Suatu sore.
"Jajan,
yuk." Seseorang mengajak saya.
"Yuk.
Mau apa? Asal jangan makanan berat,
ya." Saya sudah berencana makan nasi capcay
malam nanti.
"Hm... jagung manis yang dibumbuin bawang putih itu. Enak.”
“Jagung, kan, makanan berat?”
“Halah,
makanan berat apaan, nggak usah ngikutin pendapat ala Barat, dibohongin lu.”
“Lah
orang Madura justru udah makan jagung buat makanan pokok sejak dulu. Kamu ke
mana aja?”
Siapa
yang sering merasa belum makan (berat) kalau nggak makan nasi? Sebagian besar
orang Indonesia mungkin setuju dengan pernyataan ini, hehe. Atau mungkin orang
Asia/Asia Tenggara? Seperti kawan bicara saya di atas tadi.
Dewasa ini, di sini, jagung,
ubi, talas, sagu, dll sering dianggap ‘bukan makanan pokok’ atau tidak cukup
mengenyangkan. 'Hanya' camilan teman duduk-duduk saja. Padahal, kandungan kalori mereka juga tinggi, lho. Nggak kalah
dengan nasi. Simpelnya, makanan-makanan ini juga bisa ngasih energi yang tinggi
untuk tubuh agar bisa normal beraktivitas. Hanya saja mungkin budaya kita sekarang
lebih menitikberatkan makan nasi.
Sekarang?
Berarti dulu enggak, dong?
Bukannya ‘ajaran’
makan pengganti nasi itu datang dari budaya Barat yang terbiasa makan roti dan
pasta?
Enggak,
kok. Kalau ditilik ke masa lalu, banyak banget masyarakat Indonesia yang makanan
pokoknya bukan nasi. Variatif banget. Kalau selama ini kita cuma tahu jagung,
sagu, atau umbi, sebenarnya ini bisa dijabarin lagi. Misalnya, umbi apa? Ketela
pohon, ubi cilembu, talas, mbothe, ganyong, you name it. Itu,
baru varian umbi-umbian. Belum lagi kalau ada varian sagu dsb.
Bahkan di
sebagian daerah Indonesia—sayang saya lupa persisnya di mana, Sulawesi kalau
nggak salah—pisang juga jadi makanan pokok. Ada yang memakan dengan moncocolnya
dengan saus tomat atau sambal. Tak heran, sebab meski termasuk buah-buahan,
pisang juga punya kandungan kalori yang nggak kalah tinggi. (Ini jadi salah
satu jurus andalan saya kalau nggak sempat sarapan, hehe. Jus pisang+susu,
tanpa gula. Kalau ada, blender sekalian beberapa lembar sayur hijau buat tambahan serat.)
Leluhur
kita pun kreatif mengolah berbagai sumber karbo ini. Sebut saja gaplek (dari
ketela pohon) atau nasi jagung. Itu baru dari Jawa. Padahal, kita tahu seberapa
luas wilayah Indonesia. Secara logika, harusnya olahan pangannya juga lebih
beragam.
Jadi,
menurut saya salah bila ada yang bilang bahwa yang ngajarin untuk makan berat
selain nasi itu orang Barat. Enggak. Nenek moyang kita udah melakukan itu lebih
dulu.
Cuma,
tren ini sayangnya sempat hilang. Setelah beberapa tahun (atau dekade?), tren
ini memang kembali ke sini lewat budaya Barat berupa beragam diet dengan konsumsi
kentang, roti, pasta, non-gluten food, dsb, alih-alih nasi.
Kenapa
bisa hilang?
Mungkin,
ada benarnya jika ada yang bilang bahwa budaya ‘makanan berat itu harus nasi’
ini dimulai saat Revolusi Hijau di Indonesia di era Orde Baru. Di satu sisi,
program ini bagus karena menggalakkan teknologi dan berbagai alat bantu yang
cukup efektif untuk ngedongkrak produksi bahan makanan dalam negeri. Namun,
salah satu sisi buruknya adalah penggalakan penanaman padi di mana-mana,
termasuk di daerah-daerah yang masyarakatnya awalnya tidak/jarang makan nasi. Akibatnya,
warga yang dulu mengonsumsi karbo non-nasi jadi turut makan nasi; meninggalkan
karbo lokalnya. Hal itu berlanjut hingga keturunannya sampai kini.
Belum lagi
ada anggapan di sebagian masyarakat bahwa beberapa pangan lokal itu identik
dengan kemiskinan. Karena nggak mampu beli beras, maka yang dimakan adalah ubi
dsb. Mungkin itu benar. Tapi, ya… karena demand beras sudah sangat
tinggi, imbas Revolusi Hijau tadi, maka harga juga jadi tinggi. Padahal, secara
gizi, sumber karbo alternatif tadi nggak kalah dengan beras.
Akibat
kejadian ini, saya jadi paham mengapa beberapa tahun lalu Kementerian Pertanian
mengampanyekan “Diversifikasi Pangan”. Ya, supaya sumber-sumber pangan lokal
ini dikonsumsi lagi. Ya, gimana, ya, sebab kebutuhan beras Indonesia kini sudah "nggak bisa" dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Kalau bukan jumlahnya yang
nggak cukup, ya harganya yang nggak cocok (sehingga akan sulit laku di
pasaran).
Gimana
dengan rasanya? Mungkin orang-orang menolak makan non-nasi karena alasan itu?
Mungkin
ini soal biasa-nggak biasa, kali, ya. Saya aja misalnya, memang nggak biasa makan lauk
dengan selain nasi. Namun, di daerah lain, makan lauk/sayur dengan ubi dsb itu
biasa. Beberapa bulan lalu saat saya makan nasi jagung plus sayur. Eh, ternyata
bisa-bisa aja; enak meski sensasinya berbeda. Dan meski bukan baru kemarin coba
membiasakan diri konsumsi karbo non-nasi, saya toh masih pilih-pilih lauk yang
sekiranya cocok dengan kentang dkk. Sebaliknya, ada juga lauk yang saya rasa justru nggak
nikmat dimakan bersama nasi.
Balik lagi
ke tadi: biasa-nggak biasa dan selera-bukan selera. Namun, rasa-rasanya yang
kedua sangat tergantung pada yang pertama.