Pelajaran Perjalanan - Hijaubiru

Sabtu, 07 Desember 2024

Pelajaran Perjalanan


 

Experience is the best teacher, katanya. Pengalaman adalah guru terbaik. Banyak orang setuju dan pernyataan itu emang benar. Sayangnya, 'guru' satu ini merupakan jenis guru yang pasti tega sama muridnya: karena mereka ngasih ujian dulu, lalu pembelajarannya belakangan.


‘Model pembelajaran’ macam ini pun nggak mengenal kata selesai, sesuai dengan ungkapan, “Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian hingga liang lahat”. Alias nggak mengenal kata berhenti. Tiap fase hidup dan peristiwa bisa jadi ‘bahan ajar’ yang diambil hikmahnya.

 

Sama seperti peristiwa-peristiwa lain dalam hidup, perjalanan juga menyimpan pelajaran. Bahkan hal-hal yang ‘nggak hidup’—atau sering nggak kita anggap sebagai subjek dan hanya objek—bisa banget jadi sumber pembelajaran.

 


AWAL ‘PERJALANAN SEBAGAI PEMBELAJARAN’

Di zaman sekarang, kita bisa bebas jalan-jalan ke mana pun dan kapan pun. Di zaman duluuu banget, perjalanan cuma dilakukan untuk hal-hal yang penting. Hampir nggak ada perjalanan untuk wisata, beberapa abad silam. Leisure travel ditengarai muncul baru-baru aja ketika zaman udah stabil.

 

Stabil yang dimaksud adalah hal-hal semacam biaya perjalanan lebih murah, transportasi lebih memadai, keamanan lebih terjamin, dsb. Makanya kalau kita cari-cari catatan perjalanan zaman dulu banget, penulisnya seringkali adalah orang-orang yang memang perlu melakukan perjalanan, contohnya pelaut, pedagang, wartawan, ilmuwan yang cari bahan riset, murid yang sedang cari guru untuk belajar, dan semacamnya; bahkan para pengelana yang membawa misi kolonial.

 

Di Eropa sendiri, perjalanan awalnya memang untuk belajar. Para pemuda kaya atau bangsawan melakukan grand tour, melawat ke daratan Eropa lainnya untuk belajar. Belajarnya nggak hanya di kelas, tapi lebih pada kunjungan ke berbagai tempat asing untuk menambah pengetahuan. Kalau di Indonesia dan sekitarnya mungkin kita akrab dengan cerita kolosal yang sering menyebut tokoh A berkelana untuk berguru pada tokoh X, dan semacamnya.

 

Kalau di masa kini, apa saja yang bisa kita jadikan ‘guru’ dalam perjalanan?

 


‘GURU’ DALAM PERJALANAN

Sebagai catatan, beberapa poin di daftar ini ‘menjadi guru’ karena keterkaitannya dengan manusia atau masyrakat. Jadi memang ada yang nggak berdiri sendiri. Sepertinya udah sifat ilmu untuk saling terkait.

 

1. PERENCANAAN: Sebuah Awal Proses Menemukan

Sebelum melakukan perjalanan atau pergi wisata, biasanya kita akan ngerencanain dulu. Kalau panjang atau jauh, kita akan bikin planning atau itinerary. Penyusunan rencana ini tentu butuh proses mencari tahu atau riset istilah kerennya. Kita bisa cari info dengan tanya orang lain, berselancar di website, atau tanya langsung ke tempat (misal: stasiun, hotel, dsb).

 

Dalam proses perencanaan ini, seringkali saya juga ‘menemukan diri sendiri’ dengan mengetahui hal-hal yang saya butuhkan atau inginkan. Kita juga bisa tahu style seseorang dari planning-nya, baik itu style perjalanannya atau style secara umum. (Style di sini maksudnya bukan gaya berpakaian, yaa.)

 

Soal menemukan diri sendiri, kadang hal ini juga bisa direfleksikan pada kehidupan sehari-hari sehingga kemudian bikin sadar, “Oh, ternyata aku butuh ini, ternyata aku seperti ini.”

 

2. ALAM

> Tentang Sifat Manusia

Back to nature! Konon, di alam kita bisa melihat diri kita yang sebenarnya. Dan memang betul. Beberapa kali dalam kondisi terdesak atau kondisi yang super-duper nggak nyaman, sifat asli saya dan teman-teman jadi kelihatan. Bahkan sifat-sifat jeleknya bisa keluar semua. Poin belajarnya adalah gimana mengatasi bad mood dan bad condition serta tetap berkomunikasi baik dengan teman-teman supaya keadaan nggak makin runyam atau pertemanan jadi nggak nyaman.

 

Ketika sudah saling tahu bahwa ada berbagai macam sifat dan gimana cara ngehadapinnya, pengalaman ini bisa juga kita pakai di kehidupan sehari-hari.

 

> Tentang Alam

Alam ini hebat karena Pembuatnya amat hebat. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari fenomena-fenomena alam selama perjalanan. Bahkan nggak hanya dalam perjalanan, fenomena alam di sekitar kita pun bisa banget kita ambil hikmahnya.

 

Hal yang paling saya sukai adalah ketika menemukan sesuatu yang pernah saya dapat dari bangku sekolah atau buku. Menemukan lumut yang bisa diperas untuk diambil airnya, seperti yang diajarkan dalam survival. Melihat tingkat-tingkat batuan berbagai motif dan gradasi hasil patahan dsb, seperti dalam pelajaran Geografi. Merasakan angin laut dan angin darat yang super semriwing di kulit, seperti di pelajaran IPA. Dan masih banyak lainnya.

 

Saya sendiri paling suka bila ketemu fenomena alam yang terhubung dengan pelajaran atau textbook. Rasanya kayak makin nyata aja. Beda, kan, sensasi memahami dari buku aja dengan mengalami sendiri. Lebih nyantol aja kalau pakai mengalami. Oleh karena itulah ada praktikum di sekolah: karena kalau praktik biasanya lebih nyantol.

 

Ini juga bisa mematahkan omongan macam, “Hal yang dipelajari di sekolah itu nggak guna, mending belajar di kehidupan nyata”. Nyatanya, dua hal ini berhubungan banget. Mustahil kita bisa paham fenomena di sekitar kita kalau nggak dapat dasarnya dari para guru sekolah (kalau pun nggak sekolah, at least tetap dari proses belajar, nggak ujug-ujug paham).

 

Dalam kehidupan sehari-hari apa contohnya?

Sederhana aja. Misal, tahu bahwa lama waktu untuk merebus air saja sampai mendidih itu lebih cepat dibanding air+bumbu/gula karena titik didihnya berbeda (ini ada di bab Tf/Tb Kimia). Atau, sesimpel tahu bahwa hewan-hewan yang ada di sekitar rumah kita itu bisa jadi hama, tapi juga bisa jadi penyelamat ekosistem sekitar lewat siklus yang berkelanjutan.

 

Science is everywhere around us.

Sains selalu ada di sekitar kita, selama kita tahu ke mana harus melihatnya.

 


3. MASYARAKAT DAN MANUSIA

Topik masyarakat dan manusia sangat nyambung dengan ‘tempat’, karena seringkali tempat bisa banyak dipelajari saat ada manusia atau masyarakatnya.

 

> Masyarakat

Masyarakat bisa banget jadi guru dalam perjalanan. Bahkan jadi guru yang paling besar. Banyak cerita-cerita perjalanan dan travel writer yang kisahnya banyak berputar pada kehidupan warga di tempat perjalanannya. Topik budaya sudah bukan lagi barang asing dalam perjalanan dan pembelajaran.

 

Mengetahui budaya dan style masyarakat di tempat kita melakukan perjalanan, bisa banget tambah ilmu untuk kita. Sesimpel tahu hal yang dianggap sopan di masyarakat A tapi dianggap enggak di masyarakat B, dsb. Lain tempat, lain perspektif. Beda perspektif, beda cara pikir.

 

Ngomong-ngomong, ada suatu episode di sebuah anime yang eye-opening banget buat saya. Iya, nggak salah, saya dapat perspektif ini dari nonton kartun. Ceritanya, ada seorang mata-mata negara lain yang mampir di sebuah resto kecil (mungkin di kita dianggap warung?). Dia memesan makanan dari resto itu. Dari bahan makanan dan bumbunya aja, dia bisa analisis flow perdagangan negara itu dan pengaruhnya ke negara-negara lain.

 

Simpelnya gini:

Lihat makanan > makanannya dari bahan segar > padahal bahan segar susah didapat > berarti rantai distribusinya bagus. Resto kecil aja bisa beli bahan segar > harga di negara itu terjangkau > sumber bahannya banyak > negaranya kaya.

Ada lagi adegan si mata-mata nemu merica dalam makanannya. Dia syok abis karena merica di sana harganya setara emas. Dia mikir, “Kalau warung kecil murah aja bisa nyediain merica, apalagi resto besar dan orang-orang kaya. Sekaya apa ini negara?”

 

Di kehidupan sehari-hari, insight seperti di atas juga bisa banget kita dapatkan. Kalau dulu semacam: oh Indonesia produk agrikulturnya banyak, makanya dibilang negara agraris. Dalam beberapa travel notes yang saya baca, semacam: oh ini kota orangnya pakaiannya warna-warni dan bagus karena dulu jadi Jalur Sutra jadi banyak pedagang negara lain yang lewat dan jualan di sini.

 

> Orang

Ini juga salah satu poin menarik dari berbagai travel notes. Banyak perspektif, cerita, fakta, pelajaran, yang bisa didapat dari ngobrol dengan orang. Biasanya, warga lokal.

 

Dari warga lokal, biasanya kita bisa tahu lebih banyak daripada hal-hal yang ada di internet. Dari seorang ibu, kami jadi tahu bahwa kelapa di sebuah daerah selatan Jatim segar banget sampai dijual ke kota besar (dan ditawari, “Mau minum? Saya bukakan!”). Dari seorang kang ojek, kami jadi tahu ada mitos yang beredar di antara warga lokal di sekitar sebuah danau di Jabar (“Warna danaunya bisa ganti-ganti karena dijaga bidadari”). Bahkan info penginapan, makanan enak, dan spot bagus juga bisa didapat dari obrolan bareng warga sekitar.

 

Bahkan percakapan dengan orang yang sedang sama-sama dalam perjalanan, seringnya sama-sama dalam kendaraan, juga bisa jadi penambah pengalaman. Kalau cari teman barengan, juga bisa dapat dari ngobrol-ngobrol ini. Dulu seringnya kalau cari kendaraan carteran, supaya murah jadi kami gabung sama rombongan lain. Sebelum bareng, tentu ngobrol dulu. Di kendaraan juga ngobrol tukar info. Kadang, hidup memang sebagian besar diisi dengan obrolan.

 

> Guru/Mentor

Kali ini untuk yang memang niat berguru; mendatangi orang-orang tertentu untuk minta diajari, dsb. Sebelum saya pertama naik gunung bertahun-tahun lalu, saya dan teman-teman diajari berbagai ilmu oleh para senior dan kakak-kakak kelas. Pengetahuan yang dibutuhkan supaya tetap hidup atau hiking dengan nyaman, mereka ajarkan. Bentuk belajarnya sendiri kadang materi di kelas, sharing santai, simulasi sederhana, atau praktik langsung di alam.

 

Dalam perjalanan, gurunya juga banyak. Beberapa pejalan mengatakan bahwa guru perjalanan mereka adalah dosen semasa kuliah. Beberapa travel writer bilang bahwa mereka belajar menulis dan berjalan dari mentor mereka, para penulis/jurnalis senior.


 

 

Dalam hidup, manusia nggak mungkin terlepas dari pengajaran para guru. Bahkan sejak dalam kandungan, bayi pun sudah belajar dari ‘guru’ terdekatnya, yaitu orang tuanya. Sejak dalam buaian hingga masuk liang peristirahatan, selama manusia terus berjalan, ia akan terus mendapat pelajaran dari berbagai macam guru; guru di bangku pendidikan maupun guru kehidupan.


Perbedaannya adalah apakah seseorang bisa memetik buah pengalaman untuk dijadikan pembelajaran,

atau

memilih abai dan menganggap itu semua hanya kejadian biasa tanpa makna. 






Picture from Favim.com

Tidak ada komentar: