Di antara jenis-jenis beri di bawah ini, familiar sama yang mana:
strawberry, blueberry, blackberry, raspberry, arbei?
Gimana dengan mulberry, cloudberry, juneberry, dewberry, gooseberry
(yang nggak ada hubungannya dengan angsa), atau wineberry (yang juga nggak ada
hubungannya dengan wine), pernah dengar juga?
Kalau jawabannya enggak; wajar. Sebab nama dan jenis beri ternyata
macam-macam. Dan, beri-beri ini nggak tumbuh di Indonesia sehingga nggak aneh kalau nggak pernah dengar. Bahkan orang yang dengar/tahu pun, mungkin cuma ngelihat dari
dunia maya atau ngelihat buah impor yang dijual di swalayan, bukan sepohonnya. Ada yang nggak
impor sih, seperti stroberi, tapi sepertinya yang lebih gampang ditemukan di
swalayan cuma stroberi dan blueberry, ya? Kadang ada mulberry (murbei/arbei).
Beri-beri itu memang nggak tumbuh di sini. Yang tumbuh dan
marak dibudidayakan di sini pun baru stroberi. Mulberry, meski sejak dulu sudah banyak,
kayaknya kurang diminati. Akhirnya kalau kita mau makan beri ‘non-lokal’, ya harus
impor. Lha gimana, di sini nggak bisa tumbuh. Bisa pun, susah berbunga-berbuah.
Kalau ‘dipaksa’ mungkin bisa, entah diintensifkan perawatannya atau gimana. Namun
tentu butuh tenaga dan biaya yang nggak sedikit. Kadang, nggak sebanding cost
sama hasilnya.
(Jadi menurut saya kurang tepat kalau ada yang bilang “semua bisa tumbuh baik di
Indonesia”. Ya bisa, tapi sekadar tumbuh/hidup aja, nggak makmur sampai bunga/berbuah)
Itulah sebabnya kenapa kadang beri-beri impor di swalayan harganya
lumayan. Ngirim dari luar negeri aja udah kena biaya lebih, apalagi kalau
barang fresh macam buah-sayur yang gampang busuk. Handling-nya
tentu lebih ribet.
Dengan harga nggak murah pun kadang berinya kecil-kecil. Saya pernah
nemu blueberry seukuran kelingking, padahal di negara empat musim versi murahannya di pasar bisa seukuran jempol. Ya… itu tadi, balik ke harga-handling-dsb.
Balik ke jenis-jenis beri. Saya baru tahu kalau beri ini jenisnya
buanyaaak baru beberapa tahun belakangan. Itu pun karena cari-cari soal foraging
atau survival botani di Indonesia. Singkat cerita, saya dan teman-teman
sering nemu beri liar di hutan, saat hiking. Bentuknya ya itu-itu aja. Yang
ini sering disebut arbei hutan. Penasaran, saya browsing buah-buahan hutan
lainnya yang aman dimakan. Pikir saya, dengan Indonesia yang kaya biodiversitas
gini, pasti banyak dong tumbuhan liar yang bisa dimakan manusia.
Sayang, handbook yang dicari nggak kunjung ketemu. Ada field
guide, tapi semuanya untuk negara empat musim. Padahal tumbuhan di
Indonesia, kan, beda banget. Ya sudah, saya tetap lihat-lihat karena bukunya
menarik. Dari situlah kemudian saya tahu bahwa ada banyaaak sekali jenis beri.
Bahkan arbei hutan yang biasa kami temukan pun ternyata jenisnya beda-beda.
Sekilas memang nggak kelihatan. Baru ketahuan kalau dilihat secara jeli.
Dari situlah saya ‘kenalan’ dengan beri-beri asing yang belum pernah
saya lihat dan makan sebelumnya: wineberry, gooseberry, cloudberry, dsb.
Beri-beri ini nggak cuma tumbuh liar, tapi banyak di antaranya yang umum
ditanam, dimakan, dan diperjualbelikan di negara subtropis sana.
Gara-gara jenis yang beraneka macam ini pula saya jadi bertanya-tanya
kalau nemu arbei liar. “Apa ini betul jenis arbei? Hm… kayak raspberry. Tapi
kalau dilihat lagi, mirip cloudberry. Jadi… ini apa?” Seperti waktu nemu
beri di bawah ini.
Buah beri di pinggir jalur pendakian G. Lawu. Daun-daunnya menggulung kering, tapi buahnya merah kelihatan segar. Ini beri jenis apa, ya? |
Mungkin kadang cukup disebut “beri” atau “beri liar” aja, hehe. Apalagi yang bentuknya mirip-mirip arbei hutan. Secara umum yang bentuknya (dan bentuk tumbuhannya) seperti itu aman dikonsumsi manusia (*CMIIW!). Kalau beri liar lain yang kurang umum, perlu dicek lagi edible atau inedible for human. Sebab kadang, dimakan hewan lain aman-aman aja, tapi bahaya buat kita.
Saya pernah berandai-andai, “Kalau aja di sini banyak buah beri kayak di
negara empat musim atau di film/kartun petualangan.”
Tapi ya gimana lagi, iklimnya nggak cocok. Lagipula di sini jenis
buah-buahan, meski bukan beri, juga banyak. Di sini mungkin nggak ada
gooseberry, wineberry, dsb, tapi ada mangga, kelengkeng, sirsat, dan banyak
lainnya. Dan karena lumrah, maka buah-buah ini harganya murah. Dua puluh ribu
bisa dapat sekresek, seperti orang asing yang juga dapat beri sekresek dengan
harga murah di negaranya. Padahal di sana, buah-buahan tropis harganya
selangit.
Jadi keingat teman yang di luar negeri pengin makan mangga dan semangka
tapi nggak mau beli karena mahal, sedangkan di sini saya bisa makan mangga
berpotong-potong.
Di sana dia juga bisa makan beri dan buah-buah lain dengan murah,
sedangkan buah-buah itu di sini harganya nggak murah.
Soal buah-buahan ini juga bikin saya sering bergumam, “Oalaaah gini aja”
tiap ngelihat tayangan di Youtube yang membahas “exotic fruits”. Sebab,
eksotis di situ adalah dari sudut pandang orang Barat/pembuat videonya. Jadi
yang ditampilin ya buah yang umum buat orang tropis: salak, buah naga, nanas,
dll. Buat kita kebalikannya, buah eksotis itu ya yang tumbuh di negara mereka.
Sawang-sinawang, kalau kata orang Jawa. Masing-masing ada enaknya, ada juga nggak enaknya. Ada yang dimiliki, ada juga yang nggak dipunyai.
Tidak ada komentar: