Judul: Traveler’s
Tale
Penulis: Adhitya
Mulya, Alaya Setya, Iman Hidajat, Ninit Yunita
Penerbit: Gagasmedia
Tahun terbit: 2007
(cetakan pertama)
Tebal: 221 halaman
Ukuran: 13 x 19 cm
_________________________
NB:
review ini telah ditulis ulang.
Bagian pertama adalah ulasan yang dibuat tahun 2013 (sesuai tanggal terbit post, postingan tidak diedit). Bagian kedua baru ditulis pada Desember 2022.
Apa bedanya?
Karena sudah hampir satu dekade berlalu, tentu ada perbedaan pola pikir pada penulis postingan-nya (baca: saya, haha). Jadi, isi review-nya juga akan berbeda akibat perspektif yang berubah tadi.
Bila bagian 1 lebih banyak bicara soal isi bukunya, bagian 2 akan lebih bercerita soal review ini buku. Cheers!
_________________________
Bagian 1
Farah,
gadis keturunan Arab yang riang dan bagai magnet, namun takut terbang. Jusuf,
ensiklopedia berjalan dengan tingkat intelektual yang dianggap paling rendah
oleh teman-temannya, namun penuh kejutan dan orang yang paling bisa
menghidupkan suasana. Francis, pianis yang serius, namun menyimpan kegalauan
besar di balik rencana pernikahannya. Dan Retno, gadis ayu yang lembut,
keibuan, dan paling kalem di antara semuanya.
Persahabatan
keempat orang ini dimulai saat SD, sejak Jusuf alias Ucup menumpahkan bekal
roti strawberry Retno. Francis pun menawarkan bekalnya, bakpao isi ayam,
sebagai ganti. Farah, kagum dengan kebaikan Francis. Persahabatan mereka
berlanjut sampai dewasa, hingga keempatnya sudah bekerja di empat negara (dan
benua) berbeda. Farah di Vietnam, Ucup di Afrika, Francis di Amerika Serikat,
dan Retno di Denmark.
Namun,
undangan pernikahan yang dikirim Francis lewat email membuyarkan semuanya. Ketiga
orang lain yang membaca undangan itu bimbang, termasuk pengundangnya. Karena
Jusuf mencintai Farah, Farah mencintai Francis, sedangkan Francis menyayangi Retno.
Berasal
dari empat benua berbeda, keempatnya memutuskan hadir di pernikahan Francis
dengan seorang wanita Spanyol di Barcelona. Keempatnya dengan misi berbeda.
Farah, dengan misi menyatakan perasaannya pada Francis. Jusuf, dengan tujuannya
menghentikan Farah. Dan Retno, yang tetap kalem, dengan tujuan ikhlas menyampaikan selamat pada pria yang mencintainya dan dicintainya. Sementara Francis, ternyata malah punya
kejutan untuk ketiganya.
Buku
dengan dua tema: travelling dan roman
ini merupakan proyek bersama empat penulis. Alurnya mudah dipahami, gaya
bahasanya gampang diikuti. Selain menyuguhkan cerita roman, novel ini juga
dihiasi dengan kisah petualangan keempat sahabat ini backpacking menuju Barcelona, melewati negara-negara lain,
menikmati keindahan pedesaan Prancis, pengalaman macet di Itali, eksotisnya
Amman, hingga bergolaknya Abidjan. Masih ditambah dengan pengalaman-pengalaman
di negara lain.
Selain
itu, novel ini dilengkapi dengan tips-tips untuk pembaca yang berminat travelling ke luar negeri, khususnya backpacking. Mulai dari mengatur barang
bawaan, mengatasi jetlag, sampai
menghindari pencopet. Nggak dibahas panjang lebar, tentu aja, tapi cukup
informatif.
Dengan
cerita gabungan roman-perjalanan (apalagi dengan ending yang nggak bisa diprediksi), ditambah pengalaman-pengalaman
keliling dunia, plus tips-tipsnya, worth
it lah. Apalagi untuk tahun segitu
(cetakan pertama 2007), masih jarang ada buku yang membahas soal travelling dan sekaligus roman. Mungkin
malah, buku ini pioneer buku-buku travelling sejenis? Siapa tahu.
_________________________
Bagian 2
Satu hal yang paling saya ingat dari novel ini adalah: saya menemukan rekomendasinya lewat rubrik koran. Sekitar tahun 2007, ada suatu kolom di koran Jawa Pos tentang review buku yang diterbitkan rutin sekali tiap pekan. Beberapa anak muda diundang membaca buku (novel, umumnya) keluaran terbaru dan dimintai pendapatnya. Tertarik dengan ulasan mereka, apalagi saya mudah kesengsem kalau temanya travelling, saya pun 'memburu' buku ini ketika bertandang ke Gr*medi*.
Hal lain yang juga saya ingat: saat itu, novel Indonesia bertema travelling masih sangat jarang. Apalagi yang segmennya untuk anak muda. Mayoritas masih didominasi teenlit romansa dan kehidupan remaja, sedangkan genre metropop 'ya begitu-begitu saja'. Buku bertema travelling yang terpajang di toko buku adalah atlas dan buku panduan jalan-jalan, bukan novel fiksi. Buku jalan-jalan yang bahasanya 'nge-pop' yang saya temukan di era itu baru empat: satu buku catatan perjalanan mancanegara yang saya temukan di perpus sekolah (lupa judulnya); Naked Traveler-nya Trinity (nonfiksi); Me, Him, and Labuan Bajo-nya Avy Erfianty (fiksi, topik utamanya soal dokter dan pengabdiannya di daerah Labuan Bajo); dan Traveler's Tale ini.
Jadi, bagaimana kesan soal buku ini sepuluh tahun kemudian?
Secara garis besar, sih, masih sama: stunning, revelating, refreshing.
Bukan yang bagus banget banget, tapi tetap bagus banget. Kalau sistem rating, saya kasih 8,5/10. Apalagi untuk buku yang terbit di era itu. Kalau sekarang mungkin masih 8/10 lah, karena jadi punya perbandingan buku travelling lainnya.
Personally, saya suka novel-novel yang memberi beberapa kutipan saat pergantian babnya. Traveler's Tale memberikan ini. Ia menyajikan kata-kata mutiara bertema travelling; yang bikin saya tambah suka karena berhubungan banget dengan isi bukunya. Banyak di antara kutipan itu yang berasal dari Ibnu Batuta, pejalan sohor dunia pada abad 14. Ada juga kutipan dari pujangga lawas, seperti Virgil dan Saadi Shirazi.
Novel inilah yang bikin saya ngeh tentang Ibnu Batuta. Pelajaran IPS di sekolah dasar memang pernah menyebutnya sebagai pejalan terkenal yang menyambangi bagian utara Sumatra, bahkan mencatat pulau itu dalam bukunya. Namun, ya, cuma sampai segitu saja. Di novel ini, nama Ibnu Batuta beberapa kali disebut. Tak hanya sebagai sumber quotes, tapi juga diceritakan singkat bahwa dulu petualang muslim ini pernah mengunjungi kota ini dan itu. Dan, betapa berbedanya kota ini dan itu dengan kondisinya di zaman sekarang (setting waktu di novel).
Peletakan kutipan-kutipan sebetulnya bukan hal asing di novel. Namun, banyak di antaranya yang (1) puitisnya maksa, (2) bahasa belibet dus susah dipahami, atau (3) nggak berhubungan dengan alur cerita. Jadi, ya, hanya sebagai pemanis atau sekadar lewat karena nggak berhubungan dengan cerita. Poin plus buku ini adalah dia berhasil memanfaatkan quotes dengan baik untuk mendukung alurnya. Misalnya, saat di awal bab pakai kutipan "fortune favors the bold", bab itu betulan bercerita soal Ucup yang harus be bold dan nekat nego dengan tentara perbatasan demi bisa mencapai misinya.
Hal lain yang jadi poin plus novel ini sekaligus penyumbang poin plus terbesar adalah: tema travelling-nya bukan tempelan. Oh, tentu aja inti cerita tetap soal cinta segiempat dan bagaimana-hadir-ke-pernikahan-Francis, tapi cerita-cerita menuju ke bagian klimaks tetap nggak lepas dari unsur jalan-jalan. Bahkan, unsurnya pekat sekali. Hal ini rada berbeda dengan tren yang muncul belakangan.
Setelah travelling dan hiking jadi populer, maka novel bertema serupa pun bermunculan bak cendawan di musim hujan. Genre ini sempat lama menjadi tren serta memiliki segmen pembaca tersendiri (yang cukup besar) dan penulis tersendiri. Biasanya, sih, masih nyerempet ke genre slice-of-life atau jenis teks refleksi/memoar. Keuntungannya, kita nggak perlu lagi bersusah-susah menyisir rak demi rak, bacain satu demi satu sinopsis, buat nyari buku bergenre jalan-jalan (seperti zaman Traveler's Tale baru pertama terbit era 2007-an). Sulitnya, pembaca jadi harus selektif memilih buku mana yang bagus dan mana yang tidak. Atau, buku mana yang cukup menggoda untuk 'diculik' ke kasir sekarang juga dan mana yang masih bisa ditunda.
Dari beberapa novel travelling yang pernah saya baca atau temukan di toko buku, terdapat tiga 'aliran' umum soal isi buku tsb:
- 'terlalu' travelling
Novel jenis ini terlalu menitikberatkan pada info-info travelling sehingga membacanya serasa lagi baca guide atau brosur pariwisata. Ada juga yang seperti catatan perjalanan pribadi: rinci, runut, bahkan detail sekecil ada yang izin BAB pun ditulis. Too much. Semuanya disebutkan dan dijelaskan, sampai-sampai ceritanya sendiri terlupakan: ini ceritanya tentang apa, toh?
- travelling hanya sebagai setting
Berkebalikan dengan sebelumnya, jenis ini justru menjadikan travelling sebagai setting tempelan alais porsinya dikit banget. Mudahnya, ketika lokasi diganti pun cerita nggak akan terpengaruh/berubah banyak. Misal: set lokasinya di Paris, tapi kalau diubah jadi Jakarta pun alur ceritanya tetap bisa jalan tanpa keanehan. Yang seperti ini biasanya menitikberatkan pada kesan bahwa travelling ke LN itu glamor dan asyik/adventouring di Indonesia tuh keren banget, tapi justru lupa memberikan alasan kenapa bisa asyik.
Kadang memang ada yang cerita 1-2 bab sendiri, tapi setelah itu fokus berubah ke lain hal. Ada pula yang sekadar menyebutkan lokasi dan deskripsi pendek, tapi setelah itu, sudah.
- porsi pas
Cerita travelling + alur ceritanya pas! Dia bisa meramu setting dan cerita dengan apik dan rapi sesuai takaran sehingga menjadi novel yang sedap dibaca. Tak berat sebelah: nggak kebanyakan deskripsi lokasi tapi juga nggak tempelan banget.
Traveler's Tale, menurut saya, masuk dalam kategori ketiga.
Merajut cerita fiksi yang berhubungan dengan dunia jalan-jalan dan petualangan memang nggak mudah. Susah-susah gampang (tahu dari mana? Ya karena pernah nyoba 😁jadi tahu rasanya). Penulis yang baru nyemplung atau sudah lama nyemplung tapi jenis tulisannya masih tipe 1/2 pun ada. Usaha mereka menuangkan cerita tetap perlu diapresiasi. Pembaca jadi punya sedikit bayangan soal tempat-tempat yang mereka ceritakan. (The real case of "buku adalah jendela untuk melihat dunia", I think?)
Kembali lagi ke Traveler's Tale. Kenapa dia bisa dibilang porsinya pas?
Novel ini lokasinya berganti-ganti. Dari Amerika-Eropa-Asia-Afrika, semua dibabat. Ini susah, lho. Maksudnya, membuat cerita yang tetap berhubungan di satu setting aja, belum tentu eksekusinya 'rapi'. Nah, ini malah pindah-pindah tapi ceritanya tetap 'nyambung'. Memang, hal itu diakali dengan cerita di tiap lokasi yang pendek-pendek. Namun, itulah kelebihannya: narasinya pendek, tapi fokus. Narasinya pendek, tapi alur dan setting bisa terjalin beriringan.
Kalau pendek-pendek, detail travelling-nya jadi nggak banyak, dong?
Betul. Tapi, balik ke tadi: detail jalan-jalannya dia tetap fokus. Sure, ada beberapa lokasi yang hanya disebutkan sekelebat. Misal, saat Farah jalan dengan teman backpacking-nya ke 'Dufan'-nya Wina, Austria. Cuma diceritain 1-2 paragraf doang tentang gimana si teman jadi kayak bocah kesenengan lihat wahana yang lebih sederhana daripada Dufannya kita. Tapi, kalau dipikir-pikir, ya ngapain dibikin panjang? Kan, nggak ada kepentingan buat alur juga. Malah ngebosenin nanti.
Detail lokasi juga gitu. Paling 1-2 paragraf (malah ada yang cuma beberapa baris). Tapi inilah yang bikin dia nggak jadi berlarat-larat atau menjadi deskripsi yang membosankan. Infonya x, y, z, sudah. Infonya umum? Ya, beberapa. Namun ada juga yang infonya cukup unik. Dan, info ini dihubungkan dengan alur. Seperti saat Retno berada di Seville dan bangunan di sana mengingatkannya pada arsitektur kota tempat Francis tinggal (di AS).
Soal travelling ini sebenarnya juga jadi salah satu faktor pembatas (halah!) Traveler's Tale. Betul bahwa di beberapa bagian, dia nyambung banget. Namun, di ada juga beberapa bagian yang hanya disebutkan sekelebat sehingga berasa, "Lha, gitu doang? Dia ke sini cuma sekilas gini aja?" Entah sengaja atau nggak sengaja dibuat gitu. Kalau sengaja, mungkin karena biar fokus tadi atau supaya vibes travelling pindah-pindah kotanya terasa. Namun, di beberapa bagian memang jadi terasa membacanya tersekat-sekat.
Gimana dengan ceritanya sendiri?
Well, you know how romance trope goes. Cinta segiempat, cinta tak diungkapkan, cinta ditolak, cinta terhalang dinding. Perilaku tokohnya pun sama seperti yang bakal dilakukan orang betulan, nggak ada adegan yang super wow atau ngagetin banget.
Alur ceritanya serasa mendaki gunung beneran: kadang datar banget, kadang naik banget, kadang turun banget. Sepertinya dua pertiga awal terasa lambat (saat masing-masing tokoh mulai take off ke tujuan). Untungnya, mode lambat ini terselamatkan oleh beragam lokasi yang dikunjungi empat sekawan kita. Karena lokasinya beragam, jadi terasa lebih cepat meski butuh waktu agak lama untuk sampai ke konflik. Namun, ritme ini lalu berubah cepat banget waktu keempat sahabat ini ketemu (kemudian, DHUAR! ada surprise dan puncak konflik). Setelah konflik besar, rada turun tuh tensinya. Ada beberapa saat tenang. Kemudian, di ending, ada penyelesaian yang secara alur sebenarnya cepat, tapi eksekusi kalimatnya jadi berasa waktu berjalan lambat... banget. Kemudian cepat. Nah lho.
Ending-nya gimana?
Nano-nano, hahaha. Dibilang memuaskan juga kurang puas, tapi dibilang kurang puas juga sebenarnya sudah menuntaskan rasa penasaran. Dibilang sad ending juga enggak karena ada senangnya, tapi dibilang happy ending juga enggak karena ada hal yang belum selesai. Mixed feelings gitu lah. Bikin gemas. Putuskan sendiri saja menurutmu ini masuk kategori yang mana, hehe.
Novel ini pernah diangkat ke layar lebar pada tahun 2018. Tapi saya nggak nonton. Antara emang nggak tahu kalau difilmkan (baru tahu 2020-an kayaknya) dan memang nggak pengin. Preferensi personal aja, sih, karena saya cenderung lebih enjoy buku daripada versi film.
Oh, novel ini juga pernah diterbitkan ulang. Waktu tahu kalau dia difilmkan, saya searching lagi, eh ternyata ada kover (cover, KBBI: kover) baru. Sampul baru ini bernuansa lebih terang dan lebih bersih daripada cetakan pertamanya. Bedanya, empat tokoh di sini diganti dengan figur semacam Lego.
(Beberapa hari lalu saya cek di marketplace Gagas Media, novel ini masih tersedia.)
|
Kover baru (via Shopee/buku_happy) |
Kalau dari cerahnya, saya lebih suka sampul baru. Lebih berwarna juga dan nggak terkesan abu-abu. Namun, kalau dari penggambaran karakter, kayaknya lebih suka sampul lama karena di sana sifat masing-masing tokoh lebih terwakilkan. Kayak, Ucup yang pecicilan digambarkan lagi lompat atau Francis yang necis emang berpakaian paling
proper.
Gimana dengan isinya? Novel yang lama, kan, keluar di era belum ada smartphone. Francis ngirim undangan nikah aja masih pakai email dan pos biasa, bukan link undangan digital kayak sekarang. Mereka berempat komunikasi juga masih pakai email jadul. Farah dan Retno masih SMS-an! Apa ada perubahan di novel barunya, seperti milis diganti group chat dsb? Jujur nggak tahu. Sebab saya nggak baca yang versi anyar.
Terlepas dari plus-minusnya, Traveler's Tale tetap menjadi novel favorit saya. Dari buku inilah saya jadi bisa sedikit menyingkap tirai Eropa dan (sebagian kecil) Afrika. Tempat-tempat wisata yang disebutkan memang banyak yang kini sudah mainstream, mayoritas bukan yang hidden gem, tapi tetap worth-to-visit. Ibarat nggak afdal kalau ke Paris kalau nggak lihat Menara Eiffel. Namun, ada juga beberapa tempat yang nggak begitu terkenal dan sangat menarik, misalnya perkebunan anggur saat Farah menginap di ****.
Dari sinilah saya pertama kali tahu istilah 'Andalusia' dan sekelumit kisah Islam di Eropa.
Dari sini juga saya jadi penasaran dengan (kemudian nonton) seri Before Sunrise.
Karena dia, saya jadi bisa menikmati film lawas The Sound of Music dan kesengsem dengan suasana pedesaannya yang sampai sekarang masih cantik!
Kayaknya, novel ini juga yang memicu saya untuk koleksi novel bertema jalan-jalan lainnya 😄