tokoh yang diceritakan. Beda banget! Ya gini yang
bikin image Islam (atau kelompok lainnya) amburadul: ulah oknum.
Oh, satu lagi. Fanfiction
artis atau idol tapi dibikin cerita kasur. ‘Kasur’ ya, bukan lagi fanfiksi
normal/sekadar selipan/sastra wangi, tapi betulan vulgar adegan per adegan
tanpa cerita lain sama sekali. Jadi kasihan artis/idolnya nggak sih, dibikin
fantasi liar begini. Satu lagi, soal fanfiksi artis ini juga mirip sama
CEO-CEO-an tadi: profesi tempelan. Cuma dibilang ‘syuting, sibuk’. Lah terus? Misal
si idol diganti bukan artis tapi orang berprofesi lain kayaknya nggak
ngefek. Sama-sama sibuk juga toh?
Daaaan, cerita stensilan
serta abusive relationship menjamur di sana. Dan ini laku abisss,
views-nya banyak. Inget sinetron Zahra yang diprotes tayang beberapa waktu lalu
karena nunjukin glorifikasi pernikahan di bawah umur? Cerita kayak gini bejibun,
Bung!
Jadi ini: mulai dari background
tokoh, setting, sampai konflik banyak yang tempelan. Nggak substansial
(halah bahasane!). Plus, cerita seperti itu menjamur di sana. Ini sih yang
paling bikin nggak setuju dan bikin nggak suka.
Kebetulan, platform yang
saya masuki vibes-nya lebih ‘biasa’. Mayoritas cerita remaja dan dewasa
muda/metropop (young adult). Cerita ‘dewasa’ tetap ada, tapi terbatas
dan nggak vulgar banget. Cerita stensilan, saya belum pernah nemu sih. Semoga aja
nggak ada. Dengar-dengar ada editor yang mengkurasi karya. Bukan kurasi yang
serius gimana-gimana, cuma buat nyaring cerita yang nggak pantas aja. Cerita
sarat makna juga ada, cerita sosio-kultural macam gaya Kompas/Jawa Pos ada.
Beberapa waktu lalu
mereka nyelenggarain lomba cerpen bertema budaya (kalau nggak salah). Karena
mayoritas young adult kan, saya pikir yang bakal menang ya yang vibes-nya
metropop atau teenlit gitu. Ternyata enggak, dong. Baca cerpen pemenangnya bagai
baca cerpen Kompas/JP.
To be noted, saya nggak bilang cerita bertema CEO,
selingkuh, agamis, fanfiksi, dsb yg disebut di atas itu pasti jelek. No, nggak
semuanya jelek. Yang bagus-bagus juga ada, saya pun pernah baca. Ada yang sampe
bikin saya nangis, ada yang sampe bikin ngebatin, “Ini kudunya dinovelin aja, asik nih. Pasti laku nih”. Cuma mayoritas di platform-platform tsb ya pada retjeh gitu eksekusi ceritanya. Jadi bukan soal temanya, tapi lebih ke eksekusinya; isinya.
Semoga itu cuma langkah
awal aja, lalu ke depannya membaik dan penulisnya bisa bikin cerita dengan tema yang sama
tapi lebih bagus.
(3)
Kelakuan anggotanya.
Seringkali kita cocok
sama idenya, tapi orang-orang di sana nggak enak. Jadi cabut, deh. Iya, nggak? Banyak
orang resign dari kantor yang gaji, benefit, dan visinya bagus
karena ini. Grup nulis juga gitu.
Ini ‘grup’ nulis yang
berhubungan sama platform nulis yang sudah dibahas, ya.
Duluuuu waktu
tulis-menulis belum jadi se-anaksenja sekarang, sudah ada beberapa grup
kepenulisan. Saya yang waktu itu masih ijo (eh sekarang juga masih sih. Kayaknya...
hehe) dan cuma belajar nulis otodidak jadi suka mantengin grup. Soalnya, penjelasan di sana simpel dan aplikatif. Nggak terlalu banyak teori
kebahasaan macam di kelas Bahasa Indonesia di sekolah (yang susah saya cerna, hehe).
Anggota grup-grup itu
bervariasi. Ada yang sudah lihai nulis di media massa, ada yang sudah lihai aja tapi baru berani publish karyanya di grup doang, ada yang bener-bener baru
nyemplung. Ada pula yang ikut simply karena suka baca aja, tapi nggak
ikut nulis. It’s okay dan semuanya diterima dengan baik.
Semua anggota bebas
mengomentari tulisan anggota lainnya. Kadang-kadang, founder platform
tsb turut ngasih kritikan. Komentar dan kritik di sana ada yang halus, tapi
nggak jarang pula pedas. Tapi, kritiknya memang fokus ke tulisan. Kalaupun bukan
kritik, maka isinya adalah apresiasi. “Aku suka deh soalnya blablabla”, “Wah bagian
ini keren nih”, dan komentar lainnya.
Seiring bertambahnya
anggota yang kian membeludak, interaksi macam ini kian sedikit.
Ada naskah yang
komentarnya banyak, tapi tulisannya cuma: “Next”, “Lanjut”, “Mana lanjutannya?”.
Atau komentarnya malah menyoroti hal lain. Misal nih, tokoh dalam cerita dikisahkan
berkonflik dengan iparnya. Maka komentar yang muncul semacam ini: “Iya nih ipar
emang bisa jadi sumber masalah. Aku/tetanggaku/saudaraku sama iparnya juga
blablabla” atau “Emang ya ipar nggak tahu diri. Mertuanya juga gitu. Memang
keluarga pasangan itu harusnya cari yang beginibegitu”.
Begitu pun dalam tulisan
non-fiksi. Kalau yang dibahas asuransi, nanti ada aja yang buka lapak soal
halal-haram. Kalau yang dibahas vaksin, bakal ada yang ngomen anti-vax. Malah
jadi curhat atau buka lapak sendiri. Forum di dalam forum. Kasihan si penulis
(yang bener-bener pengin dibaca, bukan pengin tenar doang), tulisannya cuma
jadi preambule doang buat obrolan lain.
Saya pernah ngasih
komentar perbaikan seputar penulisan tanda baca dan PUEBI. Ada yang respon, “Halah gitu
doang kok dipermasalahkan”. Halo? What? Ya saya bilang, kalau ini grup
curhat (tulisannya memang cenderung opini) nggak bakalan saya komentarin tanda
baca dll. Tapi kan ini grup literasi!
Ada juga platform yang
komentatornya lebih ganas daripada penulisnya. Komentar macam ‘cerita lu jelek,
cerita apaan nih, lanjutannya mana sih udah nunggu lama buruan dong!’ menjamur
bak iklan pinjaman online. Kalau si penulis membela diri, maka balasan komennya
akan lebih ganas lagi. Kadang pakai misuh dalam berbagai bahasa. Kadang, nggak
cuma berhenti di komentar, si penyerang bakal buka semua data diri si penulis.
Jadi, yang dibedah bukan
lagi tulisan, tapi personal.
Apalagi kalau yang dibahas
adalah topik-topik tertentu yang sensitif. Isu politik, budaya, kelompok tertentu,
dan agama hampir dijamin bakal banyak pelapak. Padahal, dulu juga tulisan macam
ini sudah ada di grup-grup itu. Namun, reaksi anggota-anggota lebih adem. Kalau ada
yang nggak setuju, ya dibalas pakai bahasa yang santun dan argumen yang baik. Kalaupun
ada tulisan bertema demikian yang bahasanya ketara ‘memancing’, bakal di-report
rame-rame biar tulisannya dihapus admin.
Sekarang enggak. Mungkin
karena anggotanya udah banyak, adminnya juga kewalahan nyaring satu per satu. Akhirnya,
tulisan alakadarnya yang bersifat ‘mancing’ pun membeludak. Anggota yang
niatnya emang buat cari panggung dan bukan beneran nulis pun makin getol posting
tulisan macam ini.
Pernah nemu status orang
yang agak panjang, di medsos. Lalu ada orang lain yang komentar, “Mba share aja di (nama grup),
insyaallah bakal banyak dukungan di sana.” – (ini perkataan asli ybs, nggak
saya edit. Masih inget saking speechless-nya)
Lah, ini grup udah
berubah jadi platform curhat rupanya.
Tulisan amburadul asal
sensasional jadi laris manis. Grup kepenulisan udah berubah jadi medsos biasa.
Ada sebuah platform yang
founder-nya buka suara. Dilihat dari analisis traffic, pengakses
platform itu memang orang-orang segmen tertentu yang, kebetulan, sama dengan
segmen tujuan sinetron dan akun hoax. Jadi ya nggak heran kalau sikap (mayoritas) anggotanya
11-12.
Padahal, saya suka sama
tulisan founder-nya. Suka sama cara dia ngajarin nulis dulu, cocok sama
pandangan menulisnya. Program-programnya sampai sekarang pun bagus. Tapi karena
anggotanya reaktif gitu, saya milih pasif, lalu lama-kelamaan keluar. Sekarang saya
cuma ikutan kalau si founder ada acara/seminar aja tanpa nyemplung juga
di grupnya.
Seorang suhu dari grup
lain memberi pencerahan soal segmen tertentu ini. Dia bilang, kita nggak bisa
menyamaratakan tiap orang dan memaksa mereka jadi segmen yang seirama. Ada orang-orang
yang ditakdirkan begitu sehingga pendekatan media untuk mereka berbeda pula. Sebab,
kalau dipaksakan dengan media lain yang meski lebih berkualitas, pesannya nggak
sampai dan nggak bakal efektif.
Ambil contoh penggemar
sinetron dan semacamnya. Misal kita mau ngasih pesan terselip bahwa korupsi itu
berbahaya, dilarang, dan merugikan orang banyak sehingga korupsi itu nggak
boleh. Kalau sasaran orangnya seperti itu dan kita kasih macam film yang agak
'high level', mereka akan susah pahamnya. Mereka malah akan lebih paham kalau pesan
itu ditayangkan lewat sinetron/sinema azab berisi kades yang meninggalnya susah
karena nilep uang warga, misalnya.
Hal senada juga berlaku
untuk segmen remaja penggemar artis tertentu atau K-pop.
Jadi, ya, mafhum kalau
segmen pembaca di platform-platform pun beda-beda. Malah bisa jadi peluang
untuk menggapai segmen tertentu lewat tulisan yang sesuai selera mereka.
Dan akhirnya, saya milih
platform yang vibes-nya sesuai selera saya juga.
(4)
“Ada platform yang vibes
dan segmennya sesuai selera kamu, kenapa nggak dimasukin, tapi malah nulis di
blog?”
Pertama, emang nggak
ambil banyak platform. Repot euy ngisinya. Lha wong blog aja jarang
diisi, ini mau nambah banyak, wkwk.
Kedua, platform yang ditanyakan
teman-teman itu ‘gede’. Saat itu. Dan kini, pamornya makin meredup. Ya masih
aktif sih, tapi nggak se-hype dulu.
Kalau dilihat-lihat,
platform tsb mirip-mirip sama medsos: ada masa kadaluwarsanya. Kayak era-era hype-nya
FB, Twitter, dsb. Apa mereka sekarang nggak ada? Masih. Penggunanya juga masih
banyak, tapi nggak segede dulu. Banyak yang migrasi. This might sound cliche,
but I don’t want to 'just go with the flow'.
Ketiga, pertimbangan utama pakai blog adalah karena bisa diubah jadi web. Platform seperti blogspot dan
wordpress bisa diubah jadi website berdomain .com dsb. Kalau H*pw**, M*d**m, dsb, setahu
saya nggak bisa. Dan, website ini milik sendiri kan, jadi mau diubah sesuka kita
juga bisa. Entah dimodif tampilannya atau mau pasang iklan biar dapet duit,
dsb. Jadi lebih bebas dan lebih timeless aja meski era blogger & follow-follow-an blog udah lama usai.
(5)
“Kenapa nggak nulis buku?
Udah lama kan nyemplung di kepenulisan. Emang nggak pengin?”
Kalau ditanya pengin, ya
pengin. Penghobi nulis mana sih yang nggak seneng kalau tulisannya dibaca
orang? Alhamdulillah kalau sampai disukai pembaca. Beberapa tulisan memang masuk ke sejumlah buku antologi. Tapi, kalau saya sendirian,
ngerasa belum saatnya. Cukup testing the waters di blog, platform, medsos, dan lomba-lomba dulu.
Why?
Simply karena emang belum mampu nulis
bagus. Kalau dibandingin sama orang biasa yang nggak biasa nulis, ya emang bagus. Tapi kalau dicerna
lebih dalam... Dibandingin aja deh sama temen-temen dekat di komunitas menulis, hasilnya masih di bawah. Jadi nanti dulu deh. Nanti, kalau kualitasnya udah agak naik. Sebab
tulisan yang bagus itu adalah hak pembaca. Kalau pembaca kecewa sama tulisan,
penulisnya juga bakal kecewa nggak, sih?
