Kalau
dengar kata ‘ranu’, yang terbetik di benak sebagian orang mungkin adalah Ranu
Kumbolo, sebuah danau yang terletak di trek pendakian Gunung Semeru. Namun
sebenarnya ada banyak danau lain yang punya nama depan ‘ranu’. Ranu Klakah,
Ranu Pakis, dan Ranu Bedali di Kabupaten Lumajang contohnya.
Kata ‘ranu’
sendiri punya arti ‘danau’ dalam bahasa Jawa. Nggak tahu ini istilah khusus di
Jawa Timur aja atau ada juga di Jawa bagian lainnya. Soalnya kayaknya saya nggak/belum
pernah dengar istilah ini dipakai di danau Jateng/DIY.
Di Jatim
ada banyak danau yang disebut ranu. Maksudnya, nama resminya memang pakai ‘ranu’
di depannya. Dan—nggak tahu ini saya kebetulan nemunya yang kayak gini semua
atau emang semua ranu seperti ini—ranu-ranu ini terbentuk akibat aktivitas
vulkanik a.k.a aktivitas gunung berapi. Termasuk tiga ranu yang bakal kita
obrolin sekarang.
Perjalanan ke
Segitiga Ranu itu sebenarnya nggak direncanakan. Waktu itu diajakin jalan,
ditawarin antara ke Pacet-Trawas (Mojokerto) atau Malang. Saya nggak mau dan
nawarin tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya: Lumajang. Tujuan
utamanya: Ranu Klakah.
“Jauh itu.
Kita naik motor, lho,” sanggah partner jalan saat itu.
“Terus ke
mana? Lumajang pemandangannya juga bagus-bagus, lho.”
Pendek
kata, berangkat juga kami ke salah satu kota di Kawasan Tapal Kuda itu dengan
‘iming-iming’: tempatnya bagus dan nggak begitu ramai jadi bisa lebih santai.
Itu
percakapan beberapa tahun lalu. So, perjalanan ini emang kejadiannya
nggak barusan di 2025 atau 2024, tapi udah lumayan lama sebelum itu. Jadi
beberapa info terkait tempat-tempat ini, terutama view secara visual,
bisa jadi udah berubah banyak. Namun karena momennya pas, jadi pengin
nostalgia nyeritain jalan-jalan ke tempat cakep ini.
Pemandangan
alam Kabupaten Lumajang emang bagus-bagus, nggak kalah sama kota wisata lain di
Jatim. Bahkan sebagian area Semeru dan Ranu Pani-Regulo-Kumbolo (ada yang
nyebut ini sebagai Segitiga Ranu-nya Senduro) pun secara administratif masuk ke
Lumajang. Air terjun Tumpak Sewu, air terjun Kapas Biru, dan pemandangan
Mahameru dari Pronojiwo juga kayaknya kece abis (jadi makin pengin ke sana,
hehe).
Cuma
mungkin nama Lumajang kurang akrab aja di sebagai tujuan wisatawan apalagi yang
berasal dari luar Jatim. Yang paling terkenal, ya, sekitaran Surabaya atau Malang/Batu.
Sekarang mungkin ketambahan Banyuwangi dan sekitarnya, karena kayaknya
belakangan pariwisata mereka lagi digenjot. Namun kalau nyari tujuan yang lebih
tenang, Lumajang bisa banget jadi tujuan.
- Segitiga Ranu Lumajang
- Naik Apa?
- Cerita dari Jalan
- Ranu Bedali dalam Sunyi
- Ranu Klakah dan Geliatnya
- Ranu Pakis dan view Semeru
Segitiga Ranu Lumajang
Ranu
Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Bedali disebut ‘Segitiga Ranu Lumajang’ karena
letaknya yang dekat satu sama lain. Jarak Ranu Klakah ke Ranu Pakis kurang
lebih cuma 1 km, sedangkan Ranu Klakah ke Ranu Bedali cuma 5 km-an.
Kalau
ngelihat data di file foto, perjalanan Ranu Klakah-Pakis cuma 5 menitan.
Jam 5.50-an WIB masih ambil foto di Ranu Klakah, jam 6 pas udah siap berpose di
Ranu Pakis. Padahal waktu itu nyetir motornya nyantai banget.
