Mumpung masih
November dan vibes-nya masih Hari Pahlawan, jadi keingat kalau tahun
lalu pengin posting tentang Benteng Kedung Cowek. Benteng di pucuk
Surabaya ini jadi saksi bisu berbagai pertempuran: mulai dari Belanda vs Jepang
hingga Indonesia vs Belanda-Sekutu. Kejadian yang disebut kedua inilah yang
termasuk dalam rangkaian peristiwa 10 November; yang diperingati sebagai Hari
Pahlawan dan bikin Surabaya punya julukan “Kota Pahlawan”.
Benteng Kedung
Cowek berlokasi di ujung utara Kota Surabaya, berhadapan dengan Pulau Madura.
Pas banget di pinggir. Dari sini kita bisa nyentuh langsung air lautnya Selat
Madura. Bahkan daratan Madura di seberang samar-samar bisa terlihat. Jembatan
Suramadu? Kelihatan jelas banget!
Benteng Kedung
Cowek memang sengaja dibangun di pinggir laut oleh Belanda sebagai mekanisme
pertahanan untuk menghadapi musuh dari laut.
Nama Benteng
Kedung Cowek, kayaknya, baru ramai di khalayak umum sepuluhan tahun belakangan.
Saya sendiri pertama dengar soal benteng ini beberapa tahun lalu dari surat
kabar. Pertama tahu, saya langsung tertarik. Soalnya baru kali itu saya dengar
ada benteng di Surabaya. Sebelum itu, saya ngira udah nggak
ada sisa.
Bicara soal
benteng, yang terlewat di pikiran adalah bangunan ‘melingkar’ macam Fort
Vredeberg di Yogya atau Fort Rotterdam di Makassar. Bangunan segede itu di
Surabaya, di mana? Sekian lama tinggal di sini kayaknya saya nggak pernah
lihat atau tahu kalau ada benteng. Pernah sih, ada benteng: Fort Prins Hendrik.
Namun bangunan itu udah nggak ada sejak dulu banget.
Fort/citadel Prins Hendrik, Surabaya. Inset dari peta tahun 1866 (Leiden University Library) |
So, saat
dengar ada benteng di sini, tertariklah saya untuk datang melihat. Namun waktu
itu Benteng Kedung Cowek belum dibuka untuk umum karena baru diungkap. Bangunan
ini pun terletak di tanah milik TNI yang akses keluar-masuknya jelas dibatasi.
Pengin ngelihat dari jauh atau luar, rasanya sungkan dan nggak nyaman. Jadi
ketika saya tahu kalau tempat ini udah dibuka untuk umum dan lumayan ramai
orang, berangkatlah saya ke sana.
[ Disclaimer:
Meski tulisan
ini dibuat berdasarkan referensi, bisa jadi ada kelirunya terutama mengenai
sejarahnya. Antara saya yang salah nangkap isi referensi atau keliru ambil
sumber, saya juga bukan akademisi bidang Sejarah. Pembaca disarankan
untuk check and recheck lagi atau cari sumber lain yang lebih pasti.
]
DAFTAR ISI
- Rute ke Benteng Kedung Cowek
- Benteng Kedung Cowek, Wajahnya Kini
- Bangunan-Bangunan di Kompleks Benteng Kedung Cowek
- Kustbatterij Kedung Cowek di Masa Lalu dan Hubungannya dengan 10 November
- Tips Berkunjung
(klik poin untuk menuju bagian tertentu di halaman ini)
(Nggak tahu kenapa hyperlink-nya nggak bisa diubah biru, hfft)
RUTE KE BENTENG KEDUNG COWEK
Benteng Kedung Cowek terletak di ujung utara Kota Surabaya; bersebelahan dengan pintu masuk Jembatan Suramadu. Benteng ini bukan tempat wisata. Maksudnya, saat ini memang nggak difungsikan sebagai tempat wisata, tapi oleh TNI (selaku pemilik lahan di mana benteng ini berdiri) dibuka untuk umum/boleh dikunjungi oleh masyarakat umum. Jadi jangan heran bila penampilannya apa adanya.
Untuk mencapai lokasi dengan kendaraan pribadi, lurus aja menyusuri Jl. Kedung Cowek. Jalan terus ke arah utara/Suramadu. Rute ini sudah terpampang jelas di Google Maps sehingga relatif mudah diikuti.
Namun hati-hati, beberapa puluh meter sebelum mencapai gerbang Suramadu, kita harus ambil lajur kiri ke arah Tambak
Wedi. Lurus dikit sampai ketemu putar balik (di bawah jalan Suramadu). Setelah
putar balik, jalan lurus sambil ambil kiri karena jalan masuk ke benteng
terletak cuma 200-300 meteran kemudian. Biasanya di situ banyak orang jualan.
Belok kiri sesuai Google Maps, lalu lurus terus sampai ketemu jalan kecil dan
tempat parkir motor seadanya.
Soal putar
balikan tadi, saya sering deg-degan kalau lewat sana, hehe. Soalnya, lupa ambil
kiri sedikit, bisa masuk gerbang Suramadu. Mana bisa putar balik kalau udah
masuk situ.... Akhirnya kalau udah hampir dekat ujung, saya nyetir motornya pelaaan
banget dan kiri banget sampai ketemu pedagang kaki lima. Kalau udah ketemu
mereka, berarti saya udah di jalan yang benar sebelum putar balikan, haha. Bila
jalannya terlihat bersih dan steril, itu berarti mau masuk gerbang Suramadu.
Balik ke tempat
parkir. Sebenarnya saya terakhir pergi ke sini udah hampir dua tahunan lalu
jadi mungkin ada info yang kurang update.
Kalau nggak
salah ingat, masuk ke area bentengnya sendiri nggak bayar. Cuma bayar parkir
kendaraan aja. Rp2.000 atau Rp5.000 per motor, kalau nggak salah.
Dari parkiran,
benteng nggak terlihat sama sekali karena tertutup pepohonan. Di dekat gerbang
parkir, ada jalan setapak di sebelah kiri (arah utara). Itulah salah satu jalan
masuk menuju benteng.
Kalau naik
kendaraan umum gimana?
Dulu ada teman
yang rumahnya daerah sana, dia pulang-pergi sekolah naik bemo (mikrolet).
Sekarang kurang tahu. Mungkin dilewatin bus atau feeder Wira-Wiri?
BENTENG KEDUNG COWEK, WAJAHNYA KINI
Benteng Kedung Cowek, sering juga disebut 'gudang peluru' |
Musim masih
kemarau ketika saya berkunjung ke sini. Meski ada banyak pohon, hawa panas khas
pantai (dan khas Surabaya banget, hahaha) tetap menerpa kepala. Suasana itu makin
terasa saat mata ini tertumbuk pada rerumputan kuning nan kering-kerontang di
pinggir jalan setapak.
Betul-betul
setapak karena hanya cukup dilewati satu-dua orang aja. Jalan tanah ini
membentang membelah rawa-rawa (atau tambak?). Tampak beberapa pemuda setempat
duduk di tepian sambil memegang joran pancing.
Jalan setapak
ini nggak panjang. Nggak sampai tiga menit dan kami sudah berdiri di hadapan/belakang
kustbatterij.
Seperti yang
disebut di awal, benteng ini bentuknya nggak melingkar seperti puri, tapi
mendatar seperti tembok lurus. Dindingnya berwarna putih-kekuningan.
Gurat-gurat hitam melapisi tepian tembok; entah itu cendawan atau bagian yang
lapuk kena hujan.
Sekali lihat,
dalam pandangan saya vibes-nya ‘dapet banget’.
Rasanya kayak
berada dalam film fiksi sejarah di mana kita menemukan puing-puing kuno.
Perasaan itu
mungkin muncul karena melihat tumbuhan liar yang merambati dinding luar
benteng, menutupi hampir seluruh ujung bangunan. Bahkan ada pohon tinggi besar
yang tampak seperti tumbuh di atasnya. Saya mendekat, melihat daun
air-mata-pengantin (Antigonon leptopus) menjalari permukaan tembok dan
menyembulkan bunga-bunga merah muda.
Pohon dan semak menutupi bagian luar benteng |
Daun dan bunga air-mata-pengantin (Antigonon leptopus) di sisi luar bangunan |
It felt whimsical. Kayak ngelihat puri cantik yang dipenuhi bunga-bunga.
Namun kisah di
sini nggak seindah cerita dalam dongeng kerajaan.
Vibes
whimsical itu menguap seketika saat kami masuk ke ruangan dalam benteng.
Gelap, sempit, berlangit-langit rendah. Langsung terasa pengap. Nggak kebayang
kalau harus berada dalam ruangan ini di masa itu: entah lagi jaga atau nyalurin
amunisi atau sekadar duduk rehat sebentar. Belum lagi was-was mendengar
rentetan suara senapan atau dentum meriam.
Kami berjalan
memutar ke ‘depan’, yaitu arah benteng ini dihadapkan (arah laut). Gundukan
tanah setinggi dua lantai ‘membentengi’ bangunan. Mungkin supaya benteng lebih
terlindungi dari hantaman artileri musuh. Terdapat sebuah celah horisontal
supersempit di dinding.
“Kalau kamu di
dalam (ruangan benteng) dan aku ngintip dari sini, yang kelihatan cuma matamu,”
gurau seorang partner jalan kali ini.
“Ini kayak yang
di film-film itu nggak, sih?” sahut rekan lain. “Tempat naruh moncong flamethrower.
Jadi kalau musuh udah dekat, lebih gampang ‘ngehabisin’-nya.”
Wah, seram juga
percakapan ini.
Kami balik ke
sisi satunya tadi, sisi dari mana kami datang. Di sini terlihat bahwa Benteng
Kedung Cowek terdiri dari dua lantai. Lantai bawah berupa ruangan-ruangan tadi,
sedangkan lantai atas berupa sisi terbuka. Di sinilah para tentara menembaki
musuh dari laut dengan berbagai senjata, termasuk meriam.
Di bagian luar terdapat terundak untuk naik ke lantai dua. Di sisi terundak terdapat lubang kotak yang terhubung dengan ruangan lantai satu. Diduga dari lubang inilah amunisi dari gudang bawah diserahkan pada mereka yang bertugas di lantai atas.
Tampak luar bangunan dan tangga serta ceruk |
(Kemungkinan) lubang-lubang bekas tembakan dan perbandingan ukurannya dengan badan manusia |
Kami bergerak
menuju sisi atas, melalui tangga sempit dan (rada) curam. Dinding di sisi
tangga tampak bocel di banyak tempat. Mungkin inilah jejak tembakan peluru dari
zaman itu. Tangan saya meraba dinding, memperhatikan lubang-lubang tak beraturan.
Ada yang ukurannya sebesar jempol hingga segede kepala orang dewasa. Waw...
Kami pun sampai
di atas, di struktur bundar dengan dinding rendah yang menghadap lautan. Tak
lama lalu kami turun dan melanjutkan perjalanan ke Benteng Kedung Cowek yang
lain lagi.
Lah, bentengnya
ada berapa?
BANGUNAN-BANGUNAN KOMPLEKS BENTENG KEDUNG COWEK
Kompleksnya
memang satu, tapi bangunannya ada banyak dan menyebar di beberapa titik. Correct
me if I’m wrong, mungkin ini alasan mengapa Belanda nyebut bangunan ini ‘batterij’
dan bukan ‘fort’?
Asal-Muasal Nama
Belanda menyebut
tempat ini sebagai batterij atau kustbatterij Kedoeng-Tjowek,
bukan ‘fort’ yang berarti ‘benteng’. Mengapa?
Itu salah satu
pertanyaan yang muncul di benak saya sebelum sampai ke lokasi. Begitu sampai
dan ngelihat sendiri, pikiran yang tebersit, “Oh mungkin karena bentuk
bangunannya.”
Beda dengan
benteng (at least yang saya tahu) yang bentuknya seperti
bangunan-bangunan yang berpusat di satu tempat dan dikelilingi tembok, Benteng
Kedung Cowek bentuknya menyebar. Di sepanjang garis pantai, di sepanjang itulah
bangunannya dibangun. Alih-alih ‘melingkar’ seperti benteng—misalnya Vredeberg—,
ia berbentuk ‘garis’.
Benteng dan kemampuan arah serangannya untuk mempertahankan daratan (oleh TNI AD, diakses dari Giffari & Soekardi, 2021) |
Bangunan-bangunan
tadi berbentuk bak garis yang memagari batas pantai dan daratan. Usut punya
usut, tujuan pembangunannya memang sebagai ‘pagar’. Bangunan ini berfungsi
untuk melindungi daratan dari serangan dari arah laut. Supaya perlindungannya
bisa mengkover area yang luas, maka bangunannya pun panjang.
Yup, fungsi
utama bangunan ini memang untuk coastal defense alias pertahanan tepi
pantai. Itulah asal namanya.
kust = coast = tepi pantai
batterij = battery = baterai
NL
– ENG – IDN
Secara istilah, batterij/battery
bermakna kumpulan unit artileri (senjata), seringnya dijajar dalam
baris-baris, untuk pertahanan. Beberapa lainnya menyebut bahwa bisa juga
berarti bangunan-bangunan ‘kecil’ untuk pertahanan yang tidak saling terhubung
layaknya fortress. Istilah ternyata juga udah masuk KBBI dengan entri
‘baterai’, juga punya arti yang sama.
Bangunan Lain
Bangunan-bangunan lain di area benteng, berdiri sendiri |
Semakin jauh
berjalan ke area pesisir alias ke arah kanan dari jalan masuk, kita akan
menemukan beberapa bangunan. Semak-semak makin rimbun, tapi aroma khas air laut
yang asin dan udaranya yang panas dan lengket tetap terasa. Di sini, nggak cuma
bertemu dengan ‘tembok’ memanjang lagi, ada juga bangunan-bangunan tunggal yang
berdiri sendiri bak pion catur dalam petak-petak berbeda.
Bentuk bangunan
ini macam-macam. Fungsinya pun macam-macam. Di masa lalu, reruntuhan yang
dirambati tumbuhan liar dan ‘dihiasi’ grafiti warna-warni ini ada yang
berfungsi sebagai gudang diesel, gudang amunisi, dsb. Maka nggak heran bila
warga lokal juga menjuluki tempat ini gudang peluru.
Kami melihat di
atas sebuah bangunan terdapat semacam alur rel.
“Mungkin ini
bekas jalur buat meriam,” ujar seorang rekan.
Saya kurang tahu
wujud sesungguhnya. Yang kebayang adalah semacam jalur untuk geret-geret meriam
untuk mengarahkannya ke arah tertentu. Karena kalau nggak pakai roda/tuas,
meski berbanyak orang, pasti berat banget! Berapa ton itu?
Dari atas
bangunan, tampak sekeliling yang didominasi semak-semak (yang saat itu berbunga
cantik banget!) dan pohon-pohon setinggi bangunan tiga lantai. Dari sini
terlihat beberapa bangunan tunggal lainnya. Di antara bangunan tampak genangan
air yang mungkin adalah sisa rawa payau yang mengering.
Tepi pantai Surabaya, tampak perahu nelayan dan Jembatan Suramadu |
Jalan setapak di jalan masuk menuju benteng |
Benteng Kedung
Cowek sepertinya memang nggak difungsikan sebagai tempat wisata. Hanya dibuka
untuk umum aja, baik untuk jalan-jalan atau untuk orang yang penasaran sama
bangunan di masa lalu. Spot untuk prewedding juga. Beberapa
bagian juga tampaknya dimanfaatkan oleh warga sekitar.
Dulu pernah
dengar ada rencana bakal direvitalisasi, tapi sepertinya belum jadi. Terlaksana
pun, prosesnya pasti lama karena nggak kayak membuka wahana wisata, preservasi
sejarahnya juga nggak kalah penting.
Oh iya, selain Kustbatterij
Kedoeng Tjowek, di Indonesia juga terdapat kustbatterij lainnya,
antara lain Kustbatterij op de Landtong te Cilacap alias Benteng Pendem
Cilacap.
KUSTBATTERIJ KEDUNG COWEK DI MASA LALU DAN 10 NOVEMBER
Artikel surat kabar tentang peristiwa 10 November |
Jadi, apa
hubungan benteng ini dengan pertempuran 10 November? Sebentar. Mari mundur dulu
ke masa ketika benteng ini dibangun.
Benteng ini
dibangun di atas lahan seluas 7 hektar dan dibuat sekitar era 1900-an oleh
pemerintah Hindia-Belanda untuk coastal defense. Konon benteng untuk defense
ini nggak hanya di Kedung Cowek, tapi juga di beberapa titik lain di
Surabaya dan Pulau Madura. Beberapa sumber menyebut daerah Semambung (Gresik),
Kali Dawir (Surabaya), Tanjung Perak (Surabaya), dan Ujung Piring (Madura).
Kalau dilihat di peta, benteng-benteng ini berada di daratan sekitar Selat
Madura.
Mengapa Selat
Madura?
Karena Surabaya
merupakan kota pelabuhan dan kota penting. Selain penting dalam logistik dan
pemerintahan, militernya juga berpusat di sini. Pintu masuk dari pulau lain pun
di sini, lewat Pelabuhan Tanjung Perak (yang ada di Selat Madura). Sejak zaman sebelum
Majapahit sampai sekarang masih begitu.
Dari ‘pintu’
inilah Jepang merangsek masuk ketika PD II.
Dari ‘pintu’ ini
jugalah Belanda dan Inggris yang tergabung dalam Blok Sekutu (Allied Powers)
masuk di era '45.
Kalau dibuat kronologi, jadi seperti ini:
- 1900-an kustbatterij Kedung Cowek dibangun
- 1942 Jepang masuk. Perang Belanda vs Jepang. Belanda kalah
- 1945 Agustus Jepang kalah Perang Dunia II > Belanda + Sekutu masuk > perang Belanda+Sekutu vs Indonesia.
Peristiwa era
1945 inilah yang memicu peristiwa 10 November.
Setelah
Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika Serikat pada bulan Agustus 1945,
Jepang memutuskan menyerah dari kancah Perang Dunia. Ngelihat situasi seperti
itu, Indonesia pun memproklamasikan kemerdekaan. Senjata dan logistik Jepang diambil
alih oleh pemuda Indonesia.
Sementara itu,
Jepang setuju untuk menyerahkan tawanan perang pada Sekutu. Alasan itulah yang
bikin Sekutu datang lagi ke Indonesia: ngurusin orang-orangnya. Namun dalam
praktiknya ternyata motifnya nambah-nambah, yaitu ngambil kekuasaan lagi.
Pasca Sekutu
balik ke Indonesia di bulan September, ada banyak pembicaraan dan perundingan
antara pihak Indonesia dan Belanda+Sekutu yang makin panas. Situasi ‘panas’ ini
sebenarnya terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Beberapa di antaranya sering
kita temui di buku Sejarah zaman sekolah, contohnya peristiwa Medan Area dan Pertempuran
Ambarawa.
Jalan Tunjungan dan gedung Tunjungan Plaza alias TP. Hotel Majapahit terletak di jalan ini, tinggal lurus dikit. Tunjungan sering ramai apalagi pas malam mingguan. |
Di Surabaya
sendiri, salah satu puncaknya kejadian di 19 September, waktu Belanda mengibarkan
bendera merah-putih-biru di Hotel Yamato/Oranje/Majapahit di Jl. Tunjungan (yang
sekarang makin hits itu). Warga yang ngamuk pun manjat itu tiang dan
nyobek warna birunya. Kejadian ini disebut Insiden Bendera atau Het Vlag
Incident.
Nah, makin panas
tuh keadaan. Namun masih diredam-redam.
Akhir Oktober,
panasnya sudah nggak terbendung. Sekutu menyebar selebaran dari atas pesawat
yang berisi ultimatum: pemuda/pejuang Indonesia menyerah atau kota
dihancurleburkan. Orang kita menolak. Pertempuran pun meletus.
Hm... jadi ingat
berita beberapa bulan/setahun lalu saat ada negara yang juga nyebarin selebaran
lewat pesawat. Isinya juga ultimatum ke warga lokal: pergi dari sini karena mau
dibom. Mirip-mirip kelakuan.
History always
does repeat itself.
Action-nya
mirip, motifnya mirip, pemainnya aja yang ganti-ganti.
Oke, balik. Konon
peristiwa di balik layar sebelum perang meletus ini tarik-ulur. Ada
perundingan, pembicaraan, you name it. Petinggi Indonesia—mulai dari
petinggi pasukan sampai gubernur—juga minta pemuda menahan diri dan nggak open
fire duluan. Namun Sekutu nembak duluan sehingga pecahlah pertikaian hingga
Jenderal Mallaby tewas.
Saya pernah
dengar kalau larangan bagi orang Indonesia supaya nggak nembak/berantem duluan
meski dipancing-pancing ini sangat ditekankan oleh beberapa
petinggi/tokoh perjuangan Indonesia waktu itu. Kenapa? Karena saat itu, di
media/kalangan orang Barat disebarkan kesan bahwa orang Indonesia itu barbar
dan sadis sehingga harus ‘diatur’ supaya ‘beradab’. Cap negatif macam teroris
dan ekstremis pun disematkan, termasuk pada tokoh-tokoh perjuangan Indonesia.
Kayaknya ada
yang pernah upload potongan koran lawas itu di medsos dan rame banget
tanggapannya. Jadi pelarangan tadi itu untuk nunjukin bahwa orang Indonesia itu
nggak barbar atau menyerang tanpa alasan, tapi sebab menginginkan kemerdekaan.
Dalam orasinya, Bung Tomo juga menyerukan hal serupa:
... Saudara-Saudara, rakyat Surabaya, siaplah!
Keadaan genting!
Tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak.
Baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka itu.
Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka ...
(By the
way, perjuangan orang Indonesia pun ada noktah gelapnya. Maksudnya, ada oknum
pejuang yang kelakuannya emang buruk, seperti terlalu temperamental sampai menyasar
orang asing sipil atau sengaja cari keuntungan dalam kesempitan. Mungkin tipe
mereka inilah yang di-highlight media luar era tsb.)
Pasca tewasnya
Mallaby, Sekutu ngasih ultimatum lagi supaya rakyat Surabaya menyerah. Para
warga dan pemuda nggak mau. Pada 10 November, Sekutu membombardir Surabaya dari
darat, laut, dan udara.
Pada saat
kejadian, Benteng Kedung Cowek masih menyimpan banyak artileri milik Jepang
(yang sudah diambil alih Indonesia). Meriam, senapan, peluru, you name it. Pejuang
Indonesia memanfaatkan amunisi beserta benteng ini untuk mempertahankan kota
ketika kapal-kapal perang Inggris/Sekutu menembaki Surabaya dari arah laut.
Kelompok pejuang yang bertempur di sini adalah Batalion Sriwijaya, orang
Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam Heiho (tentara) era Jepang dan banyak
berasal dari daerah-daerah luar Jawa.
Saat ikut
pertemuan yang ngebahas Pertempuran 10 November, ada salah satu kalimat yang
membekas tentang Batalion Sriwijaya ini, yang intinya:
“Mereka yang lahir dan besar di luar Surabaya,
bahkan luar Jawa, nggak segan langsung pasang badan begitu ngehadapi musuh dari
luar. Indonesia baru seumur jagung, tapi bhinneka tunggal ika-nya
langsung dipraktikkan tanpa ragu.”
Ratusan orang—lebih
dari sepertiga Batalion Sriwijaya—gugur di Benteng Kedung Cowek selama Pertempuran
10 November. Mereka gugur tanpa nisan untuk mempertahankan kemerdekaan, hingga
Sekutu mundur dari Surabaya dan kota-kota lainnya.
Tapi pantai Surabaya tampak damai kini. Dulu, dari arah inilah kapal-kapal perang Sekutu menembaki para pejuang. |
Pertempuran 10
November juga menjadi salah satu pertempuran besar Indonesia. Meski yang
diperingati hanya satu tanggal, durasi perangnya berpekan-pekan. Korbannya pun
besar. Pengorbanan yang besar untuk kemenangan sebuah kedaulatan.
Kini, Benteng Kedung Cowek berdiri dalam diam; tertutup semak dan pepohonan di tepi pantai. Dengan Jembatan Suramadu di hadapan, ia seperti mengamati kemajuan negara tempatnya berdiri hampir seabad lalu, meski ia sendiri terperangkap waktu.
💡 TIPS JALAN-JALAN
Apa tips mengunjungi Benteng/gudang peluru Kedung Cowek?
Biasa aja sebetulnya, ini cuma saran aja karena ngelakuin ini bikin saya enjoy saat berkunjung ke sana.
👉 Waktu: lebih baik berkunjung saat musim kemarau. Karena jalannya tanah, kebayang kalau hujan pasti becek. Meski saat hujan pemandangannya beda dengan saat kemarau kering.
👉 Jam: lebih baik berkunjung saat pagi, lalu pulang menjelang siang. Panasnya Surabaya luar biasa, nggak cuma gosong tapi juga kliyengan kalau berkunjung di siang bolong. Kalau sore gimana? Saya belum pernah coba, sih. Tapi kepikir kalau sore nggak bisa lama, karena kayaknya penerangannya masih terbatas. Dan kalau keburu malam, rawan nyamuk juga.
👉 Bawa topi dan air putih, apalagi kalau berencana menyusuri agak lama, supaya nggak kehausan dan kekeringan. Bawa lotion anti-nyamuk kalau butuh. Pakai tabir surya alias sunblock. Pakai celana panjang kalau bisa, karena kalau mau lihat beberapa bangunan lebih dekat harus jalan rada mbrasak ke semak-semak.
Laut. Dilihat dari atas salah satu bangunan benteng. Mungkin mirip inilah pemandangan yang dilihat para tentara zaman dulu, tapi dengan riuhnya suasana pertempuran. |
===============
Referensi:
Giffari,
R.A. dan K.Y. Soekardi. 2021. Component analysis at Fort Kedung Cowek buildings
in Surabaya, East Java: observation on panopticon concept. Internasional Review
of Humanities Studies (6): 428-452.
Hapsari,
N. 2018. Fragmented continuum concept museum of Kedung cowek Fortification. Tugas
akhir, ITS.
Ministry
of Colonial Affairs(?). 1909. Koloniaal Verslag van 1909.
Priyambodo,
U. 2021. Granat di Benteng Kedungcowek dan Robohnya Cagar Budaya Kota Pahlawan.
National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/132983266/granat-di-benteng-kedungcowek-dan-robohnya-cagar-budaya-kota-pahlawan?page=all
Setyawan,
A. 2019. Benteng Kedungcowek, Tantangan Pemerintah Kota dan Tim Ahli Cagar
Budaya Menemukan Kembali Jiwa Kota Pahlawan Pada Hari Jadi ke 726. https://roodebrugsoerabaia.com/2019/05/benteng-kedungcowek-tantangan-pemerintah-kota-dan-tim-ahli-cagar-budaya-menemukan-kembali-jiwa-kota-pahlawan-pada-hari-jadi-ke-726/
Setyawan,
A. 2022. Literasi Sejarah: Arek Jawa Timur Menapak Jejak Jasa dan Cita Para
Pahlawan. Webinar Disperpusip Jatim.
SRM.
2020. Kisah 200 Pasukan Sriwijaya, Bertempur Sampai Mati Melawan Sekutu di
Surabaya. https://www.infokomando.id/2018/05/kisah-200-pasukan-sriwijaya-bertempur.html
Tim
Salute. 2016. Coastal Batteries Then and Now. https://salute.co.in/coastal-batteries-then-and-now/
Waid, A. 2019. Bung Tomo. Penerbit Laksana, Yogyakarta.
Widyaningrum,
G.L. 2020. Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya.
National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/132147941/awal-perjalanan-benteng-kedungcowek-menjadi-pusaka-kota-surabaya?page=all
Maa syaa Allah.. Baru tahu.. Jadi tambah wawasan nih soal Surabaya..
BalasHapusTerima kasih sudah mampir :)
HapusSemoga bisa jalan-jalan ke sana 🙌
BalasHapusAamiin!
HapusSalfok sama hyperlink yang enggak bisa diubah warnanya. Ubahnya manual atau pakai kode HTML/CSS kah?
BalasHapusKemarin pakai fitur ubah warna huruf saat ngetik untuk postingan. Manual berarti, ya? Kayaknya memang harus utak-atik kodenya...
HapusMenarik sekalii, informasi lengkap ada cara untuk menuju ke Bentengnya. Semoga bisa segera berkunjung ke sana:)
BalasHapusTerima kasiih :) Aamiin, semoga!
Hapus