Kalau
dengar kata ‘ranu’, yang langsung lewat di pikiran orang mungkin adalah Ranu
Kumbolo. Danau yang terletak sejalan dengan jalur pendakian Gunung Semeru di
area Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS), Jawa Timur, ini emang
terkenal banget. Namun sebenarnya banyak danau-danau lain yang punya nama depan
‘ranu’.
‘Ranu’
sendiri memang punya arti ‘danau’. Asalnya dari bahasa Jawa. Kurang tahu di
Jawa bagian lainnya, tapi kalau di Jatim sendiri emang banyak danau yang
disebut ranu. Ada Ranu Kumbolo dan Ranu Regulo di Semeru; Ranu Grati di Pasuruan;
Ranu Manduro di Mojokerto—yang sempat viral dan aslinya bukan danau alami
seperti yang lain tapi lubang dalam bekas galian tambang); dan Ranu Darungan, Ranu
Pakis, Ranu Klakah, dan Ranu Bedali di Lumajang. Tiga danau yang disebut
terakhir inilah yang jadi jujugan saya saat itu.
By the
way, ini perjalanannya udah agak lama jadi beberapa hal mungkin
udah kurang relevan. Saya pengin nyeritain ranunya karena unforgettable.
Perjalanan
saat itu nggak direncanakan sebenarnya. Kebetulan ada yang ngajak jalan ke
Mojokerto atau Malang. Namun saya nggak mau karena sebelumnya sering ke sana.
Keluarlah usulan Lumajang.
“Jauh itu.
Kita naik motor, lho,” sanggah partner jalan saat itu.
“Terus ke
mana? Pemandangannya Lumajang juga bagus-bagus, lho.”
Pendek kata,
akhirnya kami berangkat juga ke Lumajang dengan ‘iming-iming’: tempatnya bagus
dan nggak begitu ramai jadi bisa lebih santai.
Pemandangan
alam Kabupaten Lumajang memang cantik, nggak kalah dengan kota lain. Bahkan
sebagian area Semeru dan Ranu Kumbolo pun sebenarnya terletak di Lumajang.
Ngelihat Mahameru dari Pronojiwo-Lumajang beuh cantiknya (jadi pengin ke sana,
hehe). Bedanya cuma wisata di Lumajang agak underrated alias kurang
terkenal aja, terutama buat orang luar Jatim.
Coba tanya
orang luar Jatim yang mau wisata ke Jatim, kalau wisata alam penginnya ke mana.
Mungkin jawabannya nggak jauh-jauh dari Surabaya atau Batu/Malang. Sekarang
mungkin jawabannya lebih bervariasi misalnya ke Banyuwangi dan sekitarnya, yang
belakangan ini kayaknya wisatanya makin digenjot.
DAFTAR
ISI
Akses Transportasi
Entah mengapa
kabupaten satu ini kurang tenar dibanding tetangganya. Bisa jadi karena
pengelolaannya kurang fokus, mungkin fokus ekonominya memang lebih ke sektor
agraris, atau—kalau dari sudut pandang saya sebagai wisatawan—aksesnya masih
relatif sulit. Jalannya sendiri udah relatif bagus, tapi transpor umumnya yang
kurang sehingga orang harus bawa kendaraan sendiri atau carter.
Kalau
naik kereta api sebenarnya bisa turun di Stasiun Klakah. Namun setelah
itu dilanjut kendaraan lain. Waktu itu ketika mampir ke pasar dekat kecamatan
sempat ngobrol sama mas-mas setempat, kalau naik kereta memang setelah itu
harus nyewa kendaraan. Angkot ada tapi nggak ke-cover semua area dan
nggak terlalu masuk-masuk desa, sedangkan tempat-tempat yang saya kunjungi ini
letaknya agak masuk. Jadi ya... susah. Sewa kendaraan pun, tutur masnya, hanya
bisa mobil. Nggak ada sewa motor (karena kalau dipikir ya ngapain juga buka
sewa motor kalau pengunjung di daerah itu sedikit?). Artinya mendingan jalan ke
situ berbanyak orang supaya patungan carter mobilnya lebih murah.
Kalau
naik kendaraan pribadi, nggak masalah. Jalan Raya Pos (De Groote
Postweg) yang diperbaiki era VOC oleh Daendels terbentang dari Surabaya-Sidoarjo-Pasuruan-
Probolinggo. Setelah itu kita lanjut ke jalan raya (kayaknya) antarkota yang
juga lebar banget, menuju Lumajang.