(Aslinya mah saya nggak begitu merhatiin seberapa jauh/lama perjalanannya, haha. Cuma rasanya emang cepat. Akhirnya cek properties di file foto buat ngecek waktu pengambilan. Ternyata tips nulis catatan perjalanan yang pernah dibahas 🔗di postingan ini berguna juga buat nguprek-uprek perjalanan meski udah lamaaa banget jalan-jalannya).
Ranu Klakah
berlokasi di antara Ranu Pakis dan Bedali. Apa titik lokasi tiga ranu ini membentuk
segitiga? Nggak juga. Kalau ditarik garis malah lebih mirip satu garis lurus. Kemungkinan
dinamain segitiga karena lokasinya yang dekat banget. Jadi sekali jalan,
bisa berkunjung ke tiga danau sekaligus.
Selain tiga
ranu ini, di Kab. Lumajang sebenarnya punya banyak ranu lainnya. Begitu juga di
kabupaten tetangganya. Uniknya, banyak di antara ranu-ranu ini yang kayak
muncul mengelilingi kaki Gunung Lemongan. Nah, Gunung Lemongan ini adalah gunung
berapi yang lokasinya di sebelah Ranu Klakah.
![]() |
Klik foto untuk tampilan lebih jelas |
Fenomena
gunung yang dikelilingi banyak danau ini disebut-sebut cukup unik oleh para
geolog. Soalnya, danau yang mengelilingi G. Lemongan ini banyak banget: ada 27
biji. Di antara 27 itu, 13 ranu masih terisi air seenggaknya sampai tahun 1990.
Namun dengar-dengar makin ke sini makin susut airnya.
Kenapa bisa
banyak danaunya gitu?
Karena
ranu-ranu itu emang hasil aktivitas vulkanik Gunung Lemongan. Makanya mereka disebut
juga sebagai danau maar. Letak danau-danau ini ada di kaki gunung karena
aktivitas G. Lemongan cukup aktif sampai ke dasar gunung; nggak di puncaknya
aja tapi ‘tepi’-nya juga.
Franz Wilhelm
Junghuhn (seorang naturalis Jerman yang direkrut Belanda untuk mengeksplor
nusantara) mengajukan pendapat bahwa ranu-ranu ini sepertinya bukan hasil/bekas
kawah yang meledak, tapi lebih karena ada tumpukan material vulkanik hasil erupsi
gunung yang kemudian (1) runtuh di bagian yang berpori, atau (2) mengalami
penurunan tanah secara tiba-tiba, kemungkinan akibat gempa.
Makanya,
menurut Junghuhn, ranu-ranu di sekitar G. Lemongan ini berbentuk telaga kecil dan
cekung yang serupa mangkuk di sekitar tanah datar, sedangkan dindingnya curam.
Telaga-telaga ini terletak di kaki gunung dan tersembunyi di antara hutan.
Kalau
dilihat-lihat, memang iya. Ranu Bedali jadi salah satu yang paling memenuhi
deskripsi di atas. Di sisi lain, Ranu Klakah nggak punya ‘dinding’ dan
kelihatan kayak danau ‘biasa’. Ranu Pakis? Kombinasi keduanya.
Kayak gimana, sih, penampakan danaunya? Sebelum ke arah sana, kita bahas dulu gimana caranya ke sana. (Kalau pengin langsung ke bagian danau bisa langsung scroll atau klik poin di daftar isi di atas)
Naik Apa ke Sana?
Karena ini
catatan perjalanan, maka selain ngomongin lokasinya, kita juga ngomongin gimana
perjalanannya. Keep in mind kalau ini berdasarkan yang saya lakuin
bertahun-tahun lalu, jadi sekarang mungkin banget udah berubah.
Ada beberapa
opsi: kereta api, mobil, atau motor.
Buat kereta
api, enaknya adalah kita nggak capek di jalan. Tinggal duduk dan kemudian
sampai di Stasiun Klakah, yang masih satu kecamatan sama segitiga ranu ini.
Kekurangannya adalah begitu sampai di sana, kita harus sewa kendaraan untuk
muter-muter. Naik transpor umum atau angkot kayaknya nggak ngatasin karena beberapa
tempat lokasinya masuk banget alias mblusuk sehingga nggak kekover
angkot. Waktu itu sempat ngobrol sama mas-mas di dekat Pasar Klakah, dia bilang
di sekitar situ ada persewaan tapi mobil aja, motor nggak ada. Jadi mungkin
opsi ini lebih cocok buat yang jalan ramean supaya biaya patungan sewa mobilnya
lebih murah. (Meski waktu itu teman jalan sempat nyeletuk, “Minta tolong
petugas hotel aja, siapa tahu bisa nyewa motornya”. Yaa bisa dicoba, tapi nggak
menjamin pasti akan dipinjamin.)
(NB: nggak
semua kereta berhenti di Stasiun Klakah)
Buat mobil
dan motor, rasa-rasanya mirip-mirip. Minus pakai motor pasti lebih capek.
Jalan yang ditempuh juga sama. Waktu itu tolnya belum selesai, jadi mobil ya
lewat jalan biasa. Namun sekarang tolnya udah sampai Probolinggo, sehingga bisa
lebih cepat mobilan sampai Leces (Probolinggo) terus keluar ke arah Klakah.
Oh iya, untuk
travelling di Lumajang juga bisa pakai jasa open trip. Jadi
peserta tinggal saling ketemuan aja di meeting point yang ditentuin agen
tur, terus nanti mobilan bareng. Opsi open trip ini lebih murah daripada
nyewa mobil dan cocok buat yang pengin nyantai tanpa ngatur itinerary.
Di sisi lain, kekurangannya adalah tujuannya udah fixed sehingga kurang
cocok untuk yang pengin travelling sambil eksplor tempat-tempat lain. Waktunya
juga terbatas. Beberapa tujuan yang sering saya temuin di iklan tur wisata biasanya
ke tempat-tempat yang amat happening seperti air terjun Tumpak Sewu atau
Kapas Biru. Jadi tiga ranu ini biasanya nggak termasuk.
Kalau naik motor,
enaknya adalah kita bisa eksplor sampai ke tempat-tempat yang mblusuk bahkan
jalannya nggak aspal. Namun risikonya ya itu... capek. Perjalanan Surabaya-Lumajangnya
aja udah makan waktu sepagian.
Waktu itu
kami juga naik motor. Kami cabut dari Surabaya jam 06.00-an pagi dan sampai
Ranu Bedali jam 10.30-an. Ini pakai kecepatan standar dan nyetirnya santai,
plus sempat berhenti 30 menitan di rest area.
Lewat mana?
Cukup ikuti petunjuk di Google Maps. Jalan arah Lumajang ini jalan gede (banget);
termasuk jalur lintas-kota dan lintas-provinsi. Jadi untuk sampai sana akan
kecil kemungkinan nyasar karena ada papan petunjuk hijau gede-gede.
👉 RUTE:
Sepanjang
jalan ini ada beberapa tempat/daerah yang kami jadiin checkpoint (supaya
antartitik nggak berasa jauh-jauh amat, hehehe). Rutenya yaitu (nama kota digaris bawah): Surabaya > Sidoarjo > Gempol >
belok kiri > Bangil > Pasuruan > Grati (ada ranunya juga
di sini!) > Tongas > Probolinggo > Leces > Klakah (Lumajang).
Kalau
dilihat di peta, ini perjalanan arahnya ke selatan (bawah) sampai Sidoarjo, lalu
belok ke timur, lalu belok lagi ke selatan.
Waktu itu
musim hujan. Cuaca mendung sejak jam enam, tapi untungnya nggak hujan. Malah di
beberapa daerah tepi pantai macam Pasuruan, matahari terik banget sampai pengin
rasanya lepas jaket.
Kami
menyusuri jalan-jalan amat lebar. Kadang di sisi kanan jalan barengan dengan
truk atau kontainer. Kadang ngeri-ngeri sedap rasanya, meski antarkendaraan ada
jarak dan nggak mepet-mepet banget.
Di
kiri-kanan sering nampak rest area dari kecil sampai besar. Saya
ngebayangin pas musim mudik lebaran, ini rest area pasti penuh orang. Beda
sama sekarang yang sepi mamring. Di sebelah kiri, beberapa kali kami berkendara
bersisian dengan kereta yang sedang melaju. Sepertinya itu kereta tujuannya
kalau nggak ke Jember ya Banyuwangi. Sempat saya tangkap tulisan “Sri Tanjung”
di badan kereta; kereta yang beberapa kali saya naiki kalau ke Yogya.
Cerita dari Jalan
Debu halus
beterbangan, terasa lengket di kulit. Meski slayer menutupi separuh
wajah, tetap aja kening rasanya kotor. Jalan masih lebar memanjang di depan
mata.
Jalan
lintas provinsi ini memang ramai dan jadi jalur transportasi utama sejak
berabad-abad lalu. Yes, you guess it right, ini adalah potongan Jalan Raya
Pos (De Grote Postweg) yang diperbagus tim Daendels di era 1800-an. Lintasan
ini mengular sepanjang Pulau Jawa; dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jatim).
Sebelum era
Daendels, jalan-jalan ini udah ada. Malah, beberapa ruas jalan ditengarai udah sering
dipakai sejak kerajaaan-kerajaan di Pulau Jawa sedang jaya-jayanya. Nah di era
Daendels jadi gubernur jenderal Hindia-Belanda, jalan-jalan ini dibagusin (dan
beberapa ruas disambungin) supaya jalur komunikasi dia dengan staf-stafnya
lebih lancar dan lebih gampang ngirim barang atau mobilisasi pasukan.
Jadi jangan
takut nyasar di area ini karena sejak zaman kerajaan aja jalurnya udah jelas. Apalagi
sekarang.
Jejak-jejak
masa lalu masih bisa kita lihat sepanjang perjalanan. Kadang berkelebat di
antara gedung dan bangunan lawas yang gayanya vintage banget. Apalagi ketika
jalan ini sedang membawa kita melintasi area-area kota lama seperti daerah Bangil,
misalnya. Bangunan-bangunan tumbuh berderet berdempetan dengan warna hampir
seragam; putih kekuningan atau kecokelatan.
Kadang
rasanya kayak ‘diizinkan’ menyibak tabir waktu ketika daerah-daerah itu sedang
hidup di awal 1900-an atau 1990-an. Vibes-nya... khas.
Saya
beruntung di perjalanan kali ini jadi pihak yang membonceng di jok belakang, sehingga
bisa lebih santai lihat pemandangan. Kalau nyetir kayaknya nggak bisa sesantai
itu karena harus fokus di lalu lintas padat ini. Gimana enggak, belum sampai
Leces aja kami udah ngelihat dua kecelakaan.
“Macet onok opo, Mas? Truk
mogok ta?” tanya pengendara di dekat kami pada seorang pemuda yang membantu
mengatur kendaraan.
“Gak, onok
sing tabrakan.”
Mendapati beberapa
kecelakaan dalam satu lintasan, tak pelak muncul rasa ngeri. Yah, beberapa
titik di jalur perjalanan ini emang udah terkenal sebagai ‘jalur tengkorak’
sejak lama, alias titik yang rawan/sering terjadi kecelakaan.
Berhasil
menerobos kemacetan, motor pun kembali melaju.
Matahari
sudah tinggi ketika kami bertemu dengan plang besar bertuliskan ‘Bromo’. Ah,
akhirnya sampai juga di Probolinggo. Sebentar lagi udah Lumajang.
Pintu masuk
Bromo yang paling terkenal (dan paling gampang diakses transum, kayaknya)
memang via Malang. Namun, TNBTS (Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru)
sebenarnya punya empat pintu masuk lewat empat kota berbeda, Probolinggo salah
satunya.
Jalur masuk
lewat Probolinggo itu bisa dicapai via daerah bernama Tongas. Di pinggir jalan
ada penunjuk arah untuk masuk Tongas.
Ngomong-ngomong
soal Tongas, jadi ingat cerita yang bilang bahwa Patih Gajahmada dulu juga
lewat daerah ini untuk mencapai Bromo. Untuk mencapai Air Terjun Madakaripura
tepatnya, yang jadi tempat terakhir ia terlihat dan konon jadi tempat ia moksa
setelah pensiun dari jabatannya di Majapahit.
Beberapa tempat memang seperti melampaui batas waktu.
Sudah ada
sejak dulu dan bertahan dengan nama yang sama hingga sekarang.
Tentunya
Tongas (dan jalanan) di masa itu beda banget sama sekarang. Lebih padat
hutannya, lebih sepi perkampungannya.
Oke, balik
ke masa kini. Singkat cerita sampailah kami di (daerah kecamatan) Klakah. Tujuan
pertama memang ke Ranu Klakah. Namun, rencana itu berubah setelah saya ngecek
GPS dan melihat ada dua bulatan warna biru lainnya di dekat Ranu Klakah.
“Ada satu
danau lagi, nih, yang lebih dekat. Mau ke sana dulu, nggak?” tawar saya.
“Ya udah. Tapi
kasih tahu jalan yang bener, ya.”
“Iyaaa,” saya menjawab dengan nada sewot. Dari tadi juga gue yang jadi navigator ngelihatin jalan, kan? Kagak nyasar juga, kan?
Kesewotan saya
udah bermula sejak pertengahan perjalanan sebenarnya, ketika partner jalan kali
ini bolak-balik meragukan jalan yang saya tunjukin. “Bener ini jalannya?”
tanyanya bolak-balik. Ya Gusti... kalau ini jalan kecil mah saya paham
kalau dia nggak yakin mulu. Tapi tadi kan jalan GEDE banget, banyak plang pula.
Meski G**gle Maps sering nyasarin orang, tapi di jalan seluas itu jelas masih bisa
dipercaya, deh.
Tarik
napas, embuskan...
Inget,
kamu ke sini buat jalan-jalan, bukan buat nambah stres, saya berkali-kali
mengingatkan diri sendiri.
Ranu Bedali
Iya,
perjalanan ke Ranu Bedali dan Ranu Pakis bukan sebuah perjalanan yang
direncanakan karena aslinya mau pergi ke Ranu Klakah doang. Namun karena
ngelihat GPS tadi jadi ngeh ada danau lain di sekitar situ dan bisa dikunjungi.
So, here we go!
Tips kali
ini mungkin ini:
Kalau mau
eksplor, waktu lihat peta jangan terpaku ke tempat tujuan aja. Lihat penanda
atau simbol di sekitar, siapa tahu ada tempat lain yang nggak kalah asyiknya.
Di jalan
raya sebelum belokan ke Ranu Bedali, kami ketemu satu kecelakaan lagi.
Meninggalkan
jalan raya, kendaraan masuk ke jalan yang lebih kecil dan rimbun dengan semak
tinggi. Kali ini, pertanyaan (berulang) partner yaitu, “Beneran, nih, ini
jalannya?” nggak lagi bikin sewot karena saya pun mulai ragu. Ya sudah, mari
cari warga lokal dan tanya jalan.
“Nuwun
sewu...,” partner menyapa warga yang kebetulan lewat.
“Nggih...”
Fyuh, untunglah
bapaknya bisa bahasa Jawa. Kalau beliau bisanya bahasa Madura, mandeklah
komunikasi kami karena saya nggak bisa bahasa Madura. Lumajang, sebagai salah
satu Kawasan Tapal Kuda, lazim menggunakan bahasa Madura.
Dari penuturan
bapak tersebut, memang benar ini jalannya. Oke lanjut.
Sekitar
lima menit kemudian, sampailah kami di tempat dengan penanda ‘Ranu Bedali’. Motor
kami parkir (Rp2.000,00 kalau nggak salah), kemudian setelah bayar tiket
Rp5.000,00 per orang, kami pun masuk.
Danaunya nggak
terlihat langsung dari sisi ini. Meski, nanti setelah kami melanjutkan perjalanan,
sempat terlihat kelebatannya dari pinggir jalan.
Namun Ranu
Bedali tetap bisa dilihat dari atas. Setelah masuk, kami berjalan sedikit. Di dekat
warung jajanan, ada sebuah platform kayu yang menjorok ke tepi tebing. Ketika
berdiri di sanalah, seluruh lanskap ranu terlihat jelas.
Permukaan air yang kehijauan menyeruak di tengah lebat hutan dan vegetasi yang rapat. Tepiannya dikelilingi pohon-pohon yang menjulang seperti dinding dan semak-semak yang sepertinya hampir setinggi orang dewasa, bahkan lebih. Persis deskripsi Junghuhn, ‘seperti mangkuk dengan dinding’. []
Untuk
menuju tepian danau, kita harus jalan sedikit. Dari parkiran kami turun ke
bawah. Jalan berpavingnya waktu itu cukup licin, kombinasi rada berlumut dan
rada gerimis. Saat udah turun ini, tepi danaunya udah kelihatan sebenarnya.
