Akhir-akhir ini hujan turun hampir setiap hari. Hari-hari
mendung kelabu begini bikin keingat bermacam memori terutama yang terjadi di
musim hujan. Salah satu hal yang hampir selalu muncul di ingatan saya saat
hujan turun deras tanpa henti begini adalah perjalanan pendakian ke Gunung
Argopuro lewat jalur Baderan-Bermi.
Satu hal ikonik yang membuat pendakian itu identik
dengan musim hujan adalah: karena selama enam hari hiking itulah
kami bertujuh selalu diguyur hujan. Kami melalui jalur
Baderan-Bermi jadi memang jalannya panjang. Waktu itu juga akhir Januari, jadi
emang lagi musim penghujan.
Kejadiannya memang udah bertahun-tahun lalu, tapi masih memorable.
Selain karena ingatan digembleng hujan saban hari, pendakian ke Argopuro jadi
salah satu perjalanan paling berkesan buat saya karena banyak ceritanya, baik
personal maupun alamnya sendiri.
Jalur pendakian Argopuro via Baderan-Bermi adalah
jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa. Total jarak yang ditempuh ada kali 40+ kilometer. Sebagai
perbandingan, 40 km adalah jarak antara Surabaya North Quay (ujung
paling utara kota yang udah berbatasan laut) sampai Gempol, sebuah daerah di
Kab. Pasuruan; artinya udah ngelewatin 3 kota, membelah 2 kota besar Jawa
Timur (Surabaya-Sidoarjo).
Sekarang bayangin jalan segitu jauh, dengan jalan yang kadang tanah/lumpur/batu dan kiri-kanan penuh semak dan pohon, dan jalurnya nggak datar-datar aja. Kadang naik, kadang turun, seringkali nanjak tajam. Masih memanggul tas carrier seberat 10-15 kilogram per orang. Oleh karena itulah waktu pendakiannya jadi lama. Mantap bukan 😄
Durasi pendakiannya lama, bisa sampai 5-6 hari. Mungkin bisa lebih cepat. Namun
waktu itu kami jalan sesuai itinerary karena berbagai pertimbangan. Ini
yang bikin memorable buat saya karena nggak pernah naik gunung selama
ini, hahaha. Mana kena guyur tiap hari, lagi, wkwkwk. Saat itu, total perjalanan
kami jadinya 7 hari = 6 hari hiking + 1 hari transpor umum.
Flora-fauna dan vegetasinya beragam. Perladangan, hutan rimbun, hutan
pinus, sabana, hutan lumut, danau, sampai karang kapur berbatu ada semua.
Dilewati semua. Kayaknya ini salah satu gunung dengan vegetasi paling beragam
yang pernah saya daki (meski mendakinya belum banyak gunung, hehe). Di sini jugalah
saya ngelihat paling banyak variasi bunga-bungaan dan buah (beri liar!). Di
gunung ini jugalah saya paling gampang ketemu hewan liar dan ngelihat dengan
lebih jelas. Nggak heran mengingat area ini emang statusnya dilindungi sebagai
suaka margasatwa.
Sejarah Argopuro amat menarik dan masih bisa disaksikan. Sama seperti ekosistemnya, kisah lawas di gunung ini juga bervariasi; mulai dari zaman kolonial Belanda hingga masa kerajaan nusantara. Uniknya adalah beberapa reruntuhan bangunan berabad-abad lalu itu masih ada hingga kini; masih bisa dilihat dengan mata kepala sendiri, berdiri amat dekat dengan jalur pendakian meski telah diterpa ganasnya cuaca gunung dan dikikis masa ratusan tahun.
Nature and history in one place? Yes, please!
Anyway karena pendakiannya lama, maka catper (catatan perjalanan) ini akan dibagi jadi beberapa bagian. Soalnya kalau digabung satu postingan bakal panjaaang banget dan pasti pembaca (sekaligus yang nulis, wkwkwk) pusing.
Rencananya juga mau bikin satu tulisan yang ngerangkum
tujuh hari pendakian ini dalam satu postingan pendek. Well let’s see
later...
Link postingan catatan perjalanan pendakian Argopuro:
🔗 menyusul
[NB: beberapa
kisah dan penjelasan yang berhubungan dengan sejarah dan kebumian disitir
dari referensi. Namun, bisa aja ada kekeliruan dalam tulisan ini karena saya
keliru memahami/interpretasi/ambil sumber. Jadi mohon maaf bila ada
ketidaktepatan isi, harap cross-check ke sumber yang lebih kredibel atau
sumber primer]
[Disclaimer: karena pendakiannya udah bertahun-tahun lalu, kemungkinan besar ada info-info yang udah berubah seperti peraturan, biaya registrasi, dsb. Untuk info macam ini harap cek info terbaru atau laman resmi Dataran Tinggi Yang dan ikuti peraturan terkini]
Argopuro dan Dataran Tingginya
Gunung Argopuro sebenarnya bukan gunung tunggal, tapi merupakan
pegunungan di sebuah dataran tinggi. Jadi gunungnya ada banyak, puncaknya
banyak. Rantai pegunungan ini disebut sebagai ‘Dataran Tinggi Yang’.
Sebenarnya ada perbedaan versi nama datarannya: Yang, Hyang,
atau Iyang?
Dulu saya pikir namanya ‘Hyang’ (= Yang Kuasa/Tuhan) karena Argopuro
sendiri adalah istilah bahasa Jawa yang berarti ‘lokasi atau tempat peribadatan
di gunung’ (argo = gunung). Namun setelah sampai di basecamp Baderan, di
spanduk resmi tertulis ‘Dataran Tinggi Yang’. Sementara itu dalam
catatan perjalanan C.W. Wormser (versi terjemahan 1996) ditulis Iyang.
Baiklah, kita ikuti ejaan resmi dari BKSDA alias balai
konservasi aja, yaitu Dataran Tinggi Yang alias Yang plateau.
Dataran Tinggi Yang terletak di Jawa Timur. Tepatnya di
antara tiga kota: Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso. Kalau ngelihat peta,
Jawa Timur bentuknya seperti sepatu. Lihat bagian yang seperti penutup telapak
kaki? Nah, Argopuro dan Dataran Tinggi Yang terletak di tengah bagian itu.
Kami menyebut daerah ini sebagai ‘Wilayah Tapal Kuda’ karena
bentuknya yang seperti tapal kuda. Orang Belanda menyebutnya sebagai ‘De
Oosthoek’ (oost = timur, hoek = pojok). Selain karena
bentuknya, daerah ini juga khas karena meski berada di Jawa, bahasa penutur
yang lebih umum digunakan oleh penduduk kota-kota ini adalah bahasa Madura.
Kalau dilihat di peta, sekilas antara Argopuro, G. Lemongan
(di Lumajang), dan Kaldera Bromo kayak terletak sejajar segaris. Apa cuma
kebetulan atau ada hubungannya sama proses pembentukan gunung-gunung ini?
Entahlah.
Untuk mencapai titik start pendakian, tim kami harus
menuju Desa Baderan dulu. Di desa di Kab. Situbondo inilah terletak basecamp
pendakian sekaligus tempat lapor para pendaki sebelum mulai hiking.
Untuk mencapai Baderan dari Surabaya, pertama-tama kami harus
naik bus dulu dari Terminal Bungurasih. Bus pertama yang kami tumpangi adalah
bus jurusan Probolinggo (Rp18.000,00/orang). Setelah sampai di Terminal
Probolinggo, kami oper ke bus yang lebih kecil untuk menuju Kec. Besuki (Rp12.000,00/orang).
Karena berangkat dari Surabaya sore hari plus ada beberapa
hambatan karena kebanjiran, kami baru naik bus menjelang jam sembilan malam.
Perjalanan sampai Besuki (Kab. Situbondo) memakan waktu 4,5 jam sehingga kami
sampai di Alun-Alun Besuki lewat jam satu malam.
Dini hari begitu, lanjut ke Baderannya gimana?
Nggak lanjut. Perjalanan kami lanjutkan esok pagi. Malam itu
kami habiskan dengan beristirahat di pendopo yang ukurannya amat besar. Tas-tas
carrier kami jajar dekat tiang sedangkan kami bertujuh tidur bergantian;
ada yang tidur dan ada yang bangun untuk jaga tas. Begitu bergantian sampai pagi
datang.
Esok hari masih dilanjutkan dengan bagi tugas: ada yang cari sarapan, ada yang jagain tas di pendopo, dan ada yang cari kendaraan. Usai makan, kami mendapat tumpangan dari sbeuah truk (truk sayur, kalau nggak salah ingat) yang memang akan menuju Baderan.
To be continued...
Sneak peek part 1: kondisi jalur pendakian yang hujan dan berkabut, difoto pakai kamera ponsel yang berembun karena dingin
teks.
MaasyaAllah mbakk. Strong sekali sampai 5 hari jalan ke gunung. Tips nya apa biar kuat? Apa nggak kehabisan bekal di perjalanan? Bayangin banyak banget yang dibawa.
BalasHapusMasyaAllah seruuu banget pasti mendaki gunung gini. Apalagi aku sering banget lihat film tentang mendaki gini jadi pengen banget nih
BalasHapusWaa... Masya Allah. Hiking memang seru banget. Beruntung sekali masih bisa berkesempatan untuk mendaki ya👍.
BalasHapusBtw, salut saya, hiking ketika musim hujan, berani banget. Saya awal bacanya ngerasa bergidik, ngebayangin bahayanya😅
Strong sekali pendakian sampai 6 hari, itu belum termasuk perjalanan PP dari rumah ke lokasi. Kalau aq pasti sudah tepar, baru sehari semalam saja istirahatnya semingguan dirumah
BalasHapusCatatan seru sekali kak, ditunggu keseruan berikutnya...
BalasHapusBy the way, setelah 6 hari mendaki gimana rasanya badan ya..
MasyaAllah keren banget kak. Ngebayanginnya jadi pingin merasakan mendaki kayak kakak.
BalasHapus