Judul: Habibie & Ainun
Sutradara: Faozan Rizal
Produser: Dharmoo Punjabi & Manoj Punjabi
Produksi: MD PIctures
Tanggal rilis: 20 Desember 2012
Durasi: 118 menit
Bahasa: Indonesia & Jerman
Rudy Habibie diseret begitu saja oleh gurunya ke sebuah
ruang kelas.
“Mana Ainun?” sang guru bertanya pada sesisi kelas.
Tak lama, sosok Ainun yang masih SMA muncul.
“Ainun, kenapa langit berwarna biru?” sang guru melontarkan
pertanyaan. Ainun menjawab dengan lancar. “Kalian memang jodoh. Cuma kalian
yang bisa menjawab pertanyaan itu.”
“Kamu jelek, gendut, item, kayak gula jawa!” cela Habibie
pada Ainun, saat ditantang kedua kawannya apakah ia berani pada Ainun.
Tak dinyana, bertahun setelah kejadian itu, keduanya bertemu
lagi. Namun, keduanya sudah bukan remaja lagi. Habibie sudah menjadi seorang
mahasiswa teknik di Jerman, sedang Ainun sudah menjadi dokter. Keduanya tak
sengaja bertemu saat ibu Habibie memintanya mengunjungi keluarga Ainun untuk
bersilaturrahmi. Saat itulah Habibie melihat Ainun menjahit.
“Eh, ternyata gula jawa bisa jadi gula pasir,” seloroh
Habibie.
Itulah sepotong intro dari film produksi Dhamoo Punjabi dan
Manoj Punjabi ini. Merasa familiar dengan dua tokoh di atas? Tidak heran.
Karena film yang dibuat berdasarkan sebuah buku tulisan Habibie sendiri ini memang menceritakan wakil
presiden ketiga Indonesia, B.J. Habibie,
dan istrinya, Ainun. Mulai dari pertemuan pertama keduanya, peristiwa keduanya
bertemu lagi, hingga keduanya berakhir di pelaminan lalu melanjutkan hidup
bersama di Jerman, diceritakan dengan apik dalam film ini.
Film ini memang menceritakan kisah cinta abadi Habibie dan
Ainun. Kisah romantis yang ‘elite’, yang tidak dibumbui dengan tangis-tangisan,
gangguan pihak ketiga, dan sejuta problema asmara lain. Namun sebuah kisah
abadi, cinta yang bukan cuma “makan tuh cinta” tapi cinta yang membutuhkan
keikhlasan, kesabaran, pengorbanan, dan saling menguatkan.
Perjalanan keduanya memang tidak mudah. Habibie tidak
‘ujug-ujug’ sukses lalu menjadi presiden nusantara. Tidak. Setelah menikah,
keduanya harus bertahan hidup di Jerman. Entah berapa tahun hidup dalam sebuah
flat kecil. Entah berapa lama Ainun harus menunggu suaminya pulang dari
bekerja. Entah bagaimana kuatnya Habibie menahan lelah dan dingin yang
menggigit saat pulang dari kantor namun tidak memiliki cukup uang, sehingga
harus pulang berjalan kaki dan sepatunya sobek. Ia tambal sepatunya dengan
kertas-kertas kerjanya yang masih juga dipilah-pilahnya di tengah salju,
padahal cuaca sangat menggigit. Bagaimana Ainun bisa kuat hidup di negeri orang
sendirian, dalam keadaan hamil. Bagaimana Habibie bisa bertahan terus mencari
formula baru, padahal orang-orang Jerman meragukannya.
“Kamu tahu pasien yang baru masuk? Ia dari Indonesia. Di
mana itu?”
“Ia orang Asia.”
“Apa dia bisa membuat rel sekuat itu? Kereta api di
negaranya saja impor dari kita.”
Tapi apa masalah menggunung itu merontokkan semangat hidup
keduanya, merapuhkan ikatan mereka? Tidak. Bagaimana bisa? Karena keduanya
ikhlas. Keduanya sadar bahwa hidup yang mereka pilih tidaklah mudah. Pasangan
muda ini saling menguatkan, saling menghangatkan saat yang lain terlihat muram.
“Terowongan itu panjang, gelap.”
“Saya akan bawa kamu ke cahaya itu.”
