- Salah satu bekas kantung pertahanan di area benteng - |
Untai-untai daun hijau muda merambati permukaan seluruh dinding rapat-rapat bak kelambu. Rimbun. Bunga-bunga liar berwarna merah muda melapisi sela-selanya. Sekilas, bangunan itu tampak seperti bangunan terbengkalai biasa. Kalau bukan dari info yang sudah didapat sebelumnya, mungkin orang tak akan menyangka bahwa tembok-tembok di tepi pantai Kota Surabaya ini adalah bekas benteng pertempuran saat Perang Dunia II.
Bangunan yang berbentuk seperti dinding itu adalah Benteng Kedung Cowek. Letaknya tak jauh dari Jembatan Suramadu. Jembatan penghubung Pulau Jawa dan Madura itu bahkan terlihat jelas dari area ini. Namun, berbeda dengan jembatan yang jelas ramai dan terawat, bangunan-bangunan Benteng Kedung Cowek jauh lebih sepi dari suara dan aktivitas manusia. Siang itu, hanya terdengar debur ombak Selat Madura dan cericit burung yang bersarang di pohon-pohon tinggi yang akarnya menembus dinding benteng.
Di sini, sekitar 7-8 dekade lalu, pasukan Jepang merangsek masuk ke Indonesia. Surabaya jadi salah satu titik pendaratan mereka. Untuk mempertahankan posisi di Jawa bagian timur, Belanda pun membentuk kantung-kantung pertahanan di pinggir pantai untuk menghalau armada laut Jepang. Salah satunya, ya, Benteng Kedung Cowek ini.
- Salah satu pojok benteng yang dirambati bunga liar. Bentengnya sampai nggak kelihatan - |
Jika dilihat sekilas, Benteng Kedung Cowek tak ubahnya bangunan terbengkalai lainnya yang banyak ditemui di berbagai penjuru kota. Bangunan-bangunan semacam ini di Surabaya sebetulnya tak hanya satu-dua. Bila kita tahu di mana mencari, ada saja bangunan atau struktur bersejarah yang terselip di tengah ingar-bingar kota.
Namun, tak semua bangunan bernilai sejarah itu tidak terawat. Banyak pula gedung lawas yang tetap berdiri kokoh dan tampak cantik. Banyak dari bangunan itu yang menjadi cagar budaya dan dirawat oleh dinas kota, tapi tak sedikit juga yang merupakan milik pribadi dan masih dipergunakan hingga kini.
Hal yang agak mencengangkan adalah ketika menyadari bahwa sesuatu yang sering kita jumpai, mungkin setiap hari kita lewati, ternyata menyimpan cerita berusia ratusan tahun. Gang-gang yang berada di area Kramat Gantung, misalnya. Gang yang berada tak jauh dari pusat kota ini ternyata menyimpan sejarah yang lebih tua daripada balai kota atau gubernuran, yaitu kisah Surabaya semenjak zaman Majapahit, saat kota pelabuhan ini masih memiliki keraton.
Kini, mungkin jarang yang menyangka bahwa gang-gang padat penduduk ini dulunya adalah tempat para bangsawan Surabaya hidup: makan, mandi, kerja, bercengkerama dengan keluarga dan tamu jauh, termasuk menyelenggarakan upacara/adat keraton seperti keraton-keraton yang sekarang masih eksis. Well, saya sendiri juga kaget begitu tahu bahwa jalan yang saya sering saya lewati dan saya abaikan (karena ya cuma lewat doang) ternyata eks keraton Surabaya.
Untuk ukuran kota metropolitan yang dikenal tidak memiliki jejak 'kekeratonan' seperti Surabaya, hal ini adalah sesuatu yang mengundang dengung kagum. Seenggaknya bagi saya, hehe. Akan beda kesannya bila sejarah kebangsawanan ini saya saksikan di kota yang terkenal memiliki keraton (dan sistem pemerintahan keraton), misalnya Yogya atau Solo. Di dua kota ini, nuansa keraton begitu lekat, sedangkan di Surabaya justru sebaliknya.
Terasa jauh karena bekas-bekasnya sudah tiada, mungkin sejak ratusan tahun lalu, dan sekarang sudah berganti bangunan modern. Namun, di saat yang sama juga terasa dekat karena tahu bahwa area yang kita lewati setiap hari ternyata punya sejarah panjang.
Dekat, tapi masa itu terasa jauh.
