Siapa yang suka baca buku saat lagi travelling? Bukan saya, haha. Saya lebih suka jalan-jalan, ngobrol, atau bengong ngelihatin sekitar saat travelling. Pun saat nggak ngapa-ngapain seperti waktu di dalam kendaraan. Membaca yang saya lakukan saat travelling biasanya hanya baca artikel daring tentang tempat yang akan/sudah dikunjungi. Membaca buku tentang suatu lokasi, yang biasa jadi penambah info sebelum mengunjungi destinasi, biasanya udah dilakuin sebelum berangkat.
Mungkin karena
kalau baca buku, saya sering terlalu larut di dalamnya. Jadi kalau ngebaca pas travelling,
ntar jangan-jangan malah lebih fokus ke bukunya daripada jalan-jalannya, haha *ngeles
Namun, ngelihat postingan
para pejalan lain yang sering upload cerita dan foto buku yang mereka baca
waktu di perjalanan, jadi pengin ngerasain juga, haha. Mungkin akan beda
sensasinya, ada kesan khusus, saat membaca sesuatu di tempat hal itu terjadi
atau diceritakan.
Jadilah ‘membaca buku
tentang suatu tempat ketika berada di tempat tsb’ masuk ke bucket list saya.
Meski nggak diseriusi kapan dikerjainnya.
Tanpa sengaja, 2023
lalu, alhamdulillah poin bucket list tersebut kesampaian.
Tanpa direncanakan,
pertengahan 2023 lalu saya main ke area Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru
(TNBTS), tepatnya ke Nongkojajar dan Wonokitri. Karena capek motoran lama, saya
dan para partner touring (cuma bertiga sih, haha) memutuskan istirahat
lama di kebun edelweis, Wonokitri (catatan perjalanannya bakal ditulis,
insyaallah—kalau kelar, entah kapan). Saat mereka ngobrol, saya bengong duduk
di gazebo bambu sambil nyeruput matcha latte yang sudah dingin.
“Udah, belum? Jalan
lagi, yuk. Keburu malam sampai bawah,” ajak saya.
“Nanti dululah.
Santai. Ini rokoknya belum habis,” kata salah satu partner—yang adalah ayah
saya—, mengisap batang rokok yang entah sudah keberapa.
“Okay….” Saya kembali ke gazebo, menjauh dari kepulan asap.
Saya diam. Bingung mau
ngapain. Makanan bahkan camilan sudah habis. Pengin jalan lihat-lihat
sekeliling, tadi sudah. Foto-foto, sudah. Sekarang tinggal capeknya. Tidur?
Mana mungkin…. Akhirnya iseng saya buka galeri ponsel dengan niat ngehapusin
foto yang makin numpuk padahal nggak pernah dilihatin. Eh lho, kok ada foto
buku?
Ternyata saya masih
menyimpan foto beberapa halaman dari buku perjalanan Wormser, seorang pendaki
gunung-gunung di Jawa awal tahun 1900-an (sekilas bukunya ada di postingan ini). Untungnya
juga, tulisannya tentang area Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru belum saya hapus.
Jadilah bab itu saya baca.
Di tengah kabut
yang mulai menutupi perbukitan di seberang dan hawa yang makin menggigit, catatan
perjalanan seabad lalu itu menemani saya menghabiskan sisa siang.
Tempat yang sama.
Jalur perjalanan
(yang di beberapa bagian sepertinya) sama.
Orang yang berbeda.
Perjalanan yang
berbeda.
It felt… serene.
Blissful, content, fulfilling, beautiful.
Oh, jadi gini
rasanya.
Mirip dengan
sensasi saat masuk ke wilayah atau gedung bersejarah, yang sejarahnya pernah
kita baca atau pelajari di bangku sekolah. Rasanya seperti ‘ikut melihat’ kejadian
di masa itu, membayangkan peristiwa itu terjadi di depan mata. Bertumpukan
antara mana yang imaji dan mana yang nyata. Seperti diorama.
Meski buku (dan
bagian itu) udah pernah saya baca sebelumnya, sensasinyanya tetap… beda. Mungkin
karena barusan ngelewati area yang diceritakan di buku, maka rasanya lebih fresh.
Kayak muncul percikan-percikan rasa senang saat nemuin beberapa hal yang
sama, jalan yang sama, atau daerah yang barusan dilewati, disebutkan di buku.
Semacam, “Aha!” moment.
It was melancholic-kinda
nostalgic. Or maybe it was just the melancholic in me.
Selesai membaca
bagian tentang TNBTS, saya terdiam. Kehabisan bacaan dan kegiatan. Hal
selanjutnya yang saya lakukan, tak disangka, juga adalah salah satu poin yang
juga ada di bucket list: mendengarkan musik favorit di tengah gunung
yang dipeluk kabut.
Alunan piano dan
biola mengalir harmonis dari earbud, selaras dengan bisikan angin yang
membuat semak edelweis dan pucuk-pucuk pinus menari lembut. Aroma cemara segar
tercium samar di ujung hidung. Satu, dua, tiga baris kalimat diketik di notes
HP. Kata-kata itu beranak-pinak menjadi paragraf panjang sepuluh, dua puluh
menit kemudian; menyumbang bagian untuk cerita yang tak kunjung selesai meski ditulis
bertahun-tahun sebelumnya.
Area TNBTS memang salah
satu tempat istimewa bagi saya. Salah satu pegunungan tercantik yang pernah
saya lihat, daki, dan kunjungi. Sejarah, budaya, dan proses terbentuknya pun
luar biasa. Dan, mungkin karena ini gunung ‘jauh’ yang pertama saya kunjungi
ketika masih kecil, juga pendakian di atas 3.000 mdpl pertama saya, sehingga
meninggalkan kesan mendalam yang kala itu menginspirasi beberapa potong cerita
(yang sampai sekarang nggak tamat-tamat juga, haha).
Tiap bagian wilayah
ini selalu berhasil membangkitkan memori; memunculkan imajinasi.
Or maybe it was the
poet in me.
* * *
Kayaknya udah telat untuk 2023 recap karena udah Maret, tapi mumpung ngomongin bucket list, sekalian ajalah, haha. Beberapa hal paling memorable yang alhamdulillah tercapai tahun lalu—yang kebetulan terjadi di satu tempat—adalah:
- baca buku tentang suatu lokasi, di lokasi itu — di TNBTS
- ngedengerin lagu favorit (yang sekaligus jadi theme song cerita yang saya tulis) di tempat yang jadi setting lokasi cerita, sambil dikelilingi gunung-hutan-kabut — di TNBTS
- ngelihat semak arbei/berry liar di tepi hutan (surprised dan senang banget karena biasanya nemu arbei liar saat masuk banget ke dalam hutan/gunung aja) — di kaki Gunung Arjuno
Those are small
things; seemingly insignificant and unimportant (don’t affect my course of life
much, I think)
but I count them as
small wins.
My little sparks of
joy.
Dan semoga, kita bisa
menemukan ‘little sparks of joy’ lainnya di tahun ini juga. Juga di
tahun-tahun setelahnya.
Baca buku tentang suatu lokasi di lokasi itu... sepertinya mirip dengan baca "tour guide" versi realistis, ya... :)
BalasHapus