Namun karena pengin cari spot yang bagus dan lebih nyaman buat duduk,
akhirnya kami jalan ke sisi danau lainnya. Cukup jauh dan panjang kayaknya,
karena partner bolak-balik minta berhenti karena capek.
Kami
berjalan dari sisi satu ke sisi lain danau. Kalau diukur perkiraan lewat Google
Maps, ada kali 500 meteran. Pantesan capek.
💡 Sebuah
tips:
Bawa air
minum dan jajan supaya bisa isi energi lagi setelah jalan jauh. Di jalan
setapak ini nggak ada warung jualan.
Tepian
danau amat rimbun. Sangking rimbunnya, jalan setapak tertutup kanopi pepohonan
sehingga adem dan sejuk. Namun selain pohon, semak-semak juga menutupi tepian.
Akhirnya butuh berjalan 10-15 menit sampai kami nemu tanah datar yang nggak
tertutup semak, tapi rumput aja, sehingga bisa duduk sebentar.
Danau
yang dikelola oleh kelompok wisata/pokdarwis setempat ini tampak masih alami. Biasanya
kan danau wisata ada jejeran warungnya atau ada frame foto atau pagarnya
dicat warna-warni, di sini enggak (ada tempat foto dan platform tapi di
atas, dekat parkiran).
Tepi
danaunya ‘dipagari’ rumput berbunga dan semak. Warna airnya hijau. Sekelilingnya
tertutup dataran yang lebih tinggi dan pohon-pohon besar yang menjulang. Kayak
danau muncul dari balik hutan aja gitu. Cantiknya alami!
Kami
berjalan sampai ketemu gazebo bambu. Di sana ada seorang bapak yang sedang
duduk-duduk setelah cari rumput. Setelah saling sapa, larutlah kami dalam
obrolan ngalor-ngidul.
Dari bapak
tersebutlah kami jadi tahu asal-muasal nama ‘Bedali’. Ceritanya dulu
zaman Majapahit, ada pejabat pusat yang inspeksi ke Lumajang. Waktu itu namanya
masih Lamajang. Rombongan kerajaan ini berhenti sebentar di dekat danau
untuk istirahat. Nah, Ranu Bedali itu kan letaknya di cekungan; jadi danaunya
di bawah, di sekelilingnya/di atas ada dataran tempat orang biasa lewat.
Rombongan itu berhenti di satu pohon besar di atas. Namun, saat kuda-kuda
tunggangan mereka berhenti, kuda-kuda itu langsung lari ke arah danau. Mungkin
karena saking hausnya sehingga nggak sabar minum air segar. Tingkah kuda-kuda
ini disebut ‘mbedhal’ (bahasa Jawa), yang artinya kurang lebih ‘melepaskan diri
dari kendali (pegangan/kekangan, terutama tali)’. Dari peristiwa inilah konon
kemudian danau tempat kejadiannya dinamakan ‘Ranu Bedali’.
Beliau
juga mengatakan bahwa di daerah sini dulu ada danau lain juga, namanya Ranu
Yoso. Sekarang nama ini udah jadi nama kecamatan di mana Ranu Bedali berlokasi,
sedangkan ranunya sendiri sudah nggak ada. Hilang, mungkin kering. Sekarang
hanya tersisa genangan-genangan pada sawah atau tanah.
![]() |
Peta kawasan Ranu Bedali & Ranu Yoso, 1875 |
Di daerah
ini memang ada banyak danau. Ranu Bedali-Ranu Pakis-Ranu Klakah sendiri ada
yang menyebut sebagai ‘Segitiga Ranu’ di Lumajang. Jaraknya juga relatif dekat
satu sama lain, nggak lebih dari 10 km.
Apa ada
hubungannya dengan aktivitas vulkanis
yang ada di sini, mengingat lokasi ranu yang dekat banget dengan Gunung
Lemongan yang dulu pernah aktif sampai meletus?
Kami
ngobrol dan bersantai beberapa saat. Kesalahan, karena cuma bawa air minum satu
botol tanpa jajan. Akhirnya setelah puas duduk-duduk, foto-foto, dan bengong
dilihatin kumpulan monyet dan anak-anaknya, kami pun memutuskan keluar cari
bakso.
Oh iya,
di area Ranu Bedali ini juga ada air terjunnya. Sayang waktu itu nggak ke sana
karena menurut bapak tadi sedang kering. Kalau dari parkiran tadi, arahnya
turun ke bawah > jalan terus ke kanan sampai ke pinggiran sebelah timur >
jalan ke utara.
Ranu Klakah
Saya
pertama kali tahu tentang Ranu Klakah dari... komik Webtoon. Waktu itu masih suka
baca Webtoon, nungguin update-an harian, hahaha. Salah satu komik yang
saya baca (kalau nggak salah) Dracko Diary. Komik tentang keseharian komikusnya
ini ber-setting di Lumajang, kota tempat dia tinggal. Ada beberapa
episode yang nyeritain Dracko sepedaan sore ke Ranu Klakah. Karena namanya mirip
Ranu Kumbolo yang saya suka (sama-sama ada ‘ranu’-nya, hehehe), saya jadi
tertarik pergi ke sana.
Terima
kasih udah mengenalkan Ranu Klakah, Mas Drack!
Pendek
cerita, setelah dari Ranu Bedali, kami cari makan siang di sekitar situ. Nemulah
warung bakso. Setelah makan, kami mulai cari penginapan. Awalnya kami nggak
niat bermalam, tapi ngelihat jarak perjalanan yang lama dan panjang, kayaknya
bakal kecapekan kalau dipaksa balik Surabaya hari itu juga. Apalagi kami belum
lihat Ranu Klakah dan Ranu Pakis.
Cari penginapan
di area ini serasa harap-harap cemas. Bukan apa, tapi ini kan bukan tempat wisata
ramai yang banyak orang, yang artinya nggak banyak ada penginapan. Bahkan kami
sempat bertanya-tanya, jangankan sedikit, penginapannya ada atau nggak? Habislah
kalau ternyata nggak ada dan kami harus nginap di Lumajang kota, yang jaraknya
ada kali 15 km.
Untunglah
ada warga yang menginfokan bahwa tersedia penginapan di dekat jalan raya besar.
Akhirnya kami pergi ke penginapannya dulu, memastikan penginapannya buka. Setelah
check in, saya pun lega. Seenggaknya malam ini bisa istirahat tenang
supaya fresh buat balik besok.
Setelah
dapat penginapan, kami pun pergi ke Ranu Klakah. Inilah alasan utama kami main
ke Lumajang kali ini; selain menuntaskan penasaran karena di beberapa episode
Dracko Diary kayaknya ayem banget jalan-jalan sore ke Ranu Klakah.
![]() |
Ranu Klakah, lukisan Junghuhn |
Ranu
Klakah juga menarik perhatian saya karena sketsanya muncul di catatan
perjalanan Junghuhn (tahun 1852). Di gambar itu terlihat sebuah danau dengan
gunung di belakangnya. Gunung ini namanya Gunung Lemongan. Dan sama seperti di
sketsa, kita juga bisa melihat danau luas dengan background gunung yang
menjulang. Dramatis!
Gunung
tadi ada yang menyebutnya Gunung Lamongan, ada yang Lemongan. Meski ada yang
nyebut Gunung Lamongan, tapi letaknya jauh banget dari Lamongan yang jadi kota
asal soto lamongan legendaris itu. Gunung ini pernah aktif, tapi terakhir
meletus udah dulu banget.
![]() |
Ranu Klakah dan Gunung Lemongan. Arsip KITLV, 1920 |
Ranu Klakah jauh lebih ramai dari Ranu Bedali. Bahkan jalan menuju Ranu Klakah pun penuh rumah dan bangunan, rada beda dengan Ranu Bedali yang dominan tumbuhan. Satu hal yang menarik mata saya selama di perjalanan: hampir tiap rumah punya pohon buah naga. Mana lagi Januari kan, pada banyak yang ngembang dan berbuah. Kelopak putih dan buah-buah merah menyala menyembul dari balik hijaunya halaman rumah.
Tiket
masuk Ranu Klakah seharga Rp4.000,00 per orang. Kecuali warga, gratis. Nggak
ada tempat parkir khusus seperti Ranu Bedali karena kendaraan bisa kita
kendarai menyusuri tepian danau. Seenggaknya, menyusuri di bagian sini karena
di sisi kiri dan ke arah gunung, jalannya tanah kerikil.
Warung-warung
berjejer di sisi danau. Di sisi lain terlihat keramba-keramba untuk budidaya
ikan. Kami duduk-duduk aja nikmatin angin sambil tunggu matahari terbenam. Tapi
matahari terbenamnya nggak kelihatan, karena area danau ini menghadap timur.
Usai dari
Ranu Klakah, kami balik hotel sebentar. Rebahan, mandi, dan sholat, lalu keluar
lagi usai magrib. Cari makan, hehe. Untungnya karena ini jalan raya, relatif
gampang nemu warung. Mampirlah kami ke sebuah warung tenda yang menyediakan
ayam dan ikan.
Warung
ini, seperti juga warung makan lainnya di sekitar Ranu Klakah, mendapat suplai
ikan dari danau tersebut. Saya lupa apa aja jenisnya, tapi ada ikan yang fresh
dari ranu dan ada jenis ikan yang ambil dari daerah lain karena nggak
dibudidayakan di ranu.
Gimana rasanya?
Karena saya bukan penghobi wisata kuliner, saya cuma bisa bilang ini: enak, selayaknya
ikan bakar biasanya.
Setelah cari biskuit dan minuman botol di minimarket lokal, kami pun balik ke penginapan. Malam itu ditutup dengan mainan HP dan nonton berita lokal.
Ranu Pakis
Besoknya,
pagi-pagi kami udah keluar hotel karena pengin lihat sunrise dari balik
Gunung Lemongan. Sayang, mendung... Binar oranyenya kelihatan, tapi sosok si
matahari sendiri nggak kelihatan.
Mungkin
karena kami datang terlalu pagi, loket masih tutup dan penjaganya nggak ada.
Jadi kami masuk gratis seperti warga setempat.
Supaya nggak
kemalaman di perjalanan, kami langsung tancap ke lokasi selanjutnya: Ranu
Pakis. Danau satu ini letaknya lebih dekat ke Ranu Klakah daripada Bedali-Klakah.
Jalan ke
Ranu Pakis saat itu sudah aspal semua, meski ada lubang di beberapa tempat.
Mendekati Ranu Pakis, jalannya mulai kerikil berpasir yang bikin saya ragu apa
ini beneran jalannya atau nggak. Namun setelah berpapasan dengan para penghobi
sepeda yang full gear, kami jadi yakin ini jalannya. Hanya saja mungkin
karena jarang dilewati.
Suasana
di Ranu Pakis sekilas seperti di Ranu Bedali: sepi, sejuk, banyak pohon tinggi.
Kami memutuskan berhenti di pinggir jalan, di tempat yang agak tinggi supaya
bisa melihat danau dari ketinggian. Airnya beriak tenang berwarna biru. Nelayan
setempat mulai menebar jaring. Di kejauhan, deretan Pegunungan Tengger
melintang seperti pagar. Bila kita melihat lebih teliti, puncak Gunung Semeru
yang legendaris itu kelihatan. Tampak kecil banget dari sini.
Lumajang
sendiri jadi daerah yang paling terdampak erupsi Semeru 2021 silam. Aliran
lahar dari Semeru memang mengarah ke Lumajang, kemudian mengalir ke selatan hingga
Samudra Hindia.
Lumajang
memang dikelilingi gunung-gunung aktif. Bahkan di antara tiga ranu yang saya
kunjungi kali ini ada yang terbentuk karena aktivitas vulkanik di masa lalu. Menurut Van Bemmelen, seorang ahli geologi, Ranu Pakis dulu pernah menjadi tempat aliran lahar dari erupsi pegunungan
Tengger-Semeru.
Kalau ngelihat suasananya, Ranu Pakis sepertinya memang bukan tempat wisata. Maksudnya beda dengan dua danau sebelumnya yang ada peruntukan wisatanya selain fungsi budidaya dsb. Jadi emang sepi dan kalau mau nikmatin pemandangan bisa dari tepi danau atau tepi jalan, nggak ada tempat khususnya. Tapi emang kadang enak gini, sih. Makin kerasa alaminya.