Kalau ada teman
yang sedang berkunjung ke Jatim dan nanya ke saya,
"Makanan apa yang kudu
dicobain di sini?"
maka rawon pasti jadi salah satu hidangan di antara deretan
makanan khas Jatim lainnya yang saya rekomendasikan. Namun sebelumnya saya pastikan
lagi ke yang bersangkutan,
"Kamu kalau makan rada adventurous,
nggak?"
Bukan apa-apa,
tapi kadang rawon cukup 'menantang' buat yang pertama nyobain. Bukan rasanya,
tapi lebih ke tampilannya. Kuah hitam-coklat dengan potongan daging berwarna
senada itu cukup menimbulkan tanda tanya karena beda banget dari tampilan
makanan pada umumnya. Beberapa kali saya ketemu orang yang nggak makan rawon
karena nggak selera duluan ngelihat bentukannya.
(Sementara baru kemarin saya habis dua piring sekali makan...)
Jadi, gimana
rasa rawon?
Asin dan gurih,
khas citarasa makanan dari Jawa Timur. Rawon terdiri dari kuah, potongan daging
sapi, dan kecambah pendek. Kecambah pendek ini nambahin tekstur crunchy dan
rasa segar karena dia mentah (jangan diganti kecambah panjang atau kecambah
direbus! Aneh banget nanti). Biasanya ditambahkan juga sambal, bawang goreng,
telur asin, atau kerupuk (bisa putih atau kerupuk udang).
Semua komponen
di atas rasanya gurih banget. Jadi bisa dibayangin seberapa gurih kalau dikombinasikan dalam satu masakan.
Kalau kata orang sekarang mungkin, "Umami-nya kerasa banget." Meski
dominan asin-gurih, rasa rawon tetap balance. Maksudnya bukan yang
asin banget gitu, tapi seimbang. Ada manisnya, tapi dikit banget.
Kuah rawon yang
warnanya hitam itu terbuat dari kaldu daging sapi yang diberi bumbu
rempah-rempah. Saya nggak hafal bumbunya apa aja karena banyak, lumayan
kompleks. Dan ternyata tiap daerah atau bahkan tiap keluarga resepnya bisa rada
beda. Namun, komposisi utamanya tetap sama.
Satu hal yang
orang Jatim setuju: rawon itu warnanya harus hitam. Kalau nggak hitam, namanya
bukan rawon. Awalnya saya heran, "Emang ada rawon yang nggak hitam?"
Sampai kemudian seorang teman yang merantau ke Jakarta bercerita kalau dia
pernah nemu rawon yang warnanya kuning.
Like... whaaat?
"Iya
beneran, aku nunjuk makanannya terus ibu yang jual bilang jelas kalau itu
rawon," katanya saat saya menyangsikan ceritanya, berpikir kalau ia salah
dengar.
"Terus kon
tuku?" (Lalu kamu beli?)
"Gaklah!
Rawon opo kok gak ireng. Yok opo iku engkok rasane, lak gak mantep." (Nggaklah! Rawon
apa kok nggak hitam. Gimana nanti rasanya, pasti nggak mantap)
Seperti dia dan
sebagian besar warga Jatim lainnya, saya juga menganut konsep bahwa rawon harus
hitam. Pasalnya, kemantapan rasanya ini bergantung pada 'si pemberi warna
hitam' pada rawon, yakni kluwek.
Kluwek/Keluak, Bumbu Utama Rawon
Kluwek/kluwak (Wikimedia Commons Image). Bagian hitamnya itu yang dipakai untuk bumbu masakan |
Orang Jawa menyebutnya 'kluwek/keluwek', Kamus Besar Bahasa Indonesia mengejanya 'keluak'. Kluwek adalah buah dari sebuah pohon tinggi berkayu, Pangium edule. Orang Sunda menyebutnya pucung atau picung. Orang lain ada yang menyebutnya buah kepayang.
Konon istilah
'mabuk kepayang' berasal dari buah kepayang/kluwek ini. Buah kluwek yang
dimakan mentah tanpa diolah bisa menimbulkan mabuk/teler atau gejala keracunan.
Hal ini karena buahnya memang mengandung racun. Jadi, sebelum dikonsumsi memang
harus diproses dulu supaya racunnya hilang.
Prosesnya
seperti apa?
Saya sendiri
kurang tahu persisnya, tapi yang jelas ada proses fermentasi di sana.
Kayaknya terjadi alami; maksudnya tanpa nambahin starter atau semacamnya.
Yang saya tahu hanyalah: ada proses pendiaman selama beberapa hari, pemasakan,
perebusan, lalu entah apa lagi.
Buah yang 'sudah
jadi' bisa dibelah dan isinya berupa 'daging buah' yang relatif empuk dan
berwarna hitam. Warna hitam dari kluwek inilah yang membuat kuah rawon jadi
hitam.
(By the way,
soal asal-usul istilah mabuk kepayang punya beberapa versi. Penjelasan di atas
cuma salah satunya. Ada lagi versi menarik lainnya tentang daerah bernama mirip
di Pulau Sumatra, yang nanti nyambung ke buah ini juga.)
Lalu gimana
dengan dagingnya, apa hitam karena kluwek juga?
Rawon dan Daging Rawonan
Ada dua versi
penyajian daging dalam rawon: dimasak sekalian dalam kuahnya atau dijadikan
empal. Untuk yang empal, kayaknya warna hitamnya bukan dari kluwek karena
setahu saya bumbu empal nggak ada kluweknya. Jadi mungkin ‘hitam’/cokelatnya
karena bumbu lain dan proses penggorengan? Jika dagingnya dimasak sekaligus
dalam kuah, maka warna hitamnya jelas dari kluwek di kuah.
Ngomong-ngomong
soal daging, ada istilah ‘daging rawonan’. Entah di daerah lain, tapi di tempat
saya, istilah ini nggak merujuk secara khusus pada daging yang digunakan untuk
rawon. Daging rawonan adalah jenis daging yang nggak daging ‘aja’, alias ada
gajih/lemaknya, jaringan lunak, dsb. Beda dengan empal yang tersusun atas
daging aja (kalau di tempat saya istilahnya ‘daging bagus’/’daging apik’.
Teksturnya mirip daging buat steak).
Daging rawonan
ini juga bisa digunakan untuk rawon. Famili saya malah ada yang lebih suka
makan rawon dengan daging rawonan, bukan daging ‘aja’. Lebih gurih dan mantap
katanya. Kalau dirasa-rasain, memang iya. Mungkin karena lemak dsb-nya yang
menempel kemudian luruh bercampur dengan kuah; beda dengan ‘daging aja’ yang
nggak berlemak.
Saya jadi
kepikir, apa masakan ‘rawon’ kuning itu asal mulanya dari daging rawonan ini?
Karena daging yang dipakai (kelihatannya) adalah daging jenis rawonan, sehingga
nyebut daging yang dikuahin itu jadi rawon? Entahlah.
Rawon Instan
Ketika merantau,
rawon adalah salah satu makanan yang saya kangenin karena susah banget nemunya
di luar Jatim. Ada, sih, beberapa tempat makan yang nyediain rawon (karena emang
jual makanan khas Jatim). Alhamdulillah kalau nemu yang mantap, apes aja kalau
nemu yang enggak. Mana harganya di luar Jatim relatif mahal, lagi. Dan dagingnya
sedikit, hiks.
Akhirnya
beberapa kali saya ngide bikin sendiri. Namun karena bumbunya banyak, kompleks,
dan makan waktu apalagi saya masak buat seorang aja, saya pun memilih pakai bumbu
instan. Pilihan saya jatuh pada bumbu instan Bamboe yang bentuknya pasta.
Dirasa-rasa, kayaknya itu yang paling mendekati rasa rawon buatan rumah (meski
ya tetap beda).
Intermezzo
dikit, entah kenapa bumbu instan yang bentuknya pasta (bumbu basah) pasti lebih
mantap daripada yang bentuknya bubuk. Mau rawon, soto lamongan, kare, gule,
dsb.
Balik ke rawon.
Apa pakai bumbu instan sudah cukup? Sayangnya belum. Kalau menurut saya,
rasanya udah mirip tapi masih kurang medok. Kayaknya emang masih harus
ditambahin rempah-rempah lagi supaya lebih mantap. Namun kalau baru pengin coba,
bisalah dipakai. Jika mau agak lebih mantap, airnya pakai kaldu betulan dan
tambahan sereh.
Jadi gimana,
setelah ini apakah tertarik coba rawon? Atau malah udah pernah?
(Ngomong-ngomong
soal rawon, saya jadi keingat brongkos. Makanan khas Yogya ini warnanya rada mirip
rawon; cokelat kehitaman. Tapi rasanya beda jauh; manis pol. Waktu pertama makan brongkos,
saya kira rasanya bakal kayak rawon. Kagetlah ini lidah saat di suapan pertama.