Desember 2024 - Hijaubiru

Jumat, 13 Desember 2024

Hujan dan Love-Hate Relationshipnya
Desember 13, 20240 Comments


Iseng-iseng buka notes, menyadari eh ternyata di hari-hari hujan, isi notes lebih banyak. Saya emang lebih gampang nulis kalau hujan. Inspirasi lebih ngalir aja rasanya daripada waktu cuaca cerah.

 

Tapi ini bukan soal hujan, cuma preambule aja.

(Dan ini… panjang. Dan topiknya kadang lompat-lompat. So… read at your own caution?)

 

Beberapa minggu lalu, saat hari-hari hujan dimulai dan banyak orang ngomongin kesukaannya terhadap hujan, saya nemu sebuah kalimat yang menggelitik. Kurang lebih begini:

 

Orang yang bilang suka saat hujan turun itu bukan orang yang pernah ngerasain susah saat hujan.

 

Di bawahnya bermunculan jawaban, kalimat dan foto, tentang kesusahan saat hujan. Potret para pencari rezeki yang berhujan-hujanan di atas motor dengan jas hujan kelelawar, testimoni pejalan kaki yang menerjang jalanan becek dan banjir, orang-orang yang hatinya kebat-kebit takut rumahnya bocor atau kebanjiran.

 

Saat itulah saya sadar, saya pun pernah berada dalam situasi seperti yang disebutkan di atas. Dan perasaan, kok, kayaknya saya pun punya love-hate relationship sama hujan, ya?

 

Saya suka hujan. Hawanya sejuk, aroma petrichor-nya segar menenteramkan. Masih banyak segudang alasan lainnya; alasan yang simpel dan se-‘remeh’ suka ngelihat tetes air jatuh dari pucuk daun atau perasaan melankolis yang muncul saat ngelihat kaca ruangan berembun.

 

Nggak bisa dipungkiri, hujan juga jadi salah satu bahan bakar untuk nulis karena serasa adaaa aja hal-hal yang tiba-tiba terpikir. Catatan saat bulan-bulan berhujan jumlahnya jadi (jauh) lebih banyak. Ibarat tiap hari hujan bisa nulis minimal satu notes (bahkan lebih), sedangkan saat kemarau, tiga/empat catatan sebulan aja udah dianggap banyak. (Apakah ini ada hubungannya sama SAD alias Seasonal Affective Disorder? Entah)

 

Sesuka dan se-inspiring itukah hujan? Iya, bagi beberapa orang.

Namun, baca postingan medsos di atas, saya juga jadi sadar bahwa ada kalanya saya nggak suka hujan.

Bahkan, nggak suka banget.

 

Terbayang beberapa keribetan dan kesusahan yang pernah saya alami saat hujan. Kudu jalan nyeker supaya sepatu sekolah nggak basah kuyup, takut hujan ngerembes ke dalam tas meski udah dipasang rain cover, baju yang terasa lembap dikekep jas hujan karena menempuh jarak jauh dengan motor. Zaman ngekos, sering kerasa was-was kamar kos bocor. Kudu lebih hati-hati juga ngerawat rak buku karena buku jadi rentan berjamur (sempat syok awal-awal ngekos karena buku saya jadi penuh bercak hitam RIP my books).

 

Ada saat-saat ketika saya berdoa supaya nggak turun hujan. Saat-saat ini adalah momen saya langsung bad mood begitu ngelihat rintik yang masih jarang. Momen itu salah satunya saat hiking. Butuh beberapa tahun pembiasaan dan satu pendakian super-berhujan untuk berdamai dengan hujan-saat-naik-gunung. Sebelumnya, kena rintik kabut lewat aja, saya udah cemberut karena kepikir betapa perjalanan ini akan lebih sulit.

 

Hujan juga pernah jadi pengingat menyakitkan; saat lagi nge-drop dan turunnya hujan jadi pengingat kalau saya masih dalam masa penyembuhan meski udah berbulan-bulan dan hampir nggak ada yang percaya kalau saya butuh recovery selama itu.

 

Jadi… apakah masih bisa dibilang suka hujan?

Bicara soal suka, atau cinta, saya jadi keinget kutipan dari Bob Marley, penyanyi musik reggae itu.

 

 

Saya jadi mikir, sebenarnya saya beneran suka hujan atau suka sensasinya aja?

Apakah suka hujan dengan segala keindahan dan keribetannya, atau suka sensasi senangnya aja tapi kalau kena efek jeleknya kemudian nggak suka?

 

“Ngapain, sih, mikir sampai kayak gitu?”

Suara hati saya yang lain protes. So what kalau menyadari suka/nggak suka hujan, nggak ada efek signifikannya.

 

Memang enggak, tapi ini sedikit membantu saya untuk ‘nyortir’ perasaan terhadap hal lainnya. Hobi, barang yang ingin dibeli, dan in some level kekaguman dan kedekatan terhadap orang-orang tertentu. What did I say in the first paragraph: hujan cuma preambule, pembukaan aja.

 

Balik ke topik soal suka-nggak suka. Gara-gara mikir itu tadi, jadi keingat kutipan lain (banyak amat keingatnya, tapi ya gimana lagi lha kutipan tentang perasaan kayaknya emang salah satu yang mendominasi dunia per-quote-an). Kurang lebih isinya gini:


Do you really love?

Or do you just like that fluttery flitter feeling?

 

Orang Barat punya ungkapan: ketika jatuh cinta, rasanya seperti ada banyak kupu-kupu beterbangan dalam perut kita. Kalau versi Indonesianya mungkin perasaan deg-degan, gugup, dan senang kali, ya. Dan, itu emang benar, kan? Jangankan ketemu orang, nemu barang yang disukai aja rasanya excited sekali.

 

Namun, perasaan ini bisa berarti dua: suka aja, atau beneran cinta. Yang kedua, lebih butuh effort. Gampangnya, kalau diibaratkan ke soal hujan-hujanan tadi, suka itu kalau suka sensasi saat hujan aja kemudian mengutuk saat dapat keribetannya, sedangkan kalau cinta ya menerima dua-duanya; baik-buruknya.

 

Karena kalau cinta, nggak cukup pakai rasa. Juga butuh usaha.

Perasaan (that fluttery flitter feeling) bisa luntur seiring waktu kalau nggak dipupuk dan dirawat.

 

Orang-orang yang awet bersama pasangannya mungkin bisa ngasih testimoni gimana usaha mereka untuk bertahan meski diterpa berbagai badai cobaan (ceilah…). Tapi okelah, mungkin itu kejauhan, mari bicara soal yang nggak terlalu dalam aja, misalnya: hobi.

 

Hobi artinya aktivitas yang suka dilakukan di waktu luang. Semua orang suka ngelakuin hobi, betul? Baca buku, masak, nulis, sepedaan, olahraga, scrolling medsos, you name it. Namun, kalau aja butuh usaha lebih untuk ngelakuin hobi itu, apa akan tetap dilakukan?

 

Soal hobi ini pernah kejadian di saya sendiri. Alkisah saya suka motret. Kepikiranlah untuk nyambi jualan foto di platform online. Sebelum bikin akun, saya baca syarat foto yang diterima: resolusi minimal sekian, no noise, dll dsb dst—yang, ketika dicocokkan dengan koleksi potret saya, kok, rasanya banyak yang nggak memenuhi syarat meski secara jumlah ada bejibun. Oke, saya pikir, berarti saya harus upgrade skill. This is a challenge!

 

Mulailah saya berburu foto dengan mikirin segala teknisnya. Sebelum jepret satu, diem dulu nentuin angle, setting, dsb. Setelah itu pulang, transfer data, cek foto, eh… ternyata banyak yang missed. Oke, coba lagi. Dan begitu seterusnya. Sampai pada satu titik saya menyadari: kok, rasanya saya mulai nggak enjoy motret, ya?

 

Hal di atas masih saya lakukan sampai saya ‘tiba’ di titik kedua:

Kenapa ya, sekarang rasanya males motret? Kayak ada beban gitu. Beda sama dulu.

 

Oh la la~ Kamu yang sekarang sudah berubah, tidak seperti kamu yang dulu!

Kedengaran familiar? Iya, ini salah satu trope di cerita atau film romance, hahaha.

 

Sampai pada satu titik (lagi), saya menyadari bahwa kalau mau terjun ke ranah (lebih) profesional, ya memang kudu lebih effort. Meski itu berawal dari ‘sekadar’ hobi. Butuh kesabaran untuk upgrade skill, lebih disiplin, lebih rajin, dsb. Ini mirip sama kejadian ketika banyak penghobi nulis kemudian ngerasa stuck atau terbebani ketika memutuskan mau serius nulis naskah. Memang lebih berat daripada kalau menulis bebas semaunya.

 

Pada akhirnya, saya memutuskan nggak jadi jual foto. Biarlah hobi satu ini jadi pereda stres daripada nambahin stres. Upgrade skill tetap, tapi nggak se-ngoyo dulu. Biarlah fotografi ini jadi hobi aja.  Biarlah saya ambil minat lain yang kiranya saya bisa compromise ketika masuk ranah kerjaan.

 

Dan that’s okay. Punya hobi sebagai hobi aja juga nggak apa-apa. Nggak ada yang salah dengan itu.

 

Jadi, apa bisa dibilang saya mencintai fotografi?

Menurut saya, enggak. Cuma suka aja. Kalau beneran cinta, saya akan tahan itu semua kesulitan (atau tantangan) demi foto yang jauh lebih baik. Kan, memang butuh usaha, suka aja nggak cukup.

 

Jadi keingat sebuah kutipan (lagi!) yang diucapkan tokoh Rangga di film “99 Cahaya di Langit Eropa”:


Cinta itu tanggung jawab.

 

To put it to further context (sehingga paragraf ini jadi agak out-of-context, lol), kalimat tadi diucapkan Rangga saat Stefan nanya kenapa dalam Islam seorang lelaki boleh beristri 4. Rangga jawab, boleh tapi harus adil dan itu susah, makanya tetap disarankan satu aja, 4 itu kalau mampu. Stefan jawab, kalau cinta, dia yakin bisa mencintai semua sama besarnya. Rangga respons: enggak, beda, cinta itu tanggung jawab. Lalu dilanjut,

R: “Cinta itu tanggung jawab. Ibarat kuliah, kamu harus nyelesaiin semuanya.”

S: “Satu (kuliah) aja pusing.”

R: “Nah, you got the point. Satu aja pusing.”

 

Jika memang cinta sesuatu/seseorang, saat ada hambatan akan diatasi dan bukan ditinggal. Saat ada ketidakcocokan, akan dicari titik temunya, bukan menitikberatkan ke siapa masalahnya. It’s both of you vs the problem, not you vs him/her/it. Akan selalu diusahakan (within reasons tapi, selama nggak malah jadi toksik atau obsesif).

 

Jadi… apakah saya suka hujan atau cinta hujan?

Bahkan setelah refleksi berhalaman-halaman ini, saya masih diam berpikir. Iya atau nggak? Entahlah, seperti perasaan, rasanya masih nggrambyang. Kalau ini adegan di film atau novel, mungkin akan muncul ‘jawaban’ klise,

“Beri aku waktu untuk berpikir.” 😂

 

Untungnya, hujan nggak butuh jawaban. Untungnya dia bukan orang juga, kan, jadi nggak perlu dikasih kepastian. Dan lagi, emangnya dia pernah nanya? ðŸ˜‚ (PD bener, padahal nanya sendiri, jawab sendiri, hahaha)

 

And, although kind of abstract, this way of thinking helps me to sort out things more clearly.

Reading Time:

Sabtu, 07 Desember 2024

Pelajaran Perjalanan
Desember 07, 20240 Comments


 

Experience is the best teacher, katanya. Pengalaman adalah guru terbaik. Banyak orang setuju dan pernyataan itu emang benar. Sayangnya, 'guru' satu ini merupakan jenis guru yang pasti tega sama muridnya: karena mereka ngasih ujian dulu, lalu pembelajarannya belakangan.


‘Model pembelajaran’ macam ini pun nggak mengenal kata selesai, sesuai dengan ungkapan, “Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian hingga liang lahat”. Alias nggak mengenal kata berhenti. Tiap fase hidup dan peristiwa bisa jadi ‘bahan ajar’ yang diambil hikmahnya.

 

Sama seperti peristiwa-peristiwa lain dalam hidup, perjalanan juga menyimpan pelajaran. Bahkan hal-hal yang ‘nggak hidup’—atau sering nggak kita anggap sebagai subjek dan hanya objek—bisa banget jadi sumber pembelajaran.

 


AWAL ‘PERJALANAN SEBAGAI PEMBELAJARAN’

Di zaman sekarang, kita bisa bebas jalan-jalan ke mana pun dan kapan pun. Di zaman duluuu banget, perjalanan cuma dilakukan untuk hal-hal yang penting. Hampir nggak ada perjalanan untuk wisata, beberapa abad silam. Leisure travel ditengarai muncul baru-baru aja ketika zaman udah stabil.

 

Stabil yang dimaksud adalah hal-hal semacam biaya perjalanan lebih murah, transportasi lebih memadai, keamanan lebih terjamin, dsb. Makanya kalau kita cari-cari catatan perjalanan zaman dulu banget, penulisnya seringkali adalah orang-orang yang memang perlu melakukan perjalanan, contohnya pelaut, pedagang, wartawan, ilmuwan yang cari bahan riset, murid yang sedang cari guru untuk belajar, dan semacamnya; bahkan para pengelana yang membawa misi kolonial.

 

Di Eropa sendiri, perjalanan awalnya memang untuk belajar. Para pemuda kaya atau bangsawan melakukan grand tour, melawat ke daratan Eropa lainnya untuk belajar. Belajarnya nggak hanya di kelas, tapi lebih pada kunjungan ke berbagai tempat asing untuk menambah pengetahuan. Kalau di Indonesia dan sekitarnya mungkin kita akrab dengan cerita kolosal yang sering menyebut tokoh A berkelana untuk berguru pada tokoh X, dan semacamnya.

 

Kalau di masa kini, apa saja yang bisa kita jadikan ‘guru’ dalam perjalanan?

 


‘GURU’ DALAM PERJALANAN

Sebagai catatan, beberapa poin di daftar ini ‘menjadi guru’ karena keterkaitannya dengan manusia atau masyrakat. Jadi memang ada yang nggak berdiri sendiri. Sepertinya udah sifat ilmu untuk saling terkait.

 

1. PERENCANAAN: Sebuah Awal Proses Menemukan

Sebelum melakukan perjalanan atau pergi wisata, biasanya kita akan ngerencanain dulu. Kalau panjang atau jauh, kita akan bikin planning atau itinerary. Penyusunan rencana ini tentu butuh proses mencari tahu atau riset istilah kerennya. Kita bisa cari info dengan tanya orang lain, berselancar di website, atau tanya langsung ke tempat (misal: stasiun, hotel, dsb).

 

Dalam proses perencanaan ini, seringkali saya juga ‘menemukan diri sendiri’ dengan mengetahui hal-hal yang saya butuhkan atau inginkan. Kita juga bisa tahu style seseorang dari planning-nya, baik itu style perjalanannya atau style secara umum. (Style di sini maksudnya bukan gaya berpakaian, yaa.)

 

Soal menemukan diri sendiri, kadang hal ini juga bisa direfleksikan pada kehidupan sehari-hari sehingga kemudian bikin sadar, “Oh, ternyata aku butuh ini, ternyata aku seperti ini.”

 

2. ALAM

> Tentang Sifat Manusia

Back to nature! Konon, di alam kita bisa melihat diri kita yang sebenarnya. Dan memang betul. Beberapa kali dalam kondisi terdesak atau kondisi yang super-duper nggak nyaman, sifat asli saya dan teman-teman jadi kelihatan. Bahkan sifat-sifat jeleknya bisa keluar semua. Poin belajarnya adalah gimana mengatasi bad mood dan bad condition serta tetap berkomunikasi baik dengan teman-teman supaya keadaan nggak makin runyam atau pertemanan jadi nggak nyaman.

 

Ketika sudah saling tahu bahwa ada berbagai macam sifat dan gimana cara ngehadapinnya, pengalaman ini bisa juga kita pakai di kehidupan sehari-hari.

 

> Tentang Alam

Alam ini hebat karena Pembuatnya amat hebat. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari fenomena-fenomena alam selama perjalanan. Bahkan nggak hanya dalam perjalanan, fenomena alam di sekitar kita pun bisa banget kita ambil hikmahnya.

 

Hal yang paling saya sukai adalah ketika menemukan sesuatu yang pernah saya dapat dari bangku sekolah atau buku. Menemukan lumut yang bisa diperas untuk diambil airnya, seperti yang diajarkan dalam survival. Melihat tingkat-tingkat batuan berbagai motif dan gradasi hasil patahan dsb, seperti dalam pelajaran Geografi. Merasakan angin laut dan angin darat yang super semriwing di kulit, seperti di pelajaran IPA. Dan masih banyak lainnya.

 

Saya sendiri paling suka bila ketemu fenomena alam yang terhubung dengan pelajaran atau textbook. Rasanya kayak makin nyata aja. Beda, kan, sensasi memahami dari buku aja dengan mengalami sendiri. Lebih nyantol aja kalau pakai mengalami. Oleh karena itulah ada praktikum di sekolah: karena kalau praktik biasanya lebih nyantol.

 

Ini juga bisa mematahkan omongan macam, “Hal yang dipelajari di sekolah itu nggak guna, mending belajar di kehidupan nyata”. Nyatanya, dua hal ini berhubungan banget. Mustahil kita bisa paham fenomena di sekitar kita kalau nggak dapat dasarnya dari para guru sekolah (kalau pun nggak sekolah, at least tetap dari proses belajar, nggak ujug-ujug paham).

 

Dalam kehidupan sehari-hari apa contohnya?

Sederhana aja. Misal, tahu bahwa lama waktu untuk merebus air saja sampai mendidih itu lebih cepat dibanding air+bumbu/gula karena titik didihnya berbeda (ini ada di bab Tf/Tb Kimia). Atau, sesimpel tahu bahwa hewan-hewan yang ada di sekitar rumah kita itu bisa jadi hama, tapi juga bisa jadi penyelamat ekosistem sekitar lewat siklus yang berkelanjutan.

 

Science is everywhere around us.

Sains selalu ada di sekitar kita, selama kita tahu ke mana harus melihatnya.

 


3. MASYARAKAT DAN MANUSIA

Topik masyarakat dan manusia sangat nyambung dengan ‘tempat’, karena seringkali tempat bisa banyak dipelajari saat ada manusia atau masyarakatnya.

 

> Masyarakat

Masyarakat bisa banget jadi guru dalam perjalanan. Bahkan jadi guru yang paling besar. Banyak cerita-cerita perjalanan dan travel writer yang kisahnya banyak berputar pada kehidupan warga di tempat perjalanannya. Topik budaya sudah bukan lagi barang asing dalam perjalanan dan pembelajaran.

 

Mengetahui budaya dan style masyarakat di tempat kita melakukan perjalanan, bisa banget tambah ilmu untuk kita. Sesimpel tahu hal yang dianggap sopan di masyarakat A tapi dianggap enggak di masyarakat B, dsb. Lain tempat, lain perspektif. Beda perspektif, beda cara pikir.

 

Ngomong-ngomong, ada suatu episode di sebuah anime yang eye-opening banget buat saya. Iya, nggak salah, saya dapat perspektif ini dari nonton kartun. Ceritanya, ada seorang mata-mata negara lain yang mampir di sebuah resto kecil (mungkin di kita dianggap warung?). Dia memesan makanan dari resto itu. Dari bahan makanan dan bumbunya aja, dia bisa analisis flow perdagangan negara itu dan pengaruhnya ke negara-negara lain.

 

Simpelnya gini:

Lihat makanan > makanannya dari bahan segar > padahal bahan segar susah didapat > berarti rantai distribusinya bagus. Resto kecil aja bisa beli bahan segar > harga di negara itu terjangkau > sumber bahannya banyak > negaranya kaya.

Ada lagi adegan si mata-mata nemu merica dalam makanannya. Dia syok abis karena merica di sana harganya setara emas. Dia mikir, “Kalau warung kecil murah aja bisa nyediain merica, apalagi resto besar dan orang-orang kaya. Sekaya apa ini negara?”

 

Di kehidupan sehari-hari, insight seperti di atas juga bisa banget kita dapatkan. Kalau dulu semacam: oh Indonesia produk agrikulturnya banyak, makanya dibilang negara agraris. Dalam beberapa travel notes yang saya baca, semacam: oh ini kota orangnya pakaiannya warna-warni dan bagus karena dulu jadi Jalur Sutra jadi banyak pedagang negara lain yang lewat dan jualan di sini.

 

> Orang

Ini juga salah satu poin menarik dari berbagai travel notes. Banyak perspektif, cerita, fakta, pelajaran, yang bisa didapat dari ngobrol dengan orang. Biasanya, warga lokal.

 

Dari warga lokal, biasanya kita bisa tahu lebih banyak daripada hal-hal yang ada di internet. Dari seorang ibu, kami jadi tahu bahwa kelapa di sebuah daerah selatan Jatim segar banget sampai dijual ke kota besar (dan ditawari, “Mau minum? Saya bukakan!”). Dari seorang kang ojek, kami jadi tahu ada mitos yang beredar di antara warga lokal di sekitar sebuah danau di Jabar (“Warna danaunya bisa ganti-ganti karena dijaga bidadari”). Bahkan info penginapan, makanan enak, dan spot bagus juga bisa didapat dari obrolan bareng warga sekitar.

 

Bahkan percakapan dengan orang yang sedang sama-sama dalam perjalanan, seringnya sama-sama dalam kendaraan, juga bisa jadi penambah pengalaman. Kalau cari teman barengan, juga bisa dapat dari ngobrol-ngobrol ini. Dulu seringnya kalau cari kendaraan carteran, supaya murah jadi kami gabung sama rombongan lain. Sebelum bareng, tentu ngobrol dulu. Di kendaraan juga ngobrol tukar info. Kadang, hidup memang sebagian besar diisi dengan obrolan.

 

> Guru/Mentor

Kali ini untuk yang memang niat berguru; mendatangi orang-orang tertentu untuk minta diajari, dsb. Sebelum saya pertama naik gunung bertahun-tahun lalu, saya dan teman-teman diajari berbagai ilmu oleh para senior dan kakak-kakak kelas. Pengetahuan yang dibutuhkan supaya tetap hidup atau hiking dengan nyaman, mereka ajarkan. Bentuk belajarnya sendiri kadang materi di kelas, sharing santai, simulasi sederhana, atau praktik langsung di alam.

 

Dalam perjalanan, gurunya juga banyak. Beberapa pejalan mengatakan bahwa guru perjalanan mereka adalah dosen semasa kuliah. Beberapa travel writer bilang bahwa mereka belajar menulis dan berjalan dari mentor mereka, para penulis/jurnalis senior.


 

 

Dalam hidup, manusia nggak mungkin terlepas dari pengajaran para guru. Bahkan sejak dalam kandungan, bayi pun sudah belajar dari ‘guru’ terdekatnya, yaitu orang tuanya. Sejak dalam buaian hingga masuk liang peristirahatan, selama manusia terus berjalan, ia akan terus mendapat pelajaran dari berbagai macam guru; guru di bangku pendidikan maupun guru kehidupan.


Perbedaannya adalah apakah seseorang bisa memetik buah pengalaman untuk dijadikan pembelajaran,

atau

memilih abai dan menganggap itu semua hanya kejadian biasa tanpa makna. 






Picture from Favim.com
Reading Time:

Jumat, 06 Desember 2024

Resep Cokelat Panas
Desember 06, 20240 Comments


Sebenarnya ini bukan rencana post pekan ini. Namun karena tulisan yang satu itu perlu diedit karena acakadul sekali dan pikiran ini juga sedang acakadul karena gejala flu, ya sudah mari nulis post tentang sesuatu yang berhasil bikin badan jadi agak mendingan.


Kali ini saya akan nulis soal... resep.

Resep minuman cokelat hangat tepatnya, alias hot chocolate. 


Long story short, habis lihat video tentang tingkatan-tingkatan hot chocolate beserta resepnya. Duh, dingin-dingin gini, mana hujan dan kerongkongan (bukan tenggorokan!) serak, paling enak minum yang hangat-hangat lah, ya!


Ini dia resepnya:

- susu cair (tawar)

- kayu manis

- cengkeh

- bubuk coklat (dark chocolate)

- gula + garam 


Semua bahan dicampur, panaskan pakai api kecil selama 10 menitan atau secukupnya sambil diaduk terus. Dah, terus diminum!


Resep ini nggak persis sama dengan video. Di rekaman itu, kalau nggak salah, rempahnya pakai kayu manis (cinnamon), kapulaga (cardamom), plus kembang lawang (star anise). Namun karena saya nggak punya, jadilah rempah apa aja yang ada di kotak (kebetulan milihin rempah di set wedang uwuh) saya ambil. Jadinya pakai kayu manis plus cengkeh. Bubuk cokelat yang dipakai bukan susu cokelat, tapi bubuk dari biji. Kalau pakai susu cokelat, nanti kemanisan dan beda gitu rasanya. 


Rasanya minumannya gimana? Lebih enak!

Ya karena ada aroma dan rasa rempahnya. Rupanya ini rahasia cokelat panas yang nikmat. Soalnya beberapa kali saya bikin dari susu + bubuk cokelat aja, rasanya masih kurang mantap. Oh ya, yang bikin rasanya lebih enak juga karena dikasih garam sedikit. Jadi nggak dominan manis yang eneg gitu.


Jadi pengin minum lagi.... Bikin, ah. 


==========


 Update! 

  • Kemarin akhirnya nyoba ditambah kapulaga. Rasanya... hm... gimana, ya. Kalau di lidah saya berasa kurang mantap dibanding kayu manis+cengkeh aja. Waktu minta orang lain nyobain, komentarnya:
    "Berasa bukan cokelat, tapi kayak teh rempah."
    Hari ini saya minum teh arab di tempat makan Timur Tengah, eh, kok rasanya memang mirip. Beda dikit. 
    Jadi kesimpulannya: kalau kebanyakan rempah, rasanya lebih mirip teh.
    Kesimpulan kedua: mending cuma pakai kayu manis + cengkeh aja.
  • Baru nyadar kalau kapulaga ada bermacam-macam jenis. Di Indonesia, kapulaga yang paling gampang ditemui di pasar adalah jenis kapulaga jawa. Bentuknya lebih bulat. Di sisi lain, kapulaga di video yang saya tonton warnanya kehijauan dan bentuknya oval, di sini beberapa orang nyebut kapulaga arab/kapulaga india. Yang sering muncul di video-video dari Barat alias yang biasa mereka sebut cardamom, ya yang kedua ini.



Photo by M. Bazzocco on Unsplash 

Reading Time: