April 21, 2011
BY Hijau Biru0
Comments
Bermula saat kabar itu sampai ke rumah.
"Mbak mau nikah! Di Rembang! Ayo ikut Bapak ke sana!"
Dan akhirnya karena suatu kemukjizatan yang dikabarkan melalui SMS ketua kelas bahwaaa besok libur, besok libur! *dance
Jumat, 25 Maret 2011
Paginya, langsung packing. Setelah nungguin bapak yang harus izin ke kantor dulu sambil leyeh-leyeh dan ngerjain PR yang pasti bakalan numpuk kalo ditinggal padahal harus dikumpulin pas besoknya setelah pulang dari Rembang, akhirnya pukul 10.00 WIB kami berangkat ke terminal Bungurasih.
Sampai di Bungurasih, alhamdulillah langsung nemu bus meskipun sempat di-pingpong orang. Udah nemu satu bus, disuruh cari bus lain aja. Tapi alhamdulillah nggak lama di-pingpongnya. Aanyway, bus yang kami tumpangi kali ini adalah bus dengan rute Surabaya-Semarang.
Di bus panas (iyalah!), apalagi dengan adanya penumpang yang bersesak-sesakan karena nggak dapat tempat duduk dan para pedagang yang mondar-mandir menjajakan dagangannya, belum lagi ada suara musik dangdut dengan CD player yang sudah mbrebet. Ngantuk, jelas! Bosen, banget! Pengen lompat dari bus, nggaklah!
Di sela hati yang nggremeng dan mata yang merem-melek menikmati permen jahe pedas, ada suara anak kecil yang lagi ngamen di bus. Aku nggak pernah denger lagunya, tapi begitu denger, langsung kerasa kalo liriknya sakiit banget. Kalo nggak salah gini:
Langit adalah atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Makanan yang dibuang orang di tempat sampah
Itu yang kami makan
Kolong jembatan adalah tempat berlindungku
Beginilah nasib menjadi seorang tunawisma
Langsung merinding dengernya. Langsung kepala ini noleh ke arah asal suara. Seorang anak laki-laki kira-kira kelas 4 SD berpostur gemuk pendek memakai baju yang sudah usang dan memakai topi merah memegang alat musiknya. Matanya menerawang. Aku lihat kulitnya hitam, pasti akibat panas matahari yang tiap hari menyengatnya. Anak seusia gitu, kok nggak sekolah ya? Pikiran itu sempat-sempatnya mampir di pikiranku. Lelet, kalo buat makan aja dia masih ngamen, gimana bisa dia bayar uang sekolah, hah???!!!!
Kelar dengan si anak kecil. Nggak merhatiin, tiba-tiba setelah bus berhenti di beberapa terminal, dia udah hilang.
Mata ini kembali melihat ke luar jendela (kegiatan dalam perjalanan yang paling mengasyikkan! :D). Panorama di luar jendela nggak bisa dibilang bagus sih, malah bisa dibilang biasa aja. Pemandangannya cuma rawa-rawa dengan banyak tambak. Iyalah, pemandangan apa yang aku harapkan? Ini pantura, Kawan! Pemandangan rawa bakau, laut, dan tambak adalah 'pemandangan wajib'.
FYI (For Your Information) aja, jalur Pantura adalah jalan yang awet sejak zaman kolonial Belanda. Pernah dengar jalan Raya Anyer-Panarukan yang dibuat Belanda untuk memperlancar transportasi jika suatu saat terjadi perang? Yep, jalan itu adalah jalan yang sedang aku lalui ini, atau jalur Pantura. Jalan yang juga disebut dengan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) ini dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Herman Willem Daendels. Pembangunan jalan yang berlangsung mulai 1808 dan selesai hanya dalam waktu setahun! Soalnya, Daendels emang dikenal sebagai pemimpin tangan besi. Nggak ehran banyak rakyat Indonesia yang tangannya ikut membangun jalan ini akhirnya mati sia-sia karena kesehatan dan kehidupannya ditelantarkan. Mereka dibiarin tidur di barak-barak kotor yang penuh dengan virus cacar dan penyakit mematikan lainnya. AKibatnya, yang meninggal dalam pembangunan jalan ini sekitar 12.000 orang (catatan Inggris). Tapi sebenernya sih pasti lebih dari itu. Jalan ini menghubungkan Anyer- Serang- Tangerang- Jakarta- Bogor- Sukabumi- Cianjur- Bandung- Sumedang- Cirebon- Brebes- Tegal- Pemalang- Pekalongan- Kendal- Semarang- Demak- Kudus- Rembang- Tuban- Gresik- Surabaya- Sidoarjo- Pasuruan- Probolinggo- Panarukan.
