Hijaubiru

Minggu, 02 November 2014

Renungan di Balik Setiap Sarapan
November 02, 20140 Comments
Kira-kira, sudah setahun lebih ini saya tinggal berlainan tempat dengan orang tua. Yep, ngekos di lain kota. Bukan apa-apa, tapi gegara tempat belajar saya yang sekarang jaraknya berpuluh kali jarak dari rumah ke sekolah saya yang dulu.

Ceritanya udah sebulan ini kami anak kos patungan beli kompor, gas, plus peralatan masak lain. Niatnya buat ngirit pengeluaran. Kalau dihitung-hitung, pengeluaran makan di luar bisa dua kali (atau lebih) pengeluaran kalau masak sendiri. Jadilah tiap hari, hampir selalu ada suara 'ctek' kompor dinyalakan pertanda ada yang lagi pengen ngirit masak. Saya tanpa kecuali.

Dulunya saya pikir, wah, bakal asyik nih, masak bareng sekosan, terus makan bareng. Kan berasa di rumah. Dan pada awalnya, kami berniat untuk selalu masak untuk sarapan dan makan malam.

Pada awalnya lho.

Kenyataannya? Nggak. Kami masih sibuk dengan tugas masing-masing, hingga sering kali sehari makan di luar terus. Tapi alat-alat masak yang terpajang begitu menggelitik, hingga suatu pagi saya memutuskan untuk memasak sarapan.

Saat itu saya ada kelas jam sembilan. Artinya, setengah sembilan sudah harus berangkat. Artinya lagi, jam delapan sudah harus selesai makan, cuci piring, lalu harus berangkat mandi. Jam enam lebih sedikit, dengan agak ngantuk efek begadang, saya langsung ke dapur. Menu pagi ini simpel: nasi goreng sosis plus telur. Kelewat simpel malah, karena bumbunya pakai bumbu instan yang cuma ditambah ulekan bawang dan garam. Cuma satu porsi buat saya sendiri, lagi. Perkiraan saya, satu jam paling sudah selesai.


Dan... meleset. Karena jam terbang yang masih amat sangat rendah sekali, nasi goreng itu baru selesai jam delapan. Buru-buru deh dilahap. Tapi karena masih panas, acara makan yang biasanya cuma sepuluh menit, molor jadi dua puluh menit. Pukul 08.20 barulah saya mencelat ke kamar mandi.


Gila, batin saya, ini cuma sarapan sederhana satu porsi aja makan waktu gini lama. Gimana kalau ibu yang masak buat sarapan serumah? Belum lagi, kami semua harus berangkat jam enam. Gimana ibu nggak repot? Belum nyuci piring, nyuci baju, setrika, dan kawan-kawan?


Dulu, saya sering mengeluh dalam hati ketika mendapati menu sarapan. Ini lagi, ini lagi. Kalau nggak masakan keringan yang tinggal goreng, ya sisa masakan tadi malam yang dipanaskan. Selain sarapan sih, menunya selalu beragam. Pengen rasanya protes, bosan sama makanan yang itu-itu aja untuk sarapan. Tapi demi melihat ibu yang lagi sibuk bergerak kesana-kemari, lebih baik protes itu ditelan aja dulu.


Tapi sekarang, rasanya masuk akal. Lha wong saya aja yang masuk jam 9, bangun jam 6 buat masak begitu simpel aja masih ngantuk, cuma masak satu porsi, lagi. Apalah lagi ibu yang harus bangun jam 3, berangkat jam 6 untuk kerja, masakin buat orang serumah. Belum lagi bantuin tugas saya atau adik yang kerap belum selesai padahal ngerjainnya udah pake begadang. Pantas saja sarapan menunya selalu simpel, yang lekas matang, supaya bisa memburu waktu.


Mungkin sekali dalam hati, ibu juga ingin protes pada dirinya sendiri. Kasihan pada keluarga yang makan itu-itu saja tiap sarapan. Mungkin, ibu juga ingin menyiapkan masakan 'agak ribet' yang bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga memuaskan mulut-mulut yang melahap masakannya. Toh ada ibu lain, yang juga wanita karier, yang bisa menyiapkan masakan 'agak ribet' untuk sarapan. Tapi ibu mafhum, kami pun sadar, bahwa kapasitas tiap ibu berbeda meski mereka selalu memberi yang terbaik untuk keluarganya.


Dibandingkan dengan saya barusan? Ah, baru masak segitu saja, saya udah capek. Apalagi ibu. Baru sekali saja, saya sudah pontang-panting. Apalagi ibu yang sudah bertahun-tahun. Pasti jauh lebih letih.


Rasanya, tak pantas saya protes soal sarapan pada ibu.



Beberapa hasil 'eksperimen' saat di kos
Reading Time:
Nulis Lagi
November 02, 2014 2 Comments

Kalau saya, ditambahin satu lagi kali ya: Jalan-jalanlah, maka kita akan belajar memahami. Hehehe.

Akhirnyaaa sempat ngeblog juga setelah postingan terakhir bertanggal 7 Agustus (dua bulan lalu!). Ralat, bukan sempat sih. Kalo sempat ya, sebenernya sempat aja, cuma malesnya itu lho. Pulang, langsung istirahat. Boro-boro baca novel, textbook aja, cuma dibaca pas perlu doang.

Nah lho, terus apa hubungannya sama gambar di atas?

Jadi ceritanya, konon di usia muda belia seperti ini, pemuda-pemudi bakalan lebih aktif dan kritis. Kalau dilihat-lihat, iya sih. Posting-an status fb teman-teman temanya sudah berat, bukan cuma galau gegara tugas belum kelar atau apalah. Saking beratnya, sampe kadang saya lanjut scroll aja tanpa baca lebih lanjut gegara nggak mudeng, hehehe.

Karena lagi di usia kritis, maka mulai banyaklah teman saya yang bikin blog, nulis uneg-uneg tentang keadaan negeri ini. Mulai dari ngomentarin perilaku dewan yang dianggap nggak pantes, ngomongin double-standard antara rokok dan jenggot, hingga ngembangin ide dia tentang perkembangan masyarakat madani. Nggak jarang pula yang hobinya nulis proposal atau LKTI.

Batin saya berbisik, Wah gila, anak-anak keren banget bisa ngamatin hal sepelik itu. Dan saya ngelihat postingan di blog sendiri lalu membatin lagi, Wah beda amat sama ini blog. Yang mana isinya rata-rata cuma curhatan, buku, plus hal lain yang kelasnya jauh kurang serius dibanding tulisan teman-teman.

Tapi ya, emang ketertarikan orang kan beda-beda. Justru nggak bagus kalau semua orang nulis hal yang sama, sampai hal yang lain nggak terjamah. Awalnya sih sempat berpikir mahasiswa macam apa saya ini, yang sama sekali nggak tertarik mengkaji hal sosial macam itu, yang sering dijadikan ciri mahasiswa kritis. Tapi hei, kan ini bukannya nggak peduli atau nggak mau tahu, cuma nggak tertarik nulis begituan aja. Mungkin kalau saya nulis yang begituan, yang keluar adalah tulisan ngalor-ngidul yang saya sendiri nggak mudeng intinya.

Jadi, biarlah saya tetap nulis dengan tema begini aja. 
Reading Time:

Jumat, 08 Agustus 2014

Konco & Kolega
Agustus 08, 2014 3 Comments
Sebuah percakapan yang terdengar di mobil sepulang dari Gunung Ijen, yang kurang lebih begini:

“Kuliah iku hubungane luwih formal yo? Kon perlu mbedakno konco ambek kolega nek kon nang kuliah.”

“Kolega iku wong sing enak dan isok diajak kerjo bareng, nek konco iku wong sing isok kon ajak koyok ngene.”

“Iyo, nang kuliah aku durung nemu konco. Nemu kolega iyo. Nemu konco durung. Gak isok sing isok diajak koyok ngene: guyon, omong-omong nyantai.”


“Iyo, durung nemu.”

Saat ketika bisa ngomong ngalor-ngidul tanpa gontok-gontokan disela guyonan, itu konco.

Kawah Ijen, 5 Agustus 2014 Reunion


Picture was taken by a friend

Reading Time:

Kamis, 29 Mei 2014

Sepasang Kaki yang Lain
Mei 29, 20140 Comments
Bukan cari yang berdompet tebal
Atau yang ke mana-mana pakai land rover terbaru
Atau yang selalu jalan ke landmark-landmark terkenal

Tapi cari
Sepasang kaki lain yang mau berjalan bersama
Ke mana saja, bahkan ke pinggir kali sekalipun
Cuma cari
Sepasang telinga yang mau sabar mendengar
Kata hati, kata mulut, keluhan, kekhawatiran, kelelahan, kepanikan

Yang dicari
Yang mau get lost ke mana pun, kapan pun
Punya selera jalan yang sama

Sayangnya, baru nemu dua
Dan dua-duanya sama-sama di Surabaya
bukan di sini

Reading Time:

Minggu, 15 Desember 2013

Yearning
Desember 15, 2013 2 Comments
I

Miss

You,

Guys



Laser of Lasso
Smalapala of Smala

Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta - Gie

-----------------------------------------------------

Bhuhuhuhu, ceritanya habis buka film lawas: Gie. Dan seperti biasa, film ini sukses menyeret saya ke dalam suasana melankolis dan menenggelamkan ke memori-memori bareng sobat-sobat munggah gunung. Kalau sudah gitu, semua ingatan terbongkar sudah dan wajah-wajah teman 'serumah' selama tiga tahun pun ikut muncul ke permukaan.

Kalau udah gini, cuma bisa melan dan menikmati foto-foto yang kerasa lebih idup :')

Yes, you were right. Absolutely right. Those are the moments we're gonna miss. Well, I am, right now.

Both pictures were taken by friends.
Reading Time:
Edelweis Bukan Untukku
Desember 15, 20131 Comments
Bukan pula untukmu
Bukan untuk kita

Dia ada untuk dinikmati
Untuk dipandangi
Bukan untuk dicuri pulang

Edelweis yang dilindungi
Jangan kau bawa pergi


----------------------------------------------------------

Jadi, kalau di novel-novel, ada cowok yang katanya romantis sampe bela-belain bawain edelweis buat ceweknya, sebenernya dia nggak ngerti arti cinta. Jangan ditiru ya ;)
Reading Time:

Sabtu, 14 Desember 2013

Nikmati Momennya
Desember 14, 20130 Comments
Pernah ada suatu saat, ketika saya lagi baca Geography of Bliss-nya Eric Weiner, saya tercenung oleh kalimat ini:

"Anda selalu menulis, menulis dalam buku catatan Anda. Anda perlu mengalami. Benar-benar mengalami." - kata Rinpoche pada Weiner, halaman 138.

Kami berhenti di kota terdekat, Wangdue. Yang mengejutkan, wisma tamunya bagus sekali. Saya duduk di teras, melihat ke bawah ke arah sungai yang airnya mengalir deras. Itu adalah pemandangan yang indah, dan secara naluriah saya meraih buku catatan dan kamera. Namun, saya berhenti. Kata-kata sang Rinpoche bergema di kepala saya. Alamilah. Anda perlu mengalami. Dia benar. Merekam kehidupan adalah pengganti yang buruk dari menjalaninya. Oleh karena itu, selama 20 menit berikutnya saya duduk di atas teras, mendengar deru sungai dan tidak melakukan apa pun. Benar-benar tidak melakukan apa pun. Tanpa buku catatan, kamera, atau perekam. Hanya saya dan kehidupan. - halaman 143.

Diri saya pun berkaca. Alhamdulillah, sudah berkali-kali saya memandangi lukisan menakjubkan milik alam. Gunung, bukit, laut, pantai, kilauan lampu kota. Apa yang sudah saya lakukan? Memotretnya. Ya, saya gila motret. Saya ingin keindahan itu tergambar jelas dalam foto dan bisa membuat saya seakan berada di sana ketika hanya melihatnya lewat layar gadget. Tapi ketika membaca kalimat di atas, saya pun bertanya, apa saya benar-benar menikmati momen tersebut?

Apa saya benar-benar menikmati momen tersebut, menghayati dengan khusyuk, menyimpannya di dalam hati dan memori, ataukah saya hanya memandanginya sekilas, takjub sementara, kemudian melupakan esensinya sembari asyik mengabadikan sana-sini lewat kamera? Dan saat kembali di rumah, saya hanya senang melihat fotonya, otak memutar ingatan ketika di sana namun hati berkata tidak ada memori?

Terus terang, saya lebih sering condong pada pilihan kedua. Ngelihat, senang, takjub, bilang, "Wooow, kereeeen!", dan . . . klik! Yang terjadi selanjutnya adalah bermesraan dengan kamera, bukan dengan yang ada di sekitar.

Kalau begitu, berarti pemandangan itu dekat di mata jauh di hati? Bisa dibilang begitu. 

Oleh karena itu, ketika kemarin saya berkesempatan ke beberapa pantai di Gunung Kidul, Yogya, dan sebuah kebun teh di kabupaten Batang, Jateng, saya pun membagi waktu menjadi dua sesi. Sesi pertama: datang, foto-foto. Sesi kedua: simpan kamera di saku, diam, nikmati sekeliling. Keduanya dalam satu waktu. Dengan demikian, foto dapet, memori hati pun dapet.

Susah, memang, mengingat kebiasaan yang selalu menggenggam kamera dan selalu tergoda jepret-jepret. Tapi dengan sedikit memaksakan diri, lumayan juga. Setelah merasa puas mengabadikan pemandangan lewat lensa, kamera saya simpan di saku lalu diam. Memandang. Menikmati. Meresapi.

Karena memori yang sesungguhnya tidak butuh tercetak di atas foto, tapi di dalam hati.

Pejuang kemerdekaan masa lalu tidak pernah memiliki fotonya yang sedang menenteng bedhil, berjuang heroik melawan penjajah. Tapi tanyakan pada mereka kisahnya, mereka akan lancar bertutur.

Memori di dalam hati.




Kebun teh di daerah Batang, Pekalongan, Jawa Tengah
Reading Time: