Januari 20, 2013
BY Hijau Biru0
Comments
Judul : Tahta Mahameru
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit : Republika
Tahun terbit: Maret 2012
Tebal :380 halaman
Buat saya, dari judul maupun cover-nya, novel ini catchy banget.
Novel yang menjadi novel terbaik kedua dalam lomba novel Republika 2011 ini nggak sengaja saya temukan ketika saya lagi ngubek-ngubek toko buku demi mencari sebuah buku agenda yang pas di hati. Bukan cuma buku agenda yang saya temukan, tapi juga lima novel yang semuanya bagus-bagus. Namun karena saya sadar dompet saya belum begitu tebal, yang berhasil saya gondol cuma buku agenda dan novel karya Azzura Dayana ini.
Bermula dari desa tertinggi di Jawa, Ranu Pani, novel ini menceritakan perjalanan tiga manusia (Faras, Mareta, dan Ikhsan) dengan karakter yang amat berbeda.
Faras, gadis lulusan SMA, pengajar di SDN Ranu Pani yang juga tumbuh di desa itu. Perangainya lembut, sopan, sabar, dan cerdas. Tipikal tokoh protagonis sejati. Ada pula Ikhsan, pendaki slengekan, sinis, dan suka berbuat semaunya. Baginya, persahabatan tidak ada artinya. Hubungan sosial tidak berarti apa-apa. Ambisi terbesarnya cuma satu: membunuh ayahnya, orang yang ia anggap sangat bertanggung jawab atas takdir buruk yang menimpanya. Sedangkan Mareta, setipe dengan Ikhsan, namun tidak se-keterlaluan seperti Ikhsan.
Cerita berawal ketika Ikhsan dan Fikri mencari wisma untuk menginap sebelum mendaki Semeru. Mereka bertemu Faras, yang dengan senang hati menunjukkan rumah penduduk. Pertemuan Faras dengan Ikhsan, pendaki yang slengekan, sinis, dan suka berbuat semaunya, mengubah jalan hidupnya.
Eit, jangan dulu mikir bahwa nanti jadinya Faras suka Ikhsan, atau Ikhsan naksir Faras, tapi cinta mereka terhalang problema sebesar gunung Semeru. Bukaaaan! Sama sekali bukan!
Ikhsan yang sekuler dalam urusan agama, pun apatis dalam memandang persahabatan, selama tiga tahun berturut-turut terus menghujani Faras dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, "Kamu bisa jelaskan padaku sebelas alasan kenapa aku harus shalat?", "Kamu tahu 'Tahta Mahameru'?" dan sebagainya. Pertanyaan terakhir Ikhsan cukup membuat dada Faras bergolak. Ikhsan bertanya apakah ia harus membunuh ayahnya.
Tahun berselang, Faras tak pernah bertemu Ikhsan. Ia hanya menerima foto-foto jepretan Ikhsan tentang perjalanannya traveling Indonesia. Namun, teringat pertanyaan terakhir Ikhsan, Faras memutuskan mencari Ikhsan, agar Ikhsan terhindar dari lumpur hitam yang menjeratnya.
Pertemuan Faras dengan Mareta di Borobudur tidak disengaja. Kedua wanita yang tak saling mengenal ini terlibat pembicaraan, kemudian menjadi kawan seperjalanan. Mereka menuju Sulawesi bersama-sama. Faras dengan misinya mencari Ikhsan (yang menurut email terakhirnya berada di Sulawesi) dan Mareta dengan niat traveling-nya.
Selama tahun-tahun tidak ada kontak dengan Faras, Ikhsan ternyata mengalami masa kelam. Ia yang ingin membalas dendam pada istri tua ayahnya karena dianggapnya sudah membunuh ibu kandungnya, malah masuk penjara. Di dalam penjara, ia menemukan cahaya.
Cerita diakhiri dengan Ikhsan yang kembali bertemu Faras di Ranu Pani (padahal dicarinya di Sulawesi, boo!). Mereka mendaki Semeru bersama ayah Faras. Di puncaklah Faras menjawab pertanyaan Ikhsan yang dulu membuatnya bingung : "Jika Mahameru adalah puncak para dewa, apakah Allah punya tempat di sana?"
Terus, apa spesialnya novel ini?
Memang pendeknya, novel ini mengisahkan perjalanan Faras mencari Ikhsan. Tapi, nggak sesimpel itu. Tentu aja ada nilai-nilai kemanusiaan bahkan agama yang tersurat. Banyak juga quote bagus di sini. Buat yang doyan traveling juga, lumayanlah referensi mengenai Makassar seperti kapal Pinisi, adatnya, pulau Selayar, dan semacamnya. Soal budaya dan perjalanan inilah yang bikin novel ini jadi favorit saya.
Salah satu hal yang bikin saya suka di sini adalah plot twist-nya. Clue-nya ada di si pengirim email perjalanan ke Faras. Kejutan ini dirangkai secara rapi sehingga kalau kita putar balik ke bab-bab selanjutnya maka baru nyadar: oooh ternyata iniii pertandanya.
Namun, seperti novel-novel lainnya, Tahta Mahameru juga punya kekurangan. Beberapa masalah dan dialog terkesan agak kaku dan too good/too dramatic to be true. Beberapa hal yang bikin saya nggak sreg adalah cerita Ikhsan di penjara yang bertemu Yusuf. Yusuf ini kisahnya seperti Nabi Yusuf a.s. yang dibui karena difitnah menggoda atasannya. Kebetulan ini rasanya agak gimanaa gitu. Pun adegan balas dendam Ikhsan ke istri tua ayahnya. Dramatis, sih. Tapi kesannya terlalu... hm... sinetron, mungkin? Jadi agak polar gitu sama adegan-adegan lain yang rasanya ngalir lancar, alamiah, dan real.
Terlepas dari hal-hal di atas, topik traveling, budaya, serta perjalanan mencari jawaban dan mengenal jati diri tetap jadi topik yang mendominasi. Dan, satu hal lagi, perjalanan mencari jawaban/jati diri di sini bukan cuma tempelan dan nggak cuma menyentuh permukaan kemudian dibikin puitis dan diromantisasi berlebihan (seperti novel perjalanan yang jamak di masa ini, ehm). Jadinya, lebih 'nendang' gitu pencarian jawaban/jati dirinya.
Jadi, hiking, travelling, agama, quote kehidupan, semuanya dirangkum jadi satu deh di sini!
----------------------
Desember 2013 lalu saya sempat ke salah satu toko buku gede. Di sana saya nemuin buku ini judulnya sudah diganti menjadi 'Altitude 3676'. Covernya pun diganti jadi pemandangan matahari terbit di jalur pendakian ke puncak Semeru.