Hambatannya
‘cuma’ kadang macet. Dan karena rame pol dan ada berbagai kendaraan
(motor-mobil-truk gede-gede), rawan kecelakaan di beberapa titik. Dalam
perjalanan berangkat aja kami menemukan lebih dari dua kecelakaan.
Anyway, kalau
pakai mobil kayaknya waktu tempuhnya bisa lebih cepat karena sekarang
sudah ada tol sampai Probolinggo. Dan ngomong-ngomong soal biaya transpor yang
lebih terjangkau tanpa carter, kayaknya sekarang ada open trip yang
cover area Lumajang (tapi nggak ke tiga ranu ini; ke tempat lain).
Ngomong-ngomong
soal open trip, saya jadi ingat open trip ke Bromo. Di beberapa
operator tur ada tulisan ‘Bromo via Probolinggo’. Yup, area TNBTS memang punya
banyak pintu masuk, salah satunya Bromo via Tongas (Probolinggo). Tongas ini
termasuk salah satu daerah yang dilewati Patih Gajahmada saat perjalanannya menuju
Air Terjun Madakaripura (air terjun ini di area Bromo-Tengger-Semeru juga),
tempat ia konon moksa setelah pensiun dari jabatannya di Kerajaan Majapahit.
Saya jadi
berandai-andai, ‘Seberapa tua jalur dan desa di area ini kalau sejak
Majapahit aja udah bisa dilewati orang?’
Segitiga Ranu
Kami
memulai perjalanan dari Surabaya pukul enam pagi. Lalu lintas lancar dan rada
mendung. Saya berdoa, semoga nggak hujan supaya nggak ribet di jalan.
Perjalanan lumayan jauh itu ternyata malah cenderung sumuk. Mendung,
tapi hawanya panas.
Kami
menyusuri jalan-jalan besar dan lintas kota serta provinsi. Di kiri-kanan tampak
beberapa rest area besar-besar yang juga menyuguhkan jajanan lokal. Di
sebelah kiri, beberapa kali kami berjalan bersisian dengan laju kereta api.
Dengan
kecepatan standar plus berhenti sebentar di rest area, sampailah kami di
daerah Klakah sekitar pukul sepuluh. Klakah ini salah satu daerah di Kab.
Lumajang. Danau yang pengin kami kunjungi terletak di sini, namanya Ranu
Klakah.
Namun
saat ngecek Maps, saya ngelihat ada dua bundaran biru lain di sekitar sini.
Harusnya sama-sama danau dong, ya. Dan ngelihat lokasinya yang cukup
berdekatan, akhirnya saya usul supaya tujuan kami diubah yaitu mengunjungi
tiga-tiganya, nggak Ranu Klakah aja. Kan sayang udah pergi jauh-jauh kalau
nggak dimaksimalin jalan-jalannya.
Akhirnya
tujuan kami ubah, bukan ke Ranu Klakah tapi pergi ke danau yang terdekat dulu,
yaitu Ranu Bedali.
Ranu Bedali
Kalau bukan
karena rute di Maps yang cukup meyakinkan kali itu, kami mungkin bakal batal ke
Ranu Bedali. Soalnya jalannya rada masuk dan di awal penuh rimbun tumbuhan liar
dan sedikit bangunan.
“Beneran,
nih, ini jalannya?” tanya partner saat itu.
“Iyaaa.”
Dari
jalan raya besar, kami belok kiri. Saya lupa ada plangnya atau enggak, tapi
partner kemudian memutuskan tanya ke warga yang kebetulan lewat. Kurang lebih
begini percakapannya.
“Nuwun
sewu. Ke Ranu Klakah lewat sini?”
“Bisa,
tapi mbulet. Lebih enak lewat jalan raya dulu baru belok.”
“Kalau
Ranu Bedali lewat sini, nggih?” saya bertanya, yang kemudian diiyakan
oleh warga tsb.
Selesai
percakapan, partner bersiap memutar motor ke jalan raya.
“Lho, mau
ke mana?”
“Lho,
katanya tadi kan lewat jalan raya lebih enak.”
“Lho,
tapi kan kita mau ke Bedali dulu?!”
“...”
Hening.
“Oh iya,
ya.”
Ggrrr. Saya
mulai dongkol, menggerutu kenapa partner bisa pelupa begini padahal baruu aja
diobrolin. Belum juga lima menit. Mungkin kedongkolan ini tumpukan dari
sebelumnya ketika berjam-jam yang lalu berkali-kali diragukan, “Ini bener, nih,
jalannya ini?” Allahu, saya juga belum pernah lewat sini tapi kan bisa lihat
Maps karena ini jalan gede. “Halah nggak usah lihat HP, tanya orang aja.” Ya
kalau jalan kecil, sih, saya setuju nanya orang karena info warga lokal lebih tepercaya
dibanding Google Maps, tapi kalau jalan gede segede jalan lintas
provinsi/antarkota ya ngapain tanya orang? Di GMaps kan udah lumayan kredibel?
Kalau berhenti-berhenti terus nanti nggak nyampe-nyampe!
Tarik napas,
buang.... ‘Inget, ke sini buat liburan,’ saya mengingatkan diri sendiri.
‘Percuma liburan kalau malah stres.’
Singkat
cerita, kami sampai di Ranu Bedali. Ada plang penanda dan cat warna-warni di
sana. Dari pintu masuk, danaunya sendiri nggak kelihatan. Setelah parkir motor dan
bayar, kami pun masuk. Tiket per orangnya Rp5.000 saat itu.
Dari atas
(dekat parkiran), danau ini sudah kelihatan. Namun kalau ingin lebih dekat,
kita bisa menyusuri jalan setapak turun ke dekat pinggiran.
Untuk
menuju tepian danau, kita harus jalan sedikit. Dari parkiran kami turun ke
bawah. Jalan berpavingnya waktu itu cukup licin, kombinasi rada berlumut dan
rada gerimis. Saat udah turun ini, tepi danaunya udah kelihatan sebenarnya.
Namun karena pengin cari spot yang bagus dan lebih nyaman buat duduk,
akhirnya kami jalan ke sisi danau lainnya. Cukup jauh dan panjang kayaknya,
karena partner bolak-balik minta berhenti karena capek.
Kami
berjalan dari sisi satu ke sisi lain danau. Kalau diukur perkiraan lewat Google
Maps, ada kali 500 meteran. Pantesan capek.
💡 Sebuah
tips:
Bawa air
minum dan jajan supaya bisa isi energi lagi setelah jalan jauh. Di jalan
setapak ini nggak ada warung jualan.
Tepian
danau amat rimbun. Sangking rimbunnya, jalan setapak tertutup kanopi pepohonan
sehingga adem dan sejuk. Namun selain pohon, semak-semak juga menutupi tepian.
Akhirnya butuh berjalan 10-15 menit sampai kami nemu tanah datar yang nggak
tertutup semak, tapi rumput aja, sehingga bisa duduk sebentar.
Danau
yang dikelola oleh kelompok wisata/pokdarwis setempat ini tampak masih alami. Biasanya
kan danau wisata ada jejeran warungnya atau ada frame foto atau pagarnya
dicat warna-warni, di sini enggak (ada tempat foto dan platform tapi di
atas, dekat parkiran).
Tepi
danaunya ‘dipagari’ rumput berbunga dan semak. Warna airnya hijau. Sekelilingnya
tertutup dataran yang lebih tinggi dan pohon-pohon besar yang menjulang. Kayak
danau muncul dari balik hutan aja gitu. Cantiknya alami!
Kami
berjalan sampai ketemu gazebo bambu. Di sana ada seorang bapak yang sedang
duduk-duduk setelah cari rumput. Setelah saling sapa, larutlah kami dalam
obrolan ngalor-ngidul.
Dari bapak
tersebutlah kami jadi tahu asal-muasal nama ‘Bedali’. Ceritanya dulu
zaman Majapahit, ada pejabat pusat yang inspeksi ke Lumajang. Waktu itu namanya
masih Lamajang. Rombongan kerajaan ini berhenti sebentar di dekat danau
untuk istirahat. Nah, Ranu Bedali itu kan letaknya di cekungan; jadi danaunya
di bawah, di sekelilingnya/di atas ada dataran tempat orang biasa lewat.
Rombongan itu berhenti di satu pohon besar di atas. Namun, saat kuda-kuda
tunggangan mereka berhenti, kuda-kuda itu langsung lari ke arah danau. Mungkin
karena saking hausnya sehingga nggak sabar minum air segar. Tingkah kuda-kuda
ini disebut ‘mbedhal’ (bahasa Jawa), yang artinya kurang lebih ‘melepaskan diri
dari kendali (pegangan/kekangan, terutama tali)’. Dari peristiwa inilah konon
kemudian danau tempat kejadiannya dinamakan ‘Ranu Bedali’.
Beliau
juga mengatakan bahwa di daerah sini dulu ada danau lain juga, namanya Ranu
Yoso. Sekarang nama ini udah jadi nama kecamatan di mana Ranu Bedali berlokasi,
sedangkan ranunya sendiri sudah nggak ada. Hilang, mungkin kering. Sekarang
hanya tersisa genangan-genangan pada sawah atau tanah.
Di daerah
ini memang ada banyak danau. Ranu Bedali-Ranu Pakis-Ranu Klakah sendiri ada
yang menyebut sebagai ‘Segitiga Ranu’ di Lumajang. Jaraknya juga relatif dekat
satu sama lain, nggak lebih dari 10 km.
Apa ada
hubungannya dengan aktivitas vulkanis
yang ada di sini, mengingat lokasi ranu yang dekat banget dengan Gunung
Lemongan yang dulu pernah aktif sampai meletus?
Kami
ngobrol dan bersantai beberapa saat. Kesalahan, karena cuma bawa air minum satu
botol tanpa jajan. Akhirnya setelah puas duduk-duduk, foto-foto, dan bengong
dilihatin kumpulan monyet dan anak-anaknya, kami pun memutuskan keluar cari
bakso.
Oh iya,
di area Ranu Bedali ini juga ada air terjunnya. Sayang waktu itu nggak ke sana
karena menurut bapak tadi sedang kering. Kalau dari parkiran tadi, arahnya
turun ke bawah > jalan terus ke kanan sampai ke pinggiran sebelah timur >
jalan ke utara.
Ranu Klakah
Saya
pertama kali tahu tentang Ranu Klakah dari... komik Webtoon. Waktu itu masih suka
baca Webtoon, nungguin update-an harian, hahaha. Salah satu komik yang
saya baca (kalau nggak salah) Dracko Diary. Komik tentang keseharian komikusnya
ini ber-setting di Lumajang, kota tempat dia tinggal. Ada beberapa
episode yang nyeritain Dracko sepedaan sore ke Ranu Klakah. Karena namanya mirip
Ranu Kumbolo yang saya suka (sama-sama ada ‘ranu’-nya, hehehe), saya jadi
tertarik pergi ke sana.
Terima
kasih udah mengenalkan Ranu Klakah, Mas Drack!
Pendek
cerita, setelah dari Ranu Bedali, kami cari makan siang di sekitar situ. Nemulah
warung bakso. Setelah makan, kami mulai cari penginapan. Awalnya kami nggak
niat bermalam, tapi ngelihat jarak perjalanan yang lama dan panjang, kayaknya
bakal kecapekan kalau dipaksa balik Surabaya hari itu juga. Apalagi kami belum
lihat Ranu Klakah dan Ranu Pakis.
Cari penginapan
di area ini serasa harap-harap cemas. Bukan apa, tapi ini kan bukan tempat wisata
ramai yang banyak orang, yang artinya nggak banyak ada penginapan. Bahkan kami
sempat bertanya-tanya, jangankan sedikit, penginapannya ada atau nggak? Habislah
kalau ternyata nggak ada dan kami harus nginap di Lumajang kota, yang jaraknya
ada kali 15 km.
Untunglah
ada warga yang menginfokan bahwa tersedia penginapan di dekat jalan raya besar.
Akhirnya kami pergi ke penginapannya dulu, memastikan penginapannya buka. Setelah
check in, saya pun lega. Seenggaknya malam ini bisa istirahat tenang
supaya fresh buat balik besok.
Setelah
dapat penginapan, kami pun pergi ke Ranu Klakah. Inilah alasan utama kami main
ke Lumajang kali ini; selain menuntaskan penasaran karena di beberapa episode
Dracko Diary kayaknya ayem banget jalan-jalan sore ke Ranu Klakah.
Ranu
Klakah juga menarik perhatian saya karena sketsanya muncul di catatan
perjalanan Junghuhn (tahun 1852). Di gambar itu terlihat sebuah danau dengan
gunung di belakangnya. Gunung ini namanya Gunung Lemongan. Dan sama seperti di
sketsa, kita juga bisa melihat danau luas dengan background gunung yang
menjulang. Dramatis!
Gunung
tadi ada yang menyebutnya Gunung Lamongan, ada yang Lemongan. Meski ada yang
nyebut Gunung Lamongan, tapi letaknya jauh banget dari Lamongan yang jadi kota
asal soto lamongan legendaris itu. Gunung ini pernah aktif, tapi terakhir
meletus udah dulu banget.
Ranu Klakah
jauh lebih ramai dari Ranu Bedali. Bahkan jalan menuju Ranu Klakah pun penuh
rumah dan bangunan, rada beda dengan Ranu Bedali yang dominan tumbuhan. Satu
hal yang menarik mata saya selama di perjalanan: hampir tiap rumah punya pohon
buah naga. Mana lagi Januari kan, pada banyak yang ngembang dan berbuah.
Kelopak putih dan buah-buah merah menyala menyembul dari balik hijaunya halaman
rumah.
Tiket
masuk Ranu Klakah seharga Rp4.000,00 per orang. Kecuali warga, gratis. Nggak
ada tempat parkir khusus seperti Ranu Bedali karena kendaraan bisa kita
kendarai menyusuri tepian danau. Seenggaknya, menyusuri di bagian sini karena
di sisi kiri dan ke arah gunung, jalannya tanah kerikil.
Warung-warung
berjejer di sisi danau. Di sisi lain terlihat keramba-keramba untuk budidaya
ikan. Kami duduk-duduk aja nikmatin angin sambil tunggu matahari terbenam. Tapi
matahari terbenamnya nggak kelihatan, karena area danau ini menghadap timur.
Usai dari
Ranu Klakah, kami balik hotel sebentar. Rebahan, mandi, dan sholat, lalu keluar
lagi usai magrib. Cari makan, hehe. Untungnya karena ini jalan raya, relatif
gampang nemu warung. Mampirlah kami ke sebuah warung tenda yang menyediakan
ayam dan ikan.
Warung
ini, seperti juga warung makan lainnya di sekitar Ranu Klakah, mendapat suplai
ikan dari danau tersebut. Saya lupa apa aja jenisnya, tapi ada ikan yang fresh
dari ranu dan ada jenis ikan yang ambil dari daerah lain karena nggak
dibudidayakan di ranu.
Gimana rasanya?
Karena saya bukan penghobi wisata kuliner, saya cuma bisa bilang ini: enak, selayaknya
ikan bakar biasanya.
Setelah cari biskuit dan minuman botol di minimarket lokal, kami pun balik ke penginapan. Malam itu ditutup dengan mainan HP dan nonton berita lokal.
Ranu Pakis
Besoknya,
pagi-pagi kami udah keluar hotel karena pengin lihat sunrise dari balik
Gunung Lemongan. Sayang, mendung... Binar oranyenya kelihatan, tapi sosok si
matahari sendiri nggak kelihatan.
Mungkin
karena kami datang terlalu pagi, loket masih tutup dan penjaganya nggak ada.
Jadi kami masuk gratis seperti warga setempat.
Supaya nggak
kemalaman di perjalanan, kami langsung tancap ke lokasi selanjutnya: Ranu
Pakis. Danau satu ini letaknya lebih dekat ke Ranu Klakah daripada Bedali-Klakah.
Jalan ke
Ranu Pakis saat itu sudah aspal semua, meski ada lubang di beberapa tempat.
Mendekati Ranu Pakis, jalannya mulai kerikil berpasir yang bikin saya ragu apa
ini beneran jalannya atau nggak. Namun setelah berpapasan dengan para penghobi
sepeda yang full gear, kami jadi yakin ini jalannya. Hanya saja mungkin
karena jarang dilewati.
Suasana
di Ranu Pakis sekilas seperti di Ranu Bedali: sepi, sejuk, banyak pohon tinggi.
Kami memutuskan berhenti di pinggir jalan, di tempat yang agak tinggi supaya
bisa melihat danau dari ketinggian. Airnya beriak tenang berwarna biru. Nelayan
setempat mulai menebar jaring. Di kejauhan, deretan Pegunungan Tengger
melintang seperti pagar. Bila kita melihat lebih teliti, puncak Gunung Semeru
yang legendaris itu kelihatan. Tampak kecil banget dari sini.
Lumajang
sendiri jadi daerah yang paling terdampak erupsi Semeru 2021 silam. Aliran
lahar dari Semeru memang mengarah ke Lumajang, kemudian mengalir ke selatan hingga
Samudra Hindia.
Lumajang
memang dikelilingi gunung-gunung aktif. Bahkan di antara tiga ranu yang saya
kunjungi kali ini ada yang terbentuk karena aktivitas vulkanik di masa lalu. Menurut Van Bemmelen, seorang ahli geologi, Ranu Pakis dulu pernah menjadi tempat aliran lahar dari erupsi pegunungan
Tengger-Semeru.
Kalau ngelihat suasananya, Ranu Pakis sepertinya memang bukan tempat wisata. Maksudnya beda dengan dua danau sebelumnya yang ada peruntukan wisatanya selain fungsi budidaya dsb. Jadi emang sepi dan kalau mau nikmatin pemandangan bisa dari tepi danau atau tepi jalan, nggak ada tempat khususnya. Tapi emang kadang enak gini, sih. Makin kerasa alaminya.
Tidak ada komentar: