Berulang kali, pengharum ruangan
dengan aroma pinus segar itu saya raba. Kening saya berkerut, berusaha
mengingat-ingat kapan pengharum yang terpasang di kipas angin itu diganti. Perasaan
belum ada tiga minggu, deh. Kenapa udah kecil banget gini?
Namun, saya segera ingat: dua minggu
belakangan, kipas itu memang hampir selalu berputar. Lebih dari dua belas jam
per hari, tujuh hari per minggu. Ya gimana pengharumnya nggak cepat habis, lha
ketiup angin kipas terus. Padahal biasanya itu kipas nggak pernah nyala selama
itu, yang artinya pengharumnya juga nggak secepat itu habisnya.
Yah… gimana lagi. Rasanya udah lebih
dari sebulan terakhir, penggunaan mesin berpendingin macam kipas, AC, dan kawan-kawannya
meningkat. Di mana-mana. Di banyak kota, hawa panas bagai tak terbendung. Di
luar ruangan, panasnya terik membakar. Di dalam ruangan, panasnya pengap
memenuhi seluruh penjuru. Di luar bak digoreng, di dalam bak diungkep.
Kabarnya panas yang nggak umum ini adalah
efek perubahan iklim, yang merupakan akibat pemanasan global yang makin nggak terbendung.
Kabarnya lagi, ini belum seberapa. Efeknya bisa aja lebih parah dari ini
beberapa tahun ke depan, kalau nggak keburu dicegah.
Cuaca yang nggak menentu dan suhu
yang makin fluktuatif—termasuk cuaca panas banget macam sekarang ini—adalah dua
dari deretan efek climate change. Hal ini udah banyak memantik perhatian
orang, termasuk saya. Namun, ada satu lagi efeknya yang turut memantik
penasaran saya: tentang aroma/bau.
Saya lupa dari website mana,
dulu sempat ada artikel yang menyatakan bahwa seiring dengan makin panasnya
bumi, maka aroma (khususnya yang wangi) akan semakin sulit tercium. Waktu
kejadian pengharum ruangan habis tadi, saya langsung teringat pernyataan ini. Memang
kurang berhubungan sebab kemungkinan besar pengharum ruangan saya cepat habis
karena angin, bukan karena panas. Hanya membuka ingatan tentang pembahasan
aroma ini aja.
Kok bisa aroma jadi kurang tercium
saat suhu meningkat?
Aroma, termasuk wewangian, tersusun
dari beragam molekul. Yang namanya molekul, susunan atomnya dipengaruhi banyak
hal, termasuk suhu. Ketika suhu udara naik, ia bisa ngerusak susunan molekul ini.
Akibatnya? Molekul pun jadi rusak. Molekul yang rusak menjadi nggak/kurang
wangi. Itulah sebabnya beberapa minyak aromaterapi atau parfum yang penyimpanannya
harus dihindarkan dari sinar matahari langsung: supaya manfaat/wanginya terjaga.
Makanya sampai ada baju yang ‘beraroma matahari’, karena dijemur saat cuaca panas
banget atau kena sinar matahari langsung. Beda aroma dengan baju yang dijemur
dalam ruangan atau saat cuaca mendung, misalnya.
Sekilas, perkara wewangian ini
seperti nggak terlalu penting dibandingkan dengan efek negatif climate
change lainnya. Kalau parfum kurang wangi, sintesislah yang lebih wangi;
kalau baju yang dijemur jadi kurang wangi, sintesislah pewangi pakaian yang
lebih kuat; bila pengharum ruangan aromanya kurang mantap, sintesislah yang
wanginya lebih mantap. Chemically, possible. Namun, efeknya lebih dari itu.
Gimana dengan proses alamiah yang memanfaatkan aroma?
Salah satu contohnya adalah
penyerbukan bunga. Ada penyerbukan yang memanfaatkan aroma harum bunga untuk
menarik penyerbuknya. Jika aromanya jadi kurang wangi sehingga kurang tercium
oleh hewan penyerbuk, maka penyerbukan nggak bisa terjadi. Bila ini terjadi di
tanaman pangan, maka tanaman tersebut nggak bisa berbuah sehingga nggak bisa
dipanen sehingga makanan untuk manusia berkurang. Pun bila ini terjadi di tumbuhan
hutan yang buahnya dikonsumsi hewan hutan. Untuk tumbuhannya sendiri, bisa jadi
alamat buruk jika ia berkembang biak dengan biji. Nggak diserbuki = nggak ada
buah dan biji = nggak bisa tumbuh baru lagi.
Selain aroma wangi yang enak, kenaikan
suhu juga mempengaruhi bau yang nggak enak. Apa kemudian bau nggak enak juga
berkurang karena molekulnya rusak? Bisa jadi. Namun, ada pula bau nggak enak
yang aromanya justru menguat karena (1) semakin diproduksi oleh mikroba yang ‘suka’
suhu yang menghangat, atau (2) aroma wangi tadi rusak oleh suhu dan
menghasilkan molekul baru yang aromanya nggak enak.
Persoalan aroma dan wewangian ini
nggak sekadar terjadi pada benda yang fungsinya mengharumkan—seperti parfum/pewangi
ruangan dan baju—aja. Bisa juga berefek ke bau sampah misalnya, atau bau
ruangan, dan segalanya yang memiliki aroma. Ini baru soal aroma, belum
poin-poin lainnya.
Ya… intinya, perubahan iklim secara
ekstrem selain bikin nggak bisa hidup, juga bikin hidup nggak nyaman dalam
prosesnya. Semoga aja di tahun-tahun ke depan bisa benar-benar dikurangi, kita
semua—seluruh manusia bumi dan pihak-pihak yang terlibat—kurangi.
Edited on Oct 21
==========
Picture by Trarete on Pexels
Pantas parfum ruangan kalau diletakkan dekat kipas angin boros banget 😁
BalasHapus