Jauh, tapi area/bangunannya masih bisa disentuh tangan.
- Salah satu bangunan di area Keraton Surabaya. Bak pintu ke masa lalu - |
Akan beda cerita bila sejarahnya berkisah soal situasi di lokasi saat era kolonial. Bangunan dari era ini masih banyak yang berdiri tegak, terutama di pusat kota. Atau, sejarah era kemerdekaan misalnya. Seperti bangunan Benteng Kedung Cowek tadi. Mungkin karena masanya lebih dekat dan bangunannya juga masih ada.
Apapun itu, di balik gedung-gedung tinggi yang gemerlap dan jalan-jalan besar yang kadang bikin orang luar kebingungan, Surabaya masih menyimpan berjilid-jilid cerita. Mungkin bahkan sejak masa pra-Majapahit ketika kota ini masih disebut Ujunggaluh. Detail kisah-kisah itu terselip di gang-gang kecil, tanah dan bangunan terbengkalai, di sudut sebuah lapangan golf, atau tempat-tempat nyempil lain yang bahkan banyak warga Surabaya pun juga nggak tahu.
Maka, kalau memang suka sejarah, asik rasanya jalan-jalan sambil ngelihatin bangunan lawas yang kita tahu ceritanya. Sering ada komunitas sejarah yang jalan-jalan begini. Ada juga layanan walking tour dari beberapa penyedia jasa pariwisata. Ada guide yang bakal menjelaskan sejarah tempat-tempat yang kita sambangi.
Buat orang dalam kota yang pengin jalan-jalan dengan nuansa berbeda atau pengin jalan-jalan tapi nggak bisa keluar kota/punya sedikit waktu aja, walking tour sebetulnya bisa jadi salah satu opsi travelling. Jadi nggak melulu refreshing ke mall atau apalah yang biasa jadi jujugan main pada umumnya. Apalagi kemarin waktu pembatasan perpindahan antarkota diperketat ketika kasus Covid-19 lagi meradang, jalan-jalan dalam kota sendiri pun bisa jadi opsi refreshing (dengan tetap patuh protokol kesehatan tentunya). Plus, ini jalan-jalan yang budget friendly banget. Biayanya di bawah IDR 100k bahkan di bawah 50k. Paling membengkak kalau ternyata di tengah jalan pengin jajan atau beli minum.
Nggak cuma di Surabaya, di beberapa kota lain, acara (atau tur) jalan kaki semacam ini juga ada. Umumnya memang masih di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya, atau Semarang. Namun, kadang ada juga yang mengadakan di kota lain. Apalagi dari komunitas pencinta sejarah lokal daerah tsb. Saya kurang tahu kalau di luar Jawa, mungkin di kota besarnya juga ada. Mungkin ada yang punya infonya? Siapa tahu kapan-kapan ke sana, jadi bisa walking tour juga, hehe.
"Eh, terus soal Benteng Kedung Cowek sama Keraton Surabaya sejarahnya sebenernya gimana?"
Stay tuned. Rencananya bakal dipos dalam waktu dekat. Mungkin pekan depan, mungkin pekan depannya lagi. Who knows, hehe. Nyari referensi dulu biar rada lengkap. Atau yang udah telanjur penasaran, bisa lihat sneak peek-nya di highlight IG.
======================
Sedikit cerita (slash curhat? Wkwk)
Tulisan ini seharusnya dipos di platform lain karena saya berencana ikut lomba nulis kategori non-fiksi. Udah jadi, nih, kerangkanya. Tinggal eksekusi nulisnya aja. Eh, ternyata … waktu ngecek SnK lagi ... alpa ngelihat kalau kategori non-fiksi syaratnya min 20.000 karakter 😠Kirain cuma sepanjang artikel biasa huhuhu.
Padahal udah ancang-ancang pengin ikut sejak Agustus dan udah rencana pakai topik ini. Mana DL-nya tinggal hitungan hari. Ya sudahlah, dipos di sini dulu aja. Toh tulisannya belum ‘matang’ juga. Siapa tahu bakal ada kompetisi sejenis kapan-kapan. Mungkin bisa buat tabungan, nanti tinggal dipoles dan nambah ini-itu sedikit lagi. Maybe.
Nabung tidak hanya uang, tulisanpun bisa jadi tabungan. Semangat terus kak....
BalasHapusThank you, Kak!
Hapus