Pernahkah kamu membayangkan bahwa di Indonesia ada istana di puncak gunung, layaknya di dongeng-dongeng? Tempat ini ternyata bukan fiksi belaka. Di Gunung Argopuro, Dataran Tinggi Yang, Jawa Timur, istana tersebut pernah ada; nyata. Bahkan, lapangan terbang tertinggi di Jawa pun sempat berdiri di tengah-tengah hutan belantara ini.
Berbicara tentang Argopuro tak bisa lepas dari legenda Dewi Rengganis. Putri Majapahit tersebut mengasingkan diri ke sini kemudian membangun istananya di salah satu puncak gunung. Puing kuno inilah sumber nama Argopuro yang berarti ‘tempat suci di gunung’.
“Di sini agak beda dengan gunung-gunung lain yang biasa didaki. Selain ada bangunan bersejarah, hewannya juga lebih banyak karena termasuk suaka margasatwa,” tutur Susiono, petugas BKSDA Dataran Tinggi Yang, desa Baderan, kabupaten Situbondo.
Bapak ini lantas menceritakan serba-serbi Argopuro yang
perlu diketahui oleh kami bertujuh sebelum mendaki.
“Musim
hujan begini harus lebih hati-hati,” nasihatnya sebelum kami berangkat.
Benar
saja, hujan deras mengguyur tak lama setelah tim beranjak dari pos perizinan. Januari
memang bulan hujan. Jalur pendakian terpanjang di Jawa berjarak tak kurang dari
empat puluh kilometer itu tentu akan sangat licin. Belum lagi tempat berkemah
yang rawan basah. Untunglah Argopuro memiliki beberapa camp yang cukup nyaman untuk mendirikan tenda. Salah satunya
Cikasur.
Cikasur:
Sabana Bekas Lapangan Terbang
Dari
Baderan, kami butuh dua hari perjalanan dan satu kali menginap untuk mencapai
Cikasur. Padang rumput ini luas,
datar, dan punya sungai bersih yang ditumbuhi gerumbulan selada air. Para
pendaki biasanya tak akan melewatkan kesempatan mencicipi sayuran ini di
habitat aslinya. Tentunya dalam jumlah wajar, tak boleh berlebihan.
Hari
menginjak petang ketika tim mencapai lokasi ini. Seekor burung merak yang
bertengger di salah satu dahan buru-buru menyingkir ketika rombongan manusia
berdatangan. Di antara sisa-sisa sinar senja, terlihat tembok-tembok rendah
berwarna putih berdiri dikepung ilalang dan semak-semak. Itulah bekas shelter zaman Belanda yang diceritakan Pak
Susiono.
Cikasur
memang punya sejarah panjang. Penjelajah Belanda bernama Junghuhn pernah terpesona
oleh kecantikan Cikasur. Pada 1880, ia mengusulkan pembangunan hill station seperti yang dimiliki
Inggris di Darjeeling. Ide ini disambut baik oleh seorang pegawai pemerintah
Hindia Belanda bernama Van Gennep sehingga perencanaannya dimulai.
Sayang,
proyek itu batal pada 1916 karena dianggap kurang meyakinkan. Cikasur pun
diserahkan pada Ledeboer, seorang administrator perkebunan kopi, agar
dikembangkan menjadi tempat konservasi rusa. Namun, pemerintah Hindia Belanda
mengambil alihnya kembali pada tahun 1940-an untuk dijadikan lapangan terbang.
Saat
itulah muncul desas-desus mistis yang diyakini masyarakat setempat hingga kini.
Mereka percaya bahwa pembuatan bandara kecil tersebut bukan demi alasan
pertahanan saja, melainkan juga untuk membawa emas yang terkandung di tanah
Cikasur secara diam-diam. Rakyat yang dipekerjakan paksa dalam pembangunannya kemudian
dibunuh agar kabar tak tersebar luas. Oleh sebab itu, sabana ini dianggap
angker karena banyak yang mengaku mendengar ramai suara manusia atau derap
sepatu tentara saat tengah malam.
Terlepas
mendengar suara mistis atau tidak, para pendaki sepakat bahwa suara yang pasti
didengar di padang rumput luas ini adalah kokok ayam hutan. Selain bunyi yang
khas, ayam hutan juga lebih ramping dan gesit. Ketika pagi tiba, tim kami beberapa kali melihat badannya yang
berbulu hitam akan tampak berseliweran dengan cepat di antara ilalang dan bekas
landasan pacu.
Ya,
selain sisa bangunan, bekas landasan pacu zaman perang itu masih ada sampai
sekarang. Jalurnya membentang sepanjang satu kilometer dari lereng bukit ke
sisi hutan. Ketika kabut menghilang, alurnya jelas terlihat dari tempat kami
mendirikan tenda.
Istana
Dewi Rengganis
Argopuro
tak hanya menyimpan kisah zaman penjajahan. Puing-puing bangunan tertua berdiri
di dua dari tiga puncak tertingginya. Kami mencapai Sabana Lonceng, checkpoint sebelum puncak, dua hari
setelah meninggalkan Cikasur. Di sinilah titik kumpul sebelum mencapai Puncak Rengganis,
Hyang/Arca, atau Argopuro.
Kami
memilih Puncak Rengganis dahulu karena lebih dekat. Sekitar dua puluh menit
mendaki santai, pepohonan mulai berkurang dan digantikan pemandangan tanah
putih dari batuan kapur serta semak-semak cantigi. Di sinilah terdapat sisa-sisa
istana yang dibangun di akhir masa keemasan Majapahit itu. Misalnya, cekungan
yang dibilang Pak Susiono sebagai kolam pribadi sang putri. Tidak jauh dari kolam, terdapat struktur bebatuan persegi panjang
yang disusun rendah mengelilingi dua bujur sangkar kecil. Inilah makam dua abdi
setia Dewi Rengganis.
Perjalanan
dilanjutkan dengan meniti bukit kapur. Lima menit setelahnya, tempat sang putri
pernah bersemedi mulai terlihat. Tak ada wujud utuhnya, tetapi masih tampak batu-batu
sebesar kepala manusia yang membentuk tangga pendek dan dasar suatu bangunan.
Mengapa
Dewi Rengganis membangun istananya di puncak? Karena masyarakat masa itu meyakini
bahwa puncak gunung adalah tempat dewa bersemayam. Apalagi, Puncak Rengganis
terletak di dekat bekas kawah. Mereka percaya bahwa kawah merupakan pintu masuk
alam ruh.
Selanjutnya
kami turun karena mengejar waktu ke puncak tertinggi di Dataran Tinggi Yang,
yaitu Puncak Argopuro, dengan ketinggian 3.080 mdpl. Namun, mendung mulai
datang. Padahal sebelumnya, cuaca siang itu tergolong cerah. Begitulah cuaca di
gunung, mudah berganti-ganti dalam hitungan menit.
Akhirnya
sampailah kami di Puncak Argopuro, yang berupa tanah landai dengan pepohonan
yang menghitam sisa kebakaran. Kali ini kabut sudah membekap sekeliling sehingga
bukit-bukit lain tidak terlihat sama sekali. Bahkan, jarak pandang makin pendek
ketika kami mendekati Puncak Hyang.
Kewaspadaan
meningkat jauh mengingat jalan meniti punggung bukit dengan jurang menganga di
kanan-kiri. Sebuah patung kuno terduduk di tepi jalur pendakian selebar satu
meter, tak jauh dari plang penanda Puncak Hyang. Arca inilah alasan puncak ini
juga dikenal sebagai Puncak Arca.
Sambaran kilat mulai terlihat di kejauhan. Ditemani hujan yang berubah badai, tim pun turun ke Sabana Lonceng. Tuntas sudah rasa penasaran tentang dongeng istana putri di puncak gunung dan bandara tertinggi yang sering disambangi hewan liar. Setiap gunung dan perjalanan punya cerita yang berbeda. Keistimewaan apa lagi yang bisa ditemukan di gunung-gunung nusantara lainnya?
--Tulisan ini alhamdulillah pernah jadi salah satu
naskah favorit kategori feature perjalanan Bulan Bahasa UGM 2019.
NB: Beberapa bagian telah diedit ulang--
Referensi:
Hoogerwerf, A. 1974. Report on Visit to
Wildlife Reserves in East Java. Netherlands Commission for International Nature
Protection, Austerlitz.
Van Der Meer, A. H. C. 2014. Ambivalent
Hegemony: Culture and Power in Colonial Java, 1808-1927. University of New
Jersey. Disertasi.
Whitten, T., R. E. Soeriaatmadja, dan S.
A. Afiff. 1999. Seri Ekologi Jawa-Bali. Prenhallindo, Jakarta.
Widyatama, H. A. 2016. Penempatan Punden
Berundak di Puncak Pegunungan Iyang Argopuro, Situbondo, Jawa Timur: Tinjauan
Aspek Lingkungan dan Religi yang Mempengaruhinya. Fakultas Ilmu Budaya.
Universitas Gadjah Mada. Skripsi.
Tidak ada komentar: