Mendengar ada bekas benteng di
Surabaya, telinga saya mencuat. Sekian lama tinggal di Kota Pahlawan, saya
nggak pernah melihat langsung wujud benteng. Saya baru lihat yang namanya
benteng justru saat berada di Yogyakarta, di Benteng Vredeburg. Padahal sebagai
salah satu kota penting sejak zaman Belanda (bahkan sebelum Majapahit), harusnya
Surabaya punya benteng, nggak sih?
Mungkin udah hancur nggak berbekas atau
gimana, pikir saya
waktu itu. Jadi saat baca sebuah laman berita bahwa ditemukan reruntuhan
benteng bekas Belanda di pesisir utara Surabaya beberapa tahun lalu, saya
tertarik. Pengin lihat, tapi (kalau nggak salah) aksesnya masih tertutup untuk
umum saat itu. Sekarang, aset milik TNI itu sudah dibuka untuk umum.
[Disclaimer: tulisan ini memang dibuat
dengan pengamatan lokasi dan merujuk referensi sejarah. Namun saya bukan ahli
sejarah, sekadar penggemar, sehingga mungkin sekali kalau ada kesalahan/ketidakakuratan
di tulisan ini karena saya keliru cari sumber atau salah interpretasi. Jadi soal
sejarahnya silakan dicek kembali dan mohon maaf serta mohon masukan bila ada
kekeliruan.]
Benteng Kedung Cowek (atau kustbatterij
Kedoeng-Tjowek) dibangun Belanda di daerah Kedung Cowek pada awal abad 20.
Tujuannya tentu buat pertahanan kota dari serangan arah laut. Yup, depan
benteng ini langsung laut. Tepatnya Selat Madura. Pertahanan dari siapa? Dari
musuh Belanda, tentunya.
Saat pecah Perang Dunia II dan
Jepang merangsek ke Jawa, benteng ini jadi salah satu lini pertahanan pasukan
Kerajaan Belanda meladeni armada Kekaisaran Jepang. Waktu PD II selesai dan
Indonesia baru aja merdeka, benteng ini juga dipakai pejuang kita untuk
menghalau tentara Sekutu yang balik ke Indonesia.
Benteng Kedung Cowek berbeda dengan
umumnya benteng. Selama ini di bayangan saya, benteng itu semacam sistem
tertutup. Dinding-dinding mengelilingi dan melindungi sebuah area di tengah.
Ternyata enggak. Kalau dilihat-lihat, Benteng Kedung Cowek ini bentuknya
seperti garis di sepanjang bibir pantai.
Bentuk ini nggak lepas dari
fungsinya. Dalam bahasa Belanda, tempat ini namanya kustbatterij atau coast
battery. Kantung pertahanan tepi laut. Jadi bentuknya memang bukan benteng
melingkar, tapi kantung-kantung pertahanan di sepanjang lini.
Cuaca panas saat saya ‘main’ ke
lokasi. Cuaca Surabaya memang terkenal sumuk, apalagi ini di tepi
pantainya. Baru jam delapan, tapi keringat sudah siap menetes dari pelipis.
Untungnya, makin mendekati lokasi benteng, ada banyak pohon-pohon tinggi. Pohon
yang dirambati tumbuhan berbunga merah muda ini mengungkung dinding benteng.
Bunga dan daun-daun hijaunya merambat ke dinding-dinding bercat putih/kuning
yang usianya sudah seabad. Sekilas seperti enchanted castle di negeri
dongeng.
Karena ia kustbatterij, maka
dinding-dinding ini dibangun terpisah-pisah. Jadi total ada beberapa bangunan yang
tak terhubung dan lokasinya terpisah-pisah. Ada dinding pertahanan, gudang
amunisi, gudang diesel, dan beberapa bastion. Di bastion bundar, ada jejak
semacam geretan. Seorang kenalan berkata kalau itu mungkin bekas jalur untuk
meriam.
Benteng Kedung Cowek memang bukan
tempat wisata. Mungkin, belum. Atau memang nggak difungsikan untuk itu. Dan mungkin
karena baru ‘ditemukan’, kondisinya pun tampak seperti sesuatu yang baru
disibak. Semak dan pohon di mana-mana. Namun, beberapa ruangan jelas telah
dibersihkan dan dikosongkan sehingga kita bisa masuk.
Gimana di dalamnya?
Cukup luas, mungkin karena kosong melompong. Jendelanya tanpa pintu, mengantarkan cahaya dari matahari yang rasanya sedang bersinar tepat di atas kepala. Namun sisanya agak gelap. Dan seperti umumnya tempat yang nggak digunakan, pengap. Nggak kebayang dulu gimana para tentara berdiam di sini, sempit-sempitan, bau mesiu terbakar, dan memantapkan hati menghadapi pasukan musuh yang dar-der-dor dari arah laut.
[to be continued]
Next story: benteng Kedung Cowek dan perlawanan menghadapi pasukan Sekutu setelah kemerdekaan, Kedung Cowek masa kini
Giffari, R.A. dan K. Y. Soekardi. (2021). “Component analysis at Fort Kedung Cowek buildings in Surabaya, East Java: observation on panopticon concept.” International Review of Humanities Studies 6: 428-452.
Nuffida, N. I. (2018). Fragmented continuum concept Museum of Kedung Cowek fortification. [Final project, Institut Teknologi Sepuluh Nopember].
Tidak ada komentar: