Mungkin karena belakangan ini cuaca panas nggak berhenti-berhenti meskipun harusnya udah masuk musim penghujan, saya jadi sering ngeluh soal panas-panasan ini. Seumur hidup kayaknya baru kali ini November belum hujan. Dan kayaknya baru kali ini ngerasain sumuk yang sepanas ini. Suhu lebih dari tiga puluh derajat setiap hari, lebih dari sebulan.
Beberapa kali chatting dengan teman yang tinggal di lain daerah, kotanya juga belum hujan. Air PDAM sudah lama nggak ngalir.
Di tengah obrolan, dia melontarkan celetukan, "Semoga aja segera hujan, ya. Ini udah masuk musim tanam." Maksudnya adalah musim tanam padi.
Saya mengiyakan. Saya kurang tahu soal musim tanam, hanya aja kalau dilogika, musim tanam padi emang di musim hujan karena petani butuh banyak air buat menggenangi sawah. Saya cuma iya-iya aja karena antara nggak paham dan ngerasa kalau hal itu nggak ngefek ke saya karena saya nggak nanam padi. Sampai dia mengatakan kalimat selanjutnya.
"Katanya cadangan beras kita cuma cukup buat beberapa bulan ke depan. Kalau nggak tanam sekarang, musim depan makannya gimana," teman saya melanjutkan.
Baru ketika itulah saya merasa, 'Oh iya, ya.'
Hal yang tadinya saya kira nggak ngefek, ternyata secara nggak langsung berefek juga ke saya.
Kadang manusia emang gitu. Baru ngerasa kalau hidupnya berpotensi terganggu. Saya salah satunya.
Tentang kebenaran cadangan makanan ini pun saya kurang tahu valid/enggak. Poinnya adalah: ternyata kemarau berkelanjutan ini nggak cuma soal sumuk setiap hari atau kulit terpanggang matahari. Ada hal-hal besar lain yang ikut terpengaruh. Ketersediaan air salah satunya.
Bahkan dalam kondisi 'baik-baik aja', ketersediaan air di negara kita masih meresahkan. Nggak semua pemukiman punya akses yang mudah ke air bersih. Ini hanya ngomongin air bersih non-konsumsi. Kalau air bersih untuk konsumsi, bahkan di kota-kota metropolitan aja belum tersedia. Perusahaan pemerintah yang seyogyanya menyediakan air minum baru mampu mengolah air menjadi air bersih saja sehingga banyak orang beralih mengonsumsi air galon.
Dengan cuaca yang makin panas dan nggak beraturan, akibat dari pemanasan global, ketersediaan air jadi suatu masalah karena air bersih makin sulit didapatkan. Di desa, mata airnya bisa aja kering. Di kota, dengan sungai yang kebersihannya nggak bisa diharapkan, air bersih untuk minum didatangkan dari desa-desa. Kalau sumbernya aja nggak ngalir atau debitnya sedikit, terus gimana? Masyarakat desa jadi bersaing dengan perusahaan penyedia air, sedangkan masyarakat kota bisa aja kekurangan suplai air.
Ini baru ngomongin air minum dan air konsumsi rumah tangga. Belum lagi dalam skala yang lebih besar, misalnya tadi: air untuk pengairan tumbuhan pangan. Tanpa air, bisa jadi hasil panen jelek atau gagal panen. Kalau udah kayak gitu, manusia sendiri yang susah dapat makan.
Selain pertanian, bidang industri juga kena efek. Mesin industri kan pasti butuh air. Pun kalau seandainya mesinnya nggak pakai air, perusahaan tetap butuh air entah untuk sanitasi atau untuk kebutuhan karyawan. Kalau industri tersendat, produknya juga tersendat. Akhirnya sampai ke konsumen juga tersendat dan terbatas.
Itu baru dari segi kebutuhan manusia. Belum lagi soal keseimbangan alam. Satu-dua bulan lalu, saya lihat berita bahwa terjadi badai pasir di salah satu pegunungan tinggi di Jawa Timur. Di gunung! Badai pasir? Ternyata memang iya. Mungkin karena hawa panas tabrakan dengan hawa dingin, kemudian tanahnya kering banget, makanya debunya beterbangan. Sebulan sebelum kejadian, waktu saya lewat daerah itu, tanahnya memang kering. Jalan dipenuhi debu kuning. Masker yang menutupi muka saya sampai bersaput kuning karena pasir. Kalau tanahnya nggak kering, mungkin nggak terjadi badai pasir tapi angin ribut 'saja'. Meski angin ribut ini mungkin juga nggak akan terjadi kalau cuaca nggak seekstrem ini.
Dengar-dengar, kita udah bukan di zaman global warming lagi, tapi udah hampir masuk di global boiling. Saya nggak kebayang aja kalau cuacanya lebih panas atau lebih ekstrem dari ini. Lha wong kemarin-kemarin aja di negara empat musim udah sering heatwave dan badai salju. Kalau masuk global boiling apa nggak lebih ekstrem?
Alamnya, saya rasa, pasti akan bisa beradaptasi apa pun kondisi yang terjadi. Sebab alam akan selalu bergeser ke kondisi seimbang secara otomatis (meski tentu pergeseran ini akan mengorbankan makhluk-makhluk hidup yang tidak bisa bertahan, tapi hasil akhirnya adalah alam selalu 'seimbang', seperti yang sudah-sudah). Hewan dan tumbuhan akan mengikuti pergeseran ini. Tinggal kita, manusia, yang bisa bertahan atau enggak.
Yah... apa pun itu, pemanasan global yang dulu 'cuma' kita pelajari teorinya di sekolah, kini semakin terasa dampaknya. Dan semoga ke depannya bisa berkurang atau, paling nggak, melambat signifikan. Kebutuhan dasar aja sekarang makin sulit terkejar. Tanah tempat tinggal, harganya sudah nggak masuk akal. Air bersih, aksesnya belum semua dapat kemudahan. Pangan, bisa jadi rebutan. Apalagi kalau perubahan iklim jadi makin-makin, nggak tahu seberapa banyak lagi yang harus ketat kita perjuangkan?
==========
Disclaimer: Photo by Leo Rivas on Unsplash
Tidak ada komentar: