Desember 14, 2013
BY Hijau Biru0
Comments
Picture was taken from http://1.bp.blogspot.com/-i7OAlrLrUS0/T3LZWAur5lI/
AAAAAAAACD4/zqsqzPCXB6M/s1600/cover-99for-web1.jpg
Yang di atas ini cover novelnya. Akhirnya novel ini difilmkan juga. Baru 5 Desember 2013 kemarin premiere kalau nggak salah. Nah, karena di postingan ini udah ada sekilas info tentang novelnya (meski sekilaaaas banget, tapi coba baca bukunya deh, top abis kok!), maka di postingan ini saya akan bahas filmnya.
Terus, terus, gimana filmnya?
Kalau saya cuma bilang 'keren banget', pasti nggak puas.
Picture was taken from: http://indosinema.com/wp-content/uploads/
2013/11/poster-99-cahaya-di-langit-eropa-e1383578690652.jpg
Film dibuka dengan kisah penaklukan Austria oleh Turki (persis dengan novelnya yang dibuka dengan hal yang sama). Kisah penaklukan ini diceritakan oleh seorang guru sekolah Ayse.
Kisah beralih menuju Hanum yang ikut suaminya, Rangga, kuliah di Austria. Bulan-bulan pertama emang asyik, dia bisa jalan-jalan ngelihat berbagai khazanah budaya yang disuguhkan Eropa. Tapi setelah beberapa waktu berlalu, Hanum bosan. Semua yang dilihatnya sudah terasa hambar. Eropa tidak semenyihir sebelumnya.
Hanum memutuskan ikut les bahasa Jerman. Di sinilah dia berkenalan dengan Fatma Pasha, seorang muslimah keturunan Turki yang tempo hari dilihatnya ditolak bekerja karena tidak lancar berbahasa Jerman. Waktu berjalan, Hanum pun bersahabat dengan Fatma dan menjadi dekat dengan Ayse, anak Fatma. Melihat Fatma dan Ayse yang enjoy mengenakan jilbab di negara non-muslim, Hanum pun penasaran. Bersama Fatma, ia diajak menggali Islam di Eropa.
Kisahnya macam-macam. Mulai dari pandangan orang Eropa terhadap muslim, sejarah Islam yang terjejak di Austria lewat perbukitan dan bangunannya, hingga kendala-kendala yang jamak dirasakan para muslim di Eropa. Namun intinya satu: menjadi agen Islam yang baik, meski dalam kondisi sulit sekalipun.
Jika jejak Islam pada sejarah Eropa digambarkan lewat adegan-adegan jalan-jalan Hanum dan Fatma, maka permasalahan muslim ditampilkan lewat adegan Rangga dan teman-temannya: Khan, Stefan, dan Marja. Khan seorang Islam India yang kukuh tapi terlalu kaku, Stefan adalah seorang kritis yang sering bertanya tentang Islam pada Rangga tetapi 'rame' orangnya, serta Marja yang perhatian tetapi 'ya lihat sendirilah'.
"Kok kayaknya Tuhan kamu suka banget bikin orang menderita," ucap Stefan saat Rangga menolak ajakannya makan karena sedang puasa.
"Nah, kalau asuransi, aku tahu di mana kantornya. Tuhan kamu, kantornya di mana?" ungkap Stefan heran mengapa Rangga begitu teguh memegang kepercayaan untuk sesuatu yang tak bisa dilihat.
"Maaf kawan, untuk agama, saya tidak ada toleransi. Untuk masalah ini, kamu sendirian," tanggap Khan saat Rangga mengajaknya mengajukan dispensasi ke profesor penguji karena jadwal ujian bertepatan dengan jadwal shalat Jumat.
"Mr. Almahendra, saya pernah mendengar kalimat 'bismillahirrahmanirrahim' yang artinya 'dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jadi, what's the big deal?" cetus sang profesor saat Rangga mengutarakan maksudnya.
Adegan-adegan yang ada dalam novel seperti Fatma, Hanum, dan Ayse yang masuk ke gereja untuk menghangatkan diri atau percakapan pengunjung restoran tentang sejarah croissant yang melambangkan kekalahan Turki di Wina, ada dalam film ini. Namun, konflik terbesar yang ada di sini adalah saat Rangga bingung apa ia harus shalat Jumat ataukah mengikuti ujian. Kerasa banget konflik batinnya.
Suatu saat, Rangga ada kegiatan (mungkin semacam seminar) di Paris. Fatma menyarankan Hanum mengontak temannya, seorang sejarawan dan mualaf Prancis bernama Marion. Petualangan mencari jejak Islam di Prancis pun dimulai. Saat Rangga seminar, Hanum ditemani Marion berkeliling Paris.
Sebelum pulang dari Paris, Marion menitip sesuatu untuk Fatma lewat Hanum. Namun begitu kembali ke Austria, Hanum tidak menemukan Fatma. Fatma absen les bahasa Jerman, rumahnya kosong, dikontak lewat internet pun tidak bisa. Hanum teringat paket Marion untuk Fatma. Penasaran, ia dan Rangga membukanya.
"Fatma kanker?" tanya Rangga sambil menunjukkan kotak berisi obat herbal.
Hanum pun buru-buru membaca surat Marion untuk Fatma. Terbata-bata ia mengeja saat tahu bahwa paket obat herbal itu untuk Ayse. Ayse yang masih seusia SD, Ayse yang periang, Ayse yang menanyakan kenapa tante Hanum nggak pake jilbab, Ayse yang kukuh mengenakan jilbab meski sang guru memintanya mencopot saja agar tidak di-bully, Ayse yang ternyata mengidap kanker!
----------------------------------------------------------------
Keren, pake banget. Kemegahan Eropa, mulai dari kecantikan alam hingga keklasikan budayanya, tergambar di sini. Dengan nafas Islam tentunya. Permasalahan-permasalahan yang disajikan memicu pertanyaan: permasalahan klasik muslim di Eropa. Beberapa dijelaskan dengan gamblang, beberapa lagi (menurut saya) tidak dijelaskan. Seperti pada pertanyaan Stefan jika Allah tidak ada atau saat sang profesor bingung karena Rangga enggan mangkir shalat Jumat. Tapi kalau dijelaskan, mungkin durasi filmnya bakalan nggak cukup, hehehe. Tapi di film, ada kok adegan yang menayangkan Hanum dan Rangga konsultasi ke imam masjid, meski percakapannya nggak disuarakan.
Film disajikan dengan tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jerman. Percakapan yang banyak (apalagi dengan pemain Indonesia) dibicarakan dengan bahasa Indonesia. Seperti percakapan Hanum dengan Fatma-Ayse, Rangga dengan Stefan-Khan-Marja.
Adegannya terkesan alami, nggak dibuat-buat atau didramatisasi (mungkin karena emang kisah nyata ya). Seperti saat Hanum marah karena merasa agamanya diejek, kebimbangan Rangga, ataupun hubungan Hanum-Rangga yang normal. Tahu kan, biasanya di film-film kan suami-istri mesra banget. Lah, di sini, normal banget: ya ketawa, ya ngambek, ya mesra juga tentunya. Dan makanannya! Dalam film-film yang setting-nya di Barat, seringkali makanannya adalah makanan Barat pula. Di sini, pasangan Hanum-Rangga kelihatan Indonesia banget. Makan pake tangan, lauknya krupuk dan ikan asin. Mahasiswa di perantauan banget lah, yang justru bikin alami karena mana ada sih mahasiswa perantauan yang tiap hari makan fine-dining (kecuali emang kaya).
Film ini mirip, kalo nggak bisa dibilang persis, dengan yang ada di novel. Namun, di beberapa bagian memang ada yang dimodifikasi. Seperti adegan-adegan Rangga dan terutama ending yang mellow banget, yang nggak saya rasakan saat baca novelnya. Kalau baca novelnya, kita dapet substansinya, maka kalau lihat filmnya, saya dapet substansi plus feel-nya.
----------------------------------------------------------------
Pemeran:
Acha Septriasa sebagai Hanum Rais
Abimana Aryasatya sebagai Rangga Almahendra
Raline Shah sebagai Fatma Pasha
Geccha Tavvara sebagai Ayse
Dewi Sandra sebagai Marion
Nino Fernandez sebagai Stefan
Alex Abbad sebagai Khan
Marissa Nasution sebagai Marja
Dian Pelangi sebagai Latife (teman Fatma)
Hanum Rais sebagai Ezra (teman Fatma)
Sutradara:
Guntur Soeharjanto
Soundtrack:
Cahaya di Langit Itu - Fatin Shidqia Lubis
FYI, film berlanjut ke Part 2. Belum tahu kapan rilisnya.