“Banyak lho yang baru
nyemplung dan udah bikin buku.”
Ada penulis besar yang
punya keyakinan bahwa semakin banyak orang menulis/menerbitkan buku itu lebih
bagus. Artinya, tingkat literasi jadi lebih tinggi. Bahkan ada satu negara
(lupa mana, kayaknya negara Balkan) yang presentase penerbitan bukunya hampir
satu orang bikin satu buku. Itu bagus, karena minat bacanya juga tinggi.
Apalagi sekarang saat
penerbit indie menjamur. Ini membantu penulis pemula banget. Soalnya nembus
penerbit mayor atau media massa emang susah. Apalagi kalau belajar nulisnya
masih ngerangkak. Butuh keberanian tersendiri buat soal terbit-terbitan ini.
Cuma sisi negatifnya
adalah ada buku-buku yang nggak bagus yang bisa terbit. Ya karena proses
penerbitan buku indie ini beda sama penerbit mayor. Tiap penerbit indie punya
sistem yang beda. Ada yang tetap ada editor buat ngasih masukan, ada yang
editornya cuma ngeditin saltik dll doang, ada juga yang langsung terima lalu
terbit. Yang terakhir ini yang meresahkan. No quality control.
Saya pernah nemu novel
begini. Udahlah kalimatnya kayak ditulis anak SD (sorry, but it’s true -- bahkan ada anak SD yang tulisannya lebih bagus dari ini),
intronya panjang, tokohnya banyak, 3/4 bagian belum ada konfliknya, konfliknya
ternyata langsung pembunuhan, terus endingnya selesai dalam 3 lembar A5. Like, whaaaat? (untung murah!)
Gola Gong, penulis dan
penggiat literasi, pernah bilang, “Penulis-penulis baru ini semangatnya tinggi. Itu
baik. Tapi coba sesekali lemparkan naskah ke penerbit mayor atau media besar. Buat
ngecek kualitas aja. Jangan buru-buru diterbitin. Semangat nulis tinggi,
semangat nerbitin buku tinggi, itu bagus. Tapi kualitasnya juga harus bagus
atau, paling nggak, meningkat.”
Jadi, jangan cuma terjebak euforia aja gitu.
Dee Lestari bahkan pernah bilang, "Yang menentukan langkah penulis itu bukan buku pertamanya, tapi buku keduanya".
Sebab, seringkali penulis, terutama pemula, terjebak suasana di buku pertama. Setelah buku pertama, lalu ngapain? Nulis apa lagi? Atau, sudah? Yang penting sudah pernah nerbitin buku dan tercatat di ISBN? (NB: soal ISBN dari penerbit, harap hati-hati. Sebab ada penerbit indie yang bilangnya ngurusin ISBN tapi ternyata enggak. Jadi cari penerbit indie yang terpercaya. Meski nggak semua buku kudu ber-ISBN sih. So, writer's choice)
Mungkin, ini salah satu
sebab kenapa penulis dari background literasi atau kelompok tertentu
kurang dikenal di kancah literasi nasional. Dikenalnya ya orang-orang golongan itu aja sebab karyanya cuma berputar di circle itu-itu aja. Karena penerbitnya sejenis itu-itu aja, ditambah marketing yang begitu-begitu aja. Ya
nggak salah sih, toh selera orang beda-beda. Cuma, kalau lebih dikenal, pesan
kebaikan yang disampaikan bisa sampai ke lebih banyak orang. Kalau nggak dikenal, paling nggak pernah didengar di circle luar.
Mungkin ada yang nggak
setuju dengan pendapat Gola Gong. Sebab, kalau nunggu ‘matang’, kapan mulainya?
Saya sedikit nggak setuju juga sama beliau karena soal memulai ini. Tapi soal kualitas
dan peningkatannya, setuju banget. Sebab, nggak bisa dipungkiri, salah satu
tanda tulisan bagus adalah kalau dibaca, disukai, dan dipahami banyak orang.
Atau setidaknya, tulisan
yang mudah dicerna orang lain.
(Dan saya masih tertatih-tatih
soal ini.)
(Ya dari postingan ini aja
kelihatan kan. Masih panjang banget, nggak efektif, dan mungkin bikin kamu yang
baca jadi bingung, wkwkwk. Iya nggak sih?)