Selain menyuguhkan romantisme, film ini juga menunjukkan
bahwa semangat bisa mengalahkan semua rintangan. Berbekal mimpi, Habibie toh
akhirnya bisa membuat pabrik pesawat terbang di Indonesia. Membuat terbang
bangsanya setelah surat permohonannya ditolak beberapa tahun sebelumnya.
Percakapan dua orang wartawan di sebuah toilet.
“Pesawat Amerikanya
ditembaki, tapi tetap lewat. Terus datang pesawat Indonesia. Tapi nggak perlu
ditembak.”
“Lho, kenapa?”
“Nggak ditembak, nanti juga jatuh sendiri.”
Pintu toilet terbuka. Keduanya sontak terdiam. Sang insinyur
yang dibicarakan keluar dari toilet sebelah, melangkah dengan santai. Tanpa
tatapan marah, tanpa wajah mencela.
Setelah mimpinya membuatkan Indonesia pesawat sudah terwujud,
semua belumlah mudah. Ia harus meninggalkan Ainun dan kedua anaknya di Jerman,
karena Ainun sudah terlanjur bekerja di Jerman. Belum lagi cobaan-cobaan lain
seperti Habibie yang disogok seorang pengusaha agar memenangkan tender. Atau,
saat ia didekati seorang suruhan pejabat tinggi. Semuanya ditolaknya, ia
berpegang pada prinsip yang tak banyak orang memegangnya: jujur. Meskipun ia
diancam karena yang ditolaknya adalah orang dekat presiden, Habibie tetap
teguh.
“Terima kasih atas peringatannya.”
Adegan penerbangan pertama pesawat N250 merupakan adegan
yang paling menggugah, menurut saya. Hanggar dikondisikan sedemikian rupa.
Semua orang tampak sibuk mempersiapkan penerbangan perdana ciptaan anak bangsa.
Pegawai-pegawai berseragam putih dengan tulisan merah ‘N-250 First Flight’
berlalu-lalang. Sebuah pesawat biru telah siap dia hanggar. Kemudian sebuah
film dokumenter penerbangan perdana diputar. Benar-benar film dokumenter.
Penerbangan yang asli, rekaman langkah awal anak bangsa yang asli. Tampak presiden
Soeharto menyaksikan. Ternyata orang Indonesia sebenarnya bisa, kalau mau.
Buktinya? Pesawat Gatotkaca ini buktinya!
Tahun berselang, Habibie sudah menjadi wakil presiden.
Tugasnya makin berat. Apalagi ketika ia diangkat menjadi presiden. Presiden yang
kurang tidur lantaran tiap malam harus membaca buku-buku referensi kenegaraan.
“Tidak bisa. Harus diselesaikan malam ini juga.”
Sampai Ainun marah karena suaminya kurang tidur. Ainun yang
mengkhawatirkan kesehatan suaminya, yang
selalu mengontrol obat-obatan suaminya, memarahi Habibie. Tapi tanggapan
Habibie? Ia diam, lalu menuruti Ainun. Mengapa ia tak marah sekalian? Toh ia
presiden. Tapi ia memang tetap rendah hati, low
profile.
Film ditutup dengan mundurnya Habibie dari kursi
kepresidenan. Telah menyelesaikan tugas, ia berencana berwisata dengan Ainun.
Namun ternyata Ainun sedang sakit, sakit yang tak pernah ia ceritakan pada
Habibie. Rencana wisata batal. Ainun segera dibawa ke Jerman untuk operasi
karena kanker ovariumnya sudah sangat berbahaya.
Habibie tetap setia menunggui Ainun yang sedang sakit. Membantunya
berwudhu, mengimaminya salat berjamaah dengan anak-anaknya yang sudah dewasa,
terus-terusan berjaga di depan bangsal steril tempat Ainun dirawat. Dan
meskipun dokter menyatakan sudah tak ada harapan, meski sahabat dekat Ainun
menyarankannya mulai mempersiapkan pemakaman, Habibie yakin, tetap yakin, amat
yakin, kalau Ainun masih kuat. Bahwa Ainun masih bisa bertahan.
Habibie: “Pemakaman? Siapa yang mati? Ainun?”
Arlis : “Harus berapa kali lagi Ainun dioperasi?”
Habibie: “Seperlunya. Sampai sembuh!”
Hingga Ainun meninggal, Habibie tidak pernah melupakan cinta
pertamanya itu. Hal ini ditayangkan di akhir film. Habibie menuju rumah orang
tua Ainun. Dengan gerak-gerik yang sama seperti ketika ia pertama kali datang
ke sana. Memperhatikan foto-foto keluarga Ainun di dinding, yang sekarang sudah
bertambah dengan fotonya bersama Ainun. Mengamatinya satu-satu. Kemudian
seperti deja vu, ia mendengar bunyi
mesin jahit. Ia melongok dari balik dinding. Dilihatnya sebuah sosok yang
pernah ia lihat.
“Ainun?”
Ainun menoleh. Wajahnya, gerak-geriknya, persis seperti
ketika Habibie bertemu dengannya dulu. Habibie teringat pertemuan pertamanya
dengan Ainun di rumah itu.
“Gula pasirku...”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika mimpi
berbenturan dengan kenyataan, manakah yang akan menang?
Setidaknya itulah yang saya tangkap dari film ini. Selain
sisi romantismenya yang digarap dengan sangat halus dan menyentuh, menurut saya
film ini patut diacungi dua jempol dari caranya menampakkan nasionalisme.
Bahwa kehidupan pernikahan tak selalu mulus seperti cerita
Cinderella atau Bawang Putih yang ‘dan mereka hidup bahagia untuk
selama-lamanya’. Di sini diperlihatkan bahwa yang namanya orang kalau sudah
sayang (“frekuensinya sama”, kata Habibie dalam film), memang tak cuma
mengatasnamakan sayang. Harus ada konsekuensinya. Pahit-manis diarungi bersama.
Saling pengertian, saling menguatkan. Ikhlas. Sabar.
Mimpi. Tema yang sedang marak dibicarakan di buku-buku
motivasi dewasa ini. Habibie bermimpi, namun tak cuma bermimpi. Ia juga bekerja
demi mewujudkan mimpinya. Menyarankan idenya, bekerja sampai malam, tetap cuek
meski orang-orang berkata pesawat buatannya akan jatuh. Dan ketika idenya
ditolak petinggi Indonesia saat itu, ia tidak menyerah. Ia tidak serta merta
meninggalkan mimpinya. Tetap ia pelihara, hingga ketika kesempatan itu datang,
ia masih bermimpi.
Dan nasionalisme. Mengapa orang pandai seperti Habibie
mau-mau saja balik ke Indonesia yang saat itu sedang bergolak? Bukannya lebih
enak tetap di Jerman? Hidup terjamin, aman, tentram, dan orang-orang di sana
sudah percaya padanya. Bukan seperti bangsanya yang saat itu meremehkannya.
Alasannya cuma satu: “Bayangkan, Ainun! Pesawat untuk sarana transportasi.
Menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Menghidupkan ekonominya. Negeri ini
akan menjadi negeri yang mandiri!” secara garis besar, itulah kalimat yang
sempat saya tangkap. Karena Habibie ingin membangun negerinya. Prinsipnya
teguh. Ia tak melihat uang (sudah disogok berkali-kali, bergeming. Diancam pun
cuek). Prinsip yang, ampun dah, susah banget ditemukan sekarang.
Ada sebuah kalimat yang sangat membekas dalam film ini.
Habibie mengucapkannya saat ia menilik pabrik pesawatnya, usai ia meninggalkan
kursi kepresidenan. Ia mendapati pabrik itu sepi. Tak ada orang, tak ada
aktivitas. Pabriknya mati. (Sebenarnya kalimat ini adalah lanjutan kalimat yang
saya sebutkan pada paragraf di atas.)
“Saya percaya bangsa ini bisa. Tapi, mereka tidak mau
percaya.”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pemeran:
- Reza Rahadian: B.J. Habibie
- Esa Sigit: Habibie remaja
- Bunga Citra Lestari: Ainun
- Marsha Natika: Ainun remaja
- Ratna Riantiarno: R.A. Tuti Marini Puspowardojo (ibu Habibie)
- Bayu Oktara: Fanny Habibir
- Vitta Mariana Barazza: Arlies (sahabat Ainun)
- Radytia Argoebie: Thareq Kemal Habibie
- Mike Lucock: Ilham Akbar Habibie
- Tio Pakusadewo: Soeharto
Soundtrack: Cinta Sejati, ditulis oleh Melly Goeslow, dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari.