Foraging - Meramban - Hijaubiru

Selasa, 31 Desember 2024

Foraging - Meramban



Apa yang terlewat di pikiran ketika mendengar kata “akhir tahun”? Hujan, liburan, tutup buku, atau yang lain? Hujan jadi hal pertama yang hinggap di pikiran saya, foraging jadi hal kedua.

 

Menjelang akhir tahun dan bulan-bulan hujan, postingan dan foto-foto bertema mendung dan foraging selalu muncul di explore page medsos saya. Biasanya bermula dari foto-foto jamur edible yang mulai bermunculan di alam liar. Di sini, kemunculan jamur adalah salah satu penanda bahwa musim hujan sudah benar-benar datang. Di negara empat musim—menilik dari caption orang-orang aja, sih, haha—sepertinya ia juga jadi penanda datangnya musim gugur sekaligus musim panen.

 

Apa hubungannya jamur dan foraging? Salah satu kegiatan foraging yang sering mampir ke beranda saya adalah foto-foto jamur liar atau postingan orang-orang yang memetiknya untuk dimakan. Nggak cuma jamur sebenarnya, kadang juga buah atau sayur liar. Nggak dilakukan di musim hujan/autumn juga sebetulnya, sepanjang musim juga bisa. Hanya saja nggak tahu kenapa konten foraging lebih menjamur saat masuk musim gugur atau musim semi.

 

Pernah lihat film kartun, ketika tokohnya kemping di hutan kemudian metik beri liar untuk dimakan? Yup, semacam itulah yang namanya foraging/meramban.

 


 DAFTAR ISI 



 
Peringatan:
Sebelum memutuskan untuk foraging atau mengonsumsi hasil foraging, harap hati-hati banget. Kalau ragu, nggak yakin, atau nggak cukup tahu lebih baik nggak usah dimakan karena salah konsumsi bisa fatal.

==========



Apa Itu 'Foraging' atau 'Meramban'?

Ada macam-macam makna dari dua kata ini. Namun saya nangkepnya gini: kegiatan memetik(?) jamur, buah, atau sayuran liar yang edible alias aman dikonsumsi manusia. Tentu edible ini ada kriterianya dan kita harus hati-hati kalau mau metik/konsumsi. Jangan sampai lalu keracunan atau kehilangan nyawa. (Beberapa contoh dan ciri tumbuhan edible ada nanti di bawah).

 

Kalau mau arti yang lebih definitif, ini dia dari kamus:

  • 'meramban' menurut KBBI:

mencari daun-daunan yang muda untuk makanan kambing dan sebagainya; mencari daun-daunan yang muda untuk sayuran; (satu lagi tentang internet)

  • 'foraging' menurut Kamus Oxford, Merriam Webster, Cambridge:

(asal kata: forage) to search widely for food

the act of foraging, to strip of provisions

to go from place to place searching for things that you can eat or use


Arti dalam bahasa Inggris ini kayaknya nggak terbatas pada meramban di alam aja tapi juga mencari makanan di mana pun, termasuk di jalanan. Jadi artinya lebih luas, pun pelakunya nggak cuma manusia. Namun di bahasan ini, konteksnya secara istilah foraging sumber daya alam dari alam aja.

 

Pun dalam KBBI, secara definitif memang nyari daun untuk pakan kambing atau cari sayuran aja. Namun secara penggunaan (apa sebutannya secara bahasa, ‘makna secara istilah’?) nggak hanya untuk pakan kambing, tapi juga manusia. Plus, nggak hanya sayur aja.

 

Apakah foraging dan meramban itu sama?

Iya, satunya bahasa Inggris, satunya bahasa Indonesia. Versi Indonesia ini kayaknya serapan dari bahasa Jawa karena sering dengar orang-orang di sekitar saya bilang mau ngramban.

 

Meski kesannya foraging ini dilakukan di alam liar, tapi nggak harus di alam yang liar-liar banget macam hutan atau pegunungan. Di barongan (istilah Jawa untuk lahan yang penuh semak dan pohon tanpa ditata), di kebun, di halaman, atau di tanah terlantar. Asal itu bukan tumbuhan/jamur yang  sengaja ditanam. Tapi ada juga yang berpendapat tumbuhan/jamur yang sengaja ditanam juga bisa, tapi bukan yang perawatannya intensif banget seperti di pertanian.


Buah dan bunga wijayakusuma. Bunganya biasa ditanam untuk tanaman hias. Buahnya bisa dimakan (edible). Masih keluarga buah naga.

 - NB: klik gambar untuk tampilan yang lebih jelas dan tajam. Nggak tahu kenapa kalau tampilan biasa gambarnya jadi kelihatan kurang tajam dan ukurannya ketarik/dikecilin dari gambar aslinya. -


Foto-foto yang sering beredar di medsos saya menunjukkan orang-orang yang nemu serta metikin jamur di pinggiran hutan, buah beri liar yang warnanya mencolok, atau daun bawang liar yang harum di tepi jalan asri. Warna-warni (dan asyik) banget kelihatannya, cakep! Kebetulan foto-fotonya dari negara empat musim.


Saat ngelihat itu jadi ngebatin,

"Wah, asyik ya bisa metik-metik di dekat rumah. Asyik ya, tiap ganti musim, sayur/beri/jamurnya ganti thus ada vibes yang khas tiap ganti musim."

Lalu kepikir,

"Di Indonesia, kok, kayaknya nggak ada, ya?"

 

Weits, pikiran itu langsung terbantahkan dengan apa yang saya dan orang-orang di sekitar saya pernah alami sendiri. Saya dan teman-teman pernah metik beri dan selada liar saat naik gunung (seladanya dibuat sandwich makan siang, beuh seger!). Para sepuh keluarga saya pernah cerita mereka ngramban rebung dan sayur lain di barongan di zaman duluuu. Beberapa famili (dan saya) sampai sekarang masih metikin daun yang tumbuh liar di halaman: daun singkong untuk dibumbu rendang, kenikir dan beluntas untuk urap-urap, telang untuk dibuat teh. Nggak sesering orang zaman dulu memang, tumbuhannya pun nggak banyak dan tumbuh seuprit aja, so yeah... not exactly wild lha wong pas di pinggir pagar.

 

Pendek kata, setelah browsing, nemu juga soal foraging di Indonesia. Setengahnya saya berterima kasih pada algoritma Instagram karena dari konten foraging luar negeri, kemudian dikasih konten foraging dalam negeri kemudian lanjut lihat-lihat akun serupa :D  

 

Ternyata jumlahnya lumayan juga, banyak. Saya akui foto/videonya kadang memang nggak seestetik konten luar, tapi udah lumayan. Mungkin menyesuaikan demografi? Tapi yang estetis pun ada beberapa.

 

Ternyata foraging alias meramban ini lumayan juga peminatnya, pun di Indonesia. Ada grup-grup Facebook yang isinya sharing foto jamur dan tumbuhan liar, baik yang edible ataupun untuk cari tahu identitas/namanya. Dari identitas kemudian bisa ditelusuri manfaatnya: bisa dimakan enggak, bisa dibuat obat tertentu nggak, dsb. Untuk yang suka tumbuhan atau botani aja tanpa foraging pun juga asik banget jadinya.

 

Jadi, ya... di negeri sendiri pun foraging alias meramban itu juga ada dan amat sering dilakukan. Apalagi di desa, yang memang dekat dengan alam. Takjub banget sama pengetahuan orang-orang yang sering meramban di pinggir kebun atau sawah: bisa tahu jamur/tumbuhan unik, sekali lihat dan nyentuh bisa langsung ngebedain jenisnya. Pengetahuan lokal yang menarik banget!

 

So, yes, saya ngerasa jarang ngelihat simply karena jarang ngelakuin dan tinggal di kota yang lebih banyak aspal dan betonnya daripada tanaman.

 

 

Kemiripan Foraging dan Survival Botani dalam Kepencintaalaman 

Lumut di hutan. Dalam kondisi darurat, lumut bisa digunakan sebagai sumber air (diperas sampai keluar airnya)


Saya mengenal foraging dari materi survival botani yang diberikan di diklat Pencinta Alam. Survival botani ini mengajari kita untuk mengenali ciri-ciri tumbuhan yang aman dimakan di alam. Buat apa, untuk coba-coba aja? Enggak, fungsinya untuk jaga-jaga kalau sampai kesasar saat berkegiatan dan logistik sudah menipis atau bahkan habis. Dengan memanfaatkan apa yang ada di sekitar, harapannya kita bisa tetap makan dan bertahan hingga kembali ke peradaban.

 

Survival botani jadi salah satu ilmu dasar yang sebaiknya dipahami sebelum berkegiatan di alam, macam naik gunung dan semacamnya. Ya dari dikasih materi inilah kemudian saya jadi kenal beberapa tumbuhan yang aman dimakan atau umum didapatkan di hutan, karena setelah diberi materi kemudian kami disuruh praktik langsung di hutan. (Lebih lengkap tentang survival botany bisa 🔗dibaca di sini)


Jadi kalau dicari kemiripan antara foraging/meramban dan survival botani, keduanya seperti satu sisi mata pisau yang sama. Alias, dua-duanya sama; persis. Bedanya kalau survival botani kadang situasinya lebih darurat (namanya juga survival alias bertahan hidup). 

 

Pucuk bambu, umbut/ubi-ubian, tunas pakis, atau biji pohon tertentu, bisa banget dimakan. TAPI nggak semuanya bisa dimakan. Bahkan beri warna-warni yang di film kartun tinggal petik-petik lalu makan, nyatanya bisa jadi beracun. Luntur sudah fantasi kemping sambil metik beri-berian serantang karena kalau nemu beri yang diragukan, ya cuma dilihat dan difoto aja tapi nggak dimakan, hahaha.


Meski suka ngulik tentang foraging, tapi saya juga belum berani-berani amat makan tumbuhan yang saya temukan. Bahkan tumbuhan yang saya yakin pasti aman. Baru berani nyoba beberapa aja, hehe. Sama halnya kalau nemu arbei yang warnanya belum pernah saya temui.

 

Ketertarikan saya pada beri inilah yang menghubungkan antara survival botani dan foraging. Ketika tahu bahwa ada banyaaak banget jenis beri di negara empat musim (sebagian jenisnya bisa 🔗 dilihat di sini), jadi kepikir bahwa di Indonesia harusnya juga ada banyak jenis beri. Apalagi di alam liar. Apalagi kita di negara tropis yang tumbuhan relatif lebih gampang tumbuh.

 

Namun, selama naik gunung, saya dan teman-teman baru menjumpai beberapa jenis aja. Umumnya beri/arbei merah (Rubus sp.). Pernah, sih, nemu yang warnanya hitam dan kuning rada oranye (kayak cloudberry), tapi jarang. Dan bentuknya relatif itu-itu aja. Padahal harusnya banyak, kan?

 

Saya pun jadi cari tahu tentang macam-macam beri ini, juga tumbuhan tropis edible lainnya. Cara paling mudah adalah cari handbook atau field guide. Namun saat itu nggak nemu. Ada field guide, tapi semuanya untuk negara 4 musim. Nggak ada yang untuk tropis atau Indonesia, huhu. Ada pun isinya pendek dan relatif umum, di buku panduan Pencinta Alam organisasi sebagian udah ada.

 

Saya pun beralih ke field guide untuk botanis. Kalau cari-cari bukunya, bagus banget! Ilustrasinya warna-warni dan cakep! Isinya lebih umum memang, nggak mencakup tumbuhan yang edible aja. Jadi kita yang harus teliti-teliti membaca.

 

Contoh isi buku field guide atau panduan lapangan untuk tumbuhan


Pendek kata, nemu, sih. Namun namanya memang buku botani, sehingga fokusnya ya tumbuhannya sedangkan info tumbuhan edible-nya nggak banyak. (Anyway buku macam ini biasanya bisa ditemukan di perpus kampus.) Namun, again, yang banyak ditemui adalah seri untuk tumbuhan negara empat musim. *sigh

 

Saya pernah nanya apakah ada handbook untuk survival botany di Indonesia. Jawabannya memang nggak ada. Kenapa? Narasumber menjawab, karena tumbuhan di sini banyak banget. Pun, beda daerah, beda jenis tumbuhan. Beda daerah, beda pula nama lokalnya. Cukup menyulitkan untuk dijadikan buku. Jadi pengetahuan edible/enggak ini umumnya memang dari orang ke orang.

(Sekilas info! Sudah ada beberapa buku panduan atau kompilasi tumbuhan edible Indonesia yang terbit)

 

Okelah. Setelah browsing-browsing lagi, nemulah beberapa postingan tentang tumbuhan yang di-forage di Indonesia. Saya ikutin beberapa akun itu. Dari situlah kemudian saya tahu bahwa kata kunci yang saya pakai untuk cari foraging di Indonesia tampaknya kurang pas sehingga susah nemunya. Begitu saya pakai keyword ‘meramban’ dan semacamnya, hasil pencarian yang muncul jadi lebih variatif.

 

Nice! We’ve found the key!

 

Dari postingan orang, kemudian nemu grup dan komunitas. Kadang ada juga yang buka kelas foraging. Siapa pun bisa join. Di sana kita dikasih banyak banget contoh tumbuhan/jamur/buah/bunga liar yang edible. Jadi nyambung banget dengan materi survival botani.

 


Apa aja contoh tumbuhan/jamur liar edible?

  • cantigi/manisrejo (Vaccinium varingiaefolium) 🠆 semak, banyak di dekat puncak gunung. Buahnya kayak blueberry, memang masih satu keluarga (tentang cantigi pernah 🔗 dibahas sedikit di sini )
  • daun dan bunga ketul (Bidens sp.) 🠆 ini sering nemu banyak di pinggir jalan
  • daun pegagan air (Hydrocotile sp.) 🠆 ini beda sama centella yang sering dipakai buat komposisi skincare itu
  • selada air 🠆 banyak banget di Sunga Kolbu-nya savana Cikasur, G. Argopuro
  • buah galing/lakum (Cayratia trifolia🠆 pernah nemu di pekarangan, liar
  • buah lantana/tembelekan/saliara (Lantana sp.) 🠆 sering dijual untuk tanaman hias, dulu sering lihat di hutan
  • jamur lot, jamur bulan, dsb (khusus jamur, saya belum berani nyoba makan karena risiko keracunannya sepertinya lebih tinggi daripada tumbuhan dan bentuknya mirip-mirip satu sama lain sehingga saya belum bisa ngebedain dengan pasti).
  • dsb.

 

Yang jelas, tumbuhan/jamur liar yang biasa dan bisa diramban di negara ini tuh nggak kalah banyak, variatif, dan warna-warni daripada tumbuhan/jamur yang di-forage di luar negeri. Saya percaya tiap daerah punya keunikan biodiversitas sendiri-sendiri. Yang ada di luar negeri belum tentu ada di sini, yang ada di sini juga nggak ada di luar negeri.

 

 

Meramban yang Menjadi Lifestyle

Autumn foraging basket  | Credit: Vladimir Srajber on Pexels

Ada satu hal yang belum saya sebut di atas. Selain awal kenal foraging dari survival botani, saya juga kenal dari... kanal Youtube. Tepatnya dari channel Liziqi. (Pernah dengar? Channel mbaknya kayaknya terkenal banget. Setelah bertahun-tahun vakum, bulan lalu akhirnya dia rilis video lagi! Yesss!)

 

Saat itu nemunya nggak sengaja. Waktu itu lagi senang-senangnya sama soundtrack film-film studio Ghibli. Waktu nyetel Youtube secara random, tayanglah video mbaknya yang pakai OST Ghibli. Saat itu saya nggak terlalu ngeh. Beberapa bulan (atau tahun?) berlalu, video itu kesetel lagi. Karena kali itu sedang pandemi, saya ngabisin waktu dengan Youtube-an. Setelah ngelihat isi kanalnya, saya pun makin jatuh cinta sama kontennya.

 

Liziqi nggak hanya berkebun, tapi juga foraging. Yang paling saya ingat adalah dia metik jamur liar di hutan dan bunga dari pohon (magnolia?) untuk dijadikan berbagai hidangan. Saya ngebatin, “Mbak ini kreatif banget!” Dialah salah satu sumber yang bikin saya tahu bunga-bunga apa aja yang ternyata edible (edible flowers), bahkan bisa dibuat manisan atau sirup. Foraging sudah menjadi salah satu lifestyle-nya. 

 

Terus apa hubungannya foraging dengan lifestyle?

Ada dua poin yang terpikir. Satu, gimana aktivitas foraging jadi sesuatu yang jadi ciri khas suatu musim dan mempengaruhi hidup manusia. Dua, gimana foraging mulai menghilang lalu kembali.

 

Soal ciri khas suatu musim ini, yang kebayang adalah vibes akhir tahun. Terutama tentang musim gugur. Mungkin ini karena algoritma medsos, sehingga rasanya autumn vibes—yang bahkan di sini nggak ada autumn, wkwkjadi terasa karena orang-orang di daerah empat musim banyak banget yang upload foto aktivitas autumn foraging-nya atau hasil rambanannya.

 

Di beberapa artikel disebut bahwa autumn foraging jadi kegiatan favorit dan populer di beberapa negara (daerah Nordik, kalau nggak salah) dan jadi kebiasaan tahunan. Nggak hanya autumn, spring atau summer juga ada. Kalau cari dengan kata kunci ‘(musim) foraging’, banyak banget muncul panduannya dan apa aja yang sedang musim/bisa dipetik.

 

Dua dari sekian macam arbei hutan/beri liar. Yang ini edible (Dua ini cuma saya foto, tapi pernah nyobain yang serupa di tempat lain, rasanya kecut segar)


Poin kedua, tentang ‘siklus’ foraging.

Di banyak video Liziqi dan konten kreator serupa, ada banyak komentar senada, yaitu ingin hidup metikin bahan makanan dari kebun dan hutan tapi nggak mungkin. Seperti mayoritas manusia sekarang, kita mendapat bahan makanan dari pasar.

 

Bukannya mendapat bahan makanan dari pasar/supermarket/semacamnya itu selalu buruk. Enggak, bisa juga bagus. Gaya hidup manusia toh selalu berubah; menyesuaikan keadaan dan mempermudah kebutuhan. Yang menarik bagi saya adalah betapa kehidupan dan kebiasaan umat manusia itu kadang seperti siklus yang berulang; yang dulu ada, lalu ditinggal, lalu balik dilakukan lagi.

 

Bingung, ya? (iya kalimatnya memang mbulet)

Sebagai ilustrasi, kayak gini:

Masih ingat istilah hunting and gathering? Ini istilah sering muncul di pelajaran Sejarah karena manusia awalnya cari makanan dengan cara ini, yaitu berburu dan metik dari alam. Inilah awal mula foraging. Seiring waktu, manusia mulai bertani dan berkebun dan mendapat makanan dari lahan sendiri. Waktu berlalu, kemudian manusia mulai berdagang; baik barang atau skill. Sampai sekarang.

 

Dengan membeli bahan makanan dari pasar, manusia jadi hanya mengetahui barang-barang yang dijual di pasar aja. Dan mekanisme pasar ini kan emang untung-rugi, ya, jadi barang yang kurang diminati ya bakal nggak dijual; salah satunya bahan makanan. Banyak tumbuhan/jamur yang biasa di-forage bahkan umum banget dikonsumsi oleh orang zaman dulu, yang sekarang orang-orang nggak tahu itu bisa dimakan.

 

Ada pengetahuan yang hilang. Ada informasi yang terputus. Nggak jauh-jauh, contohnya di keluarga saya. Masih ingat contoh buah galing di atas? Info itu saya dapat dari ibu. Ibu sendiri nggak pernah mengonsumsi galing, hanya tahu dari cerita eyang. Info itu bisa jadi terputus seandainya saya nggak kebetulan nemu galing di pekarangan. Ini baru ‘kehilangan’ satu tumbuhan dari satu keluarga.

 

Begitu banyak informasi yang hilang dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dan ini nggak cuma soal foraging aja. Bila ditarik lebih jauh, mungkin banyak banget pengetahuan lokal atau bahkan local wisdom yang terhapus zaman, seperti apa pun manusia berusaha mempertahankannya.

 

Udah sifat alamiah peradaban, kayaknya.

Ada yang muncul, ada yang hilang.

 

Di sinilah ‘siklus’ lifestyle. Jika di atas saya bilang bahwa pengetahuan soal SDA yang di-forage makin menghilang, maka ada orang-orang yang melestarikannya. Mulai dari yang nggak nyadar melestarikan (simply foraging for fun) atau yang memang niat. Masyarakat kita yang hidup di lingkungan yang lebih asri, misalnya di desa, masih banyak yang melakukan ini.


Belakangan, meramban nggak hanya berhenti di situ. Nggak hanya pada masyarakat yang sehari-hari memang melakukannya, atau berjualan hasil foraging baik mentah maupun olahan homemade; tapi muncul restoran-restoran yang menyajikan menu-menu dari hasil meramban di sekitar lokasi.

 

Tempo hari saya nemu video tentang restoran yang makanannya dibuat dari bahan-bahan yang diramban. Uniknya, hasil rambanan itu adalah sayur/buah yang dulu sering dikonsumsi oleh penduduk suku lokal di negara itu (lupa di mana). Kabarnya resto macam ini kemudian jadi tren di beberapa daerah. Kesan yang dibawa (mungkin oleh tim marketing) adalah produk lebih fresh, sehat, dan green plus sustainable untuk lingkungan.

 

Mengusahakan bahan pangan secara lokal memang sering digaungkan akhir-akhir ini, di mana-mana. Entah mengusahakan dengan foraging atau membeli produk lokal di pasaran. Kenapa? Karena

  1. relatif lebih ramah lingkungan (misal, memperpendek rantai distribusi -> ngirimnya nggak jauh -> ngurangi emisi kendaraan/pabrik)
  2. relatif lebih murah, mudah, dan sehat untuk manusia alias pelanggan (misal, karena lokal -> nggak butuh pengawet -> lebih fresh dan bergizi.

Garis bawahi kata 'relatif', ya, karena plus-minusnya pasti ada.


Kalau diingat-ingat, zaman wabah Covid-19 dulu jadi banyak orang yang berkebun. Antara ngisi waktu atau jaga-jaga kalau pasokan makanan dari desa/kota lain nggak bisa masuk karena ada pembatasan transportasi. Supaya lebih self-sufficient dalam skenario yang nggak diinginkan, nggak seratus persen tergantung pihak lain.

 

Ending-nya, foraging atau meramban dengan bijak (atau lebih ke konsumsi lokal, ya, bukan foraging?) bisa nyambung dengan ketahanan pangan serta konservasi biodiversitas dan budaya.

 

 

💡  TIPS MERAMBAN / FORAGING 

Kalau tadi kita udah bicara soal manfaat meramban dan efek positifnya terhadap lingkungan dsb dll dst, sekarang kita bicara syarat-ketentuannya. Tujuannya supaya aman untuk manusia (kita) yang mengonsumsi, juga aman untuk lingkungan.

 

Bagaimana cara meramban/foraging/survival botani?

NB: ini sejauh yang saya tahu aja, untuk gambaran. Ini belum cukup. Jika ingin betulan meramban, harap cari sumber yang lebih detail supaya lebih aman.


[1] Pastikan tumbuhan/jamurnya betul-betul aman

  • Pastikan identitasnya.
    Secara visual bisa jadi sama, tapi jika dilihat lebih teliti bisa jadi identitasnya lain. Perhatikan nama lokal; karena kadang nama lokalnya sama, tapi sebetulnya beda tumbuhan. Ini kriterianya lumayan banyak, bisa beda-beda per (kelompok) tumbuhan.
  • Perhatikan tempat tumbuhnya.
    Tumbuhannya bisa jadi edible, tapi karena tempat tumbuhnya jorok atau tercemar, ya jadi nggak layak makan.
  • Terutama jika tumbuhannya jenis rumput-rumputan, perhatikan apa pernah kesemprot herbisida atau nggak. Pun kalau ada di area budidaya tanaman (sawah/kebun/dsb), pernah kena pestisida atau nggak? Kalau kena, maka nggak layak dimakan karena udah kena racun.
  • Jangan konsumsi tumbuhan dari tempat tercemar atau yang dijadikan agen penyerap cemaran.
    Sebagai gambaran (rada ekstrem): bunga matahari. Bijinya aman dimakan dan dia mampu nyerap limbah radioaktif (a.k.a nuklir). Jadi kalau dia ditanam di tempat tercemar limbah radioaktif untuk memperbaiki lingkungan itu, ya jangan dikonsumsi.
  • Cara pengolahan. Ada yang bisa dimakan mentah, ada yang harus dimasak dulu supaya racun/zat alergennya hilang.
  • Kalau ragu, jangan dimakan.
  • Makan sedikit-sedikit, apalagi kalau baru pertama nyoba.
    Kalau mau lebih aman oleskan dulu ke kulit (tunggu reaksi), lalu bibir (tunggu reaksi), dikunyah (tanpa ditelan, tunggu reaksi), dimakan sedikit (tunggu), dst. Lama? Memang.
  • Khusus jamur, lebih hati-hati.
    Ada jamur yang bisa dimakan berkali-kali, ada yang bisa dimakan sekali (karena mematikan). Saran saya kalau meramban tumbuhan aja masih ragu, jangan coba jamur dulu, deh. Serius. RIskan banget.
  • Bukan berarti tumbuhan nggak berisiko. Kadang sama aja. Jadi, please kalau ragu atau nggak paham, hentikan aja demi keselamatan. Konsultasikan ke orang yang benar-benar ahli atau terbiasa.

 



Tips di atas umumnya untuk tumbuhan di alam liar atau kurang umum dibudidayakan. Kalau yang umum ditanam tapi kita temukan liar gimana? Misalnya, nemu kangkung di lahan terlantar. Bentuk kangkung kan jelas dan kita udah pasti tahu, ya. Maka kangkungnya sendiri relatif aman. Tapi perhatikan juga tempat tumbuh dan faktor lainnya.

 

Pernah dapat cerita, nemu kangkung gemuk-gemuk. Di kemudian hari baru diketahui kalau di lahan tempat kangkung itu tumbuh ternyata ada temuan leaching limbah logam. Berita buruknya, kangkung itu penyerap logam yang baik. So....

 


👉  Funfact!

Di hutan tropis, kita bisa mengamati perilaku primata seperti kera untuk menentukan buah/sayur liar tsb aman dikonsumsi manusia atau enggak. Kalau mereka makan itu, biasanya relatif aman juga buat manusia, karena kita punya pencernaan yang mirip (bukan persis) dengan mereka.

Tapi tetap hati-hati, ya. Paling aman emang makan logistik bawaan aja.


 

 Peringatan:

Nggak semua perilaku konsumsi hewan bisa kita tiru. Misalnya burung. Buah yang aman dimakan burung bisa jadi beracun bagi manusia. Balik lagi, karena pencernaan dan fisiologi tubuhnya berbeda.

 

Hati-hati dalam mengonsumsi jamur. 
Jamur di atas hanya ilustrasi, belum tentu edible (saya sendiri cuma ngelihat tapi nggak juga nemu identitasnya, jadi cuma difoto aja buat kenang-kenangan, haha. Soalnya saya jarang nemu jamur berwarna cerah gini, biasanya cuma putih kusam.)


[2] Pastikan lingkungannya juga aman

Jika di atas kita ngomongin soal keamanan kita, sekarang kita bicara soal keamanan lingkungan itu sendiri. Kenapa? Karena lingkungan harus dijaga. Apalagi kalau kita foraging dari alam liar. Jangan sampai malah ngerusak ekosistem.


Gimana? Salah sedikit caranya adalah:

  • Ambil sedikit/secukupnya
    Jangan ambil banyak-banyak atau dihabisin semuanya. Apalagi kalau kondisi kita nggak darurat alias pengin sekadar nyoba atau pengin tahu rasanya aja. Biasanya buah ‘umum’ macam arbei liar yang begini.
    Kenapa jangan dihabisin semuanya meski ada banyak?
    Karena yang untuk kita cuma untuk dicoba, bagi hewan-hewan di area itu bisa jadi sumber makanan mereka. Jangan sampai mereka yang memang hidup di situ kelaparan dan susah cari makan karena kita ‘pengin coba aja’.
    Nggak menghabiskan juga untuk ngejaga keberlanjutan hidup tumbuhannya. Supaya mereka bisa hidup lebih lama dan berkembang biak lebih banyak. Kalau misal daun/buahnya dihabiskan manusia, gimana mereka bisa tetap hidup buat tahun-tahun selanjutnya? Ini ngaruh ke keberlangsungan ekosistem.
  • Untuk jamur, selain nggak diambil semua, tepuk-tepuk juga.
    Ditepuk gimana? Tepuk-tepuk aja tudung jamurnya di area tempat dia tumbuh. Jamur berkembang biak dengan spora. Saat kita tepuk-tepuk, sporanya terbang dan jatuh di tanah, memungkinkan jamur itu untuk tumbuh lagi dan nggak benar-benar habis.
  • Ini mungkin agak nggak berhubungan dengan foraging tapi lebih ke manajemen sampah bekas makanan saat naik gunung, terutama makanan segar atau buah yang ada bijinya. Biji/bagian untuk regenerasi jangan dibuang sembarangan atau dipendam di lokasi. Biji ini bisa jadi tumbuh menjadi tumbuhan invasif (alias tumbuh banyak banget) sehingga bisa ngerusak ekosistem lokal. Misal karena tumbuhnya rimbun banget, tumbuhan asli situ jadi tersaingi atau bahkan mati. (Credit: buku “Zerowaste Adventure” tulisan Kak Siska Nirmala. Baca, deh. Bagus!)



Berawal dari ngelihat unggahan foto-foto estetik autumn vibes dan rainy vibes di medsos, jadi  keinget foraging dan mbleber ke hal-hal lainnya.... Bicara soal bahan makanan, manusia, dan alam (plus kultur dan sebagainya) memang saling mempengaruhi. Di sekolah mungkin kesannya ilmu alam dan sosial terpisah banget, tapi di kehidupan sehari-hari kita sebetulnya dekat dan saling terkait dan terikat.


Anyway, pada lebih suka vibes akhir tahun yang gerimis-sejuk-sendu atau vibes tengah tahun yang lebih cerah-bersemangat?



Updated


Tidak ada komentar: