Hijaubiru: CatPer ------- Argopuro
Tampilkan postingan dengan label CatPer ------- Argopuro. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CatPer ------- Argopuro. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Maret 2025

Catatan Perjalanan Pendakian Argopuro (part 0)
Maret 28, 2025 6 Comments

 

Akhir-akhir ini hujan turun hampir setiap hari. Hari-hari mendung kelabu begini bikin keingat bermacam memori terutama yang terjadi di musim hujan. Salah satu hal yang hampir selalu muncul di ingatan saya saat hujan turun deras tanpa henti begini adalah perjalanan pendakian ke Gunung Argopuro lewat jalur Baderan-Bermi.

 

Satu hal ikonik yang membuat pendakian  itu identik dengan musim hujan adalah: karena selama enam hari hiking itulah kami bertujuh selalu diguyur hujan. Kami melalui jalur Baderan-Bermi jadi memang jalannya panjang. Waktu itu juga akhir Januari, jadi emang lagi musim penghujan.

 

Kejadiannya memang udah bertahun-tahun lalu, tapi masih memorable. Selain karena ingatan digembleng hujan saban hari, pendakian ke Argopuro jadi salah satu perjalanan paling berkesan buat saya karena banyak ceritanya, baik personal maupun alamnya sendiri.

 

Jalur pendakian Argopuro via Baderan-Bermi adalah jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa. Total jarak yang ditempuh ada kali 40+ kilometer. Sebagai perbandingan, 40 km adalah jarak antara Surabaya North Quay (ujung paling utara kota yang udah berbatasan laut) sampai Gempol, sebuah daerah di Kab. Pasuruan; artinya udah ngelewatin 3 kota, membelah 2 kota besar Jawa Timur (Surabaya-Sidoarjo).

 

Sekarang bayangin jalan segitu jauh, dengan jalan yang kadang tanah/lumpur/batu dan kiri-kanan penuh semak dan pohon, dan jalurnya nggak datar-datar aja. Kadang naik, kadang turun, seringkali nanjak tajam. Masih memanggul tas carrier seberat 10-15 kilogram per orang. Oleh karena itulah waktu pendakiannya jadi lama. Mantap bukan 😄

 

Durasi pendakiannya lama, bisa sampai 5-6 hari. Mungkin bisa lebih cepat. Namun waktu itu kami jalan sesuai itinerary karena berbagai pertimbangan. Ini yang bikin memorable buat saya karena nggak pernah naik gunung selama ini, hahaha. Mana kena guyur tiap hari, lagi, wkwkwk. Saat itu, total perjalanan kami jadinya 7 hari = 6 hari hiking + 1 hari transpor umum.

 

Flora-fauna dan vegetasinya beragam. Perladangan, hutan rimbun, hutan pinus, sabana, hutan lumut, danau, sampai karang kapur berbatu ada semua. Dilewati semua. Kayaknya ini salah satu gunung dengan vegetasi paling beragam yang pernah saya daki (meski mendakinya belum banyak gunung, hehe). Di sini jugalah saya ngelihat paling banyak variasi bunga-bungaan dan buah (beri liar!). Di gunung ini jugalah saya paling gampang ketemu hewan liar dan ngelihat dengan lebih jelas. Nggak heran mengingat area ini emang statusnya dilindungi sebagai suaka margasatwa.

 

Sejarah Argopuro amat menarik dan masih bisa disaksikan. Sama seperti ekosistemnya, kisah lawas di gunung ini juga bervariasi; mulai dari zaman kolonial Belanda hingga masa kerajaan nusantara. Uniknya adalah beberapa reruntuhan bangunan berabad-abad lalu itu masih ada hingga kini; masih bisa dilihat dengan mata kepala sendiri, berdiri amat dekat dengan jalur pendakian meski telah diterpa ganasnya cuaca gunung dan dikikis masa ratusan tahun.

 

Nature and history in one place? Yes, please!

 



Anyway karena pendakiannya lama, maka catper (catatan perjalanan) ini akan dibagi jadi beberapa bagian. Soalnya kalau digabung satu postingan bakal panjaaang banget dan pasti pembaca (sekaligus yang nulis, wkwkwk) pusing.

 

Rencananya juga mau bikin satu tulisan yang ngerangkum tujuh hari pendakian ini dalam satu postingan pendek. Well let’s see later...

 

 

Link postingan catatan perjalanan pendakian Argopuro:

🔗 menyusul

  


[NB: beberapa kisah dan penjelasan yang berhubungan dengan sejarah dan  kebumian disitir dari referensi. Namun, bisa aja ada kekeliruan dalam tulisan ini karena saya keliru memahami/interpretasi/ambil sumber. Jadi mohon maaf bila ada ketidaktepatan isi, harap cross-check ke sumber yang lebih kredibel atau sumber primer]


[Disclaimer: karena pendakiannya udah bertahun-tahun lalu, kemungkinan besar ada info-info yang udah berubah seperti peraturan, biaya registrasi, dsb. Untuk info macam ini harap cek info terbaru atau laman resmi Dataran Tinggi Yang dan ikuti peraturan terkini]

 

 


Argopuro dan Dataran Tingginya

Gunung Argopuro sebenarnya bukan gunung tunggal, tapi merupakan pegunungan di sebuah dataran tinggi. Jadi gunungnya ada banyak, puncaknya banyak. Rantai pegunungan ini disebut sebagai ‘Dataran Tinggi Yang’.

 

Sebenarnya ada perbedaan versi nama datarannya: Yang, Hyang, atau Iyang?

Dulu saya pikir namanya ‘Hyang’ (= Yang Kuasa/Tuhan) karena Argopuro sendiri adalah istilah bahasa Jawa yang berarti ‘lokasi atau tempat peribadatan di gunung’ (argo = gunung). Namun setelah sampai di basecamp Baderan, di spanduk resmi tertulis ‘Dataran Tinggi Yang’. Sementara itu dalam catatan perjalanan C.W. Wormser (versi terjemahan 1996) ditulis Iyang.

 

Baiklah, kita ikuti ejaan resmi dari BKSDA alias balai konservasi aja, yaitu Dataran Tinggi Yang alias Yang plateau.

 

Dataran Tinggi Yang terletak di Jawa Timur. Tepatnya di antara tiga kota: Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso. Kalau ngelihat peta, Jawa Timur bentuknya seperti sepatu. Lihat bagian yang seperti penutup telapak kaki? Nah, Argopuro dan Dataran Tinggi Yang terletak di tengah bagian itu.




 

Kami menyebut daerah ini sebagai ‘Wilayah Tapal Kuda’ karena bentuknya yang seperti tapal kuda. Orang Belanda menyebutnya sebagai ‘De Oosthoek’ (oost = timur, hoek = pojok). Selain karena bentuknya, daerah ini juga khas karena meski berada di Jawa, bahasa penutur yang lebih umum digunakan oleh penduduk kota-kota ini adalah bahasa Madura.

 

Kalau dilihat di peta, sekilas antara Argopuro, G. Lemongan (di Lumajang), dan Kaldera Bromo kayak terletak sejajar segaris. Apa cuma kebetulan atau ada hubungannya sama proses pembentukan gunung-gunung ini? Entahlah.

 

Untuk mencapai titik start pendakian, tim kami harus menuju Desa Baderan dulu. Di desa di Kab. Situbondo inilah terletak basecamp pendakian sekaligus tempat lapor para pendaki sebelum mulai hiking.

 

Untuk mencapai Baderan dari Surabaya, pertama-tama kami harus naik bus dulu dari Terminal Bungurasih. Bus pertama yang kami tumpangi adalah bus jurusan Probolinggo (Rp18.000,00/orang). Setelah sampai di Terminal Probolinggo, kami oper ke bus yang lebih kecil untuk menuju Kec. Besuki (Rp12.000,00/orang).

 

Karena berangkat dari Surabaya sore hari plus ada beberapa hambatan karena kebanjiran, kami baru naik bus menjelang jam sembilan malam. Perjalanan sampai Besuki (Kab. Situbondo) memakan waktu 4,5 jam sehingga kami sampai di Alun-Alun Besuki lewat jam satu malam.

 

Dini hari begitu, lanjut ke Baderannya gimana?

Nggak lanjut. Perjalanan kami lanjutkan esok pagi. Malam itu kami habiskan dengan beristirahat di pendopo yang ukurannya amat besar. Tas-tas carrier kami jajar dekat tiang sedangkan kami bertujuh tidur bergantian; ada yang tidur dan ada yang bangun untuk jaga tas. Begitu bergantian sampai pagi datang.


Esok hari masih dilanjutkan dengan bagi tugas: ada yang cari sarapan, ada yang jagain tas di pendopo, dan ada yang cari kendaraan. Usai makan, kami mendapat tumpangan dari sbeuah truk (truk sayur, kalau nggak salah ingat) yang memang akan menuju Baderan.

 


To be continued...



Sneak peek part 1: kondisi jalur pendakian yang hujan dan berkabut, difoto pakai kamera ponsel yang berembun karena dingin





teks.


Reading Time:

Selasa, 15 November 2022

Bertemu Eks Bandara dan Istana di Belantara Argopuro
November 15, 20220 Comments

 


Pernahkah kamu membayangkan bahwa di Indonesia ada istana di puncak gunung, layaknya di dongeng-dongeng? Tempat ini ternyata bukan fiksi belaka. Di Gunung Argopuro, Dataran Tinggi Yang, Jawa Timur, istana tersebut pernah ada; nyata. Bahkan, lapangan terbang tertinggi di Jawa pun sempat berdiri di tengah-tengah hutan belantara ini.

            Berbicara tentang Argopuro tak bisa lepas dari legenda Dewi Rengganis. Putri Majapahit tersebut mengasingkan diri ke sini kemudian membangun istananya di salah satu puncak gunung. Puing kuno inilah sumber nama Argopuro yang berarti ‘tempat suci di gunung’.

            “Di sini agak beda dengan gunung-gunung lain yang biasa didaki. Selain ada bangunan bersejarah, hewannya juga lebih banyak karena termasuk suaka margasatwa,” tutur Susiono, petugas BKSDA Dataran Tinggi Yang, desa Baderan, kabupaten Situbondo.

Bapak ini lantas menceritakan serba-serbi Argopuro yang perlu diketahui oleh kami bertujuh sebelum mendaki.

“Musim hujan begini harus lebih hati-hati,” nasihatnya sebelum kami berangkat.

Benar saja, hujan deras mengguyur tak lama setelah tim beranjak dari pos perizinan. Januari memang bulan hujan. Jalur pendakian terpanjang di Jawa berjarak tak kurang dari empat puluh kilometer itu tentu akan sangat licin. Belum lagi tempat berkemah yang rawan basah. Untunglah Argopuro memiliki beberapa camp yang cukup nyaman untuk mendirikan tenda. Salah satunya Cikasur.

 

Cikasur: Sabana Bekas Lapangan Terbang

Dari Baderan, kami butuh dua hari perjalanan dan satu kali menginap untuk mencapai Cikasur. Padang rumput ini luas, datar, dan punya sungai bersih yang ditumbuhi gerumbulan selada air. Para pendaki biasanya tak akan melewatkan kesempatan mencicipi sayuran ini di habitat aslinya. Tentunya dalam jumlah wajar, tak boleh berlebihan.

Hari menginjak petang ketika tim mencapai lokasi ini. Seekor burung merak yang bertengger di salah satu dahan buru-buru menyingkir ketika rombongan manusia berdatangan. Di antara sisa-sisa sinar senja, terlihat tembok-tembok rendah berwarna putih berdiri dikepung ilalang dan semak-semak. Itulah bekas shelter zaman Belanda yang diceritakan Pak Susiono.

Cikasur memang punya sejarah panjang. Penjelajah Belanda bernama Junghuhn pernah terpesona oleh kecantikan Cikasur. Pada 1880, ia mengusulkan pembangunan hill station seperti yang dimiliki Inggris di Darjeeling. Ide ini disambut baik oleh seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda bernama Van Gennep sehingga perencanaannya dimulai.

Sayang, proyek itu batal pada 1916 karena dianggap kurang meyakinkan. Cikasur pun diserahkan pada Ledeboer, seorang administrator perkebunan kopi, agar dikembangkan menjadi tempat konservasi rusa. Namun, pemerintah Hindia Belanda mengambil alihnya kembali pada tahun 1940-an untuk dijadikan lapangan terbang.

Saat itulah muncul desas-desus mistis yang diyakini masyarakat setempat hingga kini. Mereka percaya bahwa pembuatan bandara kecil tersebut bukan demi alasan pertahanan saja, melainkan juga untuk membawa emas yang terkandung di tanah Cikasur secara diam-diam. Rakyat yang dipekerjakan paksa dalam pembangunannya kemudian dibunuh agar kabar tak tersebar luas. Oleh sebab itu, sabana ini dianggap angker karena banyak yang mengaku mendengar ramai suara manusia atau derap sepatu tentara saat tengah malam.

Terlepas mendengar suara mistis atau tidak, para pendaki sepakat bahwa suara yang pasti didengar di padang rumput luas ini adalah kokok ayam hutan. Selain bunyi yang khas, ayam hutan juga lebih ramping dan gesit. Ketika pagi tiba, tim kami beberapa kali melihat badannya yang berbulu hitam akan tampak berseliweran dengan cepat di antara ilalang dan bekas landasan pacu. 

Ya, selain sisa bangunan, bekas landasan pacu zaman perang itu masih ada sampai sekarang. Jalurnya membentang sepanjang satu kilometer dari lereng bukit ke sisi hutan. Ketika kabut menghilang, alurnya jelas terlihat dari tempat kami mendirikan tenda.

 

 

Istana Dewi Rengganis

Argopuro tak hanya menyimpan kisah zaman penjajahan. Puing-puing bangunan tertua berdiri di dua dari tiga puncak tertingginya. Kami mencapai Sabana Lonceng, checkpoint sebelum puncak, dua hari setelah meninggalkan Cikasur. Di sinilah titik kumpul sebelum mencapai Puncak Rengganis, Hyang/Arca, atau Argopuro.

Kami memilih Puncak Rengganis dahulu karena lebih dekat. Sekitar dua puluh menit mendaki santai, pepohonan mulai berkurang dan digantikan pemandangan tanah putih dari batuan kapur serta semak-semak cantigi. Di sinilah terdapat sisa-sisa istana yang dibangun di akhir masa keemasan Majapahit itu. Misalnya, cekungan yang dibilang Pak Susiono sebagai kolam pribadi sang putri. Tidak jauh dari kolam, terdapat struktur bebatuan persegi panjang yang disusun rendah mengelilingi dua bujur sangkar kecil. Inilah makam dua abdi setia Dewi Rengganis.

Perjalanan dilanjutkan dengan meniti bukit kapur. Lima menit setelahnya, tempat sang putri pernah bersemedi mulai terlihat. Tak ada wujud utuhnya, tetapi masih tampak batu-batu sebesar kepala manusia yang membentuk tangga pendek dan dasar suatu bangunan.

Mengapa Dewi Rengganis membangun istananya di puncak? Karena masyarakat masa itu meyakini bahwa puncak gunung adalah tempat dewa bersemayam. Apalagi, Puncak Rengganis terletak di dekat bekas kawah. Mereka percaya bahwa kawah merupakan pintu masuk alam ruh.

Selanjutnya kami turun karena mengejar waktu ke puncak tertinggi di Dataran Tinggi Yang, yaitu Puncak Argopuro, dengan ketinggian 3.080 mdpl. Namun, mendung mulai datang. Padahal sebelumnya, cuaca siang itu tergolong cerah. Begitulah cuaca di gunung, mudah berganti-ganti dalam hitungan menit.

Akhirnya sampailah kami di Puncak Argopuro, yang berupa tanah landai dengan pepohonan yang menghitam sisa kebakaran. Kali ini kabut sudah membekap sekeliling sehingga bukit-bukit lain tidak terlihat sama sekali. Bahkan, jarak pandang makin pendek ketika kami mendekati Puncak Hyang.

Kewaspadaan meningkat jauh mengingat jalan meniti punggung bukit dengan jurang menganga di kanan-kiri. Sebuah patung kuno terduduk di tepi jalur pendakian selebar satu meter, tak jauh dari plang penanda Puncak Hyang. Arca inilah alasan puncak ini juga dikenal sebagai Puncak Arca.

Sambaran kilat mulai terlihat di kejauhan. Ditemani hujan yang berubah badai, tim pun turun ke Sabana Lonceng. Tuntas sudah rasa penasaran tentang dongeng istana putri di puncak gunung dan bandara tertinggi yang sering disambangi hewan liar. Setiap gunung dan perjalanan punya cerita yang berbeda. Keistimewaan apa lagi yang bisa ditemukan di gunung-gunung nusantara lainnya?








--Tulisan ini alhamdulillah pernah jadi salah satu

naskah favorit kategori feature perjalanan Bulan Bahasa UGM 2019.

NB: Beberapa bagian telah diedit ulang--



Referensi:

Hoogerwerf, A. 1974. Report on Visit to Wildlife Reserves in East Java. Netherlands Commission for International Nature Protection, Austerlitz.

 

Van Der Meer, A. H. C. 2014. Ambivalent Hegemony: Culture and Power in Colonial Java, 1808-1927. University of New Jersey. Disertasi.

 

Whitten, T., R. E. Soeriaatmadja, dan S. A. Afiff. 1999. Seri Ekologi Jawa-Bali. Prenhallindo, Jakarta.

 

Widyatama, H. A. 2016. Penempatan Punden Berundak di Puncak Pegunungan Iyang Argopuro, Situbondo, Jawa Timur: Tinjauan Aspek Lingkungan dan Religi yang Mempengaruhinya. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada. Skripsi.

Reading Time: