Kalau
Cappadocia itu di Indonesia, yakin deh, beberapa bulan ini pasti bakal berjubel
wisatawan domestik.
Salah satu adegan
dari serial film lokal yang populer belakangan ini menyebut-nyebut Cappadocia
sebagai salah satu tujuan wisata. Sebetulnya, lokasi ini sudah jadi global
tourist destination Turki sejak lama. Bisa dibilang a-must-visit
kalau punya budget travelling lebih pas main ke negara asal kebab dan
baklava ini. Orang-orang Indonesia pun sudah banyak yang dengar, meski nggak
seluas sekarang. Lokasi ini pernah diulas di beberapa buku travel writing Indonesia juga.
Salah satu
sifat manusia memang latah. Lihat orang lain begitu, jadi pengin begitu juga. Lihat
orang wisata ke sana, jadi pengin ke sana juga. Nggak terkecuali (atau
tepatnya, apalagi 😁) orang Indonesia. Begitu lokasi itu terkenal di dunia
maya, bakal banyak orang datang ke sana. Kesempatan ini pun dimanfaatkan untuk
bikin lokasi tsb jadi ‘lebih menarik’ dengan bikin panggung love atau
bunga-bunga atau tagline ‘mirip ikonnya negara X’.
Seorang acquintance
pernah berseloroh, “Di sini tuh belum afdol jadi tempat wisata kalo belum
ada love-love-nya.” 😄
Kadang, justru
pengelola yang menghadirkan atraksi yang muncul di film-film yang melariskan
lokasi itu tanpa ngecek lagi sebenernya cocok/enggak, aman/enggak, demi menuruti
animo pasar. Dan ending-nya malah turis luar jadi males ke situ karena, “Udah
nggak asli lagi, ya…” padahal mereka ke Indonesia buat nyari sesuatu yang beda
dengan negara lain. Dan wisatawan domestik yang nyari keaslian akhirnya juga
nggak pengin ke sini (– kayaknya ini dibahas lain kali aja kali ya? Kepanjangan ntar,
haha. Soal asli-modif ini saya juga ‘disadarin’ sama share seorang temen di
Facebook, bukan hasil mikir sendiri).
Kalau
dilihat dari segi ekonomi, kenaikan pengunjung ke lokasi wisata jelas
menguntungkan karena semakin banyak wisatawan maka semakin banyak pula
pemasukan. Lebih bagus lagi kalau yang diuntungkan bukan cuma pengelola, tapi juga
warga lokal. Sebab, banyak tempat wisata yang ternyata pemilik dan pengelolanya
bukan orang situ. Jadi ketika untung, taraf ekonomi warga sekitar nggak turut meningkat.
Mereka mungkin kecipratan ramenya, tapi cuma jadi penonton atau pelaku usaha yang
nggak begitu laku. Bahkan ada juga kasus di mana penduduk justru cuma
kecipratan dampak negatif: sampah, kerusakan alam, jurang sosial, kekerasan,
dsb.
Jadi
semakin banyak pengunjung makin bagus, dong, apalagi kalau masyarakat ikut
sejahtera?
Iya, dalam
batas tertentu. Kesejahteraan warga lokal nggak cuma ngomongin soal untung
secara ekonomis. Namun, juga bicara soal keberlanjutan tempat itu sendiri. Maksudnya
‘keberlanjutan’? Maksudnya adalah seberapa tahan dan seberapa lama tempat itu
bisa tetap bagus, lestari, dan nggak rusak. Hal ini disebut ‘daya dukung’.
Saya baru tahu
istilah ini beberapa tahun belakangan. Selain soal lestari dll tadi, daya
dukung juga berkaitan dengan jumlah wisatawan yang berkunjung. Nggak selalu,
sih, tapi biasanya kalau jumlah wisatawan yang tinggi, maka kerusakan yang
timbul cenderung lebih mudah muncul, meski itu kerusakan yang sungguh-sungguh
nggak sengaja.
Misalnya,
di Monkey Forest Ubud, tanahnya jadi padat karena sering diinjak banyak
manusia. Ini salah satu contoh yang nggak sengaja (karena toh gimana lagi, masa
mau wisata tapi ngawang?). Padahal, kalau tanah jadi padat, pertumbuhan pohon
akan terganggu. Maka pengelola mencari cara supaya tanah jadi gembur kembali.*seminar
pariwisata FIB UGM, 09/2019
Di beberapa
tempat wisata alam, pemberian kuota pengunjung harian juga punya tujuan yang
sama: untuk konservasi tanah/alam. Selain biar nggak umpel-umpelan dan akhirnya
malah jadi kayak demo dan bukan wisata. Makanya beberapa taman nasional dan
gunung untuk pendakian kini diberi kuota maksimal per hari.
Sebelumnya
aturan ini nggak ada. Mungkin demi keamanan, mungkin juga berkaca dari
pengalaman, maka aturan ini dibuat. Pasca pemutaran film 5 Cm yang ber-setting
di Gunung Semeru, puncak tertinggi Jawa itu jadi banyak disambangi orang. Berturut-turut
kemudian gunung-gunung lainnya. Sebelum film ini populer, pendaki gunung ini berjumlah
jauh lebih sedikit dan waktu itu gunung-gunung beneran masih sepiii. Akibatnya,
masalah sampah dan konservasi pun timbul. Hal ini berlangsung sampai sekarang
hingga beberapa saat lalu populer kampanye ‘gunung bukan tempat sampah’.
Soal
Cappadocia tadi kurang lebih mirip dengan ini. Kalau Cappadocia ada di
Indonesia (eits, bukan berarti Cappadocia di Turki juga bebas dari masalah. Problem
konservasi dan turisme juga tetap ada).
Coba perhatikan
berapa banyak kasus serupa di sini, yaitu tempat wisata yang viral kemudian
jadi muncul banyak masalah karena pengelolaan yang nggak bagus. Atau, bukan
cuma banyak masalah, tapi lama-lama jadi tutup. Apa ini salah pengelola aja? Ya
enggak, pengunjung macam kita juga ikut andil. Apalagi kalau abai dengan
kondisi lingkungan di lokasi dan cuma pengin ambil senengnya aja. Contohnya? Se-‘simpel’
bawa jajan buat konsumsi terus sampahnya dibuang sembarangan.
Lagi-lagi
semua balik ke daya dukung. Pengelola harus sadar seberapa kapasitas tempat
wisata dan pengunjung harus membantu jagain kelestarian tempat wisata. Bukan seenaknya
aja karena alasan, “Tempat ini hidup karena turis, loh. Aku sebagai wisatawan
juga bayar. Tanpa wisatawan, warga sini nggak bisa makan, loh. Harusnya berterima
kasih, dong, ke kita-kita”. Ye nggak gitu jugak ya, kalau udah
bayar bukan berarti terus ngerasa bisa seenaknya.
((jadi
inget beberapa waktu lalu pas penduduk Hawaii minta pariwisata ditutup sementara
karena mereka kekurangan air bersih terus ada wisatawan yang ngegas bilang kayak
cuplikan di atas))
Semoga, ya, semoga, kita nggak termasuk dalam kategori wisatawan yang nyebelin…
Disclaimer: background vector created by Freepik,
then slightly edited