FYI, konon karena tangan besinya (dan juga karena korupnya), Daendels akhirnya dipulangkan ke Belanda oleh Napoleon Bonaparte (waktu itu Belanda ada di bawah kekuasaan Perancis, Napoleon adalah kaisar Prancis) dan Gubernur Jenderalnya diganti dengan Jan Willem Jansens. Tapi karena Jansens tidak cakap, akhirnya Hindia Belanda berhasil dikuasai Inggris walau cuma sebentar.
Jadi ngomongin sejarah gini.
Akhirnya masuk Jawa Tengah juga. Di sini ada beberapa poin yang menarik perhatianku. Antara lain:
- Nemu gunung di tengah jalan. Gunung ini nggak terlalu tinggi, tapi nggak tahu juga mengingat puncaknya tertutup kabut. Yang bikin ngeri adalah kemiringan gunung ini. Dilihat dari jauh pun orang tahu kalo gunung ini gradiennya bikin vertigo (hiperbolis mode: on)
- Rada berhubungan dengan geografi nih. Di daerah Gresik, Tuban, dan seterusnya kan termasuk pegunungan kapur utara. Di daerah-daerah tersebut kita bisa nemuin tanah yang warnanya putih kayak kapur. Batu batanya aja warnanya putih. Selain warna putih, ada juga tanah yang warnanya merah. warna tanah yang merah banget (kecokelatan dikit) ini mengandung banyak Fe alias besi yang nyebabin tanahnya merah
- Adanya pengerukan tebing di tepi laut. Gila, ngeruknya dalam banget! Mana tebingnya tingginya 5 meteran lebih. Kalo longsor, wassalam buat para kendaraan yang lewat. Soalnya kanan jalan udah laut.
- Kragan, Kragan! Tempat ini bernilai sejarah lho! Waktu pertama kali datang ke Indonesia, tempat yang dijadikan sebagai tempat mendarat oleh Jepang salah satunya adalah Kragan (baru inget waktu diingetin bapak. Heran, yang barusan lulus sekolah siapa?)
- Ditunjukin rumah-rumah saudara yang berada pas di tepi jalan Pantura. Hehehe, suatu keunikan pribadi
Akhirnya, waktu ashar, sampai juga di sebuah tempat yang panas, sumuk, kayak Surabaya. Di sanalah bapak dan aku turun meloncat dari bus dan sampailah kami di.... depan alun-alun kota Rembang.
Walaupun di sebelah alun-alun ada Masjid Agung Rembang, emang pada dasarnya udah lapar (biasanya jam segini udah makan tiga kali, ini baru sekali :'( ), kami langsung cari makanan yang nyaman di lidah. Dan pilihan jatuh kepadaaa..... semangkuk bakso urat dan mie ayam serta segelas es teh yang dijual di tepi alun-alun. Kelaperan, langsung aja disikat. Yummoo! Sambil makan, lihat-lihat sekitar. Eh, ternyata di alun-alun ada pasar malam. Wuih, langsung semangat! Udah bertahun-tahun nggak lihat pasar malam.
Kelar makan, nyari penginapan. Alhamdulillah deket alun-alun ada penginapan kecil yang bagus. Kecil sih, tapi rindang, bersih, rapi. Habis sampai penginapan, istirahat sebentar (leyeh-leyeh, makan permen, mandi, lihat kartun), kelar maghrib kami pergi ke rumah pakdhe yang punya hajatan seperti sudah disebutkan di atas.
Suasana kota Rembang itu beda banget sama Surabaya. Alun-alun kota nggak seberapa rame meski ada pasar malam. Kalo di Surabaya, jalan di depan balai kota itu pasti ruame banget. Kalo di sini mah, sepi mamring. Jangankan kendaraan, orang yang lewat per menit aja bisa cuma 1-2 orang.
FYI aja lagi. Balai kota alias rumah dinas bupati Rembang yang letaknya nggak jauh dari hotel kami itu juga merupakan museum Kartini. Kenapa? Karena ibu kita, Kartini, yang merupakan orang Jepara itu pernah tinggal di rumdin kabupaten Rembang. Kartini mendapatkan seorang suami, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang merupakan bupati Rembang saat itu. Di sekitar rumdin ini banyak banget sekolah-sekolah terutama SD. Aku ngitung, ada kali 6 SD di daerah situ. Juga, ada beberapa sekolah yang memakai nama Kartini.
Akhirnya setelah nyasar-nyasar nyari alamat, ketemu jugalah rumah pakdhe. Di sana kami ngobrol-ngobrol (bapak sih yang ngobrol), dikenalin ke saudara-saudara yang aku belum pernah lihat+ketemu seumur hidupku, dan ketemu sepupu yang udah lama nggak ketemu + tante yang juga dari Surabaya.
Udah ngerasa malem, mata udah mulai kriyep-kriyep, akhirnya kami minta izin untuk balik ke penginapan. Sampai di penginapan, ngunci pintu, cuci kaki-muka-tangan-darah (tuh kan jadi ngasal, maklum udah ngantuk), nyalain AC, tarik selimut, tiduuuurrr. Zzzz......
Sabtu, 26 Maret 2011
Bangun pagi langsung salat shubuh di mushalla sebelah kamar. Nggak dingin, soalnya kayak Surabaya suhunya. Cuma ya dimana-mana tetep sama aja, kalo shubuhan harus ngumpulin nyawa dulu satu-satu di atas kasur. Kalau udah genap, mulai berjalan zombie ke mushalla.
Kelar salat, balik ke kamar lagi. Bapak, seperti biasa, menonton berita pagi sedangkan anaknya ini sudah balik ke alam mimpi. Bangun-bangun, eh, udah jam tujuh. Mandi, sarapan, terus mulai kunjung-kunjung ke rumah saudara lagi (yay!).
Setelah nemenin bapak ngabisin rokok sambil jalan-jalan ke alun-alun dan akhirnya beli bubur, kami berjalan menuju pemberhentian pertama: rumah buliknya bapak alias mbahlikku. Nah, kalau yang ini pernah ketemu nih! Pernah ketemu di rumah eyang soalnya! Jadilah aku duduk manis mendengarkan obrolan bapak dan mbah yang sering berjalan ke masa lalu.
Setelah bapak puas ngobrol dengan mbah, kami beralih ke pemberhentian selanjutnya : rumah budhe. Di sana, sementara bapak ngobrol dengan budhe-pakdhe, aku asyik di samping rumah main sama kura-kura mbak sepupu.
Siang, setelah makan siang di rumah budhe dengan garang asem (makanan khas Jawa Tengah, semacam sup berbahan utama daging dan tulang sapi dengan kuah yang asam), aku nunut tidur di rumah budhe hingga waktu ashar. Selepas ashar, aku, mbak Rima (sepupu), dan tanteku pergi ke rumah pakdhe yang memiliki hajatan untuk upacara siraman.
Ternyata eh ternyata, kami sudah telat. Upacara siraman sudah selesai. Jadi kami cuma duduk dan ambil makanan. Di antara hidangan yang tersaji ada yang namanya nasi gandul, makanan khas Jawa Tengah. Kalau dilihat sekilas, nasi ini mirip rawon. Bahan utamanya sama, yaitu daging sapi atau jeroan sapi. Perbedaannya adalah di kuah dan rasanya. Kuah nasi gandul warnanya cokelat, beda dengan rawon yang hitam karena kluwek. Rasa nasi ini cukup unik. Awal-awal, rasanya manis. Namun di akhir rasa manis itu hilang berganti rasa pedas.
Kelar makan, aku dan mbak Rima pergi keluar, yaitu ke alun-alun. Ada pasar malam kan, jadi rame. Mbak Rima berencana buat ngajak aku ke sana, ya karena aku udah lama nggak lihat pasar malam lagi. Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Baruuu aja kami datang dan mbak baruuu aja milih-milih celana, hujan turun dengan derasnya sodara-sodara! Kami terpaksa ngiyup di lapak-lapak jualan bantal dan sprei.
Akhirnya karena sudah masuk waktu maghrib, kami nekat menerobos hujan dan lari-larian menuju Masjid Agung Rembang yang berada di dekat alun-alun. Wah, masjid ini gede deh. Warnanya putih dengan satu menara menjulang tinggi ke atas. Pilar-pilarnya gede-gede, banyak dan warnanya putih. Kalau kita masuk ke tempat salatnya, sekeliling langsung didominasi warna cokelat. Plafonnya dari kayu yang dipelitur indah dengan pilar-pilar warna cokelat yang bikin kesan klasik.
Selesai salat, kami balik ke rumah pakdhe. Di sana tinggal tante aja, sedang bapak sudah pulang ke hotel. Para sanak famili sudah mulai berkaraoke. Akhirnya mbak Rima pulang, tinggal aku dan tante. Karena hujan sudah berhenti (tuh kan, kalo aku jalan-jalan aja hujannya turun!), aku dan tante berinisiatif untuk jalan-jalan ke alun-alun lagi. Uh, belum puas tadi!
Kami ke sana jalan kaki. Rada ngeri soalnya ini malam minggu, di mana alun-alun dengan pasar malamnya pasti menjadi jujugan orang-orang sekota yang pengen bermalam minggu. Jadinya, jalan yang tadinya sepi mulai rame dengan deru sepeda motor. Belum lagi kalau ada yang gaya, sok jadi pembalap. Was wus!
Sampailah kami di alun-alun. Di sana banyak wahana yang sangat menarik perhatian bagi orang yang tidak pernah melihat pasar malam selama beberapa tahun terakhir (baca:aku). Ada perahu dengan bentuk hewan-hewanan yang mengapung di atas kolam besar. Ada biang lala, ada komidi putar, ada arum manis. Kami berkeliling dan mulai memotreti semua wahana itu sampai dilihatin orang-orang. Mungkin batin mereka, ndeso yek gak tau nontok pasar malam. Hehehe, biarinlah. Enjoy aja.
Tante mulai tertarik dengan barang-barang yang dijual di kios-kios pasar malam. Ada baju, cincin, gantungan kunci. Waktu tante milih-milih baju, sempat tertarik dengan salah satu kaos lengan panjang warna hijau dengan tudung. Tapi, buat apa beli barang di pasar malam yang notabene harganya lebih mahal dan bakalan menuhin tas kalau di Surabaya bisa beli?
Namun akhirnya aku membeli sesuatu juga. Ceritanya waktu lihat-lihat gantungan kunci. Lalu mataku terpaku pada sesuatu warna-warni yang harganya cuma ENAM RIBU RUPIAH padahal kalau asli harganya SERATUS DUA PULUH RIBU RUPIAH, yaitu alat tebing berupa snap dan carabiner. Iyalah harganya enam ribu, orang cuma bohong-bohongan kok, hehehe. Tapi akhirnya beli juga. Masa di Rembang nggak ada kenang-kenangan barang?
Puas keliling-keliling, kami pulang dengan becak. Aku ke hotel dan tante ke rumah budhe. Di hotel mendapati bapak sudah lelap. Akhirnya aku nonton TV sambil buka-buka sebuah buku yang bawa dari rumah dan mulai mengerjakan PR.
Minggu, 27 Maret 2011
Pagi-pagi udah keluar hotel untuk ke rumah mbak Rima dan jemput tante karena pengen jalan-jalan ke pantai Kartini. Ngobrol-ngrobrol sebentar, lalu berangkat. Tapi kaki kami ternyata berbelok dengan sendirinya di suatu gang untuk menuju rumah mbah buyut saya, yang dulu menjadi 'markas besar' keluarga. Di sana ngobrol-ngobrol juga. Ngomongin soal bagaimana rumah ini berubah sejak dari zaman penjajahan hingga sekarang, soal siapa aja dari saudara kami yang pernah tinggal di situ, hingga cerita merembet ke sejarah keluarga.
Lalu kami mulai mencari transpor ke pantai Kartini yang letaknya nggak jauh. Kami naik becak. Sekitar lima belas menit, udah sampe di pantai Kartini. Setelah bayar karcis Rp8.000,00 @orang, kami masuk dan langsung mencari sarapan. Sarapannya di tepi laut. Di meja berpayung warna orange. Dari situ kami bisa lihat langsung ke laut lepas. Di kejauhan terlihat batu-batu besar yang diletakkan sebagai pemecah ombak. Perahu-perahu nelayan berkumpul di suatu tempat meskipun ada juga yang sedang melaut.
Setelah makan (bakso panas + telur puyuh + mizone dingin), aku dan bapak menuju ke pantai sedangkan tante memilih tinggal di tempat. Langsung aja copot sandal, lipat celana, nyebur ke laut! Main ombak, main pasir, main air, asyik banget dah pokoknya! Maklum, baru pertama kali nyentuh air laut.
Yang lucu di sini adalah pasirnya. Pasirnya goyang. Maksudnya, kalau kita berdiri di atas pasir yang tergenang air, lama-lama kaki kita bakalan melesak masuk, tapi nggak dalam-dalam amat kok, paling cuma 3 cm-an aja. Terus setelah kaki kita angkat, kalau pasirnya kena ombak, bakal kelihatan goyang. Lucu dah!
Puas main air, kami kembali ke tante. Tapi di tengah jalan kaki kami berbelok ke arah kios penjual hamburger. Sambil menunggu pesanan datang, iseng-iseng aku lihat sandal yang tadi kena air laut. Basah deh, batinku. Eh, tapi kok, di sandalku banyak butir-butir putih halus? Apaan ya? Yang jelas nggak mungkin pasir karena pasir di pantai ini warnanya cokelat.
"Garam itu," kata bapak.
Iya ya, air laut kalau kena panas kan jadi garam. Nggak percaya, aku jilat sedikit jariku yang ada butir-butir putihnya. Mm....... Asin! Iya beneran garam nih!
Balik ke tempat tante (kasihan, dikacangin dari tadi). Kami lalu berencana untuk pulang. Tapi kaki bapak ternyata berbelok lagi ke kios penjual rujak dan kaki tante berbelok ke lapak penjual baju. Belok-belok aja nih kaki, murnya belum diseretin kali ya?
Kelar belanja, kami ke hotel, ambil barang bawaan, check out, lalu ke tempat mbak Rima. Tidur sebentar, mandi, lalu dengan becak, pergi ke resepsi mbak sepupu. Di sana, ketemu lagi dengan para saudara. Ngobrol-ngobrol. Yang paling mengesankan waktu bapak mengenalkan salah satu keponakannya, yaitu mas aku-lupa-namanya. Aku langsung meliriknya, eh ralat, melirik kamera model-model-punya-fotografer yang dibawanya. Hmm, mau.... kameranya.
Setelah resepsi, kami pulang ke tempat mbak Rima. Tidur sejenak, lalu bangun sorenya dan mandi serta salat, lalu dengan diantar ke terminal bus. Alhamdulillah, nggak nunggu lama udah dapat bus ke Surabaya. Yak! Perjalanan malam pun dimulai!
Nggak banyak yang bisa diceritakan dari perjalanan malam ini selain ngelihatin lampu-lampu yang kelap-kelip indah di kejauhan. Itu pun cuma sebentar, soalnya sepanjang perjalanan kerjaku cuma tidur doang. Tahu-tahu nyampe di terminal Bungurasih, naik taksi, nyampe di rumah, terus narik selimut di kasur sendiri.
Hhh.... Dimana-mana tempat ternyaman memang di rumah sendiri. Zzz......
Walaupun di sebelah alun-alun ada Masjid Agung Rembang, emang pada dasarnya udah lapar (biasanya jam segini udah makan tiga kali, ini baru sekali :'( ), kami langsung cari makanan yang nyaman di lidah. Dan pilihan jatuh kepadaaa..... semangkuk bakso urat dan mie ayam serta segelas es teh yang dijual di tepi alun-alun. Kelaperan, langsung aja disikat. Yummoo! Sambil makan, lihat-lihat sekitar. Eh, ternyata di alun-alun ada pasar malam. Wuih, langsung semangat! Udah bertahun-tahun nggak lihat pasar malam.
Kelar makan, nyari penginapan. Alhamdulillah deket alun-alun ada penginapan kecil yang bagus. Kecil sih, tapi rindang, bersih, rapi. Habis sampai penginapan, istirahat sebentar (leyeh-leyeh, makan permen, mandi, lihat kartun), kelar maghrib kami pergi ke rumah pakdhe yang punya hajatan seperti sudah disebutkan di atas.
Suasana kota Rembang itu beda banget sama Surabaya. Alun-alun kota nggak seberapa rame meski ada pasar malam. Kalo di Surabaya, jalan di depan balai kota itu pasti ruame banget. Kalo di sini mah, sepi mamring. Jangankan kendaraan, orang yang lewat per menit aja bisa cuma 1-2 orang.
FYI aja lagi. Balai kota alias rumah dinas bupati Rembang yang letaknya nggak jauh dari hotel kami itu juga merupakan museum Kartini. Kenapa? Karena ibu kita, Kartini, yang merupakan orang Jepara itu pernah tinggal di rumdin kabupaten Rembang. Kartini mendapatkan seorang suami, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang merupakan bupati Rembang saat itu. Di sekitar rumdin ini banyak banget sekolah-sekolah terutama SD. Aku ngitung, ada kali 6 SD di daerah situ. Juga, ada beberapa sekolah yang memakai nama Kartini.
Akhirnya setelah nyasar-nyasar nyari alamat, ketemu jugalah rumah pakdhe. Di sana kami ngobrol-ngobrol (bapak sih yang ngobrol), dikenalin ke saudara-saudara yang aku belum pernah lihat+ketemu seumur hidupku, dan ketemu sepupu yang udah lama nggak ketemu + tante yang juga dari Surabaya.
Udah ngerasa malem, mata udah mulai kriyep-kriyep, akhirnya kami minta izin untuk balik ke penginapan. Sampai di penginapan, ngunci pintu, cuci kaki-muka-tangan-darah (tuh kan jadi ngasal, maklum udah ngantuk), nyalain AC, tarik selimut, tiduuuurrr. Zzzz......
Sabtu, 26 Maret 2011
Bangun pagi langsung salat shubuh di mushalla sebelah kamar. Nggak dingin, soalnya kayak Surabaya suhunya. Cuma ya dimana-mana tetep sama aja, kalo shubuhan harus ngumpulin nyawa dulu satu-satu di atas kasur. Kalau udah genap, mulai berjalan zombie ke mushalla.
Kelar salat, balik ke kamar lagi. Bapak, seperti biasa, menonton berita pagi sedangkan anaknya ini sudah balik ke alam mimpi. Bangun-bangun, eh, udah jam tujuh. Mandi, sarapan, terus mulai kunjung-kunjung ke rumah saudara lagi (yay!).
Setelah nemenin bapak ngabisin rokok sambil jalan-jalan ke alun-alun dan akhirnya beli bubur, kami berjalan menuju pemberhentian pertama: rumah buliknya bapak alias mbahlikku. Nah, kalau yang ini pernah ketemu nih! Pernah ketemu di rumah eyang soalnya! Jadilah aku duduk manis mendengarkan obrolan bapak dan mbah yang sering berjalan ke masa lalu.
Setelah bapak puas ngobrol dengan mbah, kami beralih ke pemberhentian selanjutnya : rumah budhe. Di sana, sementara bapak ngobrol dengan budhe-pakdhe, aku asyik di samping rumah main sama kura-kura mbak sepupu.
Siang, setelah makan siang di rumah budhe dengan garang asem (makanan khas Jawa Tengah, semacam sup berbahan utama daging dan tulang sapi dengan kuah yang asam), aku nunut tidur di rumah budhe hingga waktu ashar. Selepas ashar, aku, mbak Rima (sepupu), dan tanteku pergi ke rumah pakdhe yang memiliki hajatan untuk upacara siraman.
Ternyata eh ternyata, kami sudah telat. Upacara siraman sudah selesai. Jadi kami cuma duduk dan ambil makanan. Di antara hidangan yang tersaji ada yang namanya nasi gandul, makanan khas Jawa Tengah. Kalau dilihat sekilas, nasi ini mirip rawon. Bahan utamanya sama, yaitu daging sapi atau jeroan sapi. Perbedaannya adalah di kuah dan rasanya. Kuah nasi gandul warnanya cokelat, beda dengan rawon yang hitam karena kluwek. Rasa nasi ini cukup unik. Awal-awal, rasanya manis. Namun di akhir rasa manis itu hilang berganti rasa pedas.
Kelar makan, aku dan mbak Rima pergi keluar, yaitu ke alun-alun. Ada pasar malam kan, jadi rame. Mbak Rima berencana buat ngajak aku ke sana, ya karena aku udah lama nggak lihat pasar malam lagi. Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Baruuu aja kami datang dan mbak baruuu aja milih-milih celana, hujan turun dengan derasnya sodara-sodara! Kami terpaksa ngiyup di lapak-lapak jualan bantal dan sprei.
Akhirnya karena sudah masuk waktu maghrib, kami nekat menerobos hujan dan lari-larian menuju Masjid Agung Rembang yang berada di dekat alun-alun. Wah, masjid ini gede deh. Warnanya putih dengan satu menara menjulang tinggi ke atas. Pilar-pilarnya gede-gede, banyak dan warnanya putih. Kalau kita masuk ke tempat salatnya, sekeliling langsung didominasi warna cokelat. Plafonnya dari kayu yang dipelitur indah dengan pilar-pilar warna cokelat yang bikin kesan klasik.
Selesai salat, kami balik ke rumah pakdhe. Di sana tinggal tante aja, sedang bapak sudah pulang ke hotel. Para sanak famili sudah mulai berkaraoke. Akhirnya mbak Rima pulang, tinggal aku dan tante. Karena hujan sudah berhenti (tuh kan, kalo aku jalan-jalan aja hujannya turun!), aku dan tante berinisiatif untuk jalan-jalan ke alun-alun lagi. Uh, belum puas tadi!
Kami ke sana jalan kaki. Rada ngeri soalnya ini malam minggu, di mana alun-alun dengan pasar malamnya pasti menjadi jujugan orang-orang sekota yang pengen bermalam minggu. Jadinya, jalan yang tadinya sepi mulai rame dengan deru sepeda motor. Belum lagi kalau ada yang gaya, sok jadi pembalap. Was wus!
Sampailah kami di alun-alun. Di sana banyak wahana yang sangat menarik perhatian bagi orang yang tidak pernah melihat pasar malam selama beberapa tahun terakhir (baca:aku). Ada perahu dengan bentuk hewan-hewanan yang mengapung di atas kolam besar. Ada biang lala, ada komidi putar, ada arum manis. Kami berkeliling dan mulai memotreti semua wahana itu sampai dilihatin orang-orang. Mungkin batin mereka, ndeso yek gak tau nontok pasar malam. Hehehe, biarinlah. Enjoy aja.
Tante mulai tertarik dengan barang-barang yang dijual di kios-kios pasar malam. Ada baju, cincin, gantungan kunci. Waktu tante milih-milih baju, sempat tertarik dengan salah satu kaos lengan panjang warna hijau dengan tudung. Tapi, buat apa beli barang di pasar malam yang notabene harganya lebih mahal dan bakalan menuhin tas kalau di Surabaya bisa beli?
Namun akhirnya aku membeli sesuatu juga. Ceritanya waktu lihat-lihat gantungan kunci. Lalu mataku terpaku pada sesuatu warna-warni yang harganya cuma ENAM RIBU RUPIAH padahal kalau asli harganya SERATUS DUA PULUH RIBU RUPIAH, yaitu alat tebing berupa snap dan carabiner. Iyalah harganya enam ribu, orang cuma bohong-bohongan kok, hehehe. Tapi akhirnya beli juga. Masa di Rembang nggak ada kenang-kenangan barang?
Puas keliling-keliling, kami pulang dengan becak. Aku ke hotel dan tante ke rumah budhe. Di hotel mendapati bapak sudah lelap. Akhirnya aku nonton TV sambil buka-buka sebuah buku yang bawa dari rumah dan mulai mengerjakan PR.
Minggu, 27 Maret 2011
Pagi-pagi udah keluar hotel untuk ke rumah mbak Rima dan jemput tante karena pengen jalan-jalan ke pantai Kartini. Ngobrol-ngrobrol sebentar, lalu berangkat. Tapi kaki kami ternyata berbelok dengan sendirinya di suatu gang untuk menuju rumah mbah buyut saya, yang dulu menjadi 'markas besar' keluarga. Di sana ngobrol-ngobrol juga. Ngomongin soal bagaimana rumah ini berubah sejak dari zaman penjajahan hingga sekarang, soal siapa aja dari saudara kami yang pernah tinggal di situ, hingga cerita merembet ke sejarah keluarga.
Lalu kami mulai mencari transpor ke pantai Kartini yang letaknya nggak jauh. Kami naik becak. Sekitar lima belas menit, udah sampe di pantai Kartini. Setelah bayar karcis Rp8.000,00 @orang, kami masuk dan langsung mencari sarapan. Sarapannya di tepi laut. Di meja berpayung warna orange. Dari situ kami bisa lihat langsung ke laut lepas. Di kejauhan terlihat batu-batu besar yang diletakkan sebagai pemecah ombak. Perahu-perahu nelayan berkumpul di suatu tempat meskipun ada juga yang sedang melaut.
Setelah makan (bakso panas + telur puyuh + mizone dingin), aku dan bapak menuju ke pantai sedangkan tante memilih tinggal di tempat. Langsung aja copot sandal, lipat celana, nyebur ke laut! Main ombak, main pasir, main air, asyik banget dah pokoknya! Maklum, baru pertama kali nyentuh air laut.
Yang lucu di sini adalah pasirnya. Pasirnya goyang. Maksudnya, kalau kita berdiri di atas pasir yang tergenang air, lama-lama kaki kita bakalan melesak masuk, tapi nggak dalam-dalam amat kok, paling cuma 3 cm-an aja. Terus setelah kaki kita angkat, kalau pasirnya kena ombak, bakal kelihatan goyang. Lucu dah!
Puas main air, kami kembali ke tante. Tapi di tengah jalan kaki kami berbelok ke arah kios penjual hamburger. Sambil menunggu pesanan datang, iseng-iseng aku lihat sandal yang tadi kena air laut. Basah deh, batinku. Eh, tapi kok, di sandalku banyak butir-butir putih halus? Apaan ya? Yang jelas nggak mungkin pasir karena pasir di pantai ini warnanya cokelat.
"Garam itu," kata bapak.
Iya ya, air laut kalau kena panas kan jadi garam. Nggak percaya, aku jilat sedikit jariku yang ada butir-butir putihnya. Mm....... Asin! Iya beneran garam nih!
Balik ke tempat tante (kasihan, dikacangin dari tadi). Kami lalu berencana untuk pulang. Tapi kaki bapak ternyata berbelok lagi ke kios penjual rujak dan kaki tante berbelok ke lapak penjual baju. Belok-belok aja nih kaki, murnya belum diseretin kali ya?
Kelar belanja, kami ke hotel, ambil barang bawaan, check out, lalu ke tempat mbak Rima. Tidur sebentar, mandi, lalu dengan becak, pergi ke resepsi mbak sepupu. Di sana, ketemu lagi dengan para saudara. Ngobrol-ngobrol. Yang paling mengesankan waktu bapak mengenalkan salah satu keponakannya, yaitu mas aku-lupa-namanya. Aku langsung meliriknya, eh ralat, melirik kamera model-model-punya-fotografer yang dibawanya. Hmm, mau.... kameranya.
Setelah resepsi, kami pulang ke tempat mbak Rima. Tidur sejenak, lalu bangun sorenya dan mandi serta salat, lalu dengan diantar ke terminal bus. Alhamdulillah, nggak nunggu lama udah dapat bus ke Surabaya. Yak! Perjalanan malam pun dimulai!
Nggak banyak yang bisa diceritakan dari perjalanan malam ini selain ngelihatin lampu-lampu yang kelap-kelip indah di kejauhan. Itu pun cuma sebentar, soalnya sepanjang perjalanan kerjaku cuma tidur doang. Tahu-tahu nyampe di terminal Bungurasih, naik taksi, nyampe di rumah, terus narik selimut di kasur sendiri.
Hhh.... Dimana-mana tempat ternyaman memang di rumah sendiri. Zzz......