Hujan dan Love-Hate Relationshipnya - Hijaubiru

Jumat, 13 Desember 2024

Hujan dan Love-Hate Relationshipnya


Iseng-iseng buka notes, menyadari eh ternyata di hari-hari hujan, isi notes lebih banyak. Saya emang lebih gampang nulis kalau hujan. Inspirasi lebih ngalir aja rasanya daripada waktu cuaca cerah.

 

Tapi ini bukan soal hujan, cuma preambule aja.

(Dan ini… panjang. Dan topiknya kadang lompat-lompat. So… read at your own caution?)

 

Beberapa minggu lalu, saat hari-hari hujan dimulai dan banyak orang ngomongin kesukaannya terhadap hujan, saya nemu sebuah kalimat yang menggelitik. Kurang lebih begini:

 

Orang yang bilang suka saat hujan turun itu bukan orang yang pernah ngerasain susah saat hujan.

 

Di bawahnya bermunculan jawaban, kalimat dan foto, tentang kesusahan saat hujan. Potret para pencari rezeki yang berhujan-hujanan di atas motor dengan jas hujan kelelawar, testimoni pejalan kaki yang menerjang jalanan becek dan banjir, orang-orang yang hatinya kebat-kebit takut rumahnya bocor atau kebanjiran.

 

Saat itulah saya sadar, saya pun pernah berada dalam situasi seperti yang disebutkan di atas. Dan perasaan, kok, kayaknya saya pun punya love-hate relationship sama hujan, ya?

 

Saya suka hujan. Hawanya sejuk, aroma petrichor-nya segar menenteramkan. Masih banyak segudang alasan lainnya; alasan yang simpel dan se-‘remeh’ suka ngelihat tetes air jatuh dari pucuk daun atau perasaan melankolis yang muncul saat ngelihat kaca ruangan berembun.

 

Nggak bisa dipungkiri, hujan juga jadi salah satu bahan bakar untuk nulis karena serasa adaaa aja hal-hal yang tiba-tiba terpikir. Catatan saat bulan-bulan berhujan jumlahnya jadi (jauh) lebih banyak. Ibarat tiap hari hujan bisa nulis minimal satu notes (bahkan lebih), sedangkan saat kemarau, tiga/empat catatan sebulan aja udah dianggap banyak. (Apakah ini ada hubungannya sama SAD alias Seasonal Affective Disorder? Entah)

 

Sesuka dan se-inspiring itukah hujan? Iya, bagi beberapa orang.

Namun, baca postingan medsos di atas, saya juga jadi sadar bahwa ada kalanya saya nggak suka hujan.

Bahkan, nggak suka banget.

 

Terbayang beberapa keribetan dan kesusahan yang pernah saya alami saat hujan. Kudu jalan nyeker supaya sepatu sekolah nggak basah kuyup, takut hujan ngerembes ke dalam tas meski udah dipasang rain cover, baju yang terasa lembap dikekep jas hujan karena menempuh jarak jauh dengan motor. Zaman ngekos, sering kerasa was-was kamar kos bocor. Kudu lebih hati-hati juga ngerawat rak buku karena buku jadi rentan berjamur (sempat syok awal-awal ngekos karena buku saya jadi penuh bercak hitam RIP my books).

 

Ada saat-saat ketika saya berdoa supaya nggak turun hujan. Saat-saat ini adalah momen saya langsung bad mood begitu ngelihat rintik yang masih jarang. Momen itu salah satunya saat hiking. Butuh beberapa tahun pembiasaan dan satu pendakian super-berhujan untuk berdamai dengan hujan-saat-naik-gunung. Sebelumnya, kena rintik kabut lewat aja, saya udah cemberut karena kepikir betapa perjalanan ini akan lebih sulit.

 

Hujan juga pernah jadi pengingat menyakitkan; saat lagi nge-drop dan turunnya hujan jadi pengingat kalau saya masih dalam masa penyembuhan meski udah berbulan-bulan dan hampir nggak ada yang percaya kalau saya butuh recovery selama itu.

 

Jadi… apakah masih bisa dibilang suka hujan?

Bicara soal suka, atau cinta, saya jadi keinget kutipan dari Bob Marley, penyanyi musik reggae itu.

 

 

Saya jadi mikir, sebenarnya saya beneran suka hujan atau suka sensasinya aja?

Apakah suka hujan dengan segala keindahan dan keribetannya, atau suka sensasi senangnya aja tapi kalau kena efek jeleknya kemudian nggak suka?

 

“Ngapain, sih, mikir sampai kayak gitu?”

Suara hati saya yang lain protes. So what kalau menyadari suka/nggak suka hujan, nggak ada efek signifikannya.

 

Memang enggak, tapi ini sedikit membantu saya untuk ‘nyortir’ perasaan terhadap hal lainnya. Hobi, barang yang ingin dibeli, dan in some level kekaguman dan kedekatan terhadap orang-orang tertentu. What did I say in the first paragraph: hujan cuma preambule, pembukaan aja.

 

Balik ke topik soal suka-nggak suka. Gara-gara mikir itu tadi, jadi keingat kutipan lain (banyak amat keingatnya, tapi ya gimana lagi lha kutipan tentang perasaan kayaknya emang salah satu yang mendominasi dunia per-quote-an). Kurang lebih isinya gini:


Do you really love?

Or do you just like that fluttery flitter feeling?

 

Orang Barat punya ungkapan: ketika jatuh cinta, rasanya seperti ada banyak kupu-kupu beterbangan dalam perut kita. Kalau versi Indonesianya mungkin perasaan deg-degan, gugup, dan senang kali, ya. Dan, itu emang benar, kan? Jangankan ketemu orang, nemu barang yang disukai aja rasanya excited sekali.

 

Namun, perasaan ini bisa berarti dua: suka aja, atau beneran cinta. Yang kedua, lebih butuh effort. Gampangnya, kalau diibaratkan ke soal hujan-hujanan tadi, suka itu kalau suka sensasi saat hujan aja kemudian mengutuk saat dapat keribetannya, sedangkan kalau cinta ya menerima dua-duanya; baik-buruknya.

 

Karena kalau cinta, nggak cukup pakai rasa. Juga butuh usaha.

Perasaan (that fluttery flitter feeling) bisa luntur seiring waktu kalau nggak dipupuk dan dirawat.

 

Orang-orang yang awet bersama pasangannya mungkin bisa ngasih testimoni gimana usaha mereka untuk bertahan meski diterpa berbagai badai cobaan (ceilah…). Tapi okelah, mungkin itu kejauhan, mari bicara soal yang nggak terlalu dalam aja, misalnya: hobi.

 

Hobi artinya aktivitas yang suka dilakukan di waktu luang. Semua orang suka ngelakuin hobi, betul? Baca buku, masak, nulis, sepedaan, olahraga, scrolling medsos, you name it. Namun, kalau aja butuh usaha lebih untuk ngelakuin hobi itu, apa akan tetap dilakukan?

 

Soal hobi ini pernah kejadian di saya sendiri. Alkisah saya suka motret. Kepikiranlah untuk nyambi jualan foto di platform online. Sebelum bikin akun, saya baca syarat foto yang diterima: resolusi minimal sekian, no noise, dll dsb dst—yang, ketika dicocokkan dengan koleksi potret saya, kok, rasanya banyak yang nggak memenuhi syarat meski secara jumlah ada bejibun. Oke, saya pikir, berarti saya harus upgrade skill. This is a challenge!

 

Mulailah saya berburu foto dengan mikirin segala teknisnya. Sebelum jepret satu, diem dulu nentuin angle, setting, dsb. Setelah itu pulang, transfer data, cek foto, eh… ternyata banyak yang missed. Oke, coba lagi. Dan begitu seterusnya. Sampai pada satu titik saya menyadari: kok, rasanya saya mulai nggak enjoy motret, ya?

 

Hal di atas masih saya lakukan sampai saya ‘tiba’ di titik kedua:

Kenapa ya, sekarang rasanya males motret? Kayak ada beban gitu. Beda sama dulu.

 

Oh la la~ Kamu yang sekarang sudah berubah, tidak seperti kamu yang dulu!

Kedengaran familiar? Iya, ini salah satu trope di cerita atau film romance, hahaha.

 

Sampai pada satu titik (lagi), saya menyadari bahwa kalau mau terjun ke ranah (lebih) profesional, ya memang kudu lebih effort. Meski itu berawal dari ‘sekadar’ hobi. Butuh kesabaran untuk upgrade skill, lebih disiplin, lebih rajin, dsb. Ini mirip sama kejadian ketika banyak penghobi nulis kemudian ngerasa stuck atau terbebani ketika memutuskan mau serius nulis naskah. Memang lebih berat daripada kalau menulis bebas semaunya.

 

Pada akhirnya, saya memutuskan nggak jadi jual foto. Biarlah hobi satu ini jadi pereda stres daripada nambahin stres. Upgrade skill tetap, tapi nggak se-ngoyo dulu. Biarlah fotografi ini jadi hobi aja.  Biarlah saya ambil minat lain yang kiranya saya bisa compromise ketika masuk ranah kerjaan.

 

Dan that’s okay. Punya hobi sebagai hobi aja juga nggak apa-apa. Nggak ada yang salah dengan itu.

 

Jadi, apa bisa dibilang saya mencintai fotografi?

Menurut saya, enggak. Cuma suka aja. Kalau beneran cinta, saya akan tahan itu semua kesulitan (atau tantangan) demi foto yang jauh lebih baik. Kan, memang butuh usaha, suka aja nggak cukup.

 

Jadi keingat sebuah kutipan (lagi!) yang diucapkan tokoh Rangga di film “99 Cahaya di Langit Eropa”:


Cinta itu tanggung jawab.

 

To put it to further context (sehingga paragraf ini jadi agak out-of-context, lol), kalimat tadi diucapkan Rangga saat Stefan nanya kenapa dalam Islam seorang lelaki boleh beristri 4. Rangga jawab, boleh tapi harus adil dan itu susah, makanya tetap disarankan satu aja, 4 itu kalau mampu. Stefan jawab, kalau cinta, dia yakin bisa mencintai semua sama besarnya. Rangga respons: enggak, beda, cinta itu tanggung jawab. Lalu dilanjut,

R: “Cinta itu tanggung jawab. Ibarat kuliah, kamu harus nyelesaiin semuanya.”

S: “Satu (kuliah) aja pusing.”

R: “Nah, you got the point. Satu aja pusing.”

 

Jika memang cinta sesuatu/seseorang, saat ada hambatan akan diatasi dan bukan ditinggal. Saat ada ketidakcocokan, akan dicari titik temunya, bukan menitikberatkan ke siapa masalahnya. It’s both of you vs the problem, not you vs him/her/it. Akan selalu diusahakan (within reasons tapi, selama nggak malah jadi toksik atau obsesif).

 

Jadi… apakah saya suka hujan atau cinta hujan?

Bahkan setelah refleksi berhalaman-halaman ini, saya masih diam berpikir. Iya atau nggak? Entahlah, seperti perasaan, rasanya masih nggrambyang. Kalau ini adegan di film atau novel, mungkin akan muncul ‘jawaban’ klise,

“Beri aku waktu untuk berpikir.” 😂

 

Untungnya, hujan nggak butuh jawaban. Untungnya dia bukan orang juga, kan, jadi nggak perlu dikasih kepastian. Dan lagi, emangnya dia pernah nanya? ðŸ˜‚ (PD bener, padahal nanya sendiri, jawab sendiri, hahaha)

 

And, although kind of abstract, this way of thinking helps me to sort out things more clearly.

Tidak ada komentar: