Kemarin, 27 September, adalah Hari
Pariwisata Sedunia. World Tourism Day.
Saya nggak akan tahu bahwa ada hari
pariwisata yang diperingati secara global kalau bukan dari majalah. Tahun lalu,
ada satu tajuk di majalah National Geographic yang bikin saya tertarik sampai pengin
beli edisi itu. Topiknya jauh dari bidang pariwisata.
Kala itu saya masih maju-mundur mau
beli. Namun begitu tahu kalau edisi itu berbonus satu eksemplar majalah NatGeo
lainnya, rasa ragu itu terhapus habis! Hehe. Eksemplar bonusan inilah yang
mengangkat topik pariwisata. Lebih tepatnya, mengangkat destinasi-destinasi
wisata terbaik di Indonesia bertepatan dengan Hari Pariwisata Sedunia sekaligus
usaha membangkitkan sektor wisata yang sempat terpuruk akibat Covid-19.
Emang pada dasarnya suka
jalan-jalan. Dapat majalah bonusan soal travelling, ya langsung hijaulah
ini mata, hahaha. Edisi bonusan itu pun berakhir saya baca duluan daripada
edisi ‘aslinya’.
Balik ke soal pariwisata. Sebagai
orang yang gemar pelesiran, tempat-tempat cantik atau unik memang jadi salah
dua faktor yang bikin saya pengin berkunjung ke sana. Atau, nggak perlu cantik
atau unik, tapi punya cerita tersendiri. Kadang, nggak ada faktor apa-apa.
Sekadar pengin menuntaskan rasa ingin tahu aja. Tempat yang dituju pun nggak
selalu tourism spots, bisa jadi lahan pinggir jalan atau waduk dekat
rumah. Intinya, yang bisa bikin refreshed dan senang.
Dalam beberapa perjalanan, tentu
nggak hanya rasa senang yang didapat. Kadang ada juga nggak enaknya, ada missed-nya,
ada kelirunya, ada berantemnya, dan pengalaman-pengalaman nggak enak lainnya.
Namun, menurut saya itulah yang bikin perjalanan jadi lebih berwarna. Asal nggak
sampai fatal atau membahayakan sekali bagi diri maupun orang lain.
Pemahaman tentang ‘warna-warni’
perjalanan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh teman dan senior Pecinta Alam. Merekalah
yang ngajarin (dan ngajakin) bahwa berkegiatan di alam bebas seperti naik
gunung, naik tebing, dsb, nggak cuma senang-senang. Tentu ada senangnya. Namun
ada juga persiapan keberangkatan yang cukup serius. Ada pula manajemen risiko
dan manajemen konflik. Selain di alam, berkunjung
ke tempat-tempat bersejarah juga mengajari hal itu. Gedung, jalan, atau barang
yang sekilas kelihatan sederhana tanpa makna ternyata menyimpan kisah panjang
yang kadang lebih panjang dari sejarah kota tempat dia berdiri.
Saya kira yang namanya ‘cerita di
balik perjalanan’ sudah cukup dalam sampai di situ.
Saya salah.
‘Ceritanya’ ternyata jauh lebih
dalam dan luas.
‘Cerita’ ini baru saya sadari saat
menghadiri seminar oleh Jurusan Pariwisata. Sebelumnya saya mengira bahwa
sektor pariwisata, setidaknya dari kacamata wisatawan, berkutat dengan hal-hal
yang disebut di atas. Mungkin ditambah dengan hal-hal seperti kelestarian/kebersihan
tempat wisata, pengelolaan yang baik, penentuan harga tiket, pelayanan untuk
wisatawan dan penghargaan untuk pengelola dan warga lokal. Nah ternyata…
hal-hal ini masih bisa dikulik lebih rinci lagi. Dan semakin dikulik, maka kelihatan
makin kompleks melibatkan banyak faktor dan banyak sektor: baik dari segi sosial
humaniora maupun dari segi sains dan teknologi.
Misalnya, hubungan pengelola dan
warga lokal. Seminar di Jurusan Pariwisata tadi bikin saya melek bahwa nggak
semua warga lokal diuntungkan dengan adanya tempat wisata. Bisa aja yang untung
hanya pengelola, yang nggak jarang bukan warga lokal tapi warga kota yang jauh
lokasinya. Warga lokal bisa jadi tidak dilibatkan atau dilibatkan sekadarnya
saja, itu pun di level terendah. Nggak semua, tapi ada. Katanya, yang bagus ya yang
warga lokalnya berpartisipasi aktif sekaligus dapat manfaat positif dan tempat
wisatanya bisa bertahan lama dengan baik.
Itu baru satu. Contoh lainnya adalah
fenomena banyaknya pungli yang muncul karena banyak faktor: tingkat ekonomi
yang kurang makmur, peraturan yang tidak jelas, ketiadaan ketegasan pemerintah
setempat, dsb. Belum lagi soal keramahan/ketidakramahan yang berakar dari
budaya setempat, perilaku wisatawan baik yang positif/negatif dan memicu
respons/fenomena/masalah baru, dsb.
Bahkan tentang wisata yang viral
kemudian dipasangi tanda atau bangunan warna-warni yang mencolok aja bisa ada
bahasannya sendiri. Dan bahasannya multidimensi.
Fenomena-fenomena ini pula yang pernah
dibahas di postingan ini dan bikin bergumam pelan, “Oh… ternyata gitu. Susah,
ya.”
(Kalau pengin tahu tentang hal ini
tapi dikemas dengan cukup ringan, mungkin bisa baca buku/blog travel writing-nya
Agustinus Wibowo. Ada beberapa bagian yang ngebahas soal itu.)
Dari mereka-mereka inilah kemudian
pandangan saya tentang pariwisata jadi bergeser. Kalau dulu mikirnya jalan-jalan
asal hati senang, dapat foto bagus, dan nggak ngerusak lingkungan, kini mungkin
jadi ‘rada mikir’. Dari sikap saya akui memang nggak banyak perubahan, meski
sedikit mengetahui latar belakang lokasi dan hidup warlok jadi sesuatu yang
cukup membantu untuk ‘mengalami lebih dekat’ dan memaklumi hal-hal asing atau
nggak mengenakkan yang terjadi selama perjalanan.
Yang agak berubah mungkin dari segi
tulisan. Kalau dulu hanya ngomongin rute atau itinerary dan banyak
keindahan lokasi, sekarang sebisa mungkin disisipi kisah lain. Entah sejarah,
cerita orang, dsb. Kenapa? Supaya nggak hanya fokus di keindahan aja. Kalau cuma
spot-spot cantik atau viral, then what? Hanya foto, ‘mengambil’
keindahan, lalu apa? Ini adalah saran dari beberapa travel writer saat
webinar. Kisah selain keindahan dan rute mampu memberi lebih banyak arti untuk
sebuah lokasi. Jadi titik beratnya nggak hanya di keindahan lokasi. Pengunjung
jadi nggak terpaku di kecantikan tempat/bangunan semata. Mereka pun jadi tahu bahwa
ada cerita yang lebih dalam sehingga diharapkan tumbuh empati untuk turut
peduli pada keberlanjutan tempat wisata itu.
Sesimpel, mungkin,
“Eh ini bangunan/barang dari ratusan
tahun lalu, lho. Jangan sembarangan utak-atik/megang, sayang kalau udah lama
terus rusak.”
“Eh ini tempatnya dilindungi
kelestariannya, lho. Nggak boleh seenaknya metik-metik tumbuhan. Jangan buang
sampah sembarangan.”
“Eh nggak boleh kasar sama
pengelola/warlok. Meski kita udah bayar, tapi merekalah yang sebenarnya punya
tempat ini. Kita ini tamu.”
Sehingga, ke depannya diharapkan kepedulian
yang timbul makin besar. Kepedulian yang berdampak baik bagi tempat wisata,
warga lokal, pengelolanya, lingkungan/alamnya, dan wisatawannya. Untuk semuanya.
=====
Picture by Freepik