Hijaubiru: Dunia Corat-Coret
Tampilkan postingan dengan label Dunia Corat-Coret. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dunia Corat-Coret. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Agustus 2024

Tentang Buku Save The Cat: Novel dan Skenario
Agustus 18, 20240 Comments

 

Ketika sudah ‘lumayan akrab’ dengan perpustakaan online, saya punya hobi baru: ngecek buku yang pengin dibeli. Bukan apa, tapi akhir-akhir ini saya tergolong sering nemu buku yang review-nya menarik atau selangit, tapi begitu udah beli dan baca, eh, ternyata nggak sebagus itu atau nggak sesuai selera saya.


Jadi untuk jaga-jaga, biasanya selain tanya pendapat teman yang udah baca, saya coba baca preview-nya di perpustakaan online macam iPusnas (btw ini gratis, akses gampang, perpus milik perpus nasional). Kalau belum tersedia di sana, saya baca lewat Google Books. Kalau intronya atau bab-bab awal terasa menarik, gaslah ke toko buku.


___________________________

Anw sebelum terlalu panjang karena postingan ini campur curhatan pribadi, 

yang cari review bisa lompat ke bagian ini (klik):

👉 Review Save The Cat - Blake Snyder

👉 Review "Save The Cat: Writes A Novel" - Jessica Brody

👉 Kesan tentang Save The Cat

___________________________


Sama kayak buku “Save The Cat” ini. Buku tulisan Jessica Brody ini menulis tentang teknik menulis sebuah novel yang menarik, memikat, mengikat, yang diberi nama teknik ‘Save The Cat’. Buku ini udah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 2021 lalu. Dan karena di-endorse (dan udah dipraktikkan) oleh salah satu penulis favorit saya, maka saya jadi tertarik beli, ahahah.

 

Tapi...

... sebenarnya saya kurang suka ngulik metode nulis begini. Saya lebih suka nulis tanpa bikin struktur rinci, rancangannya cukup di kepala atau garis besar aja (kecuali waktu nulis non-fiksi atau tulisan yang agak panjang). Namun karena Dewi Lestari bilang bahwa ngertiin struktur bisa banget dipakai untuk ngatasi writer’s block dan cerita yang mbulet atau malah stuck (yang mana adalah masalah saya selama bertahun-tahun, huhu), jadi tertarik, deh.

 

Karena ‘khawatir’ kurang cocok inilah, saya pun cek dulu isinya lewat perpus online. (Apalagi belakangan ini banyak banget kan buku metode menulis fiksi yang membanjir tapi isinya mirip atau gitu-gitu aja. Nggak mau rugi, dong. Sayang kalau isinya sama kayak pelajaran di sekolah dulu atau bisa didapat semudah browsing internet.)

 

Tujuan pertama adalah Google Books. Seperti udah diduga, di sana memang ada tapi hanya beberapa bab (namanya juga preview). Terus terpikir, coba cari di iPusnas, ah. Siapa tahu malah ada versi full-nya? Dan...

 

Jeng-jeng! Memang ada. Nggak butuh waktu lama, saya langsung klik tombol pinjam.

 

Menelusuri daftar isi, ucapan terima kasih, kata pengantar... oke.

Tapi, eh, kok kayaknya beda dengan preview yang pernah saya baca di Google Books? Nggak apa-apalah, lanjut aja. Baru ketika bab 1 udah kelar, saya bandingin sama yang di G-Books. Eh lho, ternyata emang beda! Yang lagi saya baca adalah Save The Cat untuk skenario film besutan Blake Snyder, sedangkan versi novel yang (rencananya) pengin saya beli adalah tulisan Jessica Brody. Pantesan aja rasanya ada yang beda, karena seingat saya pengantarnya ditulis Dee Lestari, sedangkan yang sedang saya baca, ditulis Gina S. Noer (pembuat film).

 


Mengapa buku Save The Cat ada dua?

Bukan ada dua, sebenarnya. Tekniknya cuma satu. Hanya aja buku yang satu soal penyusunan skenario, satunya spesifik tentang menulis novel. Seenggaknya itu yang versi (terjemahan) Indonesia.

 

Mana yang ‘betulan’?

Dua-duanya betulan. Save The Cat-novel merupakan pemekaran dari Save The Cat-skenario.

 

Jadi ceritanya, metode Save The Cat (disingkat jadi STC aja yak) pertama digagas oleh Blake Snyder untuk penulisan skenario. Lalu murid Snyder, Jessica Brody, mempraktikkan ini dalam prosesnya nulis novel. And it worked! Jadilah Brody nyusun buku tentang STC untuk penulisan novel.

 

Dan karena saya memang sukanya nulis buku dan bukan skenario, maka sebenarnya yang pengin saya baca aslinya adalah buku susunan Brody.

 

Tapi... STC-novel ini nggak tersedia di iPusnas. Yang ada ya STC-skenario sehingga ini yang bisa dibaca lengkap. Nggak papalah, saya pikir. Kan STC-novel ‘akarnya’ dari STC-skenario ini. Pasti ada hal yang bisa diambil buat penulisan novel meski mungkin butuh penyesuaian. Let’s go!

 


Review Save The Cat – Blake Snyder

Sebelum baca bukunya, saya udah pernah cari info soal metode STC ini. Sekilas intinya kayak nempel poin-poin penting sebuah cerita dan diurutkan. Kalau lihat papan tempelannya, kelihatan penuh post-it. Memang, poin-poin di STC ini ada sampai 40. ‘Banyak banget,’ batin saya yang waktu itu lalu ‘meninggalkan’ STC karena ngerasa ribet.

 

Intinya, metode STC membagi kejadian dalam beberapa babak/poin tadi. Total ada 15 babak. Banyak? Iya. Namun kalau ditelusuri lebih dekat, 15 babak ini sebenarnya perincian dari 3-4 babak utama aja. Pernah dengar struktur 3 babak? Ini struktur umum yang isinya intro – tengah/konflik – penutup/resolusi/ending. Nah, STC merinci 3 babak ini lebih detail. Kenapa? Karena, kalau saya, nulis panjang ‘cuma’ pakai 3 babak ini masih bikin bingung ‘mau dibawa ke mana’ karena terlalu umum.


Papan Save The Cat dari studiobinder.com


Jadi STC ini merupakan rincian dari 3 babak itu. 

Btw grafik STC ini macam-macam. Makanya kalau browsing, kita akan ketemu beberapa versi. Tapi nggak usah bingung, intinya tetap sama di 15 beats itu. Bedanya cuma di peletakan di grafik aja.


 

STC-skenario menjelaskan 15 babak ini diisi apa aja. Sebuah pencerahan buat saya, karena grafik naik-turun konflik dan emosi dijelaskan rinci di sini: apa yang terjadi, gimana pergolakannya, dsb. Nah, dalam masing-masing babak ini diisi 2-4 kartu yang isinya peristiwa-peristiwa yang ingin kita masukkan dalam cerita. Kebanyakan sampai totalnya lebih dari 40? Nggak apa-apa, nanti bisa diseleksi. 40 poin/kartu ini kemudian disusun dan dirajut sedemikian rupa, detailnya di buku.

 

Adegan/peristiwa paling ujung dalam sebuah babak harus merupakan penyambung atau lontaran untuk masuk ke babak selanjutnya. Waktu baca ini, sekilas saya jadi ingat metode nulis yang dibilang Pak Gol A Gong dan A.S. Laksana. Keduanya juga menyatakan hal yang sama. Jadi ingat pula soal kohesi-koherensi kalimat.

 

Selain tentang rincian babak (atau yang di STC sering disebut beat sheet), buku ini juga punya penggolongan cerita. Pengkategorian di sini nggak sekadar genre romance, thriller, dsb, tapi lebih spesifik. Sebuah cerita cinta-cintaan dan sebuah film pencarian jati diri bisa aja termasuk ‘genre’ yang sama karena punya plot yang mirip. Oleh karena itu, banyak yang nyebut penggolongan ini sebagai ‘plotting genre’.

 

Kalau pernah dengar tipe plot macam Cinderella’s story, rags-to-riches, dsb, rasa-rasanya plotting genre yang dibahas di STC mirip dengan itu. Bedanya di STC ada 10 genre: mulai dari Golden Fleece sampai Monster In The House. Genre ini bisa ngebantu kita nentuin mana ‘perjalanan cerita’ yang cocok sama cerita kita.

 

Selain ngebahas teknik, buku ini juga ngomongin soal kesalahan yang umum dilakukan. Beberapa mungkin pernah kita dengar, antara lain:

  •  dialog bertele-tele,
  • Double Mumbo Jumbo, yang berarti kejadian fantastis yang jumlahnya kebanyakan (kayak yang sering terjadi di sinetron kita. Ujian ini ditambah peristiwa itu terus ditambah lagi sampai yang nonton overwhelmed)
  • Pope In The Pool, yang rasanya mirip tips nulis yang menggabungkan setting atau latar dengan aksi tokoh supaya nggak ngebosenin dan terlalu eksposisi (cara ini sering saya pakai kalau nulis travel-writing atau cerpen yang temanya travelling)

dsb.


Pada intinya, STC ini metode supaya kita sebagai pembaca/penonton memihak ‘Hero’ alias tokoh utama dalam cerita. Teknik ini dirinci jadi 15 babak – 40 kartu – pemilihan plotting genre tadi. Buku ini juga banyak ngebahas soal penokohan, karena poinnya adalah keberpihakan ke Hero.

 

Jadi, apa STC-skenario ini bisa dibaca untuk panduan bikin novel?

Bisa banget. Meski bukunya ngomongin skenario, tapi tekniknya applicable banget untuk novel.

 

Gimana dengan media lain, misalnya cerpen atau artikel?

Ada poin-poin yang tetap bisa banget dipakai, seperti hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan atau kesalahan yang umum dilakukan tadi. Namun karena babak/beats-nya banyak, mungkin soal beats ini aja yang nggak applicable. Bikin cerpen/artikel dengan 15 beats kayaknya terlalu penuh; pakai struktur 3 babak aja cukup. Kalau novelet, masih bisalah pakai STC karena rada panjangan.

 

Setelah tamat dengan STC skenario, sekarang kita beralih ke...

 


Tentang “Save The Cat: Writes A Novel” oleh Jessica Brody

Karena buku ini belum tersedia di iPusnas dan di G-Books hanya ada preview-nya, maka ini bahasan sesuai halaman yang bisa saya ‘intip’ di sana.

 

Dilihat dari daftar isi, STC-novel ini babnya banyak dipenuhi bahasan tentang plotting genre (itu lho, yang kayak Golden Fleece atau Rags to Riches tadi). Bedanya dengan STC-skenario, di sini isinya lebih dirinci dengan elemen-elemen yang harus ada di tiap plotting genre. Contohnya genre Golden Fleece yang punya elemen cerita berupa jalan (perjalanan tokoh), tim/teman, dan hadiah.

 

Kalau browsing di tempat lain, masing-masing plotting genre punya 3 elemen. Elemen ini ngebantu banget kalau pengin mempertajam cerita. Misal, kita nulis cerita soal petualangan. Nah, supaya petualangannya lebih greget dan nggak lempeng, apa aja yang harus ada dalam cerita? Inilah yang dibahas per elemen.

 

Selain ada elemennya, STC-novel juga ngasih contoh rinci banget tentang novel/film di masing-masing genre. Benar-benar dibedah. Kayaknya ini nih yang bikin bukunya jadi tebal, karena satu novel bisa dibedah elemen dan beats-nya sampai berlembar-lembar. Di satu sisi, ini ngebantu banget buat yang nyari contoh supaya bisa lebih paham materi di bab itu. Di sisi lain, mungkin ada yang ngerasa too much, terlalu detail; termasuk saya. Bagian ini saya baca sekilas aja karena saya cuma pengin tahu tentang genre-genre ini secara umum dan pengin langsung aja ke bahasan selanjutnya.

 

Perbedaan lain antara buku STC-skenario dan STC-novel adalah buku STC untuk penulisan novel  lebih ramah pemula. Di sini diterangin dari awal tentang tetek-bengek pembabakan dan penulisan. Di STC-skenario, bahasannya langsung to the point ke perumusan babak; langsung ke teknis beat sheet. Pembahasan seperti penokohan, nama babak, dsb, tetap ada tapi rasanya nggak serinci di STC-novel. Orang yang baru pertama nyemplung di dunia tulis-menulis mungkin akan bingung begitu di lembar-lembar pertama langsung ketemu dengan berbagai istilah seperti midpoint, B-story, dsb. Kalau orang yang udah agak lama nyemplungnya, ini bukan masalah karena udah kenal istilah itu. So, STC-skenario bukunya lebih to the point.

 

Jadi untuk yang baru mulai nulis, buku Save The Cat versi novel (Jessica Brody) lebih recommended. Untuk yang udah beberapa saat nyemplung di dunia kepenulisan, versi skenario (Blake Snyder) bisa langsung dilahap. Buku STC versi skenario bisa dibaca gratis secara daring di aplikasi iPusnas.

 


Kesan tentang Save The Cat

Sebagai orang yang lebih suka nulis ngalir aja alias strukturnya ngawang di kepala, awalnya maju-mundur mau baca STC. ‘Toh udah pernah baca/ikut kelas penulisan lainnya’, pikir saya waktu itu. Namun, sebuah petuah dari (lagi-lagi) Dee membuat saya tercenung, “Kalau buntu saat nulis, itu artinya ada yang salah dengan struktur cerita.”

 

Saya melirik bab-bab tulisan yang terbengkalai lama sekali. Ya, persis, itu ‘penyakit’ saya: buntu, ngerasa tulisan kurang greget. Padahal saya udah coba beberapa teknik lain. Cuma, setelah baca STC, rasanya teknik yang pernah saya pakai itu terlalu umum; kurang detail, jadilah tulisan jadi lempeng-lempeng aja.


Jadi, apakah STC ini cocok untuk penulis model pantser?

(alias yang suka nulis ngalir tanpa bikin kerangka)

Berkaca dari saya sendiri, rasanya cocok-cocok aja. STC bisa ngebantu saat kita buntu ini cerita mau dibawa ke mana atau saat kehabisan ide dengan ngelihat 40 kartu beat sheet yang berisi momen penting. Toh bikin struktur bukan berarti itu kerangka nggak bisa diubah kalau ada yang dirasa kurang cocok. Ngelihatin list ide juga bisa bikin inspirasi terpantik. Dan, kalau buntu, kita bisa lebih mudah menelusuri bagian yang bikin cerita buntu atau nggak asyik.


Mengutip kata-kata Jessica Brody, yang kurang lebih, 

Bagi penulis tipe plotter, STC ibarat peta yang memandu mereka selama perjalanan. Bagi pantser, STC lebih seperti montir yang membantu mereka memperbaiki kendaraan bila dalam perjalanan timbul masalah.


Sejenak setelah menekuri poin-poin STC, reaksi saya, “Wah, padat banget!”

Plotnya padat seperti berkejaran. Setelah kejadian menegangkan A, masuk poin menegangkan B, dst. Sekilas kayak nggak ada jeda untuk bernapas. Namun kalau dipikir-pikir, ya emang ‘feel’ tulisannya jadi lebih dapat; lebih seru. Beberapa novel yang saya tahu dibuat dengan teknik STC pun terasa lebih asyik, page-turner banget, surprise-nya nggak habis-habis (meski kadang berasa ‘ini nggak ada istirahatnya ya?’ tapi tetap seru!).


Mungkin metode ini cocok untuk novel yang isinya padat dan butuh tempo yang cepat (untuk ‘mengikat’ pembaca). Kalau pengin nulis novel yang temponya lebih slow, mungkin bisa dikondisikan dengan utak-atik beat sheet STC atau pakai metode lain.

 

Apa teknik STC bisa digunakan untuk jenis tulisan lain?

Hmm, tergantung jenis tulisannya. Untuk tulisan pendek macam cerpen kayaknya kurang cocok karena beats-nya banyak, sedangkan ruang untuk cerpen terbatas. STC cocok untuk konflik yang kompleks berlapis, sedangkan konflik cerpen butuh selapis aja. Kalau untuk novelet, mungkin masih bisa.

 

Meski begitu, beberapa poin pembahasan di buku STC bisa banget dipakai untuk jenis tulisan lain. Contohnya tentang penokohan (bisa dipakai di cerpen), Pope In The Pool (bisa dipakai di artikel/cerpen/travel-writing), pentingnya subteks, dsb.

 

Teknik STC ini udah banyak yang bahas di internet. Grafiknya bejibun. Ada website-website yang ngebahas rinci bahkan nyediain tools gratis untuk identifikasi plotting genre tulisan kita (apalagi website berbahasa Inggris). Cuma kadang infonya terpotong-potong, jadi (kalau saya) lebih enak baca bukunya karena langsung ada di satu tempat.

 

Buku STC-novel dan STC-skenario dua-duanya sama-sama worth the time. Mungkin, inilah solusi yang saya cari selama ini, hahaha. Setelah ini mau coba ah, semoga cocok dan bisa memecahkan kebuntuan menahun ini ðŸ˜„


=    =    =    =    =


Selain buku Save The Cat, ada beberapa buku lain tentang metode menulis yang menurut saya gampang dipahami. Gampang banget bahkan untuk yang baru mulai nulis. Buku-buku inilah yang ngebantu saya nulis lebih baik di saat panduan menulis (waktu itu) hanya ada buku panduan formal sedangkan saya nulis teenlit. 

Penasaran, nggak? Semoga bisa ditulis di postingan selanjutnya, hehe. 

Reading Time:

Jumat, 24 Februari 2023

Mengumpulkan Kepingan Detail Perjalanan
Februari 24, 20230 Comments


[ Sebetulnya, ini adalah secuplik tips tentang bikin detail catatan perjalanan (catper/travel notes) dengan cepat. Versi saya. Disclaimer: beberapa cara adalah ajaran dari orang/penulis lain atau pelatihan yang kemudian diatur gimana enaknya supaya saya nyaman mencatat dan menulis dengan metode itu. Dan ini konteksnya buat tulisan perjalanan, bukan vlog dan semacamnya.]


Banyak hal terjadi selama kita melakukan perjalanan. Untuk sebagian orang, travelling ya untuk dijalani dan dinikmati, plus didokumentasi dalam foto sebagai bukti. Bagi sebagian orang lainnya, jalan-jalan bisa menjadi bahan tulisan atau memoar tersendiri. Atau, simply pencatatan itinerary untuk diingat atau dibagi ke orang lain yang mungkin ingin menempuh perjalanan yang sama. Terutama untuk pejalan tipe kedua, jalan-jalan nggak hanya dinikmati aja, tapi juga dicermati.


Tapi, kan, banyak hal terjadi selama kita jalan-jalan. Gimana caranya kita mencatat/menulis itu semua?


Memang, nggak harus semuanya.

Kesalahan saya (dan juga kesalahan umum banyak penulis catper pemula, seperti yang dibilang penulis catper kawakan, Agustinus Wibowo) adalah menuliskan semua dengan detail. Mulai dari bangun pagi, mandi, sikat gigi, sarapan, dst. Padahal maksud detail itu adalah: rinci boleh, tapi hal yang penting-penting aja. Kalau nggak penting, buat apa ditulis? Apa pembaca mau ngabisin waktu buat baca hal yang berlarat-larat kayak ... 


Pemandangan itu sangat indah. Lautan luas terhampar di hadapan mata. Warnanya biru sejauh mata memandang. Pasir putih yang halus aku rasakan di bawah kaki. Rasanya nyaman sekali. Rasanya seperti sedang di-massage sembari menikmati belaian sutra superlembut yang tak kasat mata. Air pantainya pun jernih dan segar sekali. Rasanya seperti air murni yang dibawa langsung dari surga. Apalagi pemandangan di pucuk horizon sana ... dst. 


... gitu? Karena kalau berkaca dari diri sendiri, saat nyari review atau catper orang untuk survei lokasi pun saya biasanya scanning aja kalau nemu yang begini (meski kadang juga masih kepeleset nulis hal kayak gini, wkwk).


Apa deskripsi keindahan dan lokasi itu nggak penting atau nggak perlu ditulis? Penting! Asal nggak terlalu banyak. Kalau satu pemandangan digambarkan sampai tiga paragraf dengan isi yang mirip, kan bosan juga bacanya.

(Ini mirip dengan nulis fiksi, sih. Saat editing, bagian yang bertele-tele atau nggak berhubungan dengan plot ya dibuang karena menuh-menuhin dan nggak ngefek ke cerita. Apalagi kalau di cerpen yang jumlah halamannya lebih terbatas.)


Masalah kedua yang berkaitan dengan rincian: kekurangan bahan.

Ini juga sering terjadi sama saya. Rasanya, pengalaman di lokasi itu banyak, penuh, tumpah-tumpah. Namun begitu ditulis, lha, kok "isinya" cuma 1-2 paragraf aja. Sisanya entah deskripsi perasaan atau lokasi yang panjang sekali dan semacamnya. Kalau sudah gini, mau nggak mau memang harus riset untuk nambah bahan dan perspektif. Namun, lebih mudah lagi sebetulnya kalau kita kembangkan pengalaman di lokasi plus riset. Biasanya yang seperti ini menghasilkan tulisan yang lebih ‘nyambung’; lebih relate. Mungkin karena asal bahan tulisannya real time.


Lalu muncul masalah baru: ketika kita nggak mampu mengingat detail yang terjadi di perjalanan. Maklum, daya ingat manusia memang terbatas. Untuk itulah kertas diciptakan; untuk ditulisi hal-hal yang bisa dilupakan atau tak muat ditampung otak. Jadi, solusinya adalah ditulis? Iya dan enggak, karena ada beragam metode. Ini cara yang saya pakai di trip baru-baru ini:

1. tulis di buku/notes kecil, atau

2. ketik di catatan HP

3. catat dengan rinci, atau

4. catat garis besar atau kata kuncinya aja

5. rekam suara

6. foto/video.

Mari kita bahas satu-satu.


Cara pertama, kedua, dan ketiga sudah jamak dilakukan. Pertama dapat ilmu ini waktu bergabung di ekskul Pecinta Alam. Ketika diklat, kami disuruh menulis catatan tentang hal-hal penting hari itu: apa aja yang dilakukan, ngapain dan ke mana aja, ada peristiwa tertentu atau enggak, dsb. Ketika naik gunung juga sama. Kami diminta mencatat jam-jam secara rinci, jarak tempuh pos X ke pos Y, kondisi medan, dsb.


Di zaman itu memang catatan begini sangat berarti karena bisa jadi panduan untuk pendakian selanjutnya. Gampangnya, kalau ada teman/adik kelas/klub pecinta alam lain yang mau naik gunung tsb, mereka bisa survei waktu dan medan ke orang yang pernah naik duluan. Selain tanya-tanya, cara lain, ya, lihat catatan perjalanan orang yang sudah pernah naik. Kalau sekarang, kayaknya info begini udah bejibun. Apalagi di jagad internet dan medsos. 


Penulisan jam, medan, dll, ini masih saya pakai sampai sekarang. Cuma, kalau dulu nyatat di buku, sekarang saya lebih suka nyatat di ponsel. Lebih cepat aja ngetiknya daripada nulis. Karena lebih cepat itu, jadi bisa ‘mengejar’ otak yang kadang baru mikir kejadian A, eh, udah lompat ke kejadian B.


Seringkali mikir lompat-lompat ini yang bikin malas nyatat karena kayaknya banyak banget yang perlu dicatat dan diingat kembali. Saya biasanya baru nulis lengkap kalau malam. Saat kegiatan sudah selesai semua, ketika sudah makan-ganti baju-siap tidur. Padahal itu jam capek-capeknya, kan. Kadang malah nggak jadi nulis karena langsung bablas ke alam mimpi.


Oleh karena itu, saya pakai cara keempat, yaitu catat garis besarnya. Cara ini saya pakai kalau sudah capek/malas ngetik panjang. Sejujurnya, ini cara baru saya pakai semingguan lalu. Mikirnya, “Daripada nggak ditulis, mending tetap nyatat tapi pendek-pendek.” Saya ketikkan kata kunci-kata kunci yang ketika dibaca ulang (harapannya) bisa membangkitkan ingatan detail tentang perjalanan. Kalaupun lupa lagi ngebahas apa, kata-kata tsb juga bisa bantu buat browsing sehingga voila, muncullah cerita yang nyambung.


Misalnya, waktu berkunjung ke desa adat Batak. Pemandu tur menjelaskan banyak hal soal perkakas adat. Maka ditulis: tongkat raja, anak kembar, relief jiwa, pohon. Dengan baca kata-kata ini, saya jadi ingat kalau raja Batak punya tongkat berelief ukiran wajah orang-orang. Raja Batak ini punya anak kembar yang kisah hidupnya miris hingga lengket di pohon.


Namun, sejujurnya cara ini termasuk last resort. Soalnya, kadang nggak semua hal yang kita temui di lokasi bisa ditemui di internet. Jadi browsing-nya rada ribet atau, bad news, nggak nemu. Apalagi kalau kata kuncinya keliru.


Tapi, kan, udah capek seharian jalan-jalan. Masa harus nulis detail, sih?

Untuk itulah ada cara kelima: rekam suara.

Cara ini juga baru kemarin saya pakai dengan total. Sebelum itu pernah, sih, ngerekam suara, tapi durasinya nggak lama. Soalnya, saya malu dan sungkan kalau ngerekam suara tapi ada orang lain yang satu ruangan, hahaha. Pernah saya ‘rekaman’ waktu teman sekamar lagi di kamar mandi. Atau kalau seruangan, ngerekamnya pelan banget kayak bisik-bisik.


Ngerekam suara lebih enak karena kita nggak capek nulis dan mikir. Ngomongnya kayak ngobrol sama teman biasa; ngalir aja kayak lagi curhat. Hanya saja ini ngomong sendiri. Alhamdulillah kalau teman dengar dan mau benerin/nambahin info. Tapi, sisi nggak enaknya adalah kita harus dengerin rekaman itu ketika pulang, kemudian mencatat ulang. Buat orang yang nggak telaten dengar dan lebih cepat baca, ini jadi salah satu cobaan tersendiri. Berasa kerja dua kali. Namun, saat hari-H dan di lokasi, memang jadi hemat energi.


Rekaman suara adalah cara paling final dan paling mudah buat nyatat catper. Cuma, ya, hati-hati aja supaya file-nya nggak keburu dihapus karena dianggap rekaman nggak penting. Untuk mempermudah, di awal rekaman bisa diomongin tuh tanggal dan lokasinya. Misal, “Halo, hari ini 20 Februari 2023, hari pertama trip ke Bandung.” Nge-record-nya sama kayak tulisan, yaitu bisa dibikin per hari atau per malam.


Nah, kalau lagi di jalan dan nggak mungkin nyatat atau ngerekam, gimana?

Misalnya, lagi naik gunung. Ngerekam, kan, butuh waktu. Padahal waktu rest saat hiking toh terbatas buat betul-betul rehat dan tarik napas. Nyatat pun jadi out of question dan kadang jamnya jadi diingat-ingat aja. Sebetulnya bisa aja diketik cepat di ponsel. Tulis aja jam, lokasi, dan medan kalau perlu. Tapi untuk itu pun kadang juga udah malas. Pun ketika malam, bisa jadi lupa detailnya karena kecapekan.


Untuk itulah ada cara keenam: foto/video. Foto tempat, spot yang penting, atau plang penanda. Kalau mau detail medan, fotolah kondisi jalan dan sekitarnya. Kalau mau lebih ringkas, videokan aja. Nggak perlu bagus, yang penting jelas, karena tujuannya untuk pencatatan. Beda cerita kalau mau bikin footage video, memang harus lebih dipikirkan.


Dulu, cara ini saya pakai kalau naik gunung dan capek. Banget. Apalagi kondisi hujan. Males banget ngetik. Ngeluarin HP aja risiko kebasahan. Maka jalan cepatnya adalah potret! Sampai pos 3 misalnya. Potret shelter atau plang posnya. Sampai pos/camp berikutnya juga sama, gitu terus. Saat sudah pulang atau lagi nge-camp dan mau nyusun catper, baru, deh, dilihat properties fotonya: diambil jam berapa, dilihat kondisi cuaca dari gambar kayak gimana, dsb. Baru ditulis ulang. 


Nggak cuma buat naik gunung, cara ini juga lumayan berguna di liburan non-hiking. Liburan kemarin, inilah cara yang saya pakai buat ngitung durasi perjalanan dari spot ke spot. Apalagi kalau bareng rombongan, kan, harus gerak cepat. Manalah mungkin nyatet-nyatet. Jadi begitu sampai tujuan selanjutnya, langsung potret aja apa yang ada di depan mata. Meski nggak ada ‘objek bagus’ sekalipun. Kan, memang buat penanda aja. Motret 'objek beneran'-nya nanti kalau udah di dalam.


Selain mengingat detail durasi dll, cara ini juga bisa dipakai saat lihat sesuatu di tengah perjalanan. Foto-foto yang dikumpulkan bisa dilihat lagi sebagai pengingat saat kita mulai menulis. "Oh, waktu itu di lokasi X ternyata aku lihat ada kejadian Y." Cara ini bisa memperbanyak isi tulisan, sebab yang ditulis nggak cuma deskripsi pemandangan dkk tapi juga peristiwa dan rasa yang terjadi ketika sedang di lokasi.


Ini cara mengumpulkan detail tulisan. Sebenarnya metode-metode di atas juga sudah umum banget. Katakanlah lewat story Instagram/Facebook, vlog, dsb. Hanya saja kalau saya, story dsb itu cuma sekelebat sehingga detailnya masih kurang tercatat. Dan mungkin karena saya mau ‘alihkan’ bahan itu dalam bentuk tulisan kemudian. Namun kalau memang nyaman pakai video dsb dan nggak suka nulis atau mau liburan aja tanpa perlu nyatat macam-macam, ya, mangga aja karena toh hobi dan preferensi orang beda-beda. Kita nggak harus mengambil jalan yang sama. Sebab, apa yang enjoy kita nikmati emang beda-beda.


=====

Ngomong-ngomong, 

kalau diperhatikan, di sini pakai kata "travelling" (dobel L). Ejaan yang betul "travelling" atau "traveling", sih? Dua-duanya benar. Bedanya, dobel L untuk ejaan ala British English dan satu L untuk American English.

 

 

 

Photo credit: wallpaperflare.com

Reading Time:

Jumat, 06 Januari 2023

Memilih Lomba Cerpen
Januari 06, 2023 2 Comments


Sama seperti novel, cerpen pun punya 'aliran' sendiri-sendiri. Entah apa istilah resminya. Bukan tema, sebab tema lebih seperti topik: cinta, perjuangan, lingkungan, dsb, bukan? Bukan pula genre karena genre berarti cerpen horor, cerpen romance, cerpen misteri, dll. Atau, 'aliran' ini lebih ke gaya bahasa dan isi/hal yang dibahas. Beberapa orang menggunakan istilah 'cerpen serius' dan 'cerpen santai' atau 'cerpen berat' dan 'cerpen ringan' untuk membedakan ini. Meski tentu serius/santai dan berat/ringan ini debatable.


Jadi, saya gunakan 'aliran' aja.


Mudahnya, ada cerpen yang bahasanya lebih baku dan isi ceritanya lebih 'dalem'. Contohnya cerpen-cerpen koran. Topik dalam tulisan ini beraneka ragam, bisa tentang cinta, politik, isu sosial, atau sesimpel kejadian sehari-hari yang jamak terjadi di sekitar kita. Cerpen ini bisa serius, tapi kadang juga bisa lucu atau lucu slash nyindir. 


Di sisi lain, ada cerpen yang bahasanya teramat bebas, seperti bahasa percakapan sehari-hari. Isi cerita lebih mengulik alur dan elemen surprise dan semacamnya. Hal yang diulik biasanya baru permukaan atau kalau 'dalam' pun tidak sedalam tipe pertama. Oleh karena itu, ada beberapa yang menyebutnya cerpen santai. Umumnya topik berkisar di cerpen cinta remaja, persahabatan, cerpen anak-anak, dsb. (Not to say cerpen cinta remaja dkk tadi nggak bisa dibikin tipe pertama. Bisa. Semua tergantung penulisnya). Bila menilik pangsa pasar, mungkin ini jatuhnya ke tulisan teenlit, metropop, dan semacamnya. 


Mana yang lebih baik di antara keduanya?

Pendapat orang beda-beda. Kalau menurut saya, keduanya sama-sama bagus. Tergantung pada keahlian si penulis menuangkan cerita. Cerita aliran pertama yang membosankan, nggak sesuai fakta, atau terlalu melodramatik; ada. Namun, yang bagus dan merangkul konflik sederhana tapi mengena; juga ada. Di sisi lain, ada juga cerpen teenlit atau metropop yang asyik banget dibaca, bikin deg-degan atau ikut nangis. Tapi di sisi lain, ada juga cerpen tipe ini yang luar biasa alay.


Gimana dengan lomba cerpen?

Seiring dengan makin maraknya lomba menulis, tentu penulis akan pilih-pilih lomba mana yang ingin ia ikuti. Nggak mungkin, kan, ngikutin semua lomba? Ada beberapa kriteria yang bisa dijadikan alasan pemilihan.


Alasan pertama tentu kredibel atau enggak. Kredibel artinya panitia bertanggung jawab. Apalagi kalau ada biaya pendaftaran. Jangan sampai setelah bayar dan kirim naskah, kemudian sama sekali tiada kabar. Atau lebih buruk, naskahnya diambil dan di-hak milik tapi penulis tidak diberi apa-apa. 


Masih ada poin pertimbangan lainnya, tapi di sini lebih soal 'aliran' tadi. Kenapa? Sebab dengan mengetahui 'aliran' yang 'dianut' penyelenggara, penulis bisa lebih melihat kans dirinya lebih berpeluang atau tidak, terlepas siapa pun saingannya. Mudahnya: lebih baik kirim naskah ke lomba yang 'sealiran' dengan tulisan kita. 


Kalau cerpen kita lebih ke arah teenlit, ya jangan dimasukin ke lomba cerpen yang 'nyastra banget'. Begitu pula kalau gaya tulisan kita ala cerpen koran, maka sebaiknya nggak diikutkan lomba cerpen remaja. Kalau dikirim, apa pasti nggak menang? Ya belum tentu. Cuma kita sedang mempertimbangkan peluang tadi. Bila tulisan kita bukan jenis tulisan yang mereka cari, tentu peluang menangnya jauh lebih kecil.


Gimana cara tahu 'alirannya' apa? Kalau lombanya sudah berlangsung bertahun-tahun, kita bisa lihat naskah-naskah yang menang tahun sebelumnya. Apalagi kalau dibukukan dan ada e-booknya. Kalau nggak ada, gimana? Lihat bahasa dan desain poster yang digunakan penyelenggara. Kalau dia pakai bahasa santai/sehari-hari, mungkin cerpen 'santai' bisa dicoba. Kalau bahasanya lebih kaku, mungkin memang nyari cerpen 'serius'.


Lomba cerpen dari kampus umumnya lebih ke tipe cerpen pertama. Apalagi kalau penyelenggaranya adalah Fakultas Bahasa dan Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya. Kadang, ada himpunan dan organisasi semacamnya yang bikin lomba cerpen dan meloloskan cerpen tipe kedua. Namun, dalam situasi seperti itu, cerpen tipe pertama tetap dapat peluang yang lebih besar untuk menang. Kenapa? Karena biasanya yang dicari adalah yang tipe rada serius (biasanya karena disesuaikan dengan tema kegiatan/visi organisasi). 


Lomba cerpen dari komunitas? Maka lihat jenis komunitasnya. Apakah ia jenis komunitas yang nyastra banget, atau santai banget, atau menerima semua naskah? Sebab, ada juga komunitas besar yang beragam sekali tulisan anggotanya sehingga dalam lomba-lomba yang ia adakan, ada cerpen-cerpen dengan beragam gaya yang turut lolos.


Gimana dengan penerbit? Ini juga mirip dengan komunitas; tergantung penerbitnya. Bahkan, kadang, tergantung jenis event-nya. Penerbit besar nggak berarti selalu nyari cerpen ala koran. Gramedia atau Mizan, misalnya. Kadang mereka juga cari cerpen teenlit dan sejenisnya. Lebih lagi kalau penyelenggaranya adalah platform perpanjangan tangan mereka, misalnya Gramedia dengan GWP dan Mizan dengan Rakatanya. 


Dari lomba-lomba yang pernah diselenggarakan, kadang ada penyelenggara yang transparan sekali soal penilaian. Jadi dibahas tuh cerpen ini kurangnya di mana, poin plusnya di mana. Nggak semua cerpen dibahas, memang. Kalau peserta sedikit, bisa aja dibahas. Tapi kalau pesertanya ratusan, hanya tulisan yang masuk nominasi aja. Kadang, penyelenggara bakal ngadain kelas menulis gratis dan di situ kita bisa tanya soal naskah kita.


Dalam beberapa kesempatan, saya nemu lebih banyak peserta yang menulis teenfic dan semacamnya memasukkan naskah ke lomba cerpen ala koran daripada sebaliknya. Mungkin karena belum tahu background penyelenggara tadi. 


Jadi apa cerpen aliran kedua nggak bisa lolos penjurian di lomba cerpen tipe pertama, begitu juga sebaliknya?

Menurut saya, itu tergantung eksekusi, penulisan, dan penulisnya.  Selama bisa meramu tulisan sedemikian rupa, ya, bisa aja. Kisah remaja atau dewasa muda pun bisa diulik lebih dalam dan disajikan dalam tulisan yang lebih serius. Sebaliknya, cerpen ala koran juga bisa dibawa ke ranah lebih santai. Entah dengan membahas hal-hal yang lebih terbatas atau cara lainnya.


Apa eksekusi (dan mengubah style naskah ini) mudah? Sekali lagi: tergantung penulisnya. Kalau buat saya, sih, susah, hahahah. Makanya kalau pengin ikut lomba cerpen, saya lihat-lihat 'alirannya' dulu supaya nggak mengubah banyak hal, melainkan sedari awal menulis cerita dengan style emang-gaya-gue. 


Beberapa contoh nyata, buat saya, adalah karya-karya Asma Nadia dan Dewi "Dee" Lestari yang tulisannya 'lentur'. Keduanya bisa menulis santai dengan bahasan ringan dan gaya lo-gue, tapi di lain waktu—dengan topik yang sama—mereka bisa mengubahnya menjadi fiksi yang lebih serius. Ini contoh eksekusi yang berbeda dari orang yang sama. Apa hanya dua orang ini saja? Tentu enggak. Masih ada penulis-penulis lainnya.


Jadi, sebaiknya menulis yang 'aliran' mana?

Terserah kita, penulisnya. Dan, tergantung apa yang kita kejar. Untuk beberapa hal, tentu ada kompromi yang harus dilakukan. Bila tidak mau kompromi, ya, betul-betul kembali pada apa yang kita sukai: masukkan naskah ke lomba yang 'sealiran' dengan kita. Sebab, kalau kilas-balik dari pengalaman sendiri, kelihatan betul mana tulisan yang berasal dari hati dan mana yang cuma mengikuti struktur tapi minim empati (demi mengikuti 'aliran' yang dicari oleh juri). Tulisan siapa itu? Tulisan siapa lagi kalau bukan saya sendiri, wkwkwk.


Buat orang yang nggak tahu kamu, cerpen itu mungkin bagus. Tapi, saya merasa dongeng-dongeng kamu jauh lebih otentik, lebih original, dan lebih mencerminkan kamu yang sebenarnya. Dalam cerpen itu, saya tidak menemukan diri kamu.  

          Keenan pada Kugy, Perahu Kertas by Dee




* * * * *

Photo is courtesy of Karolina Grabowska via Pexels.com

Reading Time:

Sabtu, 30 Juli 2022

Digital Journaling
Juli 30, 20220 Comments


Saya nggak pernah pengin banget sepenuhnya nulis atau journaling di laptop atau ponsel. Pertama, karena menurut saya kurang asyik dibanding journaling di buku biasa. Kedua, karena saya pernah nyoba dan berakhir lebih banyak menghabiskan waktu menghias dan menata gambar daripada menulisnya. Utak-atik software editing gambar ternyata butuh skill tersendiri yang saya belum mumpuni, huft....


Namun, pandangan itu berubah pekan ini. Saya juga nggak nyangka. Mana berubahnya berasa ngebalik tangan: berubah gitu aja! Dan, nggak butuh waktu lama.


Ceritanya weekend lalu saya jalan ke toko buku. Eh, kok, hati ini tergerak waktu membaca satu demi satu blurb di sampul belakang novel.

"Kayaknya ceritanya bakal gini-gitu, deh",

"Harusnya dia nggak usah bingung, tinggal gini-gitu aja",

"Eh, kutipannya cantik. Tapi gimana kalau interpretasi kejadiannya jadi gini-gitu aja."

Dan seterusnya. (Toko buku dan perpus emang tempat ajaib buat membangkitkan imajinasi, yak, hehe). Akhirnya, 'gini-gitu' tadi saya ketik di aplikasi notes bawaan ponsel. Tapi... kok beberapa ada yang panjang banget, ya, sampai dua paragraf. Apa nggak sebaiknya ditulis di buku khusus aja?


Sebenarnya saya punya buku khusus 'nulis'. Cuma, nggak tahu, deh, akhir-akhir ini jarang banget saya tulisi. Plus, harus saya akui, belakangan saya emang lebih akrab pegang HP daripada buku/laptop. Padahal, saya kurang suka nyatat ide ataupun nulis panjang di HP karena tampilannya kurang menarik ("Lho kan di laptop juga gitu-gitu aja?" Iya, sih, tapi vibes-nya berasa lebih cocok aja buat nulis panjang). Akhirnya, beberapa 'tabungan ide' pun lolos begitu aja.


Ada, sih, yang tercatat. Tapi itu pun jarang dibuka karena tertimbun bersama dengan daftar belanjaan, to-do-list, dan catatan-catatan lainnya, hehe.


Namun, kalau ingat kejadian di toko buku tadi, apa nggak sayang? Apalagi kalau ngelihat frekuensi penggunaan, kok kayaknya bakal lebih efektif kalau diketik dulu di ponsel, ya? Biarin, deh, kalimatnya acakadul, superpendek, atau nggak nyambung sama sekali. Nanti, kan, bisa 'dijahit' jadi satu tulisan utuh. Daripada kelewat gitu aja dan pegang HP cuma buat main medsos/games doang....


Tapi, pakai apps apa? Rata-rata aplikasi notes/diary/journaling yang pernah saya temui pun tampilannya mirip-mirip. Dan, satu ini yang nggak pernah saya temui padahal cukup penting kalau journaling di buku: bisa nempel stiker atau foto di sembarang tempat; nggak cuma sejajar baris teks. Ada, sih, yang bisa begini tapi biasanya apps editing gambar macam Ca*va dkk.  Padahal, saya pengin apps yang lebih fokus di teks biar ya itu tadi: lebih lama nulisnya daripada menghiasnya.


Awalnya saya skeptis bisa nemu. 'Kalau nggak ada, ya udah, deh, rutinin nulis di buku aja'. 


Setelah scrolling beberapa saat dan nyoba beberapa apps, saya nemu satu aplikasi yang cukup memenuhi keinginan. Tampilannya artsy, sheet 'kertasnya' bisa diganti warna-warni, dan yang terpenting: ada stiker free yang bisa ditempel di mana pun. Yesss! Alhamdulillah.... 


Contoh hasil digital journaling menggunakan aplikasi ponsel


Nama aplikasinya: My Diary

Selain punya fitur stiker, dia juga bisa gonta-ganti font dan warna teks. Suka banget karena ada font tipe handwriting yang bikin jadi kayak tulisan tangan. Ada bullets and numbering-nya juga. Pun meski nggak bisa bikin folder untuk mengumpulkan tulisan yang sejenis, dia punya fitur tags.


Yang paling saya suka adalah tampilan aplikasinya yang nyeni dan warna-warni; beda dari apps sejenis pada umumnya. Sheet 'kertas' pun bisa digonta-ganti. Tersedia beberapa gradasi warna dan ilustrasi. Tampilan antarmukanya (home) juga bisa diubah, jadi nggak monoton gitu aja. 


Buat journaling digitalfiturnya lumayan lengkap. Warna teks, font teks, spasi, bullets-numbering, semua bisa diatur. Tampilannya juga warna-warni tapi nggak mencolok gitu. Berasa ada temanya. Apps ini juga bisa diberi password supaya nggak bisa dibuka sembarang orang yang kebetulan pinjam HP kita. Dan, kalau kita suka nulisnya pindah-pindah antara ponsel-laptop, notes di sini bisa dikonversi ke txt dan PDF. Jadi bisa dilanjut nulis di laptop, deh.


Selain fasilitas di atas, ada juga fitur lain yang nggak begitu saya butuhkan tapi tetap menarik. Antara lain mood tracker, badge untuk beberapa accomplishments, dan template yang bisa bantu kita kalau buntu mau nulis apa. Apa lagi pengin nulis gratitude journal, travel journal, dsb. Kita juga bisa nambahin template yang kita pengin susun sendiri. Buat yang pengin ngerutinin nulis, ada juga fitur tracker yang menandai hari apa aja kita nulis di apps ini.


Namun, nggak semua fitur ini bisa diakses oleh pengguna free. Fitur-fitur macam lebih banyak stiker, lebih banyak ilustrasi sheet, bentuk-bentuk bullets and numbering lucu hanya bisa digunakan di fitur berbayar. Yah, fitur yang lebih nyeni gitu lah. Beberapa fitur sederhana seperti bold-italic-underline-highlight juga berbayar. Mood tracker dan konversi ke PDF juga sama, keduanya hanya bisa diakses oleh pengguna yang upgrade ke versi pro.


Sayang juga, sih. Namun, setelah nyoba pakai aplikasi ini, stiker yang terbatas itu juga udah cukup banyak, kok. Dan, ternyata, ada stiker yang bisa diakses kalau sudah punya accomplishment badge tertentu. Tanpa fitur bold-italic-underline-highlight ternyata juga udah cukup, bisa diakali dengan main capslock. Pun keterbatasan pengaturan warna, font, dan ukuran teks yang seragam di satu sheet ternyata nggak terlalu mengganggu. Nggak bisa ngubah ke PDF? Masih bisa ngubah ke txt. Kalau tulisan panjang yang mau dilanjut ke laptop, kan, biasanya cuma butuh teksnya aja. So, so far, no problemo. 


Namun, kalau pengin digital journaling-nya lebih asyik, emang lebih baik kalau upgrade ke versi pro. Kelihatan lebih bebas berkreasi gitu. 


Jadi, mari lihat apa saya bisa istikomah nulis setelah dimudahkan dengan digital journal atau ini bakal ber-ending sama dengan manual journal yang saya isi angin-anginan, wkwkw. 

Reading Time:

Jumat, 01 Juli 2022

Readability
Juli 01, 2022 2 Comments

Sekian lama ngeblog, ternyata topik SEO (Search Engine Optimisation) dalam dunia perbloggingan masih jadi barang yang kurang begitu saya akrabi. Secara teori udah paham, tapi dalam praktiknya ya... gitu, deh, hahahah.


Coba aja perhatikan, berapa keyword yang disisipin di artikel, ada meta-tag atau enggak di gambar yang ditampilin, apa judul header dan subheader udah sama dengan target keyword? Dijamin, hampir nggak ada, wkwkwk. Apalagi, tulisan yang saya bikin kejar deadline atau on-a-whim aja; bukan yang emang direncanakan. So pasti ini praktik SEO-nya nol besar.


Beberapa hari yang lalu, saya ngobrol virtual dengan seorang kenalan yang juga suka blogging. Bedanya, ini orang udah lebih serius dibanding saya. Blognya udah terdaftar domain TLD (kayak .com, .net, dsb, bukan yang .blogspot atau .wordpress yang gratisan). Karena dia update di medsos, saya tanya-tanya ke dia karena gambaran saya soal per-domain-an ini masih buram.


Obrolan kami mengalir hingga soal SEO. Dia cerita kalau dia nggak terlalu mikirin penulisan dengan SEO. Pertama, karena dia belum terlalu serius dan kedua, udah ada indikator SEO yang built-in di blognya. 


"Hah, kok bisa?"

Ternyata, dia pakai wordpress.com (?). Di sana ada plugin yang otomatis mendeteksi tulisan kita: apa keyword untuk SEO-nya sudah cukup, apa kalimatnya sudah enak dibaca, apa dari tulisan itu yang bisa diperbaiki, dsb.


"Lah, enak bener ada mesin otomatisnya gitu?"

Beneran enak. Apalagi buat penulis atau yang pengin ningkatin skill nulis, jadi terbantu banget. Nggak perlu repot ngoreksi sendiri satu-satu, mengira-ngira mana yang kedengaran nggak enak dsb. Dan, ini kan subjektif sekali. Pun kalau peer review ke teman. Kalau pakai mesin, kan, lebih objektif (meski mesin belum tentu selalu benar juga).


Fasiliitas di atas sayangnya nggak tersedia di blogspot. Akhirnya saya browsing, siapa tahu bisa diinstal manual ke blogspot atau gimana. Ternyata ada beberapa apps/plugin/web yang bisa dipakai dan gratis. Beberapa nggak bisa diinstal ke blogspot, tapi kita bisa copas tulisan ke sana buat dideteksi. Coba aja cari 'readability SEO checker' atau kata semacamnya.


Hal yang bikin saya agak ragu setelah nyoba beberapa website ini adalah: nilai readability-nya pakai skala tulisan berbahasa Inggris. "Emangnya bisa diaplikasikan ke bahasa Indonesia juga?" pikir saya. Kan, tiap bahasa punya standar yang beda. Kalau YOAST SEO atau AIO SEO bisa jadi sudah terintegrasi dengan bahasa Indonesia, tapi kalau web/apps lain yang saya coba tadi, entah. Sebab waktu saya coba masukkan tulisan, beuh, merah semua akibat ditengarai sebagai saltik. Ya iya saltik, lha kan bukan pakai bahasa Inggris. 


Saya pun ngubek-ngubek biar nemu checker yang (kata orang-orang) semantap YOAST atau AIO. 


And that's when something strucked me. 

"Jadi, kamu nulis biar enak dibaca atau biar sesuai SEO aja?"


Penulis atau blogger yang udah malang-melintang udah bisa menggabungkan dua hal ini. Jadi, selain ber-SEO (biar pengunjung/traffic-nya banyak), tulisan mereka juga enak dibaca. Dan, IMO, ini nggak cuma buat blogging atau tulisan yang terbit online aja. Dalam fiksi/nonfiksi pun, poin SEO seperti kalimat yang panjangnya pas/nggak terlalu banyak frasa/dll juga kepakai. Dan, toh, kalau sudah lihai memang enak-enak aja pas dibaca. 


Balik ke tulisan saya: masih banyak hal yang perlu ditingkatkan, kayak:

  • kalimatnya belum efektif
  • kalimatnya kepanjangan
  • mbulet dalam menyampaikan maksud
  • kurang runut sehingga pembaca kadang bingung ("Lagi bahas apa ini kok loncat-loncat?"
  • terlalu kaku
  • kalau nggak lagi terlalu kaku, ya terlalu santai kayak nulis diary
  • terlalu deskriptif yang detail tapi lupa menyampaikan 'rasa'
  • deskripsinya terlalu visual, belum memakai semua indra
  • hm... apa lagi ya? Tolong tambahin coba, hehehe
  • ...

Nah, ini kan perlu dibenerin dulu. Kualitas tulisan, yang adalah hal terpenting dan paling inti daripada SEO dan 'kemasan' segala macam, harus dibenahi dulu kalau emang mau bikin tulisan yang nyaman dibaca dan mudah dipahami. 


Seperti gambar di bawah ini, saya setuju kalau tulisan itubaik fiksi, nonfiksi, atau post di blogsama dengan musik: ada ritmenya biar enak dibaca. Nah, ini yang harus saya poles sehingga nggak melulu mengandalkan SEO aja. SEO itu baik & bagus, tapi kalau tulisannya acakadul ya tetap nggak bisa membantu; biasanya kalah dengan yang tulisannya bagus sekaligus pakai SEO. 


Belum lagi soal tampilan blog yang masih kurang friendly. Ada kode-kode yang perlu diubah dsb. Belum lagi mempertimbangkan domain TLD kalau emang mau upgrade.


Note to myself, actually. Kapan gw mau benerin tulisan gw dan nggak sekadar nulis/blogging hore-hore aja? *plak






===================


Update: Sept 2023


Dalam postingan yang berjudul “Readability” di atas, saya ngebahas soal tulisan panjang yang terbaca atau mudah ditemukan berdasarkan SEO. Sekarang, yang dibahas adalah tulisan lebih pendek atau bukan tulisan sama sekali, tapi foto. Nggak ngomongin tentang SEO website juga, tapi lebih ke algoritma aplikasi.

 

Kok, kedengarannya teknis banget. Nggak juga, sebenarnya intinya ini: dibaca/enggak.

 

Singkat cerita, udah hampir setahunan ini traffic medsos saya turun drastis. Efeknya terasa tahun lalu, waktu sempat crash. Setelah kejadian itu, traffic nggak setinggi biasanya: turun hampir separuh. Akhir-akhir ini, penurunan ini merembet ke feeds yang turunnya nggak main-main. Secara reach memang masih lumayan (apalagi kalau memperhatikan timing posting), tapi engagement-nya rendah banget. Mudahnya, yang ngasih comment/likes/save kalau ditotal turun hampir 75%. 

 

Awalnya, saya kira ini efek crash tadi. Tapi, kok, lama? Ya sudah mungkin ada yang berubah. Sempat kepikiran jangan-jangan kena shadowbanned atau gimana, tapi kayaknya enggak. Alasan kedua, saya pikir, adalah karena aktivitas followers menurun. Kalau dirunut ke belakang, akun saya memang rame banget justru saat Covid-19 lagi tinggi-tingginya. Mungkin efek orang-orang nyari kesibukan saat terkungkung di rumah aja, jadi mereka beralih ke medsos. Sekarang kegiatan alhamdulillah sudah balik seperti sebelum wabah, jadi mereka juga balik ke aktivitas sehari-hari yang artinya makin sedikit buka medsos (because life’s ‘happening’ again).

 

Toh sebagian besar followers saya emang teman-teman sendiri, yang artinya bukan akun hobi. Karena akun personal, ya, tentu saja bukanya sesuka hati. Kalau akun hobi, meski sama-sama sesuka hati, kadang lebih sering dibuka entah untuk refreshing atau sekadar update info sesama penghobi. Ini juga jadi kemungkinan alasan ketiga kenapa traffic saya rendah: karena akun saya lebih ke akun hobi (yaa meski kadang campur-campur sama personal life juga, hehe). Jadi kalau nggak satu selera dengan hobi saya, ya, nggak akan engage alias cuma lewat aja.

 

Alasan keempat, yang rada mellow dan bikin rada gimanaa gitu, adalah juga karena pandemi. Followers dan following saya memang nambah banyak waktu pandemi. Sekarang, saya jadi kepikiran, jangan-jangan mereka yang nggak muncul lagi ini karena … terkena imbas pandemi? Entah jadi hidup sulit atau, worse, meninggal? Kadang sedih saat tiba-tiba keingat dulu pernah/sering interaksi dengan akun A atau sering lihat fotonya lewat di feeds. Tapi begitu saya cek akunnya, eh, terakhir aktif 1-2 tahun lalu. Are you guys doing okay? Are you guys … still alive? Semoga mereka cuma sedang sibuk dengan kehidupan dan nggak aktif medsos aja.

 

Alasan kelima, yang paling mungkin dan pasti di antara alasan lainnya karena confirmed by IG, berhubungan dengan SEO dan readability. Belakangan beredar info bahwa algoritma IG berubah lagi. Kalau dulu hal seperti timing, tagar, dan likes menjadi faktor, maka sekarang balik ke konten. Mudahnya, kalau konten itu banyak yang suka/engage, ya bisa naik. Nggak terlalu tergantung faktor-faktor sebelumnya. Ini sedikit berhubungan dengan alasan ketiga: bahwa ini bukan akun khusus hobi alias followers-nya banyakan temannya daripada yang sehobi. Karena teman, kan, belum tentu sehobi sama saya. Jadi feed yang saya unggah pun besar kemungkinan ‘cuma lewat’ karena mereka nggak tertarik. Karena sedikit yang tertarik, maka IG pun menurunkan traffic kemunculannya di laman orang lain (PS: cara main IG adalah konten makin naik kalau yang tertarik/engage/visit makin banyak, dan sebaliknya).

 

Makanya kalau dilihat-lihat, akun yang ‘satu selera’/satu niche/satu hobi suka berbalas likes atau komentar ya supaya traffic-nya saling naik. Dan kalau nggak salah ngelihat, yang begini ini lebih efektif kalau ada dalam satu komunitas karena akan lebih ramai dan terdeteksi. Nah, akun saya kan nggak ikut komunitas apa-apa di IG, hehe. Paling kalau lagi ikut acara apa gitu terus tag-tag-an, tapi setelah itu ya sudah. Bukan tipe yang sering aktif upload dsb. 

 

Ini sedikit berhubungan sama readability/SEO di blog.

 

Waktu ngebahas soal readability itu, saya juga mikir gimana caranya masukin kata kunci atau bikin tulisan yang SEO-friendly supaya lebih banyak yang baca. Di kasus akun IG ini, saya juga melakukan hal yang sama: gimana caranya supaya postingan bisa naik dengan merhatiin tagar, timing, dsb. Akhirnya apa? Satu, jadi nggak enjoy. Padahal saya bikin ginian niat awalnya buat hobi (dan melatih skill hobi tsb) supaya hidup lebih hepi. Kedua, saya jadi berkutat dengan teknis dan melupakan kualitas isi/kontennya sendiri. Tentu kualitas versi growth saya yak, bukan standar media.

 

Endingnya sama: sama-sama bikin semangat berkurang.

Berasa, "Udah susah-susah nulis/motret, yang berkunjung/engage cuma segini."

Jadi nggak semangat kalau nggak dapat respons sesuai ekspektasi.

 

Ini mirip dengan kejadian yang konon katanya menimpa banyak penulis ketika memutuskan melepas karyanya ke khalayak: jadi patah semangat kalau yang likes/comment sedikit, jadi minder ketika yang suka tulisannya ternyata nggak banyak. Saya kira ini cuma terjadi pada penulis. Oh, ternyata juga bisa menjangkiti penghobi fotografi, haha. (*ambil cermin)

 

Well, kalau buat tulisan di blog, karena emang saya niatkan buat nulis-nulis aja, maka saya nggak masang ekspektasi tinggi meski ini blog lama. Sebab, kalau dilihat dari traffic ya segitu-segitu aja. Tentu kalah dengan website yang benar-benar diopeni, apalagi kalau sampai pasang iklan. Terus kalau di IG apakah bukan buat ‘nulis-nulis/foto-foto aja’? Ya enggak juga, sih, wong akun saya nggak dimonetisasi. Hanya aja, mungkin, karena sebelumnya sempat ngerasain traffic tinggi, jadinya rada kecewa saat dapat traffic rendah.

 

Padahal kalau dipikir-pikir, dulu juga traffic-nya segini-segini aja. At least buat story. Kalau buat feeds, mungkin dulu bisa tinggi karena faktor yang udah disebutin di atas plus dulu belum ada story, kan, jadi probabilitas dilihat lebih besar.

 

Faktor terakhir, yang bikin saya kepikiran adalah: jangan-jangan selama ini saya yang kurang engage sama akun teman-teman/followers? Alias isi IG saya kurang relate sama teman-teman. Kemungkinan lain adalah mungkin saya ‘asyik sendiri’ ngulik sesuatu tapi secara komunikasi kurang melibatkan? Bisa jadi. Akibatnya respons alias timbal balik dari viewers pun nggak banyak.

 

Apalagi belakangan ini saya emang jarang explore medsos dan saling mengunjungi karena lagi bosan, sehingga akhirnya cuma ngebuka foto yang emang lagi bikin tertarik aja.

 

Apa pun itu, output-nya sama: jadi malas nulis/foto, wkwk. Padahal seperti yang dibilang tadi, itu merupakan sarana refreshing dan mengurai pikiran supaya enjoy. Jadi gimana, dong? Kalau di blog, nggak akan berubah karena yo wes emang buat nulis apa pun. Kalau di IG, mungkin akhirnya saya bakal meniru blog: tulis dan unggah yang saya pengin di saat yang saya pengin tanpa terlalu memperhatikan traffic. Paling enggak dengan begitu saya jadi senang dan lebih enteng karena—seperti di blog—bisa menuangkan apa yang saya mau. Soal traffic, ya udahlah apa adanya. Toh dulu niat bikin IG juga bukan supaya dapat likes banyak, tapi buat album.

 

If I cannot make people enjoy it, at least I can enjoy it myself.

Kalau nggak bisa memuaskan orang lain, paling nggak saya sebagai pembuatnya bisa ngerasa puas.

 

Lagian ini hobi. Apa tetap disebut hobi kalau nggak enjoy, padahal hobi sendiri berarti “kegemaran”?

 

I’ll start a new path, then.

 

Ngapain, sih, nulis kayak gini? Toh SEO/algoritma juga nggak begitu paham, medsos pun bukan buat keperluan (amat) profesional. Ya… apa ya, buat mengurai pikiran aja. Sekaligus sebagai pengingat kalau misal di masa depan nanti saya frustasi dengan traffic, minat orang lain, dan sejenisnya, saya bisa mengingat kalau saya nulis/motret sebagai pelampiasan supaya nggak banyak pikiran, bukan supaya menambah beban pikiran.

 


Reading Time: