Hijaubiru: Tentang Perjalanan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Desember 2024

Pelajaran Perjalanan
Desember 07, 20240 Comments


 

Experience is the best teacher, katanya. Pengalaman adalah guru terbaik. Banyak orang setuju dan pernyataan itu emang benar. Sayangnya, 'guru' satu ini merupakan jenis guru yang pasti tega sama muridnya: karena mereka ngasih ujian dulu, lalu pembelajarannya belakangan.


‘Model pembelajaran’ macam ini pun nggak mengenal kata selesai, sesuai dengan ungkapan, “Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian hingga liang lahat”. Alias nggak mengenal kata berhenti. Tiap fase hidup dan peristiwa bisa jadi ‘bahan ajar’ yang diambil hikmahnya.

 

Sama seperti peristiwa-peristiwa lain dalam hidup, perjalanan juga menyimpan pelajaran. Bahkan hal-hal yang ‘nggak hidup’—atau sering nggak kita anggap sebagai subjek dan hanya objek—bisa banget jadi sumber pembelajaran.

 


AWAL ‘PERJALANAN SEBAGAI PEMBELAJARAN’

Di zaman sekarang, kita bisa bebas jalan-jalan ke mana pun dan kapan pun. Di zaman duluuu banget, perjalanan cuma dilakukan untuk hal-hal yang penting. Hampir nggak ada perjalanan untuk wisata, beberapa abad silam. Leisure travel ditengarai muncul baru-baru aja ketika zaman udah stabil.

 

Stabil yang dimaksud adalah hal-hal semacam biaya perjalanan lebih murah, transportasi lebih memadai, keamanan lebih terjamin, dsb. Makanya kalau kita cari-cari catatan perjalanan zaman dulu banget, penulisnya seringkali adalah orang-orang yang memang perlu melakukan perjalanan, contohnya pelaut, pedagang, wartawan, ilmuwan yang cari bahan riset, murid yang sedang cari guru untuk belajar, dan semacamnya; bahkan para pengelana yang membawa misi kolonial.

 

Di Eropa sendiri, perjalanan awalnya memang untuk belajar. Para pemuda kaya atau bangsawan melakukan grand tour, melawat ke daratan Eropa lainnya untuk belajar. Belajarnya nggak hanya di kelas, tapi lebih pada kunjungan ke berbagai tempat asing untuk menambah pengetahuan. Kalau di Indonesia dan sekitarnya mungkin kita akrab dengan cerita kolosal yang sering menyebut tokoh A berkelana untuk berguru pada tokoh X, dan semacamnya.

 

Kalau di masa kini, apa saja yang bisa kita jadikan ‘guru’ dalam perjalanan?

 


‘GURU’ DALAM PERJALANAN

Sebagai catatan, beberapa poin di daftar ini ‘menjadi guru’ karena keterkaitannya dengan manusia atau masyrakat. Jadi memang ada yang nggak berdiri sendiri. Sepertinya udah sifat ilmu untuk saling terkait.

 

1. PERENCANAAN: Sebuah Awal Proses Menemukan

Sebelum melakukan perjalanan atau pergi wisata, biasanya kita akan ngerencanain dulu. Kalau panjang atau jauh, kita akan bikin planning atau itinerary. Penyusunan rencana ini tentu butuh proses mencari tahu atau riset istilah kerennya. Kita bisa cari info dengan tanya orang lain, berselancar di website, atau tanya langsung ke tempat (misal: stasiun, hotel, dsb).

 

Dalam proses perencanaan ini, seringkali saya juga ‘menemukan diri sendiri’ dengan mengetahui hal-hal yang saya butuhkan atau inginkan. Kita juga bisa tahu style seseorang dari planning-nya, baik itu style perjalanannya atau style secara umum. (Style di sini maksudnya bukan gaya berpakaian, yaa.)

 

Soal menemukan diri sendiri, kadang hal ini juga bisa direfleksikan pada kehidupan sehari-hari sehingga kemudian bikin sadar, “Oh, ternyata aku butuh ini, ternyata aku seperti ini.”

 

2. ALAM

> Tentang Sifat Manusia

Back to nature! Konon, di alam kita bisa melihat diri kita yang sebenarnya. Dan memang betul. Beberapa kali dalam kondisi terdesak atau kondisi yang super-duper nggak nyaman, sifat asli saya dan teman-teman jadi kelihatan. Bahkan sifat-sifat jeleknya bisa keluar semua. Poin belajarnya adalah gimana mengatasi bad mood dan bad condition serta tetap berkomunikasi baik dengan teman-teman supaya keadaan nggak makin runyam atau pertemanan jadi nggak nyaman.

 

Ketika sudah saling tahu bahwa ada berbagai macam sifat dan gimana cara ngehadapinnya, pengalaman ini bisa juga kita pakai di kehidupan sehari-hari.

 

> Tentang Alam

Alam ini hebat karena Pembuatnya amat hebat. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari fenomena-fenomena alam selama perjalanan. Bahkan nggak hanya dalam perjalanan, fenomena alam di sekitar kita pun bisa banget kita ambil hikmahnya.

 

Hal yang paling saya sukai adalah ketika menemukan sesuatu yang pernah saya dapat dari bangku sekolah atau buku. Menemukan lumut yang bisa diperas untuk diambil airnya, seperti yang diajarkan dalam survival. Melihat tingkat-tingkat batuan berbagai motif dan gradasi hasil patahan dsb, seperti dalam pelajaran Geografi. Merasakan angin laut dan angin darat yang super semriwing di kulit, seperti di pelajaran IPA. Dan masih banyak lainnya.

 

Saya sendiri paling suka bila ketemu fenomena alam yang terhubung dengan pelajaran atau textbook. Rasanya kayak makin nyata aja. Beda, kan, sensasi memahami dari buku aja dengan mengalami sendiri. Lebih nyantol aja kalau pakai mengalami. Oleh karena itulah ada praktikum di sekolah: karena kalau praktik biasanya lebih nyantol.

 

Ini juga bisa mematahkan omongan macam, “Hal yang dipelajari di sekolah itu nggak guna, mending belajar di kehidupan nyata”. Nyatanya, dua hal ini berhubungan banget. Mustahil kita bisa paham fenomena di sekitar kita kalau nggak dapat dasarnya dari para guru sekolah (kalau pun nggak sekolah, at least tetap dari proses belajar, nggak ujug-ujug paham).

 

Dalam kehidupan sehari-hari apa contohnya?

Sederhana aja. Misal, tahu bahwa lama waktu untuk merebus air saja sampai mendidih itu lebih cepat dibanding air+bumbu/gula karena titik didihnya berbeda (ini ada di bab Tf/Tb Kimia). Atau, sesimpel tahu bahwa hewan-hewan yang ada di sekitar rumah kita itu bisa jadi hama, tapi juga bisa jadi penyelamat ekosistem sekitar lewat siklus yang berkelanjutan.

 

Science is everywhere around us.

Sains selalu ada di sekitar kita, selama kita tahu ke mana harus melihatnya.

 


3. MASYARAKAT DAN MANUSIA

Topik masyarakat dan manusia sangat nyambung dengan ‘tempat’, karena seringkali tempat bisa banyak dipelajari saat ada manusia atau masyarakatnya.

 

> Masyarakat

Masyarakat bisa banget jadi guru dalam perjalanan. Bahkan jadi guru yang paling besar. Banyak cerita-cerita perjalanan dan travel writer yang kisahnya banyak berputar pada kehidupan warga di tempat perjalanannya. Topik budaya sudah bukan lagi barang asing dalam perjalanan dan pembelajaran.

 

Mengetahui budaya dan style masyarakat di tempat kita melakukan perjalanan, bisa banget tambah ilmu untuk kita. Sesimpel tahu hal yang dianggap sopan di masyarakat A tapi dianggap enggak di masyarakat B, dsb. Lain tempat, lain perspektif. Beda perspektif, beda cara pikir.

 

Ngomong-ngomong, ada suatu episode di sebuah anime yang eye-opening banget buat saya. Iya, nggak salah, saya dapat perspektif ini dari nonton kartun. Ceritanya, ada seorang mata-mata negara lain yang mampir di sebuah resto kecil (mungkin di kita dianggap warung?). Dia memesan makanan dari resto itu. Dari bahan makanan dan bumbunya aja, dia bisa analisis flow perdagangan negara itu dan pengaruhnya ke negara-negara lain.

 

Simpelnya gini:

Lihat makanan > makanannya dari bahan segar > padahal bahan segar susah didapat > berarti rantai distribusinya bagus. Resto kecil aja bisa beli bahan segar > harga di negara itu terjangkau > sumber bahannya banyak > negaranya kaya.

Ada lagi adegan si mata-mata nemu merica dalam makanannya. Dia syok abis karena merica di sana harganya setara emas. Dia mikir, “Kalau warung kecil murah aja bisa nyediain merica, apalagi resto besar dan orang-orang kaya. Sekaya apa ini negara?”

 

Di kehidupan sehari-hari, insight seperti di atas juga bisa banget kita dapatkan. Kalau dulu semacam: oh Indonesia produk agrikulturnya banyak, makanya dibilang negara agraris. Dalam beberapa travel notes yang saya baca, semacam: oh ini kota orangnya pakaiannya warna-warni dan bagus karena dulu jadi Jalur Sutra jadi banyak pedagang negara lain yang lewat dan jualan di sini.

 

> Orang

Ini juga salah satu poin menarik dari berbagai travel notes. Banyak perspektif, cerita, fakta, pelajaran, yang bisa didapat dari ngobrol dengan orang. Biasanya, warga lokal.

 

Dari warga lokal, biasanya kita bisa tahu lebih banyak daripada hal-hal yang ada di internet. Dari seorang ibu, kami jadi tahu bahwa kelapa di sebuah daerah selatan Jatim segar banget sampai dijual ke kota besar (dan ditawari, “Mau minum? Saya bukakan!”). Dari seorang kang ojek, kami jadi tahu ada mitos yang beredar di antara warga lokal di sekitar sebuah danau di Jabar (“Warna danaunya bisa ganti-ganti karena dijaga bidadari”). Bahkan info penginapan, makanan enak, dan spot bagus juga bisa didapat dari obrolan bareng warga sekitar.

 

Bahkan percakapan dengan orang yang sedang sama-sama dalam perjalanan, seringnya sama-sama dalam kendaraan, juga bisa jadi penambah pengalaman. Kalau cari teman barengan, juga bisa dapat dari ngobrol-ngobrol ini. Dulu seringnya kalau cari kendaraan carteran, supaya murah jadi kami gabung sama rombongan lain. Sebelum bareng, tentu ngobrol dulu. Di kendaraan juga ngobrol tukar info. Kadang, hidup memang sebagian besar diisi dengan obrolan.

 

> Guru/Mentor

Kali ini untuk yang memang niat berguru; mendatangi orang-orang tertentu untuk minta diajari, dsb. Sebelum saya pertama naik gunung bertahun-tahun lalu, saya dan teman-teman diajari berbagai ilmu oleh para senior dan kakak-kakak kelas. Pengetahuan yang dibutuhkan supaya tetap hidup atau hiking dengan nyaman, mereka ajarkan. Bentuk belajarnya sendiri kadang materi di kelas, sharing santai, simulasi sederhana, atau praktik langsung di alam.

 

Dalam perjalanan, gurunya juga banyak. Beberapa pejalan mengatakan bahwa guru perjalanan mereka adalah dosen semasa kuliah. Beberapa travel writer bilang bahwa mereka belajar menulis dan berjalan dari mentor mereka, para penulis/jurnalis senior.


 

 

Dalam hidup, manusia nggak mungkin terlepas dari pengajaran para guru. Bahkan sejak dalam kandungan, bayi pun sudah belajar dari ‘guru’ terdekatnya, yaitu orang tuanya. Sejak dalam buaian hingga masuk liang peristirahatan, selama manusia terus berjalan, ia akan terus mendapat pelajaran dari berbagai macam guru; guru di bangku pendidikan maupun guru kehidupan.


Perbedaannya adalah apakah seseorang bisa memetik buah pengalaman untuk dijadikan pembelajaran,

atau

memilih abai dan menganggap itu semua hanya kejadian biasa tanpa makna. 






Picture from Favim.com
Reading Time:

Minggu, 27 Oktober 2024

Foto Perjalanan: Bagaimana Membuat Foto Lebih Menarik
Oktober 27, 20240 Comments

 

Saat ngelihat foto-foto perjalanan atau lanskap jepretan orang, saya sering ngebatin, “Kok orang-orang ini bisa aja dapat foto yang cantik banget? Gimana caranya?” Nggak cuma cantik, foto-fotonya juga lain daripada yang lain. Biar satu lokasi, tapi fotonya macam-macam.

 

Setelah beberapa saat ngulik fotografi, akhirnya ketemulah beberapa cara supaya dapat foto yang lebih mendingan dan nggak kayak asal jepret aja. Tips-tips ini saya dapat dari berbagai sumber (orang/buku/web/dsb) dan buat saya jadi hal paling bisa dipraktikkan bahkan buat yang nggak terlalu ngulik dunia fotografi. Awal ngulik fotografi dulu, inilah hal-hal yang saya lakukan. Jadi, disclaimer dulu, tips yang di sini emang basic banget dan kurang cocok buat yang sudah expert. And I’m no expert myself.

 

Jadi, langsung aja ke langkah pertama.


 

1. Tentukan objek fotonya

Saat di tempat wisata, kita sering terpesona dengan tempat itu sampai-sampai pengin rasanya mendokumentasikannya ke dalam satu foto. Saya juga sering gitu, haha. Sayangnya, nggak bisa (atau susah) ngerangkum semua keindahan objek dalam satu foto aja. Kalau dipaksa, fotonya jadi nggak fokus.


Pernah nggak, ada di suatu lokasi yang cantik banget, terus pengin motret tempat itu semuanya, tapi waktu fotonya dilihat lagi ternyata jadi nggak sebagus aslinya atau malah jelek?


Saya sering gini waktu motret, haha. Di mata kelihatan cakep, tapi waktu difoto kok enggak?


Ini faktornya bisa macam-macam, tapi kali ini fokus ke satu dulu: karena objeknya kebanyakan. Dalam bukunya, Rob Sheppard (fotografer) berkata yang intinya:

Mata kita bisa otomatis fokus pada objek yang kita inginkan, tapi lensa kamera tidak bisa. Lensa kamera hanya bisa melihat cahaya.


Jadi, pertama-tama, meski pemandangan itu terlihat cantik di segala penjuru, tentukan dulu objeknya: danaukah, pohonkah, komidi putarkah, orangnya, atau apa? Supaya saat orang (atau kita) ngelihat foto yang dihasilkan, arah pandangannya jelas ke mana.


Mana yang lebih bagus, foto kiri atau kanan?
Foto kiri ingin menangkap semua objek (terundak tinggi, pohon, lampion) tapi malah nggak fokus. Foto kanan fokus ke lampion, pepohonan sebagai background


2. Atur komposisi foto

Supaya pandangan bisa langsung fokus ke foto, maka komposisinya harus diatur supaya semua nggak bercampur-baur. Dalam fotografi, ada banyak ‘resep’ komposisi. Yang paling umum didengar mungkin rule-of-third. Ada juga leading lines, golden ratio, dsb. Paling gampang dipraktikkan pertama kali, rule-of-third ini.


Rule-of-third membagi bidang foto jadi tiga. Tiap bagian berbatasan dengan garis imajiner ini sehingga porsinya pas.


Namun bukan berarti semua foto harus nurut aturan ini. Kalau misal ngerasa nggak cocok, suka-suka aja mau dipakai atau enggak.


Kalau pengin ngulik komposisi lebih jauh, coba cari pakai kata kunci: (tipe) komposisi fotografi.

Contoh rule-of-third: garis-garis membagi 3 bidang horisontal dan vertikal. Sepertiga batuan, sepertiga laut, dan sepertiga untuk langit.
.


3. Cari angle lain

... alias cari sudut pengambilan foto yang lain. Kita sering banget ambil foto dari angle setara mata kita (eye-level shot). Kalau ingin hasil yang beda, coba sekali-kali ambil foto dari sudut yang lebih tinggi atau lebih rendah. Lalu bandingkan dengan foto yang diambil setara mata. Kira-kira lebih cocok yang mana?


Angkat kamera/HP lebih tinggi dari posisi mata, mungkin foto yang dihasilkan jadi bisa mencakup lebih banyak area. Coba taruh kamera/HP lebih rendah dari posisi mata, siapa tahu gedung antik di depan kita bisa kelihatan lebih megah.


Coba dua ini dulu (high angle dan low angle). Kalau penasaran, bisa coba cek sudut pengambilan lainnya. Kata kunci: macam angle dalam fotografi atau types of angles in photography.


Kadang, hasil foto bisa lebih keren pakai low angle, kadang high angle, kadang eye-level juga udah bagus. Jadi menyesuaikan aja mana yang lebih cocok.


Dua foto di lokasi yang sama, objek yang sama, tapi sudut pengambilannya berbeda. 
Atas, foto diambil dari posisi setara mata. Hasilnya menunjukkan kesan hamparan penuh bunga.
Bawah, foto diambil dari posisi lebih bawah (low angle). Hasil menunjukkan kesan bunga yang menjulang ke langit. 


 

4. Geser ke lokasi lain

Ke lokasi X, ambil foto di spot foto X, maka foto yang didapat biasanya akan sama dengan bejibun foto lainnya. Coba geser sedikit, beberapa langkah aja. Mungkin foto yang didapat jadi beda. Jadi ini bukan ganti destinasi. Lokasinya masih sama, cuma tempat ambil fotonya aja yang agak beda.


Dengan catatan, gesernya hati-hati dan lihat situasi/kondisi. Misal geser dikit udah jurang, ya nggak usah geser daripada nggak selamat; geser dikit tapi ngerusak alam atau sarana/prasarana, ya nggak usah geser juga.


Hanya geser dan jalan beberapa langkah, potret yang dihasilkan berbeda. Foto kiri, pemandangan tertutup pepohonan rapat. Geser beberapa meter dan bukit terlihat jelas.


5. Sesuaikan timing

Kadang, foto bagus memang tergantung faktor yang tidak diduga-duga. Misalnya: cuaca, pengunjung yang nggak padat, dsb. Namun bukan berarti faktor-faktor ini nggak bisa diantisipasi. Antisipasilah sesuai ‘tantangan’ yang menurutmu ada.


Kalau ingin dapat foto matahari terbit, maka harus siap di tempat atau berangkat tengah malam. Bila ingin potret sendiri di pantai yang dikenal padat wisatawan, mungkin bisa cari alternatif untuk berkunjung di hari-hari biasa. Kalau ingin dapat foto gunung yang cerah, maka jangan berlibur ke sana waktu musim hujan. Beda kasus kalau memang ingin dapat foto dataran tinggi nan berkabut, maka justru berkunjunglah di musim hujan.


Khusus untuk contoh kedua alias area padat orang, sebenarnya ada alternatif yang bisa dicoba: foto pakai mode long exposure. Pernah lihat foto jalan yang ramai tapi yang terlihat hanya lampu-lampu kendaraan yang terlihat seperti garis? Long exposure macam itulah. Namun alih-alih ‘merekam’ lampu kendaraan, kita akan mengatur lamanya waktu supaya gerakan orang-orang menjadi halus sampai tak terlihat. Sementara itu, objek foto (orang/landmark yang kita foto) harus dalam posisi diam tak bergerak.


Di beberapa ponsel, mode long exposure seperti ini sudah ada. Tinggal atur durasi aja. Kalau nggak nemu, bisa cek mode manual terus atur shutter-nya.


Memang hasil dan prosesnya nggak selalu smooth, seperti orang yang diam terlalu lama sehingga tetap ikut terfoto, atau gerakan yang tetap terekam sehingga hasil foto jadi nggak jelas, atau ponsel/kamera yang guncang sehingga gambar yang dihasilkan nggak fokus (bisa diakalin dengan tripod atau disandarin ke sesuatu). Namun lumayan supaya foto jadi nggak ramai-ramai amat. Kalau mau clear beneran, antara datang saat sepi atau diedit.

 

 

6. Sesuaikan tujuan travelling

Apa tujuan jalan-jalannya? Sebab kalau saya, jangan sampai karena terobsesi pengin dapat foto bagus, lalu momen travelling-nya sendiri jadi kelewat. Jadi nggak bisa ngobrol dengan teman/partner travelling, lupa menikmati sajian di depan mata, dsb. Beda cerita kalau memang jalan-jalan untuk hunting foto.


Tujuan travelling masih nyambung dengan timing sebenarnya. Tergantung apa yang ingin didapat dari perjalanan, kita bisa atur timing berkunjungnya.



 

7. Diam dan rasakan

Ini bukan tips foto, sebenarnya, tapi lebih ke saran aja. Kita kan jalan-jalan untuk refreshing, maka lakukanlah hal yang bisa membuat pikiran jadi segar. Foto-foto boleh aja, tapi sediakan waktu untuk menikmati apa yang ada di sekitar. Jangan sampai kita melewatkan sensasi ada-di-sana dan baru sadar saat sudah pulang.


Ini juga pengingat buat saya untuk tetap ‘mengalami’ alih-alih hanya ‘melihat’ dari balik kamera. Tiap berburu foto sambil bepergian, saya selalu sisakan waktu untuk mematikan ponsel atau kamera, lalu benar-benar melihat sekeliling. Merasakan sensasinya. Apalagi kalau tujuan utamanya untuk bepergian dan bukan hunting foto, maka saya akan ambil beberapa foto, kemudian menyimpan ponsel/kamera, lalu menikmati ‘proses’ jalan-jalannya.


Ada sebuah kutipan yang amat sesuai dan selalu jadi pengingat saya untuk ‘diam sejenak’ ini:

Anda selalu menulis, menulis dalam buku catatan Anda. Anda perlu mengalami. Benar-benar mengalami. – dari buku Geography of Bliss


Meski, dalam kasus ini, ‘menulis’ bisa diganti dengan ‘memotret’. Kutipan ini (dan kalimat lanjutannya) jadi inspirasi dan refleksi yang pernah saya tulis di sini.

Reading Time:

Jumat, 05 April 2024

Blue Fire Ijen (dan Nyala Biru Lainnya)
April 05, 20241 Comments


 

Beberapa hari lalu waktu langit cerah, kelihatan sebuah bintang di langit (agak) selatan. Buat ukuran sebuah kota yang polusi udara dan polusi cahayanya tinggi banget tapi dia tetap kelihatan, kemungkinan bintang itu memang sinarnya terang banget. Dan yang bikin makin penasaran adalah pendar kebiruan yang ada di sekitarnya.

 

Ingin memastikan, saya ambil kamera untuk zoom. Beneran warna bintangnya rada biru atau mata ini yang salah lihat?

 



 

Ternyata beneran. Biru.

Ada beberapa bintang malam itu. Namun yang bersinar putih kebiruan hanya satu. Lainnya bersinar putih dengan binar kekuningan.

 

Waktu foto itu saya upload di medsos, seseorang nanya, kenapa warnanya bisa biru gitu ya?

Saya jadi keinget pelajaran IPA dulu: semakin panas suhunya, nyala apinya makin biru. Kalau nyala api sesuatu yang terbakar warnanya merah, berarti panasnya ‘cuma panas aja', bukan yang ‘panas banget’ (yaa meski yang disebut ‘panas aja' itu udah panas bangeeet kalau kesentuh tangan kita). Macam api kompor yang dipakai masak. Waktu kompornya masih baru, masih bagus, panasnya cepat, nyala apinya biru. Lama-lama karena sering dipakai, kompornya mulai kotor, panasnya (relatif) agak lama (sedikit), dan nyala apinya jadi oranye kemerahan.

 

Apa hubungannya dengan blue fire Kawah Ijen?

Ngelihat binar biru bintang tadi, saya berasumsi bahwa bintang tadi pasti panas banget. Terbakar amat hebat dan bergejolak lebih dari matahari kita (yang sinarnya tampak kuning/oranye). Saya jadi keinget nyala biru lain yang pernah saya lihat: di sebuah praktikum Kimia dan di Kawah Ijen, Jawa Timur.

 

Kawah di Gunung Ijen sudah terkenal banget di kancah mancanegara sejak dulu. Kalau pergi ke sana bakal ngelihat banyak bule alias para turis internasional, yang kalau hiking ke kawah cuma pakai celana kargo pendek sepaha padahal kita yang penduduk Indonesia pakai baju berlapis-lapis atau, paling nggak, tertutup dari pundak sampai kaki karena dingin yang menggigit. Sempat ngerasa wow juga karena mereka sampai pakai masker gas—macam di film-film—untuk menghalau aroma belerang yang baunya seperti kentut atau telur busuk, sedangkan kami (dan pengunjung Indonesia lain) maksimal cuma pakai masker biasa. Beberapa bahkan nggak pakai dan hanya nutup hidung pakai tangan, kadang-kadang.

 

Kembali ke Kawah Ijen. Salah satu faktor yang membuat tempat ini jadi jujugan wisata nasional dan internasional adalah: karena punya blue fire. Api biru. Konon di bumi ini cuma ada dua blue fire: di Indonesia (Ijen) dan di Islandia. (Meski setelah searching nggak nemu juga lokasi blue fire Islandia ini di mana. Nemunya malah foto blue fire-nya Danakil Depression di Ethiopia. Jauh banget nggak tuh beda lokasinya).

 

Tentunya, orang-orang yang berwisata ke Ijen ya pengin lihat blue fire ini. Demikian juga saya dan konco-konco penghobi hiking, beberapa tahun lalu.

 

Kenapa apinya bisa biru, padahal di gunung berapi lainnya warnanya merah/oranye?

Karena kawah di Gunung Ijen mengandung gas sulfur alias belerang. Itu lho, yang bikin baunya ‘semerbak’ di mana-mana. Ternyata belerang/sulfur ini baru bisa terbakar di suhu amat tinggi, lebih tinggi dari pembakaran biasa. Karena suhu pembakarannya (apa ya istilah yang benar?) tinggi, maka api yang dihasilkan bukan merah lagi tapi biru.

 

Selain faktor suhu, faktor bahan juga mempengaruhi warna nyala api. Bahan yang berbeda-beda, saat dibakar, nyalanya juga beda-beda. Kenapa bisa gitu?

Yang pandai Fisika mungkin bisa menjelaskan, hehe, karena kayaknya ada hubungannya sama foton, level energi, dsb. Namun intinya, tiap bahan punya sifat yang berbeda. Makanya saat dibakar, karena sifatnya beda tadi, maka nyala apinya juga beda.

 

Ada sebuah praktikum Fisika sederhana yang menggambarkan ini. Dijejerlah sumbu dari beberapa bahan, contohnya tembaga, barium, natrium, dsb. Sumbu ini kemudian dinyalakan, lalu voila! Apinya kelihatan berwarna-warni kayak pelangi. Ada merah, oranye, kuning, biru, sampai hijau. 

 

Ilmu inilah yang dipakai untuk pembuatan kembang api. Tahu sendiri kan kalau kembang api tuh warna-warni; kelirnya macam-macam dan cantik banget. Mejikuhibiniu ada semua. Nah, sesuai namanya yaitu kembang api, maka yang kelihatan waktu diledakkan di langit malam ya itu tadi: api. Warnanya beda-beda karena mineral untuk bahan kembang apinya beda-beda. Misal ada kandungan barium kalau kembang apinya hijau terang, ada kandungan tembaga kalau kembang apinya biru, dsb. Bahkan mineral-mineral ini bisa dikombinasikan untuk menciptakan warna lain yang nggak muncul kalau mereka diledakkan sendiri-sendiri.  

 

 

Alam tuh keren, ya. Nggak cuma menyediakan hal yang praktikal, tapi juga memicu hal-hal turunan yang menakjubkan; yang baru terpikirkan atau baru bisa dibuat oleh manusia di era-era belakangan. Kalau alamnya aja keren, apalagi penciptanya alam, kan?


= = = = = 


Lalu gimana penampakan blue fire Ijen sendiri?

Sayangnya, waktu itu gerimis dan kabut tebal menutupi kawah. Rombongan kami cuma bisa ngelihat sedikit bagian kawah, sedangkan api birunya nggak kelihatan sama sekali :( Kelihatan sih, sebentar. Tapi sedikit banget dan samar banget, beda dengan foto-foto  yang bertebaran di internet. Emang lagi nggak rezeki aja, haha. Atau ini 'undangan' supaya mengulang perjalanan ke sana lagi di lain kesempatan :D

Reading Time:

Jumat, 08 Maret 2024

When Book Meets Travel
Maret 08, 20241 Comments


 

Siapa yang suka baca buku saat lagi travelling? Bukan saya, haha. Saya lebih suka jalan-jalan, ngobrol, atau bengong ngelihatin sekitar saat travelling. Pun saat nggak ngapa-ngapain seperti waktu di dalam kendaraan. Membaca yang saya lakukan saat travelling biasanya hanya baca artikel daring tentang tempat yang akan/sudah dikunjungi. Membaca buku tentang suatu lokasi, yang biasa jadi penambah info sebelum mengunjungi destinasi, biasanya udah dilakuin sebelum berangkat.

 

Mungkin karena kalau baca buku, saya sering terlalu larut di dalamnya. Jadi kalau ngebaca pas travelling, ntar jangan-jangan malah lebih fokus ke bukunya daripada jalan-jalannya, haha *ngeles

 

Namun, ngelihat postingan para pejalan lain yang sering upload cerita dan foto buku yang mereka baca waktu di perjalanan, jadi pengin ngerasain juga, haha. Mungkin akan beda sensasinya, ada kesan khusus, saat membaca sesuatu di tempat hal itu terjadi atau diceritakan.

 

Jadilah ‘membaca buku tentang suatu tempat ketika berada di tempat tsb’ masuk ke bucket list saya. Meski nggak diseriusi kapan dikerjainnya.

 

Tanpa sengaja, 2023 lalu, alhamdulillah poin bucket list tersebut kesampaian.

 

Tanpa direncanakan, pertengahan 2023 lalu saya main ke area Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS), tepatnya ke Nongkojajar dan Wonokitri. Karena capek motoran lama, saya dan para partner touring (cuma bertiga sih, haha) memutuskan istirahat lama di kebun edelweis, Wonokitri (catatan perjalanannya bakal ditulis, insyaallah—kalau kelar, entah kapan). Saat mereka ngobrol, saya bengong duduk di gazebo bambu sambil nyeruput matcha latte yang sudah dingin.

 

“Udah, belum? Jalan lagi, yuk. Keburu malam sampai bawah,” ajak saya.

 

“Nanti dululah. Santai. Ini rokoknya belum habis,” kata salah satu partner—yang adalah ayah saya—, mengisap batang rokok yang entah sudah keberapa.

 

“Okay….” Saya kembali ke gazebo, menjauh dari kepulan asap.

 

Saya diam. Bingung mau ngapain. Makanan bahkan camilan sudah habis. Pengin jalan lihat-lihat sekeliling, tadi sudah. Foto-foto, sudah. Sekarang tinggal capeknya. Tidur? Mana mungkin…. Akhirnya iseng saya buka galeri ponsel dengan niat ngehapusin foto yang makin numpuk padahal nggak pernah dilihatin. Eh lho, kok ada foto buku?

 

Ternyata saya masih menyimpan foto beberapa halaman dari buku perjalanan Wormser, seorang pendaki gunung-gunung di Jawa awal tahun 1900-an (sekilas bukunya ada di postingan ini). Untungnya juga, tulisannya tentang area Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru belum saya hapus. Jadilah bab itu saya baca.

 

Di tengah kabut yang mulai menutupi perbukitan di seberang dan hawa yang makin menggigit, catatan perjalanan seabad lalu itu menemani saya menghabiskan sisa siang.

 

Tempat yang sama.

Jalur perjalanan (yang di beberapa bagian sepertinya) sama.

Orang yang berbeda.

Perjalanan yang berbeda.

 

It felt… serene. Blissful, content, fulfilling, beautiful.

 

Oh, jadi gini rasanya.

Mirip dengan sensasi saat masuk ke wilayah atau gedung bersejarah, yang sejarahnya pernah kita baca atau pelajari di bangku sekolah. Rasanya seperti ‘ikut melihat’ kejadian di masa itu, membayangkan peristiwa itu terjadi di depan mata. Bertumpukan antara mana yang imaji dan mana yang nyata. Seperti diorama.

 

Meski buku (dan bagian itu) udah pernah saya baca sebelumnya, sensasinyanya tetap… beda. Mungkin karena barusan ngelewati area yang diceritakan di buku, maka rasanya lebih fresh. Kayak muncul percikan-percikan rasa senang saat nemuin beberapa hal yang sama, jalan yang sama, atau daerah yang barusan dilewati, disebutkan di buku. Semacam, “Aha!” moment.

 

It was melancholic-kinda nostalgic. Or maybe it was just the melancholic in me.

 

Selesai membaca bagian tentang TNBTS, saya terdiam. Kehabisan bacaan dan kegiatan. Hal selanjutnya yang saya lakukan, tak disangka, juga adalah salah satu poin yang juga ada di bucket list: mendengarkan musik favorit di tengah gunung yang dipeluk kabut.

 

Alunan piano dan biola mengalir harmonis dari earbud, selaras dengan bisikan angin yang membuat semak edelweis dan pucuk-pucuk pinus menari lembut. Aroma cemara segar tercium samar di ujung hidung. Satu, dua, tiga baris kalimat diketik di notes HP. Kata-kata itu beranak-pinak menjadi paragraf panjang sepuluh, dua puluh menit kemudian; menyumbang bagian untuk cerita yang tak kunjung selesai meski ditulis bertahun-tahun sebelumnya.

 

Area TNBTS memang salah satu tempat istimewa bagi saya. Salah satu pegunungan tercantik yang pernah saya lihat, daki, dan kunjungi. Sejarah, budaya, dan proses terbentuknya pun luar biasa. Dan, mungkin karena ini gunung ‘jauh’ yang pertama saya kunjungi ketika masih kecil, juga pendakian di atas 3.000 mdpl pertama saya, sehingga meninggalkan kesan mendalam yang kala itu menginspirasi beberapa potong cerita (yang sampai sekarang nggak tamat-tamat juga, haha).

 

Tiap bagian wilayah ini selalu berhasil membangkitkan memori; memunculkan imajinasi.

Or maybe it was the poet in me.

 

*                      *                      *

 

Kayaknya udah telat untuk 2023 recap karena udah Maret, tapi mumpung ngomongin bucket list, sekalian ajalah, haha. Beberapa hal paling memorable yang alhamdulillah tercapai tahun lalu—yang kebetulan terjadi di satu tempat—adalah:

  • baca buku tentang suatu lokasi, di lokasi itu — di TNBTS
  • ngedengerin lagu favorit (yang sekaligus jadi theme song cerita yang saya tulis) di tempat yang jadi setting lokasi cerita, sambil dikelilingi gunung-hutan-kabut — di TNBTS
  • ngelihat semak arbei/berry liar di tepi hutan (surprised dan senang banget karena biasanya nemu arbei liar saat masuk banget ke dalam hutan/gunung aja) — di kaki Gunung Arjuno

 

Those are small things; seemingly insignificant and unimportant (don’t affect my course of life much, I think)

but I count them as small wins.

My little sparks of joy.

 

Dan semoga, kita bisa menemukan ‘little sparks of joy’ lainnya di tahun ini juga. Juga di tahun-tahun setelahnya.

Reading Time:

Sabtu, 23 Desember 2023

Mencari Buku Pendakian Zaman (Amat) Lawas
Desember 23, 20230 Comments


Seminggu lalu, tepat di 16 Desember, adalah 54 tahun meninggalnya Soe Hok Gie. Aktivis dan pendiri Mapala UI itu meninggal di Gunung Semeru bersama dengan temannya, Idhan Lubis. Hari itu, beberapa poster peringatan hari kematiannya bermunculan di media sosial. Poster-poster itu mengingatkan saya tentang sebuah buku yang pernah saya baca di bulan yang sama, tahun lalu.


Buku itu berjudul “Soe Hok Gie, Sekali Lagi”. Buku yang pertama terbit tahun 2009 inilah yang jadi gerbang untuk saya untuk menemukan buku pendakian zaman (amat) lawas.


“Soe Hok Gie, Sekali Lagi” adalah kumpulan esai tentang Gie dari orang-orang yang dekat dengannya. Ada pula esai dari orang-orang yang tidak pernah ia temui tetapi ikut terlibat dalam pembuatan film “Gie”, antara lain aktor Nicholas Saputra, sutradara Riri Riza, dan produser Mira Lesmana. Dalam buku 500-an halaman itu, ada satu bagian cukup panjang yang ditulis oleh Rudy Badil—yang kemudian menjadi wartawan Kompas—yang ikut dalam pendakian saat itu. Bagian inilah yang menarik perhatian saya.


Tulisan Rudy menceritakan pendakian mereka ke Semeru. Lengkap. Sejak awal persiapan berangkat sampai pengebumian Hok-Gie dan Idhan. Esainya juga menceritakan ingatan-ingatan tentang teknis dan medan pendakian saat itu. Jalur mana yang ditempuh, apa saja yang ditemui, hambatan-perselisihan-dinamika tim yang terjadi di lapangan. Seperti pendaki lain, tim pendakian mereka juga mencari data pegunungan dari catatan perjalanan pendaki-pendaki sebelumnya. Kebetulan yang dijadikan rujukan adalah buku C.W. Wormser, seorang petualang Belanda.


Nama Wormser beberapa kali disebut. Catatan perjalanannya, selain cerita soal gunung dan perjalanan itu sendiri, juga jadi sumber catatan sejarah yang terjadi di sekitar Gunung Semeru di masa lalu. Dari nukilan catper (catatan perjalanan) Wormser inilah saya jadi tahu kalau sejak dulu sudah ada tanah pertanian di Ranu Pani (desa terakhir sebelum hiking ke Semeru), bahkan peternakan sapi. Selain soal Semeru, catatan Wormser juga disebut-sebut memiliki tulisan perjalanannya ke gunung-gunung lain.



[Wormser]

Sebelum Wormser, saya pernah menemukan catatan-catatan dan nama-nama penjelajah/pendaki lain. Antara lain cerita dari Junghuhn, van Bemmelen, dsb. Namun, catper mereka isinya lebih seperti laporan. Deskriptif sekali, “poin-poin banget”, ilmiah pol (kecuali Junghuhn, yang kadang nulisnya ngalir kayak diary). Mau gimana lagi, mereka emang nulis untuk keperluan laporan eksplorasi pemerintah Hindia-Belanda, bukan untuk majalah. Jadi ya emang kaku sekali. Lebih cocok untuk referensi.


Di sisi lain, saya lebih akrab dengan catper gaya non-fiksi naratif. Pernah baca artikel majalah atau salindia di medsos? Ya kayak gitulah. 


Buku Wormser tampaknya menyajikan catper pendakian secara khusus. Maksudnya, kalau catper penjelajah lain biasanya gunungnya dibahas sedikit dan lebih banyak bahas daerahnya (karena emang laporan daerah). Karena topiknya lebih mengerucut ke pendakian itulah, saya jadi ingin baca bukunya.


Alasan lain adalah karena buku Wormser ini rupanya udah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dari judulnya “Bergenweelde” menjadi “Kemewahan Gunung-Gunung.” Yesss, saya nggak perlu bolak-balik buka Google Translate untuk nerjemahin halaman satu per satu!


Sebagai catatan, kebanyakan catper penjelajah Hindia-Belanda (seenggaknya yang saya temukan online) mayoritas berbahasa Belanda. Atau kadang, Jerman. Nyari itu topik pakai keyword bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sama nihilnya; hasilnya sama-sama sedikit. Beda dengan browsing pakai kata kunci bahasa Belanda atau Jerman. Padahal saya nggak bisa bahasa Belanda atau Jerman. :(


Karena buku Wormser sudah diterjemahkan, maka rasa penasaran semakin besar, haha.


Saya meluncur ke marketplace dengan harapan ada yang jual, meski second pun nggak apa. Duh, ternyata buku terjemahan '96 ini nggak banyak. Ada, sih, yang tulisannya masih tersedia. Tapi tokonya nggak terlihat meyakinkan. Dan berita buruknya, ini buku kayaknya udah nggak diterbitkan lagi. 


Tiada harapan di pembelian, saya beralih ke peminjaman. Buku lawas begini biasanya tersedia di perpustakaan, khususnya perpus-perpus kampus. Saya menelusuri satu demi satu repository perpustakaan terdekat. Nihil. Hiks. Sebetulnya ada satu yang lokasinya cukup “terjangkau”, yaitu… Perpusat UGM. Rasanya pengin nggremeng ke diri sendiri, kenapa tahunya nggak dari dulu, waktu itu tempat masih berjarak sepelemparan batu dan sering disambangi setiap minggu. Hmm….


Untungnya, beberapa bulan kemudian, saya berkesempatan berkunjung ke Yogya. Saya udah ngerancang: mau ngehubungin adik kelas, minta tolong pinjamin itu buku dengan KTM-nya, lari ke rental buat fotokopi kilat, dan besoknya saya sudah memiliki kopian bukunya.


Namun rencana tinggal rencana. Waktu saya di Yogya ternyata amat mepet. Akhirnya saya ambil cara terakhir: nyari bukunya di perpus, baca, catat bagian yang dibutuhkan. Lagi-lagi, rencana ini pun tinggal rencana (LOL). Waktunya masih nggak cukup buat baca (astaga!). Akhirnya saya pun nggak jadi baca dan… menghabiskan satu jam lebih untuk memotret halaman satu sampai 350-an. Untuk dibaca kemudian di lain kesempatan. Alhamdulillah kamera ponsel sekarang sudah jernih, motret dokumen full satu halaman pun nggak jadi hambatan. Coba kalau ini kejadian saat kamera HP masih jadul. Itu huruf bisa ngeblur nggak kebaca semua :’)



[Awal Pencarian

Buku Pendakian Era Hindia Belanda]

Buat apa nyari catatan perjalanan/pendakian zaman dulu?

Sebenarnya saya nggak ada niatan. Waktu jadi anggota Pecinta Alam (PA), para anggota wajib survei dan cari tahu segala hal soal gunung yang akan didaki: medan, transpor, risiko, dsb. Minimal tahu jalur dan detail rutenya supaya nggak nyasar. Kalau sekarang, hal seperti ini bisa dicek di medsos atau website basecamp gunungnya. Namun, dulu medsos belum segencar sekarang. Cara buat cari tahu biasanya nanya teman/senior/organisasi PA lain yang udah pernah ke sana. Cara lain adalah baca-baca catatan perjalanan orang lain, umumnya di blog/website orang (ah jadi kangen zaman ketika blog/web dan mesin perambah masih diisi website yang organik, yang isinya beda-beda, bukan yang judul sedikit beda tapi isinya sama semua karena iklan-SEO-dsb). Cara lain adalah telepon basecamp, kalau mereka punya telepon. 


Catper orang lain ini berguna banget buat mendaki, apalagi kalau gunungnya jarang didaki. Tanda-tanda yang pernah ditemui pendaki terdahulu bisa membantu banget buat kita menandai medan dan manajemen risiko. Kita juga jadi tahu kemungkinan apa yang bisa terjadi di pendakian kita, belajar dari pendakian orang lain. 


Buat saya sendiri, rasanya seperti ada semacam “aha” moment ketika menemui hal-hal yang diceritakan dalam catatan orang lain. Hal-hal sederhana, sebenarnya. Tapi cukup buat saya dan teman-teman untuk nge-hype bareng. 

“Wah, ini batu gede yang diceritain di catper!”

“Iya, ternyata gede banget seukuran kasur!”

“Kalau nemu batu ini, berarti kita udah di jalur yang benar.”

“Yesss, aku udah khawatir kita salah ambil jalan di percabangan tadi.”


Sama halnya seperti ketika membaca catatan seabad lalu, kemudian ngelihat wujudnya di depan mata.


Rasa penasaran itu kian meningkat saat mendengar cerita-cerita pendakian di tahun-tahun saat orang tua kita masih muda atau cerita dari senior tua. Dari cerita dan foto-foto mereka aja, pendakian dulu dan sekarang beda banget. Dulu lebih susah. Transpor minim dan harus lebih jauh jalan kaki, peralatan kemping nggak seringkas sekarang, dan jalurnya lebih liar. Saya jadi ngebayangin: zaman itu aja susah, gimana zaman penjelajah Hindia-Belanda? (Apalagi zaman nenek moyang di masa kerajaan-kerajaan dulu)


Membaca beberapa catatan, memang beda bangeeet. Antara lain:

  • Sekarang, kita bisa bawa mobil/truk sampai desa terakhir. Satu moda transportasi cukup. Di abad itu, mereka harus gonta-ganti kendaraan: mobil, perahu, kuda. Paling sering pakai kuda.
  • Sekarang, perbekalan bisa kita isi sekali jalan aja. Di era itu, mereka harus ngerencanain pit-stop untuk ganti kuda atau isi ulang perbekalan (pendakiannya lebih lama, berhari-hari) 
  • Di zaman kita (atau orang tua), kita bisa hiking dalam grup beberapa orang aja. Zaman itu, mereka hiking rombongan besar: ada penunjuk jalan, porter (bisa puluhan), juru masak, penerjemah, dsb.


Apa buku Wormser ini satu-satunya buku tentang pendakian?

Enggak. Sebenarnya, sebelum ‘berjodoh’ dengan buku Wormser, saya ketemu buku lain tentang pendakian gunung-gunung Indonesia karya Clement Steve, “Menyusuri Garis Bumi”. Tulisannya berlatar era 70-an. Ada juga buku “Manusia dan Gunung” tulisan Pepep D.W. dan “Zerowaste Adventure” karya Teh Siska Nirmala. Buku terakhir fokusnya bukan di catper macam medan dsb, tapi lebih ke manajemen perbekalan pendakian agar minim sampah. Selain itu apa lagi ya… mungkin ada yang tahu buku lainnya?


Reading Time:

Kamis, 28 September 2023

Hari Pariwisata
September 28, 20230 Comments



Kemarin, 27 September, adalah Hari Pariwisata Sedunia. World Tourism Day.

Saya nggak akan tahu bahwa ada hari pariwisata yang diperingati secara global kalau bukan dari majalah. Tahun lalu, ada satu tajuk di majalah National Geographic yang bikin saya tertarik sampai pengin beli edisi itu. Topiknya jauh dari bidang pariwisata.

 

Kala itu saya masih maju-mundur mau beli. Namun begitu tahu kalau edisi itu berbonus satu eksemplar majalah NatGeo lainnya, rasa ragu itu terhapus habis! Hehe. Eksemplar bonusan inilah yang mengangkat topik pariwisata. Lebih tepatnya, mengangkat destinasi-destinasi wisata terbaik di Indonesia bertepatan dengan Hari Pariwisata Sedunia sekaligus usaha membangkitkan sektor wisata yang sempat terpuruk akibat Covid-19.

 

Emang pada dasarnya suka jalan-jalan. Dapat majalah bonusan soal travelling, ya langsung hijaulah ini mata, hahaha. Edisi bonusan itu pun berakhir saya baca duluan daripada edisi ‘aslinya’.

 

Balik ke soal pariwisata. Sebagai orang yang gemar pelesiran, tempat-tempat cantik atau unik memang jadi salah dua faktor yang bikin saya pengin berkunjung ke sana. Atau, nggak perlu cantik atau unik, tapi punya cerita tersendiri. Kadang, nggak ada faktor apa-apa. Sekadar pengin menuntaskan rasa ingin tahu aja. Tempat yang dituju pun nggak selalu tourism spots, bisa jadi lahan pinggir jalan atau waduk dekat rumah. Intinya, yang bisa bikin refreshed dan senang.

 

Dalam beberapa perjalanan, tentu nggak hanya rasa senang yang didapat. Kadang ada juga nggak enaknya, ada missed-nya, ada kelirunya, ada berantemnya, dan pengalaman-pengalaman nggak enak lainnya. Namun, menurut saya itulah yang bikin perjalanan jadi lebih berwarna. Asal nggak sampai fatal atau membahayakan sekali bagi diri maupun orang lain.

 

Pemahaman tentang ‘warna-warni’ perjalanan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh teman dan senior Pecinta Alam. Merekalah yang ngajarin (dan ngajakin) bahwa berkegiatan di alam bebas seperti naik gunung, naik tebing, dsb, nggak cuma senang-senang. Tentu ada senangnya. Namun ada juga persiapan keberangkatan yang cukup serius. Ada pula manajemen risiko dan manajemen konflik.  Selain di alam, berkunjung ke tempat-tempat bersejarah juga mengajari hal itu. Gedung, jalan, atau barang yang sekilas kelihatan sederhana tanpa makna ternyata menyimpan kisah panjang yang kadang lebih panjang dari sejarah kota tempat dia berdiri.

 

Saya kira yang namanya ‘cerita di balik perjalanan’ sudah cukup dalam sampai di situ.

Saya salah.

‘Ceritanya’ ternyata jauh lebih dalam dan luas.

 

‘Cerita’ ini baru saya sadari saat menghadiri seminar oleh Jurusan Pariwisata. Sebelumnya saya mengira bahwa sektor pariwisata, setidaknya dari kacamata wisatawan, berkutat dengan hal-hal yang disebut di atas. Mungkin ditambah dengan hal-hal seperti kelestarian/kebersihan tempat wisata, pengelolaan yang baik, penentuan harga tiket, pelayanan untuk wisatawan dan penghargaan untuk pengelola dan warga lokal. Nah ternyata… hal-hal ini masih bisa dikulik lebih rinci lagi. Dan semakin dikulik, maka kelihatan makin kompleks melibatkan banyak faktor dan banyak sektor: baik dari segi sosial humaniora maupun dari segi sains dan teknologi.

 

Misalnya, hubungan pengelola dan warga lokal. Seminar di Jurusan Pariwisata tadi bikin saya melek bahwa nggak semua warga lokal diuntungkan dengan adanya tempat wisata. Bisa aja yang untung hanya pengelola, yang nggak jarang bukan warga lokal tapi warga kota yang jauh lokasinya. Warga lokal bisa jadi tidak dilibatkan atau dilibatkan sekadarnya saja, itu pun di level terendah. Nggak semua, tapi ada. Katanya, yang bagus ya yang warga lokalnya berpartisipasi aktif sekaligus dapat manfaat positif dan tempat wisatanya bisa bertahan lama dengan baik.

 

Itu baru satu. Contoh lainnya adalah fenomena banyaknya pungli yang muncul karena banyak faktor: tingkat ekonomi yang kurang makmur, peraturan yang tidak jelas, ketiadaan ketegasan pemerintah setempat, dsb. Belum lagi soal keramahan/ketidakramahan yang berakar dari budaya setempat, perilaku wisatawan baik yang positif/negatif dan memicu respons/fenomena/masalah baru, dsb.

 

Bahkan tentang wisata yang viral kemudian dipasangi tanda atau bangunan warna-warni yang mencolok aja bisa ada bahasannya sendiri. Dan bahasannya multidimensi.

 

Fenomena-fenomena ini pula yang pernah dibahas di postingan ini  dan bikin bergumam pelan, “Oh… ternyata gitu. Susah, ya.”

 

(Kalau pengin tahu tentang hal ini tapi dikemas dengan cukup ringan, mungkin bisa baca buku/blog travel writing-nya Agustinus Wibowo. Ada beberapa bagian yang ngebahas soal itu.)

 

Dari mereka-mereka inilah kemudian pandangan saya tentang pariwisata jadi bergeser. Kalau dulu mikirnya jalan-jalan asal hati senang, dapat foto bagus, dan nggak ngerusak lingkungan, kini mungkin jadi ‘rada mikir’. Dari sikap saya akui memang nggak banyak perubahan, meski sedikit mengetahui latar belakang lokasi dan hidup warlok jadi sesuatu yang cukup membantu untuk ‘mengalami lebih dekat’ dan memaklumi hal-hal asing atau nggak mengenakkan yang terjadi selama perjalanan.

 

Yang agak berubah mungkin dari segi tulisan. Kalau dulu hanya ngomongin rute atau itinerary dan banyak keindahan lokasi, sekarang sebisa mungkin disisipi kisah lain. Entah sejarah, cerita orang, dsb. Kenapa? Supaya nggak hanya fokus di keindahan aja. Kalau cuma spot-spot cantik atau viral, then what? Hanya foto, ‘mengambil’ keindahan, lalu apa? Ini adalah saran dari beberapa travel writer saat webinar. Kisah selain keindahan dan rute mampu memberi lebih banyak arti untuk sebuah lokasi. Jadi titik beratnya nggak hanya di keindahan lokasi. Pengunjung jadi nggak terpaku di kecantikan tempat/bangunan semata. Mereka pun jadi tahu bahwa ada cerita yang lebih dalam sehingga diharapkan tumbuh empati untuk turut peduli pada keberlanjutan tempat wisata itu.

Sesimpel, mungkin,

“Eh ini bangunan/barang dari ratusan tahun lalu, lho. Jangan sembarangan utak-atik/megang, sayang kalau udah lama terus rusak.”

“Eh ini tempatnya dilindungi kelestariannya, lho. Nggak boleh seenaknya metik-metik tumbuhan. Jangan buang sampah sembarangan.”

“Eh nggak boleh kasar sama pengelola/warlok. Meski kita udah bayar, tapi merekalah yang sebenarnya punya tempat ini. Kita ini tamu.”

 

Sehingga, ke depannya diharapkan kepedulian yang timbul makin besar. Kepedulian yang berdampak baik bagi tempat wisata, warga lokal, pengelolanya, lingkungan/alamnya, dan wisatawannya. Untuk semuanya.





=====

Picture by Freepik

Reading Time:

Jumat, 09 Juni 2023

Shrine Vibes
Juni 09, 20230 Comments

Pekan lalu saya berkunjung ke sebuah peninggalan sejarah di area Trawas, Kab. Mojokerto. Masyarakat sekitaran Mojokerto-Surabaya dan sekitar kayaknya sudah nggak asing dengan Patirtan Jolotundo. Pemandian yang dibuat pada abad ke-10 M ini dulu digunakan anggota kerajaan atau kaum elit seperti brahmana, tapi kini dibuka untuk publik. Makanya kami yang tergolong orang biasa sekarang bisa masuk ke sini, hehe.

 

Kapan itu abad 10 Masehi? Waktu Jawa masih dipimpin Mataram Kuno. Beberapa abad sebelum Majapahit berdiri.

 

Pemandian ini terletak di lembah gunung, masuk ke hutan. Jalan ke pemandian nanjaknya lumayan. Kalau dari jalan biasa lalu masuk ke jalan arah pemandian, kerasa banget bedanya. Begitu masuk, rasanya langsung adem. Sejuk. Pohon-pohon tinggi berbaris di kanan-kiri. Sudah kayak masuk hutan.

 

FYI, area sekitar Gunung Penanggungan—tempat Patirtan Jolotundo berada—ini memang banyak peninggalan sejarah, apalagi era Majapahit. Candi salah satunya. Kalau naik gunung ke Penanggungan lewat jalur Jolotundo, pasti nemu banyak candi di trek pendakiannya (kayak yang pernah saya ceritain di sini).

 

Karena serasa masuk hutan, maka suasananya pun adem. Gimana enggak, kanopi hijau dari pohon-pohon yang umurnya entah sudah berapa puluh tahun, menaungi sepanjang jalan. Suasana di pemandian pun nggak kalah sejuk meski saat itu ramai orang. Apalagi ada kericik suara air dan kecipak pengunjung yang berendam di kolam. Riuh suara orang tua yang ‘ngelarui’ anaknya.

 

Menghindari keramaian, kami jalan agak ke atas. Di sana dibangun beberapa pendopo kecil untuk duduk-duduk. Setelah istirahat sebentar, berkelilinglah saya untuk lihat-lihat. Pada satu titik, tatapan saya terpaku pada sebuah pohon besar.

 

Sebenarnya, pohon itu sama dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Tinggi menjulang ke langit, daunnya banyak bak payung hijau yang menaungi seluruh area. Akarnya kokoh, bermunculan di atas tanah bak otot yang dilatih keras. Kebetulan, waktu itu angin berembus menggugurkan daun-daun kering ke atas tangan. Diiringi denting suara genta dari orang-orang yang sedang sembahyang.

 

Rasanya… seperti lagi di anime atau film-film Jepang.

 



Serasa bak di kuil kuno (ya memang kuil kuno, style lokal/tradisional kita). Pohon-pohon besar di sekeliling kuil menghalau matahari musim panas yang terik. Lalu… wussh, angin menerbangkan helaian kelopak sakura atau daun ginkgo. Kemudian, dari belakang, ada sebuah suara lembut yang memanggil, “Kimi wa….”

 

Eh, lho, ngayalnya kejauhan.

 

Tapi, serius, memang kesan itu yang saya dapat saat berada di sini. Vibes-nya J-drama/anime. Kesan antik, tapi menarik karena serasa klasik. Waktu lihat pohon dan suasana itu malah di kepala langsung terputar lagu Path of The Wind OST-nya kartun Totoro. Kesan damai yang sejuk dan sunyi yang menenangkan. Mungkin karena pada dasarnya saya suka sejarah dan suka hutan kali, ya?

 

Bisa jadi, karena kesan orang lain bisa beda banget. Teman jalan saya saat itu malah merasa klaustrofobi karena seperti dikungkung pohon. Ada pula yang berkata kesannya horor. Hm… beda-beda, ya.

 

Kesan terakhir ternyata banyak juga yang sependapat. Anggapan bahwa bangunan peninggalan sejarah (candi, rumah, dsb) itu horor dan mistis jamak ditemui. Suasana damai atau bahkan romantis seperti yang sering ditampakkan di media tentang kuil Jepang, rasanya berbanding terbalik dengan di sini.

 

Ini maksudnya nggak cuma di lokasi ini aja, ya. Di bangunan lawas atau peninggalan sejarah lainnya juga. Bahkan di candi/bangunan yang terawat.


Kenapa, ya? Awalnya saya pikir karena perbedaan budaya. Namun, sebagai sesama negara Asia, sebenarnya banyak juga kemiripan kita. Kuil/candi sama-sama sakralnya, sama-sama digunakan untuk upacara/sembahyang sampai sekarang. Kalau bicara soal makhluk gaib, di sini dan di Jepang masyarakatnya sama-sama percaya keberadaan makhluk gaib. Macam makhluk astral yang dipercaya pun mirip: sama-sama ada yang baik dan ada juga yang mengganggu manusia.  Namun, dengan kesamaan yang mirip, kenapa anggapan tentang shrine vibes ini bisa beda?


(Disclaimer, ini bukan tulisan serius, yak. Seperti labelnya, ini kebetulan kepikiran alias opini lewat aja.)

 

Bukannya saya ngomong gini karena pernah main ke kuil-kuil Jepang. Belum malah, haha. Namun, Negeri Matahari Terbit itu sering banget memasukkan unsur kuil ke media yang dia siarkan ke dunia. Lewat dorama, anime, film, komik, dan tentu aja kanal pariwisatanya. Bahkan adegan film/novel/komik romance pun bisa berlokasi di kuil. Tampaknya kuil jadi bagian dekat dengan hidup mereka, meski mereka hanya ke kuil bukan setiap hari. Dan, vibes kuil yang ditampakkan di media-media itu lebih friendly. Vibes yang horor atau mistis tetap ada, tapi rasanya lebih sedikit.  

 

Atau mungkin ini karena sepi dan pendapat orang aja? Toh, candi-candi besar seperti Prambanan dan Borobudur nggak dianggap horor oleh masyarakat. Mistis dan empowering, iya, tapi itu adalah kesan yang positif. Mungkin karena sering dikunjungi banyak orang atau lebih dikenal? Kalau bangunan/candi lain, mungkin lebih sedikit orang.

 

Atau mungkin memang karena perbedaan budaya? Biar sama-sama Asia, tapi detail budayanya pasti beda. Atau ada faktor lainnya. Mungkin. 


Beberapa hari setelahnya, saya nggak sengaja lihat foto rumah-rumah tua ala Eropa di sebuah unggahan. Takarirnya sungguh positif: kesan vintage, ajakan membayangkan kehidupan di sana yang classic abis. Dan, sejujurnya, image yang pertama muncul di benak saya memang positif. "Wah, cantik banget. Imut banget." Lantas pikiran saya langsung teringat akan rumah-rumah lawas ala Indonesia: entah joglo, rumah panggung, atau rumah jengki yang sering disangka 'gaya Belanda', dsb. Rumah dan gedung yang menjadi vintage-nya kita. Pendapat saya memang masih sama: mereka sama vintage, classic, dan cantiknya dengan rumah lawas ala Eropa tadi. Tapi pendapat orang belum tentu sama, kan? Kalau ada foto-foto seperti itu, kira-kira apa kesan orang lain akan tetap sama seperti saat mereka ngelihat rumah lawas Barat tadi? Atau berbeda opini dan menganggap bangunan lawasnya kita itu justru horor dan sebaiknya dihindari?



==========

Disclaimer: 
Foto & video bukan bangunan pemandian,
tapi joglo duduk-duduk

Song title: Path of The Wind
Original song by Joe Hisaishi, covered by topcup

Reading Time: