Sebenarnya kunjungan ke sini udah lama, beberapa tahun
lalu. Namun karena kayaknya momennya pas: saat Agustusan, well, here we go. Mari
berkunjung ke jejak salah satu pahlawan nasional yang terletak di Yogyakarta
dan nggak ramai serbuan turis.
Saat dengar kata “Selarong”, yang saya ingat adalah
Pangeran Diponegoro. Nggak tahu kenapa, nama ini melekat di memori bersama dengan
dua wilayah lain yang pernah jadi tempat persembunyian Diponegoro saat Perang
Jawa dua abad lalu.
Saya masih ingat bunyi teks di buku paket,
... Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu bersembunyi di Selarong, Pleret, Dekso ...
Mungkin, karena nama mereka menjadi soal yang diujikan dalam ulangan. Mungkin juga karena nama-nama itu terasa tak biasa dan baru di telinga saya yang kala itu masih SD. Jadi, nggak sengaja malah tersimpan di memori.
Selarong, Pleret, dan Dekso adalah beberapa wilayah
yang terletak di Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Ketiganya pernah jadi tempat
persembunyian Pangeran Diponegoro dan pasukannya saat Perang Jawa (1825-1830).
Pangeran dari Yogya yang juga pernah menjadi santri ini berpindah-pindah agar
pasukannya tak terendus pasukan Belanda.
Kalau sekarang, Gua Selarong terletak di selatan ringroad
Yogya. Nggak selatan juga, sih, tapi agak ke barat. Waktu itu saya dari ringroad
timur, begitu belok ke ruas ringroad selatan, nggak jauh kemudian
putar balik untuk masuk kampung di selatannya. Dari situ tinggal ikuti Google
Maps.
Jalannya menuju destinasi lewat jalur Google Maps
relatif bagus. Seingat saya, masuk jalan kampung/desa yang di sisinya rumah-rumah
dan sawah, baru kemudian masuk ke ruas jalan lintas desa yang mulai jarang
rumah dan banyak hutan (jati/sengon? Lupa). Jalannya aspal halus. Di beberapa
ruas jalan memang agak naik, tapi bukan yang nanjak tajam. Ada beberapa
tikungan tajam, tapi nggak yang ‘tajam banget’ macam kalau ke Mangunan.
Setelah lihat peta, baru nyadar kalau letaknya nggak
terlalu jauh dari sentra gerabah Kasongan. Tapi rasanya udah jauh. Apa karena
lokasinya yang dikelilingi banyak pohon dan nggak terletak di jalan raya besar?
Dari jalan aspal, Gua Selarong ada di sisi kanan.
Kalau nggak salah ingat, masuk dulu baru kemudian terlihat tanda selamat
datang. Bayar masuknya sekitar Rp5.000,00/orang plus biaya parkir per kendaraan
(lupa berapa, tapi standar, bukan yang mahal banget).
Dari parkiran, tampak tulisan besar-besar “GOA
SELARONG” dengan cat oranye menyala.
(Jadi yang benar ‘goa’ atau ‘gua’? Di KBBI pakai
‘gua’, tapi di masyarakat lebih biasa pakai ‘goa’ kayaknya)
Plang dan infografis Gua Selarong, oleh dinas setempat dan program KKN mahasiswa (klik untuk baca dalam ukuran lebih besar) |
Seperti umumnya daerah di selatan Yogya agak ke barat, area ini sekilas seperti kering. Khas area pegunungan kapur. Banyak tumbuhan, tapi suasananya kayak kering. Singkapan tebing yang terbuka berwarna putih kecoklatan. Tanahnya pun berwarna coklat muda sekali, mengingatkan pada pasir pantai putih.
Dan, karena saya berkunjung ke sini saat musim
kemarau, maka hawanya beneran kering. Sepanjang jalan tadi, pohon-pohon jati
mulai meranggas. Seresah kekuningan di mana-mana, yang kalau diinjak bunyinya
renyah sekali kayak suara kerupuk.
Menurut sumber online, ada air terjun kecil di
area ini. Kalau dilihat dari foto, letaknya di sebelah kanan, setelah parkiran
atau sebelum gua/tangga naik. Alirannya nggak terlalu deras, jatuh dari pinggir
tebing kemudian langsung ke aliran sungai kecil di bawahnya. Sayang banget kami
nggak bisa ngelihat air terjun itu di kunjungan kali ini. Sebabnya, sumber
airnya hanya ada di musim hujan dan kering saat musim kemarau. Jadilah kami
cuma bisa melihat jejak-jejak alirannya yang memahat bebatuan.
Satu hal yang menjadi surprise: ternyata guanya
banyak.
Hal kedua yang jadi surprise: tangganya juga lumayan banyak.
Pengunjung harus menaiki terundak demi terundak
untuk mencapai gua. Pertama dilihat, wah, tinggi juga. Apalagi jalurnya lurus ke
atas, mengingatkan pada tangga menuju langit di film-film kartun.
Nggak lebih dari 15 menit meniti tangga (dengan
sedikit menggeh-menggeh, haha), akhirnya kami sampai di kompleks gua.
Saya sebut kompleks karena itu tadi: guanya ternyata banyak. Yang disebut gua
adalah ceruk-ceruk yang masuk ke bawah tebing-tebing batu keras. Pintu masuknya
pendek, tak sampai setinggi pinggang orang dewasa. Bayangan saya tentang gua
persembunyian pun buyar.
Awalnya, saya kira Gua Selarong hanya terdiri dari
satu gua yang masuk panjang ke dalam. Bahkan mungkin sampai bisa ada sekat-sekatnya
seperti di komik Swiss Family Robinson yang pernah saya baca dulu
sekali. Sampai sini barulah saya tahu bahwa gua itu bentuknya macam-macam.
Berbeda dengan bentukan dalam komik (dan imajinasi saya), di sini guanya lebih seperti ceruk, ada banyak, dan sekilas terlihat tak terlalu dalam. Ada yang pojok-pojoknya bisa terlihat
dari luar. Jadi bentuknya lebih kayak sebuah ruangan. Apa ada yang masuk sampai
dalam banget? Kurang tahu, karena saya nggak masuk ke gua, cuma ngelihat dari luar
aja. Lagipula, ada beberapa gua yang diberi gapura dan tampak ada beberapa
barang di mulut guanya, jadi saya kira itu adalah area off-limit untuk
pengunjung.
Ide berkunjung ke Gua Selarong sebenarnya bukan keinginan
yang baru. Beberapa tahun sebelumnya sudah pengin ke sana, tapi perlahan lupa. Siang
itu, waktu pengin jalan-jalan dan bingung ke mana, langsung kepikir ke Selarong
aja. Lagipula saat itu saya lagi di tengah kota Yogya. Meski masih jauh, tapi
nggak terlalu jauh kalau dibandingkan saya jalan dari Kaliurang, misalnya. Dan
karena siang itu waktu kami terbatas dan emang niat untuk lihat-lihat aja
(bukan yang menikmati banget atau ndelumuk ngamatin banget), jadi ya gas
aja. Paling enggak, satu tempat tujuan sudah tercoret dari wishlist.
Kenapa ingin lihat jejak Pangeran Diponegoro? Selain
alasan ‘terpatri di ingatan karena soal ulangan’ di atas, saya penasaran aja. Mungkin
karena beliau salah satu pahlawan nasional yang terkenal. Mungkin karena
tertarik dengan background beliau yang priyayi tinggi sekaligus santri,
bangsawan yang nampak agamis hingga digambarkan selalu mengenakan surban, sebuah
kombinasi yang termasuk jarang ditemui. Mungkin juga karena saya merasa aji
mumpung: mumpung di Yogya, bisa sepuasnya menggali kisah budaya dan cerita
serta tempat bersejarah yang sebelumnya cuma bisa saya dengar dan lihat dari
buku pelajaran aja.
Menyaksikan sebuah tempat dengan mata kepala sendiri,
setelah selama ini hanya tahu cerita atau fotonya aja, serasa … menakjubkan. It
was magical. Semacam ada perasaan, “Wah … dulu dia berdiri di sini, lho”
atau “Oh ini toh yang selama ini diceritain”.
Rasanya kayak bayanganmu terwujud, berbentuk nyata di
depanmu.
Sebelum Selarong, sebetulnya ada keinginan ngelihat
keraton Tegalrejo. Konon di sinilah Pangeran Diponegoro dibesarkan. Beliau baru
meninggalkan Tegalrejo ketika Belanda menyerang keraton itu. Di peta, nama “Tegalrejo”
masih ada, menjadi nama sebuah kecamatan di Kota Yogya. Di mana istana atau
bekasnya? Menurut seorang petugas Keraton Yogya yang sempat saya tanya saat berkunjung
ke keraton, istana Tegalrejo menjadi bangunan milik TNI sekarang. (Setelah ngecek
lagi, ada yang bilang bahwa sudah jadi museum sekarang—Museum Sasana Wiratama—,
bahkan bekas tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro waktu nyelamatin
keluarganya saat dikepung Belanda, masih ada.)
Gua Selarong termasuk markas utama pasukan Pangeran Diponegoro.
Keluarganya pun turut tinggal di sini. Ada dua gua paling utama di area ini: Gua
Kakung dan Gua Putri. Konon, Gua Putri adalah tempat tinggal untuk istri sang
pangeran. Mungkin, karena sebagai tempat persembunyian, maka ‘pintu’ masuk guanya
rendah-rendah. Supaya nggak mudah ditemukan meski di ketinggian, mungkin? Meski
tentu hutan zaman itu yang lebih lebat daripada sekarang cukup bisa
menyembunyikan. Dari ketinggian gua ini, terlihat dataran di selatan Yogya yang
menghijau.
Pemandangan di Yogya bagian selatan |
Area Yogya sekitarnya menjadi arena pertempuran. Termasuk
daerah Menoreh, yang sempat dibahas di postingan sebelumnya waktu main ke
Punthuk Setumbu—dekat Candi Borobudur. Area utara Menoreh, yang termasuk daerah
Kedu (sekarang Magelang), menjadi saksi penangkapan Pangeran Diponegoro oleh
Belanda sebelum beliau ditawan di Batavia (penjaranya di Kota Tua Jakarta)
kemudian dibuang ke Makassar.
Seperti cerita-cerita sejarah lainnya, selalu ada sisi
abu-abu dalam setiap kisah. Pun tentang perjuangan Diponegoro dan pasukannya. Mungkin
sebagian kita tahunya adalah Diponegoro berperang dengan Belanda untuk kemerdekaan.
Sebagian lain berpendapat bahwa perang ini dimulai dan berlangsung karena konflik
kepentingan. Tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya pun, baik dari pihak Indonesia
dan Belanda, tak lepas dari kemelut putih-hitam sosok manusia: ada saat menjadi
heroine, ada saat menjadi villain. Seperti apa kisahnya? Wah,
banyak. Apalagi, sumber dan metode penelusuran sejarahnya macam-macam. Jadi ada
beragam versi.
Yah, hidup kayaknya memang gitu: selalu abu-abu.
Kenapa beragam versi dan kisah itu nggak diajarkan di
buku sejarah sekolah?
Ya, karena itu tadi: banyak, panjang. Dan versinya
macam-macam. Nggak cukup itu buku paket. Dan mungkin yang diberikan adalah
versi ringkasnya aja supaya para siswa nggak bingung karena kebanyakan versi.
Dan kalau dimasukin pun, ada beberapa jenjang yang pikirannya belum sanggup
mencerna kisah yang kompleks dan pelik. Lah kita aja, orang dewasa, masih suka
bingung kok kalau nemu cerita yang versinya banyak, apalagi anak kecil.
Begitulah. Apa di daerahmu juga ada jejak/lokasi bersejarah
yang kadang luput dari tujuan wisatawan? Sini bisikin, siapa tahu kapan-kapan
kita bisa explore bareng :D
Para simbah dan dagangan mereka di dalam area Gua Selarong: ada minuman, jajan, dan buah-buahan seperti jambu dan ciplukan yang sudah dikupas |