Kilas Balik 3 Ranu di Lumajang: Ranu Klakah, Pakis, Bedali - Hijaubiru

Selasa, 28 Januari 2025

Kilas Balik 3 Ranu di Lumajang: Ranu Klakah, Pakis, Bedali



Kalau dengar kata ‘ranu’, yang langsung lewat di pikiran orang mungkin adalah Ranu Kumbolo. Danau yang terletak sejalan dengan jalur pendakian Gunung Semeru di area Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS), Jawa Timur, ini emang terkenal banget. Namun sebenarnya banyak danau-danau lain yang punya nama depan ‘ranu’.

 

‘Ranu’ sendiri memang punya arti ‘danau’. Asalnya dari bahasa Jawa. Kurang tahu di Jawa bagian lainnya, tapi kalau di Jatim sendiri emang banyak danau yang disebut ranu. Ada Ranu Kumbolo dan Ranu Regulo di Semeru; Ranu Grati di Pasuruan; Ranu Manduro di Mojokerto—yang sempat viral dan aslinya bukan danau alami seperti yang lain tapi lubang dalam bekas galian tambang); dan Ranu Darungan, Ranu Pakis, Ranu Klakah, dan Ranu Bedali di Lumajang. Tiga danau yang disebut terakhir inilah yang jadi jujugan saya saat itu.

 

By the way, ini perjalanannya udah agak lama jadi beberapa hal mungkin udah kurang relevan. Saya pengin nyeritain ranunya karena unforgettable.


Perjalanan saat itu nggak direncanakan sebenarnya. Kebetulan ada yang ngajak jalan ke Mojokerto atau Malang. Namun saya nggak mau karena sebelumnya sering ke sana. Keluarlah usulan Lumajang.

 

“Jauh itu. Kita naik motor, lho,” sanggah partner jalan saat itu.

“Terus ke mana? Pemandangannya Lumajang juga bagus-bagus, lho.”


Pendek kata, akhirnya kami berangkat juga ke Lumajang dengan ‘iming-iming’: tempatnya bagus dan nggak begitu ramai jadi bisa lebih santai.

 

Pemandangan alam Kabupaten Lumajang memang cantik, nggak kalah dengan kota lain. Bahkan sebagian area Semeru dan Ranu Kumbolo pun sebenarnya terletak di Lumajang. Ngelihat Mahameru dari Pronojiwo-Lumajang beuh cantiknya (jadi pengin ke sana, hehe). Bedanya cuma wisata di Lumajang agak underrated alias kurang terkenal aja, terutama buat orang luar Jatim.

 

Coba tanya orang luar Jatim yang mau wisata ke Jatim, kalau wisata alam penginnya ke mana. Mungkin jawabannya nggak jauh-jauh dari Surabaya atau Batu/Malang. Sekarang mungkin jawabannya lebih bervariasi misalnya ke Banyuwangi dan sekitarnya, yang belakangan ini kayaknya wisatanya makin digenjot.




 DAFTAR ISI 

 

Akses Transportasi

Entah mengapa kabupaten satu ini kurang tenar dibanding tetangganya. Bisa jadi karena pengelolaannya kurang fokus, mungkin fokus ekonominya memang lebih ke sektor agraris, atau—kalau dari sudut pandang saya sebagai wisatawan—aksesnya masih relatif sulit. Jalannya sendiri udah relatif bagus, tapi transpor umumnya yang kurang sehingga orang harus bawa kendaraan sendiri atau carter.

 

Kalau naik kereta api sebenarnya bisa turun di Stasiun Klakah. Namun setelah itu dilanjut kendaraan lain. Waktu itu ketika mampir ke pasar dekat kecamatan sempat ngobrol sama mas-mas setempat, kalau naik kereta memang setelah itu harus nyewa kendaraan. Angkot ada tapi nggak ke-cover semua area dan nggak terlalu masuk-masuk desa, sedangkan tempat-tempat yang saya kunjungi ini letaknya agak masuk. Jadi ya... susah. Sewa kendaraan pun, tutur masnya, hanya bisa mobil. Nggak ada sewa motor (karena kalau dipikir ya ngapain juga buka sewa motor kalau pengunjung di daerah itu sedikit?). Artinya mendingan jalan ke situ berbanyak orang supaya patungan carter mobilnya lebih murah.

 

Kalau naik kendaraan pribadi, nggak masalah. Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) yang diperbaiki era VOC oleh Daendels terbentang dari Surabaya-Sidoarjo-Pasuruan- Probolinggo. Setelah itu kita lanjut ke jalan raya (kayaknya) antarkota yang juga lebar banget, menuju Lumajang.

 

Hambatannya ‘cuma’ kadang macet. Dan karena rame pol dan ada berbagai kendaraan (motor-mobil-truk gede-gede), rawan kecelakaan di beberapa titik. Dalam perjalanan berangkat aja kami menemukan lebih dari dua kecelakaan.

 

Anyway, kalau pakai mobil kayaknya waktu tempuhnya bisa lebih cepat karena sekarang sudah ada tol sampai Probolinggo. Dan ngomong-ngomong soal biaya transpor yang lebih terjangkau tanpa carter, kayaknya sekarang ada open trip yang cover area Lumajang (tapi nggak ke tiga ranu ini; ke tempat lain).

 

Ngomong-ngomong soal open trip, saya jadi ingat open trip ke Bromo. Di beberapa operator tur ada tulisan ‘Bromo via Probolinggo’. Yup, area TNBTS memang punya banyak pintu masuk, salah satunya Bromo via Tongas (Probolinggo). Tongas ini termasuk salah satu daerah yang dilewati Patih Gajahmada saat perjalanannya menuju Air Terjun Madakaripura (air terjun ini di area Bromo-Tengger-Semeru juga), tempat ia konon moksa setelah pensiun dari jabatannya di Kerajaan Majapahit.

 

Saya jadi berandai-andai, ‘Seberapa tua jalur dan desa di area ini kalau sejak Majapahit aja udah bisa dilewati orang?’

 


Segitiga Ranu

Kami memulai perjalanan dari Surabaya pukul enam pagi. Lalu lintas lancar dan rada mendung. Saya berdoa, semoga nggak hujan supaya nggak ribet di jalan. Perjalanan lumayan jauh itu ternyata malah cenderung sumuk. Mendung, tapi hawanya panas.

 

Kami menyusuri jalan-jalan besar dan lintas kota serta provinsi. Di kiri-kanan tampak beberapa rest area besar-besar yang juga menyuguhkan jajanan lokal. Di sebelah kiri, beberapa kali kami berjalan bersisian dengan laju kereta api.

 

Dengan kecepatan standar plus berhenti sebentar di rest area, sampailah kami di daerah Klakah sekitar pukul sepuluh. Klakah ini salah satu daerah di Kab. Lumajang. Danau yang pengin kami kunjungi terletak di sini, namanya Ranu Klakah.

 

Namun saat ngecek Maps, saya ngelihat ada dua bundaran biru lain di sekitar sini. Harusnya sama-sama danau dong, ya. Dan ngelihat lokasinya yang cukup berdekatan, akhirnya saya usul supaya tujuan kami diubah yaitu mengunjungi tiga-tiganya, nggak Ranu Klakah aja. Kan sayang udah pergi jauh-jauh kalau nggak dimaksimalin jalan-jalannya.

 

Akhirnya tujuan kami ubah, bukan ke Ranu Klakah tapi pergi ke danau yang terdekat dulu, yaitu Ranu Bedali.

 

 

Ranu Bedali

Kalau bukan karena rute di Maps yang cukup meyakinkan kali itu, kami mungkin bakal batal ke Ranu Bedali. Soalnya jalannya rada masuk dan di awal penuh rimbun tumbuhan liar dan sedikit bangunan.

 

“Beneran, nih, ini jalannya?” tanya partner saat itu.

“Iyaaa.”

 

Dari jalan raya besar, kami belok kiri. Saya lupa ada plangnya atau enggak, tapi partner kemudian memutuskan tanya ke warga yang kebetulan lewat. Kurang lebih begini percakapannya.

 

Nuwun sewu. Ke Ranu Klakah lewat sini?”

“Bisa, tapi mbulet. Lebih enak lewat jalan raya dulu baru belok.”

“Kalau Ranu Bedali lewat sini, nggih?” saya bertanya, yang kemudian diiyakan oleh warga tsb.

 

Selesai percakapan, partner bersiap memutar motor ke jalan raya.

“Lho, mau ke mana?”

“Lho, katanya tadi kan lewat jalan raya lebih enak.”

“Lho, tapi kan kita mau ke Bedali dulu?!”

“...”

Hening.

“Oh iya, ya.”

Ggrrr. Saya mulai dongkol, menggerutu kenapa partner bisa pelupa begini padahal baruu aja diobrolin. Belum juga lima menit. Mungkin kedongkolan ini tumpukan dari sebelumnya ketika berjam-jam yang lalu berkali-kali diragukan, “Ini bener, nih, jalannya ini?” Allahu, saya juga belum pernah lewat sini tapi kan bisa lihat Maps karena ini jalan gede. “Halah nggak usah lihat HP, tanya orang aja.” Ya kalau jalan kecil, sih, saya setuju nanya orang karena info warga lokal lebih tepercaya dibanding Google Maps, tapi kalau jalan gede segede jalan lintas provinsi/antarkota ya ngapain tanya orang? Di GMaps kan udah lumayan kredibel? Kalau berhenti-berhenti terus nanti nggak nyampe-nyampe!

 

Tarik napas, buang.... ‘Inget, ke sini buat liburan,’ saya mengingatkan diri sendiri. ‘Percuma liburan kalau malah stres.’

 

Singkat cerita, kami sampai di Ranu Bedali. Ada plang penanda dan cat warna-warni di sana. Dari pintu masuk, danaunya sendiri nggak kelihatan. Setelah parkir motor dan bayar, kami pun masuk. Tiket per orangnya Rp5.000 saat itu.


 

Dari atas (dekat parkiran), danau ini sudah kelihatan. Namun kalau ingin lebih dekat, kita bisa menyusuri jalan setapak turun ke dekat pinggiran.

 

Untuk menuju tepian danau, kita harus jalan sedikit. Dari parkiran kami turun ke bawah. Jalan berpavingnya waktu itu cukup licin, kombinasi rada berlumut dan rada gerimis. Saat udah turun ini, tepi danaunya udah kelihatan sebenarnya. Namun karena pengin cari spot yang bagus dan lebih nyaman buat duduk, akhirnya kami jalan ke sisi danau lainnya. Cukup jauh dan panjang kayaknya, karena partner bolak-balik minta berhenti karena capek.

 

Kami berjalan dari sisi satu ke sisi lain danau. Kalau diukur perkiraan lewat Google Maps, ada kali 500 meteran. Pantesan capek.

 

💡 Sebuah tips:

Bawa air minum dan jajan supaya bisa isi energi lagi setelah jalan jauh. Di jalan setapak ini nggak ada warung jualan.

 

Tepian danau amat rimbun. Sangking rimbunnya, jalan setapak tertutup kanopi pepohonan sehingga adem dan sejuk. Namun selain pohon, semak-semak juga menutupi tepian. Akhirnya butuh berjalan 10-15 menit sampai kami nemu tanah datar yang nggak tertutup semak, tapi rumput aja, sehingga bisa duduk sebentar.

 

Danau yang dikelola oleh kelompok wisata/pokdarwis setempat ini tampak masih alami. Biasanya kan danau wisata ada jejeran warungnya atau ada frame foto atau pagarnya dicat warna-warni, di sini enggak (ada tempat foto dan platform tapi di atas, dekat parkiran).

 

Tepi danaunya ‘dipagari’ rumput berbunga dan semak. Warna airnya hijau. Sekelilingnya tertutup dataran yang lebih tinggi dan pohon-pohon besar yang menjulang. Kayak danau muncul dari balik hutan aja gitu. Cantiknya alami!

 

Kami berjalan sampai ketemu gazebo bambu. Di sana ada seorang bapak yang sedang duduk-duduk setelah cari rumput. Setelah saling sapa, larutlah kami dalam obrolan ngalor-ngidul.

 

Dari bapak tersebutlah kami jadi tahu asal-muasal nama ‘Bedali’. Ceritanya dulu zaman Majapahit, ada pejabat pusat yang inspeksi ke Lumajang. Waktu itu namanya masih Lamajang. Rombongan kerajaan ini berhenti sebentar di dekat danau untuk istirahat. Nah, Ranu Bedali itu kan letaknya di cekungan; jadi danaunya di bawah, di sekelilingnya/di atas ada dataran tempat orang biasa lewat. Rombongan itu berhenti di satu pohon besar di atas. Namun, saat kuda-kuda tunggangan mereka berhenti, kuda-kuda itu langsung lari ke arah danau. Mungkin karena saking hausnya sehingga nggak sabar minum air segar. Tingkah kuda-kuda ini disebut ‘mbedhal’ (bahasa Jawa), yang artinya kurang lebih ‘melepaskan diri dari kendali (pegangan/kekangan, terutama tali)’. Dari peristiwa inilah konon kemudian danau tempat kejadiannya dinamakan ‘Ranu Bedali’.

 

Beliau juga mengatakan bahwa di daerah sini dulu ada danau lain juga, namanya Ranu Yoso. Sekarang nama ini udah jadi nama kecamatan di mana Ranu Bedali berlokasi, sedangkan ranunya sendiri sudah nggak ada. Hilang, mungkin kering. Sekarang hanya tersisa genangan-genangan pada sawah atau tanah.

 

Di daerah ini memang ada banyak danau. Ranu Bedali-Ranu Pakis-Ranu Klakah sendiri ada yang menyebut sebagai ‘Segitiga Ranu’ di Lumajang. Jaraknya juga relatif dekat satu sama lain, nggak lebih dari 10 km.

 

Apa ada hubungannya dengan  aktivitas vulkanis yang ada di sini, mengingat lokasi ranu yang dekat banget dengan Gunung Lemongan yang dulu pernah aktif sampai meletus?

 

Kami ngobrol dan bersantai beberapa saat. Kesalahan, karena cuma bawa air minum satu botol tanpa jajan. Akhirnya setelah puas duduk-duduk, foto-foto, dan bengong dilihatin kumpulan monyet dan anak-anaknya, kami pun memutuskan keluar cari bakso.

 

Oh iya, di area Ranu Bedali ini juga ada air terjunnya. Sayang waktu itu nggak ke sana karena menurut bapak tadi sedang kering. Kalau dari parkiran tadi, arahnya turun ke bawah > jalan terus ke kanan sampai ke pinggiran sebelah timur > jalan ke utara.

 

 

Ranu Klakah

Saya pertama kali tahu tentang Ranu Klakah dari... komik Webtoon. Waktu itu masih suka baca Webtoon, nungguin update-an harian, hahaha. Salah satu komik yang saya baca (kalau nggak salah) Dracko Diary. Komik tentang keseharian komikusnya ini ber-setting di Lumajang, kota tempat dia tinggal. Ada beberapa episode yang nyeritain Dracko sepedaan sore ke Ranu Klakah. Karena namanya mirip Ranu Kumbolo yang saya suka (sama-sama ada ‘ranu’-nya, hehehe), saya jadi tertarik pergi ke sana.

Terima kasih udah mengenalkan Ranu Klakah, Mas Drack!



Pendek cerita, setelah dari Ranu Bedali, kami cari makan siang di sekitar situ. Nemulah warung bakso. Setelah makan, kami mulai cari penginapan. Awalnya kami nggak niat bermalam, tapi ngelihat jarak perjalanan yang lama dan panjang, kayaknya bakal kecapekan kalau dipaksa balik Surabaya hari itu juga. Apalagi kami belum lihat Ranu Klakah dan Ranu Pakis.

 

Cari penginapan di area ini serasa harap-harap cemas. Bukan apa, tapi ini kan bukan tempat wisata ramai yang banyak orang, yang artinya nggak banyak ada penginapan. Bahkan kami sempat bertanya-tanya, jangankan sedikit, penginapannya ada atau nggak? Habislah kalau ternyata nggak ada dan kami harus nginap di Lumajang kota, yang jaraknya ada kali 15 km.

 

Untunglah ada warga yang menginfokan bahwa tersedia penginapan di dekat jalan raya besar. Akhirnya kami pergi ke penginapannya dulu, memastikan penginapannya buka. Setelah check in, saya pun lega. Seenggaknya malam ini bisa istirahat tenang supaya fresh buat balik besok.

 

Setelah dapat penginapan, kami pun pergi ke Ranu Klakah. Inilah alasan utama kami main ke Lumajang kali ini; selain menuntaskan penasaran karena di beberapa episode Dracko Diary kayaknya ayem banget jalan-jalan sore ke Ranu Klakah.

 


Ranu Klakah juga menarik perhatian saya karena sketsanya muncul di catatan perjalanan Junghuhn (tahun 1852). Di gambar itu terlihat sebuah danau dengan gunung di belakangnya. Gunung ini namanya Gunung Lemongan. Dan sama seperti di sketsa, kita juga bisa melihat danau luas dengan background gunung yang menjulang. Dramatis!

 

Gunung tadi ada yang menyebutnya Gunung Lamongan, ada yang Lemongan. Meski ada yang nyebut Gunung Lamongan, tapi letaknya jauh banget dari Lamongan yang jadi kota asal soto lamongan legendaris itu. Gunung ini pernah aktif, tapi terakhir meletus udah dulu banget.

 

Ranu Klakah jauh lebih ramai dari Ranu Bedali. Bahkan jalan menuju Ranu Klakah pun penuh rumah dan bangunan, rada beda dengan Ranu Bedali yang dominan tumbuhan. Satu hal yang menarik mata saya selama di perjalanan: hampir tiap rumah punya pohon buah naga. Mana lagi Januari kan, pada banyak yang ngembang dan berbuah. Kelopak putih dan buah-buah merah menyala menyembul dari balik hijaunya halaman rumah.

 

Tiket masuk Ranu Klakah seharga Rp4.000,00 per orang. Kecuali warga, gratis. Nggak ada tempat parkir khusus seperti Ranu Bedali karena kendaraan bisa kita kendarai menyusuri tepian danau. Seenggaknya, menyusuri di bagian sini karena di sisi kiri dan ke arah gunung, jalannya tanah kerikil.

 

Warung-warung berjejer di sisi danau. Di sisi lain terlihat keramba-keramba untuk budidaya ikan. Kami duduk-duduk aja nikmatin angin sambil tunggu matahari terbenam. Tapi matahari terbenamnya nggak kelihatan, karena area danau ini menghadap timur.

 

Usai dari Ranu Klakah, kami balik hotel sebentar. Rebahan, mandi, dan sholat, lalu keluar lagi usai magrib. Cari makan, hehe. Untungnya karena ini jalan raya, relatif gampang nemu warung. Mampirlah kami ke sebuah warung tenda yang menyediakan ayam dan ikan.

 

Warung ini, seperti juga warung makan lainnya di sekitar Ranu Klakah, mendapat suplai ikan dari danau tersebut. Saya lupa apa aja jenisnya, tapi ada ikan yang fresh dari ranu dan ada jenis ikan yang ambil dari daerah lain karena nggak dibudidayakan di ranu.

 

Gimana rasanya? Karena saya bukan penghobi wisata kuliner, saya cuma bisa bilang ini: enak, selayaknya ikan bakar biasanya.

 

Setelah cari biskuit dan minuman botol di minimarket lokal, kami pun balik ke penginapan. Malam itu ditutup dengan mainan HP dan nonton berita lokal. 

 

 

Ranu Pakis

Besoknya, pagi-pagi kami udah keluar hotel karena pengin lihat sunrise dari balik Gunung Lemongan. Sayang, mendung... Binar oranyenya kelihatan, tapi sosok si matahari sendiri nggak kelihatan.

 

Mungkin karena kami datang terlalu pagi, loket masih tutup dan penjaganya nggak ada. Jadi kami masuk gratis seperti warga setempat.

 

Supaya nggak kemalaman di perjalanan, kami langsung tancap ke lokasi selanjutnya: Ranu Pakis. Danau satu ini letaknya lebih dekat ke Ranu Klakah daripada Bedali-Klakah.

 

Jalan ke Ranu Pakis saat itu sudah aspal semua, meski ada lubang di beberapa tempat. Mendekati Ranu Pakis, jalannya mulai kerikil berpasir yang bikin saya ragu apa ini beneran jalannya atau nggak. Namun setelah berpapasan dengan para penghobi sepeda yang full gear, kami jadi yakin ini jalannya. Hanya saja mungkin karena jarang dilewati.

 


Suasana di Ranu Pakis sekilas seperti di Ranu Bedali: sepi, sejuk, banyak pohon tinggi. Kami memutuskan berhenti di pinggir jalan, di tempat yang agak tinggi supaya bisa melihat danau dari ketinggian. Airnya beriak tenang berwarna biru. Nelayan setempat mulai menebar jaring. Di kejauhan, deretan Pegunungan Tengger melintang seperti pagar. Bila kita melihat lebih teliti, puncak Gunung Semeru yang legendaris itu kelihatan. Tampak kecil banget dari sini.

 

Lumajang sendiri jadi daerah yang paling terdampak erupsi Semeru 2021 silam. Aliran lahar dari Semeru memang mengarah ke Lumajang, kemudian mengalir ke selatan hingga Samudra Hindia.

 

Lumajang memang dikelilingi gunung-gunung aktif. Bahkan di antara tiga ranu yang saya kunjungi kali ini ada yang terbentuk karena aktivitas vulkanik di masa lalu. Menurut Van Bemmelen, seorang ahli geologi, Ranu Pakis dulu pernah menjadi tempat aliran lahar dari erupsi pegunungan Tengger-Semeru.

 

Kalau ngelihat suasananya, Ranu Pakis sepertinya memang bukan tempat wisata. Maksudnya beda dengan dua danau sebelumnya yang ada peruntukan wisatanya selain fungsi budidaya dsb. Jadi emang sepi dan kalau mau nikmatin pemandangan bisa dari tepi danau atau tepi jalan, nggak ada tempat khususnya. Tapi emang kadang enak gini, sih. Makin kerasa alaminya. 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar: