Kalau dilihat dari bagian yang lebih tinggi, Gunung Bromo dan gunung-gunung di sekitarnya akan nampak seperti kerucut-kerucut yang tumbuh di dalam mangkuk raksasa. 'Mangkuk' itu terbuat dari tebing-tebing tinggi dan memagari area berpasir abu-abu. Area inilah yang ramai dikenal dengan Lautan Pasir (Sand Sea).
Kalau lihat gunung-gunung lain, kayaknya jarang yang begini. Gunung seakan tumbuh dari tanah. Di kakinya ada lembah, hutan, dan perkampungan penduduk. Nggak ada batas pagar serupa mangkuk begini. Jadi kenapa Bromo kok beda?
Sebab, sesungguhnya Bromo dan gunung-gunung di sekitarnya itu tumbuh di dalam kaldera. Apa itu kaldera? Mudahnya, anggap saja bekas kawah (meski secara istilah geografi bukan gitu). Ada yang pernah ke Bromo dan Lautan Pasirnya? Selamat, Anda telah menapak bekas kawah.
Kalau kawahnya sebegitu gedenya (ada yang bilang diameternya kurang-lebih 9 km), seberapa besar gunungnya? Ya... berarti gede banget. Salah satu sumber berkata bahwa Gunung Tengger Tua dulu tingginya 4.000 mdpl. Kemudian kawahnya meletus berulang dan meninggalkan kaldera yang sekarang adalah Lautan Pasir. Kaldera Lautan Pasir ini ternyata masih bergolak, makanya tumbuh Gunung Bromo, Batok, Widodaren, dan kawan-kawannya. Kapan ini terjadi? Puluhan hingga ratusan ribu, bahkan jutaan tahun lalu.
Wisatawan yang pernah ke Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS) pasti ingat bahwa sebelum masuk area Bromo, kendaraan melalui area berbukit-bukit dan tebing-tebing hijau curam di kanan-kiri. Duluuu banget, daerah itu juga bekas gunung. Saking tuanya jadi sekarang sudah kelihatan bukan gunung lagi. Seberapa tua? Wah, lebih tua dari Bromo. Kalau yang ini bisa jutaan tahun lalu. Daerah yang sebelah mana, sih? Mana-mana, hehe. Kemarin dulu (2015 maybe?) saya lewat Nongkojajar. Area ini sudah terbentuk 1,4-0,2 juta tahun lalu. Manusia purba Pithecanthropus masih hidup saat itu.
Kini, Nongkojajar sudah dihuni Homo sapiens seluruhnya. Bukit-bukit yang dulunya hutan lebat dan tak tersentuh manusia, kini sebagian sudah berubah ladang-ladang wortel, kentang, atau kubis yang tak kalah hijaunya. Kalau kita lewat daerah ini saat masih terang, bakal sering ketemu mobil pick-up yang mengangkut sayuran fresh from the farm.
Nongkojajar adalah jalur dari Pasuruan untuk mencapai TNBTS. Jalur lainnya bisa melalui Tumpang (Malang) yang lebih terkenal, Tongas (Probolinggo) yang juga adalah jalur zaman Majapahit (konon dulu Gadjah Mada setelah pensiun berangkat ke Air Terjun Madakaripura lewat sini), dan lewat Senduro (Lumajang). Kalau dari Surabaya bisa lewat Tumpang atau Nongkojajar biar nggak muter. Kali itu, saya lewat Nongkojajar.
Gimana jalannya? Ya kayak jalan gunung pada umumnya. Awal-awal menanjak biasa, kemudian mulai banyak tanjakan ekstrem. Banyak juga tikungan tajam sehingga kudu lebih waspada dan membunyikan bel supaya kendaraan yang berlawanan tahu kalau ada kendaraan lain (kita). Tapi pemandangannya?
Wah, kalau secara personal, sudah bikin jatuh cinta, hahahah. Salah satu alasan kenapa saya suka banget sama TNBTS adalah karena sejak dari 'gerbang' aja panoramanya sudah bikin geleng-geleng. Termasuk pada perjalanan tahun 2015 ini. Secantik apa?
Mari kita lanjutkan dalam postingan pekan depan 😄
========
Disclaimer: artikel ini bukan artikel ilmiah. Saya yg nulis juga nggak mendalami geologi dkk. Jadi, meski pake referensi, harap jangan nganggap artikel ini 100% benar. Please kindly recheck it yourself :)