Malam itu saya ingin makan mi instan dengan daun
bawang. Sayang, ternyata stok daun bawang saya lagi habis. Sebelum memutuskan makan
mi tanpa garnish (halah!), Ibu menyuruh saya memetik daun kucai di pot.
“Lho kan kucainya cuma sedikit.” Saya mengingat-ingat.
“Nggak kok, rumpunnya udah nambah,” kata Ibu.
Singkat cerita, rumpun yang masih sedikit itu akhirnya
saya potong beberapa. Pucuknya saja, hanya beberapa helai. Tak sebanyak
biasanya. Saya membatin diri sendiri, ‘Kalau pas banyak aja, ambilnya nggak
kira-kira. Ternyata kalau sedikit gini, tetap bisa juga ambil secukupnya’.
Ambil sedikit karena keadaan terpaksa. Atau karena
merasa milik sendiri. Kalau lagi banyak, metik seenaknya.
Mudahnya, secara
maksimal adalah ngambil seenaknya sendiri, sebanyak-banyaknya, tanpa
peduli kelangsungan hidup. Eksploitatif.
Sebaliknya, saat merasa itu milik sendiri, merasa
bertanggung jawab dengan habis-enggaknya atau hidup-enggaknya itu tanaman, jadi
lebih mindful ngambilnya. Nggak eksploitatif. Secukupnya.
Saya teringat sebuah bagian di buku “Sokola Rimba”-nya
Butet Manurung. Butet seorang pengajar, guru bagi anak-anak Orang Rimba—sebuah
suku di pedalaman Sumatra yang tinggal jauh di dalam hutan. Suatu hari dia
bercerita tentang konsep kulkas pada muridnya. Bercerita tentang benda
elektronik pada orang yang asing dengan konsep listrik menjadi kesulitan
sendiri. Akhirnya Butet berkata bahwa kulkas itu seperti “tempat menyimpan”.
Makanan yang didapat hari ini disimpan, lalu diambil esok bila mau dimakan.
Respons muridnya menakjubkan. Kalau nggak salah ingat,
kurang lebih begini,
“Kami juga punya kulkas. Alam itu kulkas kami. Hari
ini kami ambil secukupnya. Besok kalau butuh, kami ambil lagi.”
Sekilas seperti ucapan sederhana, but that’s deep.
Mereka “memperlakukan” alam sebagai kulkas. Ambil
secukupnya. Kalau butuh, baru ambil lagi. Bukan ambil sebanyak-banyaknya hari
ini, besok nggak tahu gimana caranya harus dapat lagi. Dengan ambil secukupnya,
itu langkah yang menurut saya amat bijak. Nggak eksploitatif. Selain sebagai
bentuk menghormati alam, juga sebagai bentuk pelestarian.
Kuncinya adalah keseimbangan.
Eksploitasi atau mengambil yang berlebihan, merusak keseimbangan.
Itulah sebabnya banyak lahan, hutan, alam, yang rusak: karena
dieksploitasi. Diambil besar-besaran tanpa peduli efeknya ke lingkungan dan
manusia sekitarnya.
Memang, segala yang berlebihan itu tidak baik.
Dan rasa-rasanya ini berlaku untuk semua hal.
Dalam survival botani, salah satu aturan adalah
para forager harus mengambil secukupnya saja. Contohnya, kalau kita di
hutan kemudian nemu beri liar, kita nggak boleh metikin sampai buahnya habis.
Kita harus sisakan. Ini juga berlaku kalau mau forage/merambah bunga,
daun, dsb. Kenapa?
-
Supaya tumbuhannya bisa terus berkembang
biak. Kalau buahnya diambil semua, artinya bijinya ikut dimakan. Artinya dia
nggak bisa tumbuh tumbuhan baru.
Kalau tumbuhannya nggak berkembang biak dengan biji,
gimana? Tetap nggak boleh, karena…
-
… buah itu jadi makanan hewan liar. Kalau
buahnya kita makan semua, gimana dengan hewan yang setiap hari makannya memang
itu? Nggak bisa makan, dong? Bisa sih cari di tempat lain, tapi sulit. Ini hutan
yang nyari satu jenis/populasi tumbuhan butuh usaha lebih, bukan aisle supermarket
atau pasar yang bisa langsung kelihatan produknya.
Konsep keseimbangan, nggak mengambil terlalu banyak,
juga berlaku untuk makanan. Saya termasuk ‘penganut’ paham the dose makes
the poison. Alias nggak ada makanan yang betul-betul terlarang atau
betul-betul jelek untuk tubuh (lain hal dengan haram-halal, ya). Makin gede, orang-orang
di sekitar makin banyak yang anti sama sekali dengan makanan siap saji, perisa
makanan (contoh: MSG), gula, dsb.
Saya masih mengonsumsi mereka, sesekali. Boleh makan makanan
siap saji, boleh pakai micin, tetap konsumsi gula, dsb. Asal nggak kebanyakan. Kalau
kebanyakan, jelas bakal jadi penyakit. Kalau kekurangan gimana? Sama aja. Saya
pernah pusing mumet muter-muter karena ternyata kurang gula. Dalam hal konsumsi
makanan, kebutuhan tiap orang berbeda karena metabolisme tubuhnya berbeda. Jadi
menurut saya nggak bisa dipukul rata: makan harus ini aja, itu nggak boleh. Apa
yang jadi pantangan bagi A, bisa jadi harus dikonsumsi oleh B. Demikian pula
sebaiknya.
Mungkin kita akan berbeda pendapat. And that’s okay.
You do you, I’ll do mine.
Contohnya, orang tua yang punya asam urat, harus
membatasi makan protein. Tapi kalau orang tua lain yang mengidap kwashiorkor (kekurangan
protein) ya masa nggak boleh makan daging juga. (*cmiiw)
Di lingkungan sehari-hari, plastik bisa jadi contoh
nyata. Plastik toh awalnya diciptakan salah satunya untuk ngurangi penebangan
pohon untuk pembuatan kantung. Niat yang baik, bukan? Tapi gimana sekarang?
Ketika plastik udah digunakan berlebihan, timbul ketidakseimbangan dan masalah
baru: sampahnya. Makanya sekarang banyak diminta pakai tas kain.
Just my hunch, tapi kalau pemakaian tas kain ini juga berlebihan, bukan nggak mungkin
di masa depan akan timbul masalah lain. Misal, sampah. Perlu diingat bahwa tas
kain sekarang nggak murni terbuat dari serat kapas yang relatif mudah terurai. Ada
tas kain yang terbuat dari serat sintetis yang di dalamnya terkandung plastik.
Dan, mengurai suatu benda yang terbuat dari bahan campuran itu lebih banyak tantangannya
daripada mengurai suatu benda yang terbuat dari satu bahan aja.
“Ya sudah balik ke tas belanja dari bambu kayak mbah-mbah
dulu!”
Bisa banget. Namun kalau berlebihan, bisa timbul
kerusakan akibat penebangan bambu yang berlebihan. Atau kerusakan lahan karena
terlalu intensif tanam bambu dalam waktu lama, misalnya.
Balik lagi ke konsep keseimbangan.
Dan, melihat Orang Rimba yang begitu sederhana tapi lebih paham (dan sudah praktik) konsep keseimbangan seperti kulkas tadi, sepertinya kita harus belajar pada mereka.
Terpaku pada kalimat, "Saya masih mengonsumsi _mereka_." Jarang-jarang membaca tulisan berbahasa Indonesia yang menggunakan kata ganti "mereka" untuk non-manusia/hewan. :D
BalasHapus