Hijaubiru: Catatan Perjalanan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 November 2024

Ketika Bunga Tabebuya Mekar Bersama-sama
November 29, 2024 4 Comments

 

‘November but last year’. Stiker Instagram itu membuat saya membuka-buka galeri di ponsel, melihat-lihat foto tahun lalu. Satu tanggal menarik mata karena foto-fotonya paling banyak, hahaha. Foto itu adalah kumpulan potret pohon tabebuya yang sedang mekar.

 

Bunga tabebuya tampak spesial karena saat berbunga, bunganya rimbun banget memenuhi seluruh pohon. Tahu seperti apa bunga sakura saat mekar? Yup, tabebuya yang mekar pun sama seperti itu. Nggak heran kalau dulu saat awal popularitasnya di Indonesia mulai naik, ada orang yang menyebutnya ‘sakuranya Surabaya’.

 

Apa cuma ada di Surabaya aja?

Enggak. Di kota-kota lain juga ada dan rimbun juga, seperti Malang, Magelang, Batu. Namun mungkin karena ketika pertama viral, banyak yang posting dari Surabaya, maka ada yang nyebut ini ‘sakuranya Surabaya’.

 

Jadi, apa tabebuya adalah ‘kembaran’ pohon sakura?

 

 

Asal-Usul Tabebuya



Bukan, tabebuya malahan nggak punya hubungan kekerabatan sama sekali dengan pohon sakura (kecuali bahwa mereka sama-sama angiosperma). Nggak sekadar beda spesies, dari genus aja mereka sudah lain: genusnya Tabebuia sedangkan sakura bergenus Prunus. 

 

Bila silsilahnya ditelusuri, tabebuya termasuk dalam golongan pohon-berbunga-seperti-terompet. Makanya kalau dilihat lebih detail, bunga tabebuya ya, bentuknya seperti terompet. Oleh karena itu, dalam bahasa Inggris ada yang menyebut tabebuya sebagai ‘trumpet tree’.

 

Tabebuya sebenarnya bukan pohon asli Indonesia. Mungkin itu sebabnya ia baru banyak dikenal di Indonesia beberapa tahun terakhir. Ya karena ditanam di sini baru beberapa tahun belakangan ini.

 

Tabebuya sendiri berasal dari Amerika Tengah dan Selatan. Daerah-daerah tersebut punya iklim yang mirip dengan Indonesia, yaitu iklim tropis. Karena itulah tabebuya bisa tumbuh dan berbunga dengan semarak di sini; karena iklimnya sama dan ia suka suhu cenderung panas.

 

Tahu sendiri, suhu Indonesia (apalagi Surabaya) panasnya seperti apa. Di tengah suhu panas yang menyiksa inilah tabebuya akan berbunga. Mungkin suhu tinggi akan memicu pembungaan? Atau lama intensitas matahari yang jadi pemantiknya? Entahlah, kayaknya saya harus searching lagi soal ini. Bakal di-update kalau sudah nemu, hahahah.


Oleh karena itulah kalau sudah masuk bulan berakhiran -ber dan suhu makin panas, biasanya pertanda tabebuya akan segera berbunga. Inilah yang jadi sering jadi bahan selorohan saya dan teman-teman ketika posting kalau tabebuya sudah berkembang.

 

Tahun ini, tabebuya mekar lebih awal. Bila tahun lalu mereka berbunga saat pertengahan November, maka tahun ini mereka sudah semarak di pertengahan Oktober. Sekarang bunganya sudah habis dan menyisakan daun aja, sehingga tampak nggak ada beda sam pohon lainnya. Meski, itu beruntung juga karena artinya musim hujan tahun ini datang lebih cepat daripada tahun lalu. Awal Desember tahun lalu, langit masih full biru!

 

“Cakep banget!”

“Cantik banget bunganya.”

“Jadi kayak di Jepang.”

Dan kalimat-kalimat bernada serupa. Saya membenarkan ucapan mereka karena... emang cantik banget! Seluruh kota jadi cakep! Minusnya ‘cuma' temperatur (dan kelembapan) yang tinggi sehingga cuaca jadi sumuk pol.

 

Cuaca yang panas juga jadi alasan mengapa saya memilih waktu pagi-pagi untuk keliling hunting foto tabebuya atau pohon berbunga lainnya. Biasanya saya berangkat jam 6. Itu pun matahari udah tinggi dan udah lumayan terasa panas. Jam 9 atau mentok jam 10, saya udah pulang.

 

Selain karena udah terasa panas (dan kulit pasti akan gosong kalau diterusin nangkring di pinggir jalan), saya perhatikan cahayanya juga udah mulai kurang menarik. Akibatnya foto yang dihasilkan pun jadi kurang estetik.

 

Kalau pengin menghindar dari cuaca panas sama sekali, saran saya adalah berburu potret tabebuya di kota lain; jangan Surabaya. Di jalan besar di Magelang ada deretan tabebuya. Waktu saya ke Malang dan Batu pun ada. Namun di kota-kota ini saya kurang tahu apa penanda waktu berbunganya karena nggak sepanas di Surabaya. Mungkin lebih awal? Soalnya tahun ini, saya dapat kabar dari teman di Kota Malang bahwa di sana sudah berbunga. 1-2 minggu kemudian, di Surabaya baru rimbun-rimbunnya.

 


Tips Berburu (Potret) Tabebuya

Dibilang tips sebenarnya juga bukan sih, lebih ke saran aja supaya lebih enjoy (versi saya tentunya, haha). Kalau nggak pengin berburu potret dan pengin ngelihat bunganya aja juga bisa. Ini dia sarannya:

 

1. Pilih waktu dan kenali kapan tabebuya berbunga

Kerimbunan bunga tabebuya nggak berlangsung lama, hanya sekitar 1-2 minggu. Di akhir pekan kedua, bunganya masih lumayan rimbun tapi lebih kerontang. Jadi kalau pengin lihat/motret pas rimbun-rimbunnya, paling pas di pekan pertama.

 

Tahun sebelumnya saya pernah coba hunting foto di pekan kedua. Alasannya karena kalau pekan pertama, kepikir kalau banyak juga orang yang hunting sehingga bakal ramai. Ternyata di akhir pekan kedua ini bunganya udah nggak serimbun di awal. Akhirnya foto yang dihasilkan pun kurang memuaskan.

 

Namun kalau untuk jalan-jalan/lihat-lihat aja, masih bisa, sih. Apalagi kalau cuaca panasnya ternyata masih berlanjut, ada kemungkinan bunganya mekar lagi. Seperti tahun ini. Setelah saya hunting, cuaca mendung beberapa hari dan tabebuya gugur, tapi lalu puanasss lagi. Beberapa tabebuya pun mekar lagi memenuhi pohon. Yah meski nggak seramai pekan sebelumnya.

 

Kapan tabebuya berbunga rimbun kayak sakura?

Kalau di kota lain, saya kurang tahu. Kalau di Surabaya, beberapa tahun terakhir ini biasanya di bulan akhiran -ber dan saat cuaca sedang panas-panasnya. Tahun ini sih saat suhu 30°++ Celsius dan feels like 37°++.

 

Kapan waktu terbaik untuk motret atau menikmati bunga?

Pagi. Hari libur. Kalau hari kerja, beuh jam 6 aja udah ramai. Jadi nggak bisa santai atau menikmati. Plus, di pagi hari masih lebih nggak panas. Kalau sore gimana? Bisa sih, tapi biasanya sore hari masih ‘tercampur’ udara siang sehingga rasanya masih panas.

 

2. Spot bunga tabebuya


Di Surabaya sendiri sebenarnya nggak ada spot khusus karena pohon ini ditanam di pinggir-pinggir jalan, di jalur pedestrian. Ada, sih, beberapa yang ditanam di taman tapi nggak sampai berderet-deret. Mungkin karena kanopinya kurang lebat dan menyejukkan sehingga kurang pas kalau untuk peneduh taman (ada yang bilang kurang pas buat peneduh jalan juga, sih).

 

Di sepanjang jalan besar biasanya ada deretan tabebuya, antara lain di Jl. A. Yani, Jl. HR. Muhammad, dan MERR. Di jalan-jalan kecil juga ada, tapi nggak sebanyak di jalan-jalan besar tadi. Saya pernah nemu di pojokan jalan dekat area KODAM V Brawijaya, dekat Kebun Bibit Taman Flora, dsb. Di ruas-ruas jalan lain juga banyak, kayaknya nggak bisa disebut satu per satu.

 

Sedikit tips(?) bila hunting foto di jalan:

  • perhatikan sekeliling. Karena di jalan, harus lebih hati-hati. Baik hati-hati mematuhi traffic dan jaga diri dari kendaraan yang lewat atau hati-hati menjaga barang
  • terutama di jalan besar, banyak rambu dilarang berhenti. Patuhi. Berhentilah di tempat-tempat yang diperbolehkan; ada kok.
  • kalau mau lebih enak, cari tempat parkir. Parkirkan kendaraan di sana, lalu jalan kaki menyusuri jalur pedestrian. Ini lebih santai.

 

3. Siapkan ‘perbekalan’

Kayaknya ini buat yang motret aja, karena durasi hanya lihat-lihat mungkin nggak selama kalau keasyikan motret.

 

Bekal yang selalu saya bawa: air putih. Supaya nggak kliyengan atau kehausan di tengah cuaca panas dan aktivitas berdiri/jalan terus-terusan. Kalau mau, bisa juga bawa topi supaya nggak kepanasan. Jangan lupa sebelumnya pakai tabir surya/sunblock. Oh, dan jangan lupa sarapan dulu supaya nggak lemas setelah hunting. Sesimpel snack atau jajanan pasar aja udah cukup.

 

Apa lagi ya...

 

 

Macam-Macam Bunga Tabebuya



Kalau dilihat-lihat kayaknya bunga (pohon) tabebuya ini ada bermacam-macam. Dari warna bunganya ada putih, merah muda, dan kuning. Dua warna pertama jumlahnya lebih banyak daripada yang kuning. Dua warna ini jugalah yang membuat kesan seakan jadi pohon sakura; karena warnanya mirip sakura.

 

Ngomong-ngomong soal putih-merah muda dan kuning, kayaknya kok daunnya juga beda, ya? Pada pohon yang berbunga putih/merah muda, daunnya lebih hijau. Pada pohon berbunga kuning, warna daunnya lebih pudar kayak hijau tua hampir kusam gitu. Apa karena beda varietas atau spesies? Harus saya gali lagi, hehe.

 

 

Pohon Berbunga Lainnya

Di bulan-bulan ini, sebenarnya ada bunga dan pohon lainnya yang mekar selain tabebuya. Sebut aja bugenvil, flamboyan, kembang bungur, jacaranda. Memang nggak serimbun tabebuya yang sampai menutupi seluruh ‘badan’ pohonnya, tapi tetap rimbun sampai memenuhi dahan-dahan.

 

Bedanya, bila kembang tabebuya sampai merontokkan (hampir) seluruh daunnya, bunga-bunga lainnya enggak. Daunnya masih ada. Buat yang suka hijau-hijau, bunga-bunga ini jadi pemanis daun-daun hijau. Bila bunganya berwarna mencolok, bakal cakep banget kelihatan kontras dengan daunnya.

 

Selain bunga/pohon yang disebut di atas, masih ada bunga-bunga lain yang saat berbunga nggak kalah menarik dan rimbun dibanding tabebuya. Bunga/pohon ini tersebar di beberapa daerah di Indonesia, bahkan native sana.

 

Mungkin lain kesempatan dibuat kompilasi aja kali, ya? 😄

Reading Time:

Rabu, 20 November 2024

Kustbatterij Kedung Cowek, Bekas Benteng Belanda yang Tersisa di Surabaya
November 20, 2024 8 Comments


Mumpung masih November dan vibes-nya masih Hari Pahlawan, jadi keingat kalau tahun lalu pengin posting tentang Benteng Kedung Cowek. Benteng di pucuk Surabaya ini jadi saksi bisu berbagai pertempuran: mulai dari Belanda vs Jepang hingga Indonesia vs Belanda-Sekutu. Kejadian yang disebut kedua inilah yang termasuk dalam rangkaian peristiwa 10 November; yang diperingati sebagai Hari Pahlawan dan bikin Surabaya punya julukan “Kota Pahlawan”.

 

Benteng Kedung Cowek berlokasi di ujung utara Kota Surabaya, berhadapan dengan Pulau Madura. Pas banget di pinggir. Dari sini kita bisa nyentuh langsung air lautnya Selat Madura. Bahkan daratan Madura di seberang samar-samar bisa terlihat. Jembatan Suramadu? Kelihatan jelas banget!

 

Benteng Kedung Cowek memang sengaja dibangun di pinggir laut oleh Belanda sebagai mekanisme pertahanan untuk menghadapi musuh dari laut.

 

Nama Benteng Kedung Cowek, kayaknya, baru ramai di khalayak umum sepuluhan tahun belakangan. Saya sendiri pertama dengar soal benteng ini beberapa tahun lalu dari surat kabar. Pertama tahu, saya langsung tertarik. Soalnya baru kali itu saya dengar ada benteng di Surabaya. Sebelum itu, saya ngira udah nggak ada sisa.

 

Bicara soal benteng, yang terlewat di pikiran adalah bangunan ‘melingkar’ macam Fort Vredeberg di Yogya atau Fort Rotterdam di Makassar. Bangunan segede itu di Surabaya, di mana? Sekian lama tinggal di sini kayaknya saya nggak pernah lihat atau tahu kalau ada benteng. Pernah sih, ada benteng: Fort Prins Hendrik. Namun bangunan itu udah nggak ada sejak dulu banget.

 

Fort/citadel Prins Hendrik, Surabaya.
Inset dari peta tahun 1866 (Leiden University Library)


So, saat dengar ada benteng di sini, tertariklah saya untuk datang melihat. Namun waktu itu Benteng Kedung Cowek belum dibuka untuk umum karena baru diungkap. Bangunan ini pun terletak di tanah milik TNI yang akses keluar-masuknya jelas dibatasi. Pengin ngelihat dari jauh atau luar, rasanya sungkan dan nggak nyaman. Jadi ketika saya tahu kalau tempat ini udah dibuka untuk umum dan lumayan ramai orang, berangkatlah saya ke sana.

 

[ Disclaimer:

Meski tulisan ini dibuat berdasarkan referensi, bisa jadi ada kelirunya terutama mengenai sejarahnya. Antara saya yang salah nangkap isi referensi atau keliru ambil sumber, saya juga bukan akademisi bidang Sejarah. Pembaca disarankan untuk check and recheck lagi atau cari sumber lain yang lebih pasti. ]


 

 DAFTAR ISI 

 (klik poin untuk menuju bagian tertentu di halaman ini)

(Nggak tahu kenapa hyperlink-nya nggak bisa diubah biru, hfft)



RUTE KE BENTENG KEDUNG COWEK 

Benteng Kedung Cowek terletak di ujung utara Kota Surabaya; bersebelahan dengan pintu masuk Jembatan Suramadu. Benteng ini bukan tempat wisata. Maksudnya, saat ini memang nggak difungsikan sebagai tempat wisata, tapi oleh TNI (selaku pemilik lahan di mana benteng ini berdiri) dibuka untuk umum/boleh dikunjungi oleh masyarakat umum. Jadi jangan heran bila penampilannya apa adanya. 


Untuk mencapai lokasi dengan kendaraan pribadi, lurus aja menyusuri Jl. Kedung Cowek. Jalan terus ke arah utara/Suramadu. Rute ini sudah terpampang jelas di Google Maps sehingga relatif mudah diikuti.

 

Namun hati-hati, beberapa puluh meter sebelum mencapai gerbang Suramadu, kita harus ambil lajur kiri ke arah Tambak Wedi. Lurus dikit sampai ketemu putar balik (di bawah jalan Suramadu). Setelah putar balik, jalan lurus sambil ambil kiri karena jalan masuk ke benteng terletak cuma 200-300 meteran kemudian. Biasanya di situ banyak orang jualan. Belok kiri sesuai Google Maps, lalu lurus terus sampai ketemu jalan kecil dan tempat parkir motor seadanya.

 

Soal putar balikan tadi, saya sering deg-degan kalau lewat sana, hehe. Soalnya, lupa ambil kiri sedikit, bisa masuk gerbang Suramadu. Mana bisa putar balik kalau udah masuk situ.... Akhirnya kalau udah hampir dekat ujung, saya nyetir motornya pelaaan banget dan kiri banget sampai ketemu pedagang kaki lima. Kalau udah ketemu mereka, berarti saya udah di jalan yang benar sebelum putar balikan, haha. Bila jalannya terlihat bersih dan steril, itu berarti mau masuk gerbang Suramadu.

 

Balik ke tempat parkir. Sebenarnya saya terakhir pergi ke sini udah hampir dua tahunan lalu jadi mungkin ada info yang kurang update.

 

Kalau nggak salah ingat, masuk ke area bentengnya sendiri nggak bayar. Cuma bayar parkir kendaraan aja. Rp2.000 atau Rp5.000 per motor, kalau nggak salah.

 

Dari parkiran, benteng nggak terlihat sama sekali karena tertutup pepohonan. Di dekat gerbang parkir, ada jalan setapak di sebelah kiri (arah utara). Itulah salah satu jalan masuk menuju benteng.

 

Kalau naik kendaraan umum gimana?

Dulu ada teman yang rumahnya daerah sana, dia pulang-pergi sekolah naik bemo (mikrolet). Sekarang kurang tahu. Mungkin dilewatin bus atau feeder Wira-Wiri?

 

 

BENTENG KEDUNG COWEK, WAJAHNYA KINI 

Benteng Kedung Cowek, sering juga disebut 'gudang peluru'

Musim masih kemarau ketika saya berkunjung ke sini. Meski ada banyak pohon, hawa panas khas pantai (dan khas Surabaya banget, hahaha) tetap menerpa kepala. Suasana itu makin terasa saat mata ini tertumbuk pada rerumputan kuning nan kering-kerontang di pinggir jalan setapak.

 

Betul-betul setapak karena hanya cukup dilewati satu-dua orang aja. Jalan tanah ini membentang membelah rawa-rawa (atau tambak?). Tampak beberapa pemuda setempat duduk di tepian sambil memegang joran pancing.

 

Jalan setapak ini nggak panjang. Nggak sampai tiga menit dan kami sudah berdiri di hadapan/belakang kustbatterij.

 

Seperti yang disebut di awal, benteng ini bentuknya nggak melingkar seperti puri, tapi mendatar seperti tembok lurus. Dindingnya berwarna putih-kekuningan. Gurat-gurat hitam melapisi tepian tembok; entah itu cendawan atau bagian yang lapuk kena hujan.

 

Sekali lihat, dalam pandangan saya vibes-nya ‘dapet banget’.

Rasanya kayak berada dalam film fiksi sejarah di mana kita menemukan puing-puing kuno.

 

Perasaan itu mungkin muncul karena melihat tumbuhan liar yang merambati dinding luar benteng, menutupi hampir seluruh ujung bangunan. Bahkan ada pohon tinggi besar yang tampak seperti tumbuh di atasnya. Saya mendekat, melihat daun air-mata-pengantin (Antigonon leptopus) menjalari permukaan tembok dan menyembulkan bunga-bunga merah muda.


Pohon dan semak menutupi bagian luar benteng

Daun dan bunga air-mata-pengantin (Antigonon leptopus) di sisi luar bangunan


It felt whimsical. Kayak ngelihat puri cantik yang dipenuhi bunga-bunga.

Namun kisah di sini nggak seindah cerita dalam dongeng kerajaan.

 

Vibes whimsical itu menguap seketika saat kami masuk ke ruangan dalam benteng. Gelap, sempit, berlangit-langit rendah. Langsung terasa pengap. Nggak kebayang kalau harus berada dalam ruangan ini di masa itu: entah lagi jaga atau nyalurin amunisi atau sekadar duduk rehat sebentar. Belum lagi was-was mendengar rentetan suara senapan atau dentum meriam.

 

Kami berjalan memutar ke ‘depan’, yaitu arah benteng ini dihadapkan (arah laut). Gundukan tanah setinggi dua lantai ‘membentengi’ bangunan. Mungkin supaya benteng lebih terlindungi dari hantaman artileri musuh. Terdapat sebuah celah horisontal supersempit di dinding.

 

“Kalau kamu di dalam (ruangan benteng) dan aku ngintip dari sini, yang kelihatan cuma matamu,” gurau seorang partner jalan kali ini.

 

“Ini kayak yang di film-film itu nggak, sih?” sahut rekan lain. “Tempat naruh moncong flamethrower. Jadi kalau musuh udah dekat, lebih gampang ‘ngehabisin’-nya.”

 

Wah, seram juga percakapan ini.

 

Kami balik ke sisi satunya tadi, sisi dari mana kami datang. Di sini terlihat bahwa Benteng Kedung Cowek terdiri dari dua lantai. Lantai bawah berupa ruangan-ruangan tadi, sedangkan lantai atas berupa sisi terbuka. Di sinilah para tentara menembaki musuh dari laut dengan berbagai senjata, termasuk meriam.

 

Di bagian luar terdapat terundak untuk naik ke lantai dua. Di sisi terundak terdapat lubang kotak yang terhubung dengan ruangan lantai satu. Diduga dari lubang inilah amunisi dari gudang bawah diserahkan pada mereka yang bertugas di lantai atas.


Tampak luar bangunan dan tangga serta ceruk

(Kemungkinan) lubang-lubang bekas tembakan dan perbandingan ukurannya dengan badan manusia
 

Kami bergerak menuju sisi atas, melalui tangga sempit dan (rada) curam. Dinding di sisi tangga tampak bocel di banyak tempat. Mungkin inilah jejak tembakan peluru dari zaman itu. Tangan saya meraba dinding, memperhatikan lubang-lubang tak beraturan. Ada yang ukurannya sebesar jempol hingga segede kepala orang dewasa. Waw...

 

Kami pun sampai di atas, di struktur bundar dengan dinding rendah yang menghadap lautan. Tak lama lalu kami turun dan melanjutkan perjalanan ke Benteng Kedung Cowek yang lain lagi.

 

Lah, bentengnya ada berapa?

 

 

BANGUNAN-BANGUNAN KOMPLEKS BENTENG KEDUNG COWEK 

Kompleksnya memang satu, tapi bangunannya ada banyak dan menyebar di beberapa titik. Correct me if I’m wrong, mungkin ini alasan mengapa Belanda nyebut bangunan ini ‘batterij’ dan bukan ‘fort’?

 

Asal-Muasal Nama

Belanda menyebut tempat ini sebagai batterij atau kustbatterij Kedoeng-Tjowek, bukan ‘fort’ yang berarti ‘benteng’. Mengapa?

 

Itu salah satu pertanyaan yang muncul di benak saya sebelum sampai ke lokasi. Begitu sampai dan ngelihat sendiri, pikiran yang tebersit, “Oh mungkin karena bentuk bangunannya.”

 

Beda dengan benteng (at least yang saya tahu) yang bentuknya seperti bangunan-bangunan yang berpusat di satu tempat dan dikelilingi tembok, Benteng Kedung Cowek bentuknya menyebar. Di sepanjang garis pantai, di sepanjang itulah bangunannya dibangun. Alih-alih ‘melingkar’ seperti benteng—misalnya Vredeberg—, ia berbentuk ‘garis’.

 

Letak benteng dilihat dari Google Maps, berada di sepanjang tepi pantai
(NB: garis kuning nggak menandakan letak dan ukuran benteng secara pasti, hanya penanda kalau bangunannya berada di sekitaran situ)

Benteng dan kemampuan arah serangannya untuk mempertahankan daratan (oleh TNI AD, diakses dari Giffari & Soekardi, 2021)

 

Bangunan-bangunan tadi berbentuk bak garis yang memagari batas pantai dan daratan. Usut punya usut, tujuan pembangunannya memang sebagai ‘pagar’. Bangunan ini berfungsi untuk melindungi daratan dari serangan dari arah laut. Supaya perlindungannya bisa mengkover area yang luas, maka bangunannya pun panjang.

 

Yup, fungsi utama bangunan ini memang untuk coastal defense alias pertahanan tepi pantai. Itulah asal namanya.

kust = coast = tepi pantai

batterij = battery = baterai

NL – ENG – IDN

 

Secara istilah, batterij/battery bermakna kumpulan unit artileri (senjata), seringnya dijajar dalam baris-baris, untuk pertahanan. Beberapa lainnya menyebut bahwa bisa juga berarti bangunan-bangunan ‘kecil’ untuk pertahanan yang tidak saling terhubung layaknya fortress. Istilah ternyata juga udah masuk KBBI dengan entri ‘baterai’, juga punya arti yang sama.

 

Bangunan Lain

Bangunan-bangunan lain di area benteng, berdiri sendiri
 

Semakin jauh berjalan ke area pesisir alias ke arah kanan dari jalan masuk, kita akan menemukan beberapa bangunan. Semak-semak makin rimbun, tapi aroma khas air laut yang asin dan udaranya yang panas dan lengket tetap terasa. Di sini, nggak cuma bertemu dengan ‘tembok’ memanjang lagi, ada juga bangunan-bangunan tunggal yang berdiri sendiri bak pion catur dalam petak-petak berbeda.

 

Bentuk bangunan ini macam-macam. Fungsinya pun macam-macam. Di masa lalu, reruntuhan yang dirambati tumbuhan liar dan ‘dihiasi’ grafiti warna-warni ini ada yang berfungsi sebagai gudang diesel, gudang amunisi, dsb. Maka nggak heran bila warga lokal juga menjuluki tempat ini gudang peluru.

 

Kami melihat di atas sebuah bangunan terdapat semacam alur rel.

“Mungkin ini bekas jalur buat meriam,” ujar seorang rekan.

Saya kurang tahu wujud sesungguhnya. Yang kebayang adalah semacam jalur untuk geret-geret meriam untuk mengarahkannya ke arah tertentu. Karena kalau nggak pakai roda/tuas, meski berbanyak orang, pasti berat banget! Berapa ton itu?

 

Dari atas bangunan, tampak sekeliling yang didominasi semak-semak (yang saat itu berbunga cantik banget!) dan pohon-pohon setinggi bangunan tiga lantai. Dari sini terlihat beberapa bangunan tunggal lainnya. Di antara bangunan tampak genangan air yang mungkin adalah sisa rawa payau yang mengering.

 

Tepi pantai Surabaya, tampak perahu nelayan dan Jembatan Suramadu

Jalan setapak di jalan masuk menuju benteng

 Jadi kalau dirangkum, sejak pintu masuk tadi ada dua bangunan memanjang. Yang satu (saat itu) terlihat lebih terawat karena kayaknya dicat, warna kuning krem. Bangunan memanjang lainnya terlihat lebih lawas karena lebih bebercak hitam. Dua-duanya juga bebercak, sih. Keduanya juga dirambati tumbuhan liar dan pohon, juga dicoreti grafiti. Bangunan-bangunan lainnya, yang berdiri tunggal, juga bernasib sama.

 

Benteng Kedung Cowek sepertinya memang nggak difungsikan sebagai tempat wisata. Hanya dibuka untuk umum aja, baik untuk jalan-jalan atau untuk orang yang penasaran sama bangunan di masa lalu. Spot untuk prewedding juga. Beberapa bagian juga tampaknya dimanfaatkan oleh warga sekitar.

 

Dulu pernah dengar ada rencana bakal direvitalisasi, tapi sepertinya belum jadi. Terlaksana pun, prosesnya pasti lama karena nggak kayak membuka wahana wisata, preservasi sejarahnya juga nggak kalah penting.

 

Oh iya, selain Kustbatterij Kedoeng Tjowek, di Indonesia juga terdapat kustbatterij lainnya, antara lain Kustbatterij op de Landtong te Cilacap alias Benteng Pendem Cilacap.

 

 

KUSTBATTERIJ KEDUNG COWEK DI MASA LALU DAN 10 NOVEMBER 

Artikel  surat kabar tentang peristiwa 10 November 

 

Jadi, apa hubungan benteng ini dengan pertempuran 10 November? Sebentar. Mari mundur dulu ke masa ketika benteng ini dibangun.

 

Benteng ini dibangun di atas lahan seluas 7 hektar dan dibuat sekitar era 1900-an oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk coastal defense. Konon benteng untuk defense ini nggak hanya di Kedung Cowek, tapi juga di beberapa titik lain di Surabaya dan Pulau Madura. Beberapa sumber menyebut daerah Semambung (Gresik), Kali Dawir (Surabaya), Tanjung Perak (Surabaya), dan Ujung Piring (Madura). Kalau dilihat di peta, benteng-benteng ini berada di daratan sekitar Selat Madura.

 

Mengapa Selat Madura?

Karena Surabaya merupakan kota pelabuhan dan kota penting. Selain penting dalam logistik dan pemerintahan, militernya juga berpusat di sini. Pintu masuk dari pulau lain pun di sini, lewat Pelabuhan Tanjung Perak (yang ada di Selat Madura). Sejak zaman sebelum Majapahit sampai sekarang masih begitu.

 

Dari ‘pintu’ inilah Jepang merangsek masuk ketika PD II.

Dari ‘pintu’ ini jugalah Belanda dan Inggris yang tergabung dalam Blok Sekutu (Allied Powers) masuk di era '45.

 

Kalau dibuat kronologi, jadi seperti ini: 

  • 1900-an kustbatterij Kedung Cowek dibangun
  • 1942 Jepang masuk. Perang Belanda vs Jepang. Belanda kalah
  • 1945 Agustus Jepang kalah Perang Dunia II > Belanda + Sekutu masuk > perang Belanda+Sekutu vs Indonesia.

Peristiwa era 1945 inilah yang memicu peristiwa 10 November.

 

Setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika Serikat pada bulan Agustus 1945, Jepang memutuskan menyerah dari kancah Perang Dunia. Ngelihat situasi seperti itu, Indonesia pun memproklamasikan kemerdekaan. Senjata dan logistik Jepang diambil alih oleh pemuda Indonesia.

 

Sementara itu, Jepang setuju untuk menyerahkan tawanan perang pada Sekutu. Alasan itulah yang bikin Sekutu datang lagi ke Indonesia: ngurusin orang-orangnya. Namun dalam praktiknya ternyata motifnya nambah-nambah, yaitu ngambil kekuasaan lagi.

 

Pasca Sekutu balik ke Indonesia di bulan September, ada banyak pembicaraan dan perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda+Sekutu yang makin panas. Situasi ‘panas’ ini sebenarnya terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Beberapa di antaranya sering kita temui di buku Sejarah zaman sekolah, contohnya peristiwa Medan Area dan Pertempuran Ambarawa.

 

Jalan Tunjungan dan gedung Tunjungan Plaza alias TP. Hotel Majapahit terletak di jalan ini, tinggal lurus dikit. Tunjungan sering ramai apalagi pas malam mingguan.

 

Di Surabaya sendiri, salah satu puncaknya kejadian di 19 September, waktu Belanda mengibarkan bendera merah-putih-biru di Hotel Yamato/Oranje/Majapahit di Jl. Tunjungan (yang sekarang makin hits itu). Warga yang ngamuk pun manjat itu tiang dan nyobek warna birunya. Kejadian ini disebut Insiden Bendera atau Het Vlag Incident.

 

Nah, makin panas tuh keadaan. Namun masih diredam-redam.

 

Akhir Oktober, panasnya sudah nggak terbendung. Sekutu menyebar selebaran dari atas pesawat yang berisi ultimatum: pemuda/pejuang Indonesia menyerah atau kota dihancurleburkan. Orang kita menolak. Pertempuran pun meletus.

 

Hm... jadi ingat berita beberapa bulan/setahun lalu saat ada negara yang juga nyebarin selebaran lewat pesawat. Isinya juga ultimatum ke warga lokal: pergi dari sini karena mau dibom. Mirip-mirip kelakuan.

 

History always does repeat itself.

Action-nya mirip, motifnya mirip, pemainnya aja yang ganti-ganti.

 

Oke, balik. Konon peristiwa di balik layar sebelum perang meletus ini tarik-ulur. Ada perundingan, pembicaraan, you name it. Petinggi Indonesia—mulai dari petinggi pasukan sampai gubernur—juga minta pemuda menahan diri dan nggak open fire duluan. Namun Sekutu nembak duluan sehingga pecahlah pertikaian hingga Jenderal Mallaby tewas.

 

Saya pernah dengar kalau larangan bagi orang Indonesia supaya nggak nembak/berantem duluan meski dipancing-pancing ini sangat ditekankan oleh beberapa petinggi/tokoh perjuangan Indonesia waktu itu. Kenapa? Karena saat itu, di media/kalangan orang Barat disebarkan kesan bahwa orang Indonesia itu barbar dan sadis sehingga harus ‘diatur’ supaya ‘beradab’. Cap negatif macam teroris dan ekstremis pun disematkan, termasuk pada tokoh-tokoh perjuangan Indonesia.

 

Kayaknya ada yang pernah upload potongan koran lawas itu di medsos dan rame banget tanggapannya. Jadi pelarangan tadi itu untuk nunjukin bahwa orang Indonesia itu nggak barbar atau menyerang tanpa alasan, tapi sebab menginginkan kemerdekaan.

 

Dalam orasinya, Bung Tomo juga menyerukan hal serupa:

... Saudara-Saudara, rakyat Surabaya, siaplah!

Keadaan genting!

Tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak.

Baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka itu.

Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka ... 

  Potongan pidato Bung Tomo, 1945

 

(By the way, perjuangan orang Indonesia pun ada noktah gelapnya. Maksudnya, ada oknum pejuang yang kelakuannya emang buruk, seperti terlalu temperamental sampai menyasar orang asing sipil atau sengaja cari keuntungan dalam kesempitan. Mungkin tipe mereka inilah yang di-highlight media luar era tsb.)  

 

Pasca tewasnya Mallaby, Sekutu ngasih ultimatum lagi supaya rakyat Surabaya menyerah. Para warga dan pemuda nggak mau. Pada 10 November, Sekutu membombardir Surabaya dari darat, laut, dan udara.

 

Pada saat kejadian, Benteng Kedung Cowek masih menyimpan banyak artileri milik Jepang (yang sudah diambil alih Indonesia). Meriam, senapan, peluru, you name it. Pejuang Indonesia memanfaatkan amunisi beserta benteng ini untuk mempertahankan kota ketika kapal-kapal perang Inggris/Sekutu menembaki Surabaya dari arah laut. Kelompok pejuang yang bertempur di sini adalah Batalion Sriwijaya, orang Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam Heiho (tentara) era Jepang dan banyak berasal dari daerah-daerah luar Jawa.

 

Saat ikut pertemuan yang ngebahas Pertempuran 10 November, ada salah satu kalimat yang membekas tentang Batalion Sriwijaya ini, yang intinya:

“Mereka yang lahir dan besar di luar Surabaya, bahkan luar Jawa, nggak segan langsung pasang badan begitu ngehadapi musuh dari luar. Indonesia baru seumur jagung, tapi bhinneka tunggal ika-nya langsung dipraktikkan tanpa ragu.”

 

Ratusan orang—lebih dari sepertiga Batalion Sriwijaya—gugur di Benteng Kedung Cowek selama Pertempuran 10 November. Mereka gugur tanpa nisan untuk mempertahankan kemerdekaan, hingga Sekutu mundur dari Surabaya dan kota-kota lainnya.

 

Tapi pantai Surabaya tampak damai kini.  Dulu, dari arah inilah kapal-kapal perang Sekutu menembaki para pejuang.

 

Pertempuran 10 November juga menjadi salah satu pertempuran besar Indonesia. Meski yang diperingati hanya satu tanggal, durasi perangnya berpekan-pekan. Korbannya pun besar. Pengorbanan yang besar untuk kemenangan sebuah kedaulatan.

 

Kini, Benteng Kedung Cowek berdiri dalam diam; tertutup semak dan pepohonan di tepi pantai. Dengan Jembatan Suramadu di hadapan, ia seperti mengamati kemajuan negara tempatnya berdiri hampir seabad lalu, meski ia sendiri terperangkap waktu.


 

💡 TIPS JALAN-JALAN 

Apa tips mengunjungi Benteng/gudang peluru Kedung Cowek?

Biasa aja sebetulnya, ini cuma saran aja karena ngelakuin ini bikin saya enjoy saat berkunjung ke sana. 

👉 Waktu: lebih baik berkunjung saat musim kemarau. Karena jalannya tanah, kebayang kalau hujan pasti becek. Meski saat hujan pemandangannya beda dengan saat kemarau kering.

👉 Jam: lebih baik berkunjung saat pagi, lalu pulang menjelang siang. Panasnya Surabaya luar biasa, nggak cuma gosong tapi juga kliyengan kalau berkunjung di siang bolong. Kalau sore gimana? Saya belum pernah coba, sih. Tapi kepikir kalau sore nggak bisa lama, karena kayaknya penerangannya masih terbatas. Dan kalau keburu malam, rawan nyamuk juga.

👉 Bawa topi dan air putih, apalagi kalau berencana menyusuri agak lama, supaya nggak kehausan dan kekeringan. Bawa lotion anti-nyamuk kalau butuh. Pakai tabir surya alias sunblock. Pakai celana panjang kalau bisa, karena kalau mau lihat beberapa bangunan lebih dekat harus jalan rada mbrasak ke semak-semak.


Laut. Dilihat dari atas salah satu bangunan benteng. Mungkin mirip inilah pemandangan yang dilihat para tentara zaman dulu, tapi dengan riuhnya suasana pertempuran.



===============






Referensi:

Giffari, R.A. dan K.Y. Soekardi. 2021. Component analysis at Fort Kedung Cowek buildings in Surabaya, East Java: observation on panopticon concept. Internasional Review of Humanities Studies (6): 428-452.

Hapsari, N. 2018. Fragmented continuum concept museum of Kedung cowek Fortification. Tugas akhir, ITS.

Ministry of Colonial Affairs(?). 1909. Koloniaal Verslag van 1909.

Priyambodo, U. 2021. Granat di Benteng Kedungcowek dan Robohnya Cagar Budaya Kota Pahlawan. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/132983266/granat-di-benteng-kedungcowek-dan-robohnya-cagar-budaya-kota-pahlawan?page=all

Setyawan, A. 2019. Benteng Kedungcowek, Tantangan Pemerintah Kota dan Tim Ahli Cagar Budaya Menemukan Kembali Jiwa Kota Pahlawan Pada Hari Jadi ke 726. https://roodebrugsoerabaia.com/2019/05/benteng-kedungcowek-tantangan-pemerintah-kota-dan-tim-ahli-cagar-budaya-menemukan-kembali-jiwa-kota-pahlawan-pada-hari-jadi-ke-726/

Setyawan, A. 2022. Literasi Sejarah: Arek Jawa Timur Menapak Jejak Jasa dan Cita Para Pahlawan. Webinar Disperpusip Jatim.

SRM. 2020. Kisah 200 Pasukan Sriwijaya, Bertempur Sampai Mati Melawan Sekutu di Surabaya. https://www.infokomando.id/2018/05/kisah-200-pasukan-sriwijaya-bertempur.html

Tim Salute. 2016. Coastal Batteries Then and Now. https://salute.co.in/coastal-batteries-then-and-now/

Waid, A. 2019. Bung Tomo. Penerbit Laksana, Yogyakarta.

Widyaningrum, G.L. 2020. Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/132147941/awal-perjalanan-benteng-kedungcowek-menjadi-pusaka-kota-surabaya?page=all


Reading Time:

Sabtu, 01 Juni 2024

Jejak Keraton Surabaya
Juni 01, 20240 Comments

 


‘Memangnya Surabaya punya keraton? Di mana?’ 

batin saya saat membaca tulisan seorang kakak kelas, bertahun-tahun lalu. Tulisan singkat itu membuat kening saya berkerut, lalu tertarik mengulik lebih dalam. Sekian lama tinggal di Surabaya, kayaknya nggak ada yang nyebut-nyebut keratonnya atau bekas/sisanya. Paling pol soal gedung-gedung superlawas yang dibangun era Belanda, yang sekarang wujudnya masih ada dan beberapa masih difungsikan.

 

Entah di mana kini link tulisan tersebut. Yang saya ingat, di situ disebut kalau jejaknya ada di sekitar Surabaya Pusat. Beberapa nama jalan bernuansa kerajaan seperti Jl. Kraton dan Jl. Praban ditengarai dinamakan begitu karena dulu di situlah aktivitas kerajaan berpusat.


[NB: foto pintu di atas hanya pemanis; bagian dari sebuah bangunan tua di sekitar Kampung Kraton, bukan bagian dari keratonnya sendiri] 

[NB: klik foto/gambar untuk tampilan yang lebih jelas dan detail. Nggak tahu kenapa gambarnya blur banget kalau cuma di-scroll] 

  

 

[ASAL MULA] 

[Disclaimer: postingan ini bukan tulisan sejarah yang faktual sekali. Saya bukan sejarawan, hanya hobi ngulik sejarah. Tulisan ini dibuat berdasarkan apa yang saya tahu aja: dari cerita orang, dari obrolan, artikel/berita yang pernah dibaca (yang lupa apa aja dan detailnya gimana, cuma ingat intinya), sehingga sangat mungkin terdapat kesalahan isi atau interpretasi dalam tulisan/post ini. Oleh karena itu, sebaiknya pembaca check and re-check dari sumber lain yang lebih terpercaya.]

 

Terbesit pikiran, “Kenapa Surabaya sampai punya keraton? Kan, sejak dulu dia nggak pernah berbentuk kerajaan?”

 

Karena nggak pernah jadi kerajaan inilah, mungkin pikiran bahwa pernah ada istana di Kota Pahlawan nggak pernah lewat di pikiran saya; beda dengan kota-kota yang menjadi/pernah jadi pusat kerajaan/kesultanan seperti Yogya, Cirebon, atau Mojokerto.

 

Usut punya usut, ‘keraton Surabaya’ memang bukan istana raja melainkan keraton kadipaten. Kadipaten adalah suatu wilayah pemerintahan di bawah kerajaan tertentu. Tingkatnya setara duchy yang dipimpin seorang duke. Namun untuk wilayah setingkat itu, apalagi yang menjadi salah satu pusat Jawa Timur sejak dulu, maka nggak heran kalau ‘rumah’ pemimpinnya (alias adipati) sampai bisa disebut keraton dan punya kompleks

 

Jadi, siapa yang jadi atasan adipate/duke ini? Kerajaan mana?

Kita mundur ke belakang sebentar.

 

Sejak dulu, yang saya tahu adalah Surabaya jadi wilayah milik Mataram di era kesultanan. Sebelum itu, milik Majapahit. Sebelum itu, milik kerajaan di Jawa Timur. Sebelum itu, adalah kota pelabuhan. Sebelumnya lagi, kampung tepi pantai dan muara yang ramai (cikal-bakal pelabuhan).

 

Surabaya dipercaya sempat bernama Ujunggaluh (ada yang nulis Ujung Galuh/Hujung Galuh). Namun ada pendapat bahwa Ujunggaluh ini bukan cuma Surabaya, tapi juga meliputi kota-kota pelabuhan di sekitarnya seperti Gresik, Lamongan, dsb.

 

Back to Surabaya.

Kalau dari cerita rakyat yang sering diceritakan ke anak-anak kecil, nama ‘Surabaya’ berasal dari kata (ikan/iwak) suro dan boyo (buaya). Mitosnya, dulu pernah ada perkelahian hebat antara ikan suro—yang dipercaya adalah ikan hiu—dan buaya di muara Sungai Kalimas. Berantemnya hebat banget sampai bikin masyarakat yang lihat ketenggengen.  Gara-gara kejadian ini, masyarakat menamai tempat itu ‘Surabaya’ (Suroboyo, kalau pakai logat Jatim).


Sungai Kalimas kini

Di versi lain, diceritakan bahwa pemimpin Surabaya saat itu berkelahi dengan utusan dari Majapahit. Konon berkelahinya karena pemimpin Surabaya makin kuat dan dianggap mengancam keutuhan Majapahit. Perkelahian (dan adu kesaktian, kayaknya) ini berlangsung berhari-hari di Kalimas. Ikan suro dan buaya di cerita sebelumnya diduga adalah simbol dari dua sosok ini.

 

Namun, sejarah punya pendapat lain.

Nama ‘Surabaya’ berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Sansekerta: ‘chura’/‘sura’ dan ‘bhaya’ yang berarti ‘selamat dari marabahaya’. Menurut sejarawan, penamaan versi ini lebih otentik daripada versi mitos tadi.

 

 


[DI MANA SISA KERATON SURABAYA?] 

Berangkat dari postingan kakak kelas yang mengangkat keraton Surabaya tadi, saya pun mulai browsing. Saya buka peta Surabaya, terutama wilayah pusat. Benar aja, di sekitar situ memang nama jalannya pakai nama-nama bernuansa keraton, antara lain: 

  • Jl. Kraton       : diduga dulu pusat keratonnya di sini
  • Jl. Praban       : kompleks untuk raja/penguasa keraton (praban = prabu = raja)
  • Jl. Maspati & Jl. Kepatian: kompleks untuk patih
  • Kebon Rojo    : kebun milik raja
  • dan jalan yang letaknya agak jauh dari pusat tadi, antara lain Jl. Keputren (tempat tinggal putra/putri), dsb. Jalan/kampung lain ada yang dinamakan sesuai fungsinya, contoh Kampung Temenggungan, Carikan, Jl. Jagalan (jagal hewan), Jl. Pandean (tempat pandai besi), dsb. Area yang sekarang jadi Tugu Pahlawan, dulunya adalah alun-alun Surabaya.

 

Kabarnya letak-letak kompleks/kampung berdasarkan fungsi ini juga ditentukan dengan khusus. Penempatannya disesuaikan dengan arah mata angin: utara, barat, timur, selatan. Tiap arah mata angin mengandung filosofi tersendiri, misalnya arah tertentu untuk fungsi kerohanian, arah yang lain untuk nilai keduniawian. Tapi saya nggak hafal arah dan perwujudan nilainya.

 


Sudah lama saya ingin blusukan ke gang-gang di jalan ini. Kalau lewat jalan besarnya, memang sering saat motoran. Nggak nyangka aja ternyata jalan yang saya lewati ratusan kali ternyata udah ada bahkan sebelum mbah saya lahir, yang di dalamnya punya kampung yang usianya juga sudah ratusan tahun meski bangunannya tampak baru. Mau blusukan sendiri rasanya kok ya sungkan karena ini kampung orang dan bukan tujuan wisata. Bukan seperti, misalnya, kampung di sekitar Tamansari Yogya yang rame. Kebayang kalau ditanya,

“Nyari apa?”

“Nggak cari apa-apa, Bu/Pak. Mau lihat-lihat aja.”

“Lha kampung gini aja, apa yang mau dilihat?”

Worst case scenario, malah dicurigai mengintai rumah untuk dimaling.

 

Kesempatan menelusuri gang-gang itu datang waktu saya nemu info walking tour. Nggak pikir panjang, saya langsung join. Seenggaknya kalau jalan berbanyak orang, mungkin dikira mahasiswa lagi cari data, hehehe.

 

Dari walking tour inilah saya tahu bahwa mulut gang yang udah bolak-balik saya lewati ternyata adalah satu-satunya sisa bangunan Keraton Surabaya yang masih ada, yaitu di salah satu mulut gang di Jl. Kramat Gantung. Bentuknya seperti gapura, warnanya putih. Modelnya sekilas mengingatkan saya pada model tembok Jokteng Yogya dan Vredeberg. Imajinasi saya berkelana, membayangkan dulu gapura ini dijaga para prajurit yang siaga dan menanyai setiap orang yang keluar-masuk; seperti gerbang kota di film-film medieval.

 

Anyway, tentang sisa tembok keraton ini juga ada perbedaan pendapat. Ada yang berpandangan bahwa belum ada cukup bukti untuk tembok ini diklaim sebagai sisa bangunan keraton. Ada yang punya persepsi bahwa ini tembok bangunan baru, yang nggak ada hubungannya dengan keraton, dan baru dibuat di era 1900-an.

 

Entah mana yang benar, saya juga nggak tahu. Namun, yang nyata diyakini adalah keraton Surabaya memang habis tak bersisa. Luluh lantak. Kok bisa?


Tembok/gerbang gang yang diduga bagian dari keraton, diapit pertokoan

Masih ingat nggak, kalau dulu Surabaya masuk jadi kadipaten di wilayah Majapahit? Setelah Majapahit runtuh, Surabaya jadi daerah independen. Setelah Kesultanan Demak berdiri, Surabaya masuk jadi wilayah Demak (apa ini karena ada Sunan Ampel di Ampel yang dekat dengan sultan Demak?). Setelah Demak runtuh, Surabaya independen lagi.

 

Saat independen ini, Surabaya sempat jadi salah satu pusat pemerintahan di Jawa Timur. Karena posisinya di pinggir laut dan jadi kota pelabuhan, maka meski dia nggak di bawah pemerintahan siapa-siapa, dia punya hubungan diplomatis dengan kota/kerajaan di luar Pulau Jawa via laut.

 

Setelah sempat independen, Surabaya masuk jadi wilayah Kesultanan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung. Saat itu, Keraton Surabaya diperkirakan masih berdiri.

 

Hubungan antara Surabaya dan Mataram ini punya cerita tersendiri. Rada panjang dan penuh intrik. Nanti deh diceritain di bagian akhir. Di sini ngebahas sisa bangunannya dulu.

 

Oke. Setelah jadi kadipaten di bawah Mataram, terus gimana?

Keraton masih berdiri; masih ada. Seenggaknya sampai Sultan Agung Hanyokrokusumo tutup usia. Masalah dimulai saat putranya, Amangkurat I, naik tahta.

 

Amangkurat I berkonflik dengan salah satu putranya. Putranya ini bersekutu dengan Trunojoyo, bangsawan dari Madura. Konon salah satu alasan Trunojoyo bergabung dengan putra Amangkurat I ialah karena nggak suka dengan VOC, sedangkan Amangkurat I malah dekat dengan VOC (nggak kayak bapaknya). Trunojoyo menganggap VOC menjajah Madura. 

 

Anak Amangkurat I ini kemudian berhasil jadi raja. Namun setelah itu dia bertengkar dengan Trunojoyo. Alasan pertengkaran ini sendiri punya banyak versi, salah duanya adalah sudah nggak sepaham atau menganggap Trunojoyo terlalu berkuasa di (Jawa) timur dan mengancam Mataram. Anak Amangkurat I ini kemudian balik bersekutu dengan VOC untuk memburu Trunojoyo.

 

Singkat cerita, Trunojoyo tewas. Pesisir Jawa, termasuk Surabaya, kemudian diserahkan pada VOC oleh Mataram. Konon saat perang VOC-Mataram vs Trunojoyo inilah Keraton Surabaya dihancurkan VOC, luluh-lantak tak bersisa sampai sekarang.


Dalam versi lain, Keraton Surabaya dihancurkan VOC saat VOC berperang dengan Mataram. Di sini ceritanya Mataram masih belum friend sama VOC. Tapi ending-nya sama: setelah perang, keraton hancur, dan Surabaya dikuasai VOC. 

 


 

[SURABAYA-MATARAM, KALIMAS, dan PANGERAN PEKIK]

Kita mundur sedikit ke belakang; saat Kesultanan Demak runtuh dan Surabaya jadi daerah independen, sebelum jadi bawahan Mataram.


Mataram ini sebenarnya siapa? Mataram ini kesultanan yang ada di tengah Jawa; sekarang jadi Yogya. Kalau saat sekolah dulu di pelajaran Sejarah disebut “... lalu Sultan Agung menyatukan wilayah Jawa di bawah panji Mataram...” ya inilah Mataram itu. Kalau yang pernah main ke Yogya, khususnya ke daerah Kotagede, pusat Mataram dulu ya di sana. Ada masjidnya juga. Area ini jaraknya cuma beberapa km dari Terminal Giwangan dan dekat dengan gerai Cokelat Monggo (eh kok jadi ke mana-mana).

 

Sebagai catatan, Mataram ada dua: Mataram Hindu yang membangun candi-candi besar di DIY-Jateng (termasuk Borobudur, Prambanan, dsb) dan Mataram Islam yang menjadi cikal bakal Kesultanan Yogya dan Kasunanan Surakarta. Yang dibahas di sini adalah Mataram yang kedua.

 

Sultan Agung termasuk raja besar dalam sejarah Indonesia. Perjuangannya menaklukkan daerah-daerah di Jatim-Jateng nggak sebentar. Perebutan Surabaya pun nggak ujug-ujug; ditaklukkan daerah sekitarnya dulu.

 

Setelah Demak runtuh dan Surabaya independen, saat Sultan Agung mulai ekspansi, banyak bangsawan pemimpin lokal a.k.a bupati kota lain di Jatim yang lari ke Surabaya dan berlindung di sana. Wilayah Surabaya dianggap kuat.

 

Saat menaklukkan Surabaya, pasukan Sultan Agung pun kesulitan. Gara-garanya karena (selain kuat):

  • Surabaya dikelilingi benteng yang kokoh,
  • dikelilingi sawah, hutan, dan rawa yang rapat dan susah ditembus. Jangan bayangin Surabaya seluas sekarang. Waktu itu, wilayahnya masih seluas Surabaya pusat dan utara aja. Kalau dilihat di peta lawas, sekeliling daerah itu kelihatan kayak wilayah kosong dan berair,
  • punya akses laut. Akibatnya, meskipun sudah dikepung via daratan, Surabaya masih bisa minta bantuan dari daerah lain via pelabuhannya.

 

Karena susah, pasukan Mataram akhirnya memutar otak. Mereka tahu ada satu sungai vital di Surabaya, mengalir dari luar batas kota hingga ke pelabuhannya. Sungai bernama Kalimas ini mereka cemari; dibuangi tahi dan bangkai sampai warnanya buthek kekuningan.


Atas: peta sekarang | Bawah: nama kampung di Surabaya tahun 1825, nama-namanya masih dipakai sampai sekarang.

Kejadian ini kemudian jadi (salah satu versi) penamaan Sungai Kalimas. Kali = sungai, mas = kekuningan.

 

Taktik bioweapon ini berhasil. Kota Surabaya airnya tercemar, penduduknya jadi sakit-sakitan dan kesulitan suplai air bersih. Adipati Jayalengkoro akhirnya menyerah ke tangan Mataram sekitar era 1600-an.

 

Apa udah selesai? Oh, belum.

Seperti yang jamak dilakukan saat itu, saat ada wilayah yang baru direbut, maka harus ada bukti persatuan selain perjanjian. Salah satunya dengan pernikahan. Pangeran Surabaya saat itu, Pangeran Pekik, setelah menggantikan ayahnya (Adipati Jayalengkoro), dinikahkan dengan adik Sultan Agung.

 

Hubungan pemimpin Surabaya dan Mataram, selain antara adipati dan raja, juga menjadi hubungan kekeluargaan antara adik dan kakak ipar.

 

Masalah muncul ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan putranya, Amangkurat I. Amangkurat I tercatat sebagai raja bermasalah: dari segi pemerintahan, juga dari segi kepribadian. Singkat cerita,  Pangeran Pekik berkonflik dengan Amangkurat I ini.

 

Pertengkaran dua orang ini juga—seperti lazimnya sejarah—punya banyak versi.

Dan seperti umumnya tokoh sejarah, pertengkarannya pun 'berdarah'.

 

Versi satu, Pangeran Pekik dianggap bersalah karena menikahkan wanita yang disukai Amangkurat dengan putra sang raja (iya, Amangkurat I dan putranya suka satu perempuan yang sama; rebutan). Perempuan ini, Rara Oyi, ceritanya tragis dan sedih banget di akhir hidupnya Versi kedua, Pangeran Pekik dianggap merencanakan pembunuhan raja. Ini versi lain, sebab ada yang bilang bahwa Pangeran Pekik udah meninggal saat kejadian bapak-anak tadi berebut Rara Oyi.

 

Ending-nya sama: Pangeran Pekik dianggap bersalah, kemudian dieksekusi. Beserta keluarga dan pengikutnya. Kisah pangeran Surabaya itu pun berakhir.

 

Sampai akhir hidupnya, pangeran dari Surabaya itu nggak kembali ke Surabaya. Pangeran Pekik dimakamkan di Pesarean Banyusumurup, yang sekarang letaknya di Imogiri, Kab. Bantul, masih di D.I. Yogyakarta. Di mana itu?

 

Pernah jalan-jalan ke Kebun Buah Mangunan atau hutan pinusnya? Kalau ingat rutenya, mungkin ingat kalau sebelum jalanan mulai nanjak, ada belokan ke kanan. Di situlah Pangeran Pekik dan keluarganya dimakamkan. Makam ini nggak jauh dari Pemakaman Raja-Raja Imogiri. Kalau makam Imogiri ada di bukit, Banyusumurup berada di lembah. Konon, pesarean ini adalah kompleks pemakaman bagi mereka yang dianggap berkhianat pada raja.


Pemandangan di Kebun Buah Mangunan


Dan begitulah cerita tentang Keraton Surabaya dan pemimpinnya. Selanjutnya seperti kota-kota lain di Indonesia, Surabaya ada dalam genggaman pemerintahan kolonial Belanda, kemudian jadi salah satu kota yang paling bergejolak selama perang kemerdekaan.




=================

Catatan: peta utuh dari inset tahun 1825.


Kaart van Soerabaia 1825. Dipublikasikan/dicetak oleh G. Kolff & Co, 1931.  Diakses via Digital Collections Leiden University Libraries.



Reading Time: