Experience is the best teacher, katanya. Pengalaman adalah guru terbaik. Banyak orang setuju dan pernyataan itu emang benar. Sayangnya, 'guru' satu ini merupakan jenis guru yang pasti tega sama muridnya: karena mereka ngasih ujian dulu, lalu pembelajarannya belakangan.
‘Model pembelajaran’ macam ini
pun nggak mengenal kata selesai, sesuai dengan ungkapan, “Tuntutlah ilmu sejak
dalam buaian hingga liang lahat”. Alias nggak mengenal kata berhenti. Tiap fase
hidup dan peristiwa bisa jadi ‘bahan ajar’ yang diambil hikmahnya.
Sama seperti peristiwa-peristiwa
lain dalam hidup, perjalanan juga menyimpan pelajaran. Bahkan hal-hal yang ‘nggak
hidup’—atau sering nggak kita anggap sebagai subjek dan hanya objek—bisa banget jadi
sumber pembelajaran.
AWAL ‘PERJALANAN SEBAGAI PEMBELAJARAN’
Di zaman sekarang, kita bisa
bebas jalan-jalan ke mana pun dan kapan pun. Di zaman duluuu banget, perjalanan
cuma dilakukan untuk hal-hal yang penting. Hampir nggak ada perjalanan untuk
wisata, beberapa abad silam. Leisure travel ditengarai muncul baru-baru
aja ketika zaman udah stabil.
Stabil yang dimaksud adalah
hal-hal semacam biaya perjalanan lebih murah, transportasi lebih memadai,
keamanan lebih terjamin, dsb. Makanya kalau kita cari-cari catatan perjalanan zaman
dulu banget, penulisnya seringkali adalah orang-orang yang memang perlu
melakukan perjalanan, contohnya pelaut, pedagang, wartawan, ilmuwan yang cari
bahan riset, murid yang sedang cari guru untuk belajar, dan semacamnya; bahkan
para pengelana yang membawa misi kolonial.
Di Eropa sendiri, perjalanan
awalnya memang untuk belajar. Para pemuda kaya atau bangsawan melakukan grand
tour, melawat ke daratan Eropa lainnya untuk belajar. Belajarnya nggak
hanya di kelas, tapi lebih pada kunjungan ke berbagai tempat asing untuk
menambah pengetahuan. Kalau di Indonesia dan sekitarnya mungkin kita akrab
dengan cerita kolosal yang sering menyebut tokoh A berkelana untuk berguru pada
tokoh X, dan semacamnya.
Kalau di masa kini, apa saja yang
bisa kita jadikan ‘guru’ dalam perjalanan?
‘GURU’ DALAM PERJALANAN
Sebagai catatan, beberapa poin di
daftar ini ‘menjadi guru’ karena keterkaitannya dengan manusia atau masyrakat. Jadi
memang ada yang nggak berdiri sendiri. Sepertinya udah sifat ilmu untuk saling
terkait.
1. PERENCANAAN: Sebuah Awal Proses Menemukan
Sebelum melakukan perjalanan atau
pergi wisata, biasanya kita akan ngerencanain dulu. Kalau panjang atau jauh,
kita akan bikin planning atau itinerary. Penyusunan rencana ini
tentu butuh proses mencari tahu atau riset istilah kerennya. Kita bisa cari
info dengan tanya orang lain, berselancar di website, atau tanya
langsung ke tempat (misal: stasiun, hotel, dsb).
Dalam proses perencanaan ini,
seringkali saya juga ‘menemukan diri sendiri’ dengan mengetahui hal-hal yang
saya butuhkan atau inginkan. Kita juga bisa tahu style seseorang dari planning-nya,
baik itu style perjalanannya atau style secara umum. (Style di
sini maksudnya bukan gaya berpakaian, yaa.)
Soal menemukan diri sendiri,
kadang hal ini juga bisa direfleksikan pada kehidupan sehari-hari sehingga
kemudian bikin sadar, “Oh, ternyata aku butuh ini, ternyata aku seperti ini.”
2. ALAM
> Tentang Sifat Manusia
Back to nature! Konon, di
alam kita bisa melihat diri kita yang sebenarnya. Dan memang betul. Beberapa kali
dalam kondisi terdesak atau kondisi yang super-duper nggak nyaman, sifat asli
saya dan teman-teman jadi kelihatan. Bahkan sifat-sifat jeleknya bisa keluar semua.
Poin belajarnya adalah gimana mengatasi bad mood dan bad condition serta
tetap berkomunikasi baik dengan teman-teman supaya keadaan nggak makin runyam atau pertemanan jadi nggak nyaman.
Ketika sudah saling tahu bahwa
ada berbagai macam sifat dan gimana cara ngehadapinnya, pengalaman ini bisa
juga kita pakai di kehidupan sehari-hari.
> Tentang Alam
Alam ini hebat karena Pembuatnya amat
hebat. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari fenomena-fenomena alam selama
perjalanan. Bahkan nggak hanya dalam perjalanan, fenomena alam di sekitar kita
pun bisa banget kita ambil hikmahnya.
Hal yang paling saya sukai adalah
ketika menemukan sesuatu yang pernah saya dapat dari bangku sekolah atau buku. Menemukan
lumut yang bisa diperas untuk diambil airnya, seperti yang diajarkan dalam survival.
Melihat tingkat-tingkat batuan berbagai motif dan gradasi hasil patahan dsb,
seperti dalam pelajaran Geografi. Merasakan angin laut dan angin darat yang super
semriwing di kulit, seperti di pelajaran IPA. Dan masih banyak lainnya.
Saya sendiri paling suka bila
ketemu fenomena alam yang terhubung dengan pelajaran atau textbook. Rasanya
kayak makin nyata aja. Beda, kan, sensasi memahami dari buku aja dengan
mengalami sendiri. Lebih nyantol aja kalau pakai mengalami. Oleh karena itulah
ada praktikum di sekolah: karena kalau praktik biasanya lebih nyantol.
Ini juga bisa mematahkan omongan
macam, “Hal yang dipelajari di sekolah itu nggak guna, mending belajar di
kehidupan nyata”. Nyatanya, dua hal ini berhubungan banget. Mustahil kita bisa
paham fenomena di sekitar kita kalau nggak dapat dasarnya dari para guru sekolah (kalau
pun nggak sekolah, at least tetap dari proses belajar, nggak ujug-ujug
paham).
Dalam kehidupan sehari-hari apa
contohnya?
Sederhana aja. Misal, tahu bahwa
lama waktu untuk merebus air saja sampai mendidih itu lebih cepat
dibanding air+bumbu/gula karena titik didihnya berbeda (ini ada di bab Tf/Tb
Kimia). Atau, sesimpel tahu bahwa hewan-hewan yang ada di sekitar rumah kita
itu bisa jadi hama, tapi juga bisa jadi penyelamat ekosistem sekitar lewat siklus
yang berkelanjutan.
Science is everywhere around us.
Sains selalu ada di sekitar kita,
selama kita tahu ke mana harus melihatnya.
3. MASYARAKAT DAN MANUSIA
Topik masyarakat dan manusia
sangat nyambung dengan ‘tempat’, karena seringkali tempat bisa banyak
dipelajari saat ada manusia atau masyarakatnya.
> Masyarakat
Masyarakat bisa banget jadi guru
dalam perjalanan. Bahkan jadi guru yang paling besar. Banyak cerita-cerita
perjalanan dan travel writer yang kisahnya banyak berputar pada
kehidupan warga di tempat perjalanannya. Topik budaya sudah bukan lagi barang
asing dalam perjalanan dan pembelajaran.
Mengetahui budaya dan style masyarakat
di tempat kita melakukan perjalanan, bisa banget tambah ilmu untuk kita. Sesimpel
tahu hal yang dianggap sopan di masyarakat A tapi dianggap enggak di masyarakat
B, dsb. Lain tempat, lain perspektif. Beda perspektif, beda cara pikir.
Ngomong-ngomong, ada suatu
episode di sebuah anime yang eye-opening banget buat saya. Iya, nggak
salah, saya dapat perspektif ini dari nonton kartun. Ceritanya, ada seorang
mata-mata negara lain yang mampir di sebuah resto kecil (mungkin di kita
dianggap warung?). Dia memesan makanan dari resto itu. Dari bahan makanan dan
bumbunya aja, dia bisa analisis flow perdagangan negara itu dan pengaruhnya
ke negara-negara lain.
Simpelnya gini:
Lihat makanan > makanannya
dari bahan segar > padahal bahan segar susah didapat > berarti rantai
distribusinya bagus. Resto kecil aja bisa beli bahan segar > harga di negara
itu terjangkau > sumber bahannya banyak > negaranya kaya.
Ada lagi adegan si mata-mata nemu
merica dalam makanannya. Dia syok abis karena merica di sana harganya setara
emas. Dia mikir, “Kalau warung kecil murah aja bisa nyediain merica, apalagi
resto besar dan orang-orang kaya. Sekaya apa ini negara?”
Di kehidupan sehari-hari, insight
seperti di atas juga bisa banget kita dapatkan. Kalau dulu semacam: oh Indonesia
produk agrikulturnya banyak, makanya dibilang negara agraris. Dalam beberapa travel
notes yang saya baca, semacam: oh ini kota orangnya pakaiannya warna-warni
dan bagus karena dulu jadi Jalur Sutra jadi banyak pedagang negara lain yang
lewat dan jualan di sini.
> Orang
Ini juga salah satu poin menarik
dari berbagai travel notes. Banyak perspektif, cerita, fakta, pelajaran,
yang bisa didapat dari ngobrol dengan orang. Biasanya, warga lokal.
Dari warga lokal, biasanya kita
bisa tahu lebih banyak daripada hal-hal yang ada di internet. Dari seorang ibu,
kami jadi tahu bahwa kelapa di sebuah daerah selatan Jatim segar banget sampai
dijual ke kota besar (dan ditawari, “Mau minum? Saya bukakan!”). Dari seorang kang ojek,
kami jadi tahu ada mitos yang beredar di antara warga lokal di sekitar sebuah danau di Jabar (“Warna
danaunya bisa ganti-ganti karena dijaga bidadari”). Bahkan info penginapan,
makanan enak, dan spot bagus juga bisa didapat dari obrolan bareng warga
sekitar.
Bahkan percakapan dengan orang
yang sedang sama-sama dalam perjalanan, seringnya sama-sama dalam kendaraan,
juga bisa jadi penambah pengalaman. Kalau cari teman barengan, juga bisa dapat
dari ngobrol-ngobrol ini. Dulu seringnya kalau cari kendaraan carteran, supaya
murah jadi kami gabung sama rombongan lain. Sebelum bareng, tentu ngobrol dulu.
Di kendaraan juga ngobrol tukar info. Kadang, hidup memang sebagian besar diisi
dengan obrolan.
> Guru/Mentor
Kali ini untuk yang memang niat
berguru; mendatangi orang-orang tertentu untuk minta diajari, dsb. Sebelum saya
pertama naik gunung bertahun-tahun lalu, saya dan teman-teman diajari berbagai
ilmu oleh para senior dan kakak-kakak kelas. Pengetahuan yang dibutuhkan supaya
tetap hidup atau hiking dengan nyaman, mereka ajarkan. Bentuk belajarnya
sendiri kadang materi di kelas, sharing santai, simulasi sederhana, atau
praktik langsung di alam.
Dalam perjalanan, gurunya juga
banyak. Beberapa pejalan mengatakan bahwa guru perjalanan mereka adalah dosen
semasa kuliah. Beberapa travel writer bilang bahwa mereka belajar menulis
dan berjalan dari mentor mereka, para penulis/jurnalis senior.
Dalam hidup, manusia nggak
mungkin terlepas dari pengajaran para guru. Bahkan sejak dalam kandungan, bayi
pun sudah belajar dari ‘guru’ terdekatnya, yaitu orang tuanya. Sejak dalam
buaian hingga masuk liang peristirahatan, selama manusia terus berjalan, ia
akan terus mendapat pelajaran dari berbagai macam guru; guru di bangku
pendidikan maupun guru kehidupan.