Juli 11, 2015
BY Hijau Biru
2 Comments
Judul: Rengganis
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Indiva Media Kreasi, Surakarta
Tahun terbit: Agustus 2014 (cetakan pertama)
Tebal: 232 halaman
Gunung Argopuro, Jawa Timur, terkenal sebagai gunung dengan jalur pendakian terpanjang seJawa. Namun itu bukan alasan untuk menyerah. Berdelapan, yaitu Fathur, Dewo, Nisa, Acil, Dimas, Ajeng, Rafli, dan Sonia, mereka berusaha menamatkan medan demi medan untuk mencapai puncak-puncak Argopuro. Salah satunya, puncak yang disebut Rengganis.
Namun, bukan cuma hutan hijau, savanna luas, danau biru, ataupun kumpulan merak atau kijang liar yang menyihir delapan sekawan itu. Argopuro menyimpan pesona tersendiri, yaitu pesona yang ditinggalkan salah satu ningrat dari Majapahit yang konon berdiam dan murca di gunung tersebut, Dewi Rengganis.
Ketertarikan dan rasa penasaran yang berlebihan memang tidak baik. Gara-gara terlalu ingin tahu dan cukup menantang, satu dari delapan sekawan itu hilang. Suatu pagi, ia tak ditemukan oleh teman-temannya. Ketujuh kawan yang lain, dengan sisa semangat yang ada karena sebelumnya sudah tertimpa kejadian alam tak terduga, mati-matian mencarinya. Hingga ketika ditemukan, suatu pengakuan mengejutkan keluar dari mulutnya. Demikian pula pengakuan seorang lain, yang sama-sama mengagetkan.
----------------------------------------------------
Dasar penggemar jalan-jalan, secara naluriah biasanya tangan saya langsung gerak ngambil buku dengan cover atau judul yang berhubungan dengan jalan-jalan. Apalagi kalau tentang pendakian. Namun, semenjak mencuatnya film pendakian beberapa tahun lalu, novel-novel bertema sejenis pun jamak bermunculan. Dan harus diakui, nggak semua novel-novel itu cocok sama selera saya. Ada yang nggak cocok gegara bahasanya terlalu verbal atau terlalu jurnalis, ada yang isinya 'dangkal' (sori yaa), ada yang jalan-jalannya cuma tempelan tapi fokusnya malah soal lain, tapi mayoritas karena tema utama yang diangkat (ya 11-12 sama alasan sebelumnya sih). Atau saya aja yang terlalu pemilih ya? Tapi karena banyak 'cendawan di musim hujan' itulah, kudu pilih-pilih. Ya kali semua novel yang temanya jalan-jalan diembat ke kasir *langsung ngeluarin kalkulator.
Kok jadi curcol?
Pertama kali ngelihat cover dan judul novel ini, otak langsung mengirimkan sinyal tertarik. Alasannya jelas, ini novel tentang pendakian. Apalagi tujuannya salah satu gunung yang saya target puncaknya juga, Argopuro. Dan lagi, pengarangnya Azzura Dayana. Sejauh yang saya tahu, novel yang ditelurkan Azzura Dayana selalu mengangkat tema perjalanan: Tahta Mahameru, Ranu (meski di Ranu, cerita soal perjalanan nggak begitu jadi fokus dan nggak terlalu banyak, menurut saya - ini novel duet dengan Ifa Avianty), dan yang terakhir saya tahu, Rengganis ini. Berekspektasi bahwa Rengganis sama inspiratif-puitisnya dengan Tahta Mahameru, novel ini pun saya culik ke kasir.
Inti novel ini pendakian delapan orang ke Argopuro. Titik. Selesai. Sudah? Belum.
Seperti yang sudah disebutkan, konflik utamanya soal salah satu teman mereka yang tiba-tiba hilang ketika pendakian. Hilangnya teman ini berhubungan dengan mitos mistis yang ada di gunung Argopuro soal Dewi Rengganis. Memang, sedari awal penulis sudah ngasih tanda-tanda kalau kemistisan gunung ini suatu saat akan menghampiri kelompok pendaki itu secara langsung. Kemistisan Argopuro dan Dewi Rengganis jadi tema utama yang diangkat.
Secara catatan perjalanan, novel ini cukup lengkap. Medan yang berurutan dan rincian kesulitannya hingga penggambaran panorama-panorama cantik yang dilalui rasanya sudah genap disebutkan. Nggak cuma digambarkan, di novelnya ada penggambaran berupa ilustrasi beneran. Bukan foto, tapi sketsa hitam putih seperti di bawah ini. Buat saya, cukup membantu plus membangkitkan imajinasi. Sekarang, jarang banget kan ada novel yang dilengkapi ilustrasi.
Ceritanya sendiri menarik (atau karena buat saya semua cerita pendakian selalu menarik ya? Hehehe), tetapi karena terlalu 'bahasa reportasi', rasanya jadi lebih mirip baca catatan perjalanan dibandingkan baca novel. Di Rengganis, rasanya kalimat-kalimat mengalir kurang lancar. Mungkin karena bahasa yang reportatif, jadinya kaku. Penggambaran yang ditulis pun akhirnya turut reportatif dan cenderung pakai perumpamaan yang jamak dipakai. Akhirnya, perasaan saya sebagai pembaca pun kurang terbawa.
Tokoh yang banyak (delapan orang) sebenarnya nggak bikin saya terganggu. Apalagi penulis sepertinya berusaha mencirikan satu tokoh dengan satu sifat khusus. Misalnya Nisa yang penakut, Rafli yang tegap-kekar tapi cenderung grudak-gruduk, Dimas yang alim, Acil dan Dewo yang bijak dan dewasa, atau Sonia yang bisa 'ngelihat'. Namun, ciri khas yang dikenakan masih sifat yang tergolong umum. Memang, ada penekanan karakter tersebut di beberapa adegan, tapi kadang keumuman itu bikin bingung saat baca, sehingga saat pertama baca, buka halaman depan dulu buat ngecek tokoh supaya nggak kebalik-balik. Tapi, bukan masalah besar kok. Hanya saja, ada percakapan-percakapan yang rasanya agak janggal karena lebih ke percakapan sehari-hari (mungkin saya terlalu ngebandingin sama Tahta Mahameru yang tiap kalimat & percakapannya sarat makna kali ya).
Satu hal yang bikin alis saya terangkat adalah konfliknya. Hingga separuh buku, kok konfliknya belum kelihatan? Iya sih, pertanda-pertandanya ada. Tapi, konflik besarnya apa, belum ketebak, nggak yakin dengan lanjaran yang ditampilkan. Mungkin aja ini salah satu cara supaya pembaca sabar baca sampai akhir. Namun biasanya, 'bau-bau' konfliknya macam apa sudah tercium di sepertiga awal. Di novel Rengganis ini, konflik pertama baru ditemukan di halaman lanjut. Setelah konflik mini itu selesai, baru dilanjutkan konflik inti seperti yang dicantumkan di sinopsis belakang buku. Konflik inti memang bikin penasaran, "Kenapa kok gini?" dan di akhir memang ada penjelasan, "Ooh ternyata karena ini". Tapi... nggak tahu lah, kayaknya ada yang kurang. Berasa kayak, "Lho, gini aja?" Rasanya, masalah yang diangkat masih bisa digali lebih dalam lagi supaya lebih seru.
Kalau nyari novel pendakian yang cerita pendakiannya bukan cuma tempelan, Rengganis memenuhi syarat. Dan resensi ini sudut pandangnya subjektif ya, kalau orang lain yang baca, tentu aja pendapatnya bisa beda. So, happy reading! Selamat berkelana dalam imaji!
----------------------------------------------------
(PS: Argopuro emang terkenal rada wingit. Tapi ketika nggak nantangin, tetep waspada, plus percaya sama Yang Di Atas, insyaAllah nggak papa, sama seperti gunung-gunung lain. PPS: sebenernya semua gunung juga punya cerita wingit